PENUTUP Jurnal Staatrechts Volume 1 No 2 | Jurnal Staatrechts Vol 1 No 2 | JURNAL HUKUM STAATRECHTS 123 265 1 SM

koalisi juga merupakan salah satu kompromi politik yang muncul dalam dilema perpaduan presidensialisme dan multipartai. Kabinet koalisi yang tidak lazim terjadi dalam tradisi presidensialisme sulit dihindari dalam situasi multipartai. Dalam sistem parlementer, power sharing dan pembentukan koalisi adalah sesuatu yang lazim terjadi. Tradisi dalam presidensialisme bahwa presiden yang memenangkan pemilu semestinya tidak perlu melakukan koalisi atau memberi konsesi kepada lawan-lawan politiknya sulit terlaksana tanpa resiko politik. Meskipun SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan Pileg dan Pilpres hanya menghasilkan minority government . Menurut Jose A. Cheibub, minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas disalah satu kamar lembaga legislatif. 39 Pasalnya, parpol pendukung awal SBY-JK Demokrat, PBB, dan PKPI hanya mendapat dukungan 68 kursi 12 di DPR. Dengan kondisi dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan. 40 Kondisi demikian menghalangi terbentuknya kabinet yang efektif atau kabinet ahli zaken kabinet. Deny Indrayana 41 menyatakan bahwa mempersiapkan kabinet efektif harus mempertimbangkan paling tidak tiga hal; integritas-moralitas-kapasitas- profesionalitas, dan akseptabilitas. Menemukan anak bangsa mumpuni di ketiga faktor itu tentu tidaklah mudah. Faktor integritas haruslah menjadi ukuran utama karena seluruh masalah bangsa 39 Jose Antonio Cheibub, 2002, “Minority Government, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies”, dalam Journal of Comparative Political Studies, No.35, hal. 287. 40 Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”, Op.Cit . 41 Denny Indrayana, Kabinet Pas Terbatas, dalam Negara Antara Ada dan Tiada, KOMPAS, Jakarta, 2008, hal.254 ini berhubungan dengan etika dan virus kanker korupsi yang sudah masuk ke seluruh sendi kehidupan bernegara. Faktor profesionalitas harus dikedepankan untuk posisi-posisi menteri yang terkait teknis keilmuan, seperti departemen kesehatan, departemen riset dan teknologi, dan sejenisnya. Faktor ketiga, akseptabilitas tidak bisa ditinggalkan. Membuat kabinet yang mayoritas-apalagi seluruhnya profesional zaken kabinet dengan mengesampingkan parpol-menyebabkan hadirnhya presiden minoritas minority president. Berkait faktor akseptabilitas, presiden SBY akan menghadapi pertarungan antara mengedepankan kepen- tingan politik vs kepentingan publik. Dalam atmosfir sistem demokrasi konstitusional yang baik, seharusnya antara kepentingan politik dan publik berjalan seiring. Itulah esensi demokrasi perwakilan. 42 Hal ini tidak terjadi dalam praktik perpaduan sistem presidensil dan multipartai selama ini.

C. PENUTUP

Perpaduan sistem presidensil dan multipartai terbukti tidak serasi dan menimbulkan permasalahan. Hal ini kemudian diperparah dengan desain UU Pileg yang membuka kran multipartai dengan rendahnya syarat ambang batas parlemen parliamentary treshold , serta ketentuan syarat pengajuan pasangan caprescawapres presidential treshold yang menjadi monopoli partai besar. Politik hukum pengangkatan dan pemberhentian menteri negara dalam praktik presidensil dan multipartai di Indonesia masih kental dengan pertimbangan politik-kepartaian ketimbang faktor kompetensi-profesionalisme. Sehinga idealnya, dalam upaya mewujudkan sistem presidensial yang efektif, hendaknya politik hukum pengangkatan menteri negara didasari faktor kompetensi- 42 Deni Indrayana, Ibid. profesionalisme, bukan semata pertimbangan politik-kepartaian. Presiden seyogianya melaksanakan secara konsisten UU No 38 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara yang melarang pengangkatan menteri yang menjabat sebagai ketua umum organisasi yang dibiayai APBNAPBD, Parpol termasuk dalam tafsir pasal ini. DAFTAR PUSTAKA BUKU Cipto, Bambang, Politik Pemerintahan Amerika , ctk pertama, Yogyakarta: Lingkaran, 2003. Duverger, Maurice, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan , Bandung: Bina Aksara, 1981. Huntington, Samuel. P. The Third Wafe Democratization in the Late Twentieth Century, Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991. Indrayana, Denny, Kabinet Pas Terbatas, dalam Negara Antara Ada dan Tiada, Jakarta, KOMPAS, 2008. Ign Ismanto, J.Kristiadi, Indra.J.Piliang…et al. Penyunting T.A Legowo, Y.Subagyo, Sutomo…et. al, Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004; Dokumentasi, Analisis dan Kritik , ctk pertama Jakarta :Kedeputian dinamika Masyarakat Menristek RI, Kerjasama dengan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, 2005. Isra, Saldi, Dinamika Ketatanegaraan Masa Transisi 2002-2005, Padang: Andalas University Press, 2006. Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: Gama Media, 1999. S. Shinta, Muh. Sabri, Presiden Tersandera; Melihat Dampak Kombinasi Sistem Presidensial-Multipartai Terhadap Relasi Presiden-DPR di Masa Pemeritahan SBY- Boediono , Jakarta: RM Book,2012. Soberg Shugart, Matthew and Carey, John, “Presidents and Assemblies”, Cambridge: Cambridge University Press, 1992. Yudha A.R., Hanta, Presidensialisme Setengah Hati; Dari Dilema ke Kompromi , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. JURNAL Cheibub, Jose Antonio, “Minority Government, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies”, dalam Journal of Comparative Political Studies, No.35, tahun 2002. Linz, Juan dan Velenzuela, Arturo, The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America , New York: John Hopkins University, 1994. Mainwaring, Scott, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination , Comparative Political Studies, Vol. 26, No.2 tahun 1993. Yuni Noor Sidqi, Sexio, Anomali Sistem Presidensial Indonesia Evaluasi Praktek Politik Parlementarian , dalam JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI. Tahun 2008. R. William Liddle and Saiful Mujani, A New Multiparty Presidential Democracy, Asian Survey. Vol XLVI, No 1, January February, Press, 2006. KORAN 1. Qodari, “Tak Berharap pada UU Pemilu”, Kompas, Senin, 3 Maret 2008. Kompas, “Pemilu Diusulkan Dibarengkan” Rabu, 12 Maret 2008. Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”, KOMPAS cetak, 27 November 2008. Syamsuddin Haris, Mendesain Koalisi Presidensial, Seputar Indonesia, 16 Desember 2008. Ikrar Nusa Bhakti, “Kabinet Profesional dan Sistem Presidensial”, Harian Solo Pos, 13 Oktober 2009. M. Hernowo, Langkah Hegemoni Parpol Besar , Kompas, Jumat, 14 Maret 2008. IMPEACHMENT PRESIDENWAKIL OLEH MPR Hotma P. Sibuea Abstract Normativisasi process positivisasi values into legal norms called legal establishment. Establishment of law made ruler state with reference to the ideal values in the destination country mixed with real factors such as the development of society, technology, international development, and so on. Therefore, the process of establishing the rule of law is a real concrete cultural processes because the law is man’s work that reflects your taste, reason and human initiative. Key words: positivism, impeachment, constitution.

A. PENDAHULUAN