3. faktor-faktor yang menentukan sistem pola pembagian bagi hasil
dalam perjanjian bagi hasil di Desa Kaliglagah Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo.
Berdasarkan hasil penelitian dalam menetapkan imbangan hasil dikenal dengan istilah “maro” untuk padi yang ditanam di sawah dan
“mertelu” untuk padi yang ditanam di ladang. Imbangan “maro” dan “mertelu” tersebut berlaku baik untuk musim penghujan maupun musim
kemarau. Sistem “maro” dan “mertelu” itu ditentukan oleh pemilik sawah dan penggarap salah satunya karena faktor kesuburan tanah.
Berdasarkan wawancara dengan bapak Tofa yang menyatakan sebagai berikut :
“Tanah yang saya bagi hasilkan dengan bapak jemiren yaitu sawah ladang, biasanya dalam satu tahun hanya bisa dua kali panen, karena
terbatasnya air yang diperlukan untuk pengairan dan kualitas tanah itu sendiri. Dan imbangan hasilnya antara yang diterima pemilik dan
penggarap berbeda, yaitu lebih banyak diterima penggarap, karena biaya produksi juga leb
ih banyak dibiayai oleh penggarap”. wawancara dengan bapak Tofa, pemilik sawah, pada tanggal 16 April 2011.
Berdasarkan wawancara dengan bapak amat yang menyatakan
sebagai berikut : “Saya sebagai petani penggarap, sawah yang saya garap yaitu
sawah basah. Bagian hasil panen yang saya terima sama dengan yang diterima oleh pemilik sawah. Akan tetapi biaya produksi juga masih lebih
banyak yang ditanggung saya dari pemilik sawah sendiri. Tetapi saya tidak mempermasalahkan hal itu, karena dengan kerjasama ini saya dapat
memenuhi kebutuhan keluarga saya, sawah yang saya garap ini bisa tiga
kali panen dalam satu tahun”. wawancara dengan bapak Amat, penggarap sawah, pada tanggal 10 April 2011.
Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan
bahan tanaman yang dipanen. Maka disebut pula daya menghasilkan bahan
panen atau produktivitasnya. Hasil panen besar dengan variasi musiman kecil menandakan kesuburan tanah tinggi, karena ini berarti tanah dapat
ditanami sepanjang tahun dan setiap kali menghasilkan hasil panen besar, akan tetapi hanya sekali setahun pada musim baik, menandakan kesuburan
tanah tidak tinggi, karena pada musim yang lain tanah tidak dapat ditanami.
Dalam suatu daerah yang penduduknya sangat padat dimana jumlah petani penggarap yang memerlukan tanah garapan jauh lebih
banyak dari pada persediaan tanah yang ada, maka pemilik tanah dapat meminta syarat-syarat yang lebih berat dibandingkan dengan daerah
dimana persediaan tanah garapan masih luas. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Ponirah, menyatakan sebagai
berikut : “Saya mengadakan bagi hasil sudah cukup lama. Sistem
pembagiannya dari dulu sampai sekarang masih sama yaitu “maro” dan “mertelu”, perbedaannya pada pembiayaan biaya produksi yang dipikul
oleh masing-masing pihak. Pada pelaksanaan perjanjian bagi hasil waktu dulu biaya produksi tidak begitu dibebankan kepada penggarap”.
wawancara dengan ibu Ponirah, pemilik sawah, pada tanggal 16 April 2011
4. Dampak Yang Timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil di