koalisi juga merupakan salah satu kompromi politik yang muncul dalam dilema perpaduan
presidensialisme dan multipartai.
Kabinet koalisi yang tidak lazim terjadi dalam tradisi presidensialisme sulit dihindari
dalam situasi multipartai. Dalam sistem parlementer, power sharing dan pembentukan
koalisi adalah sesuatu yang lazim terjadi. Tradisi dalam presidensialisme bahwa presiden
yang memenangkan pemilu semestinya tidak perlu melakukan koalisi atau memberi konsesi
kepada lawan-lawan politiknya sulit terlaksana tanpa resiko politik.
Meskipun SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan Pileg dan Pilpres
hanya menghasilkan
minority government
. Menurut Jose A. Cheibub, minority government
terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam
sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas disalah satu kamar lembaga
legislatif.
39
Pasalnya, parpol pendukung awal SBY-JK Demokrat, PBB, dan PKPI hanya
mendapat dukungan 68 kursi 12 di DPR. Dengan kondisi dukungan itu, pemerintahan
koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
40
Kondisi demikian
menghalangi terbentuknya kabinet yang efektif atau kabinet
ahli zaken kabinet. Deny Indrayana
41
menyatakan bahwa mempersiapkan kabinet efektif harus mempertimbangkan paling tidak
tiga hal;
integritas-moralitas-kapasitas- profesionalitas, dan akseptabilitas. Menemukan
anak bangsa mumpuni di ketiga faktor itu tentu tidaklah mudah.
Faktor integritas haruslah menjadi ukuran utama karena seluruh masalah bangsa
39
Jose Antonio Cheibub, 2002, “Minority Government,
Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies”, dalam Journal of Comparative
Political Studies, No.35, hal. 287.
40
Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”, Op.Cit
.
41
Denny Indrayana, Kabinet Pas Terbatas, dalam Negara Antara Ada dan Tiada, KOMPAS,
Jakarta, 2008, hal.254
ini berhubungan dengan etika dan virus kanker korupsi yang sudah masuk ke seluruh sendi
kehidupan bernegara. Faktor profesionalitas harus
dikedepankan untuk
posisi-posisi menteri yang terkait teknis keilmuan, seperti
departemen kesehatan, departemen riset dan teknologi, dan sejenisnya.
Faktor ketiga, akseptabilitas tidak bisa ditinggalkan.
Membuat kabinet
yang mayoritas-apalagi
seluruhnya profesional
zaken kabinet dengan mengesampingkan parpol-menyebabkan
hadirnhya presiden
minoritas minority president. Berkait faktor akseptabilitas, presiden SBY akan menghadapi
pertarungan antara mengedepankan kepen- tingan politik vs kepentingan publik. Dalam
atmosfir sistem demokrasi konstitusional yang baik, seharusnya antara kepentingan politik
dan publik berjalan seiring. Itulah esensi
demokrasi perwakilan.
42
Hal ini tidak terjadi dalam praktik perpaduan sistem presidensil dan
multipartai selama ini.
C. PENUTUP
Perpaduan sistem presidensil dan multipartai
terbukti tidak
serasi dan
menimbulkan permasalahan. Hal ini kemudian diperparah dengan desain UU Pileg yang
membuka kran multipartai dengan rendahnya syarat ambang batas parlemen parliamentary
treshold
, serta ketentuan syarat pengajuan pasangan
caprescawapres presidential
treshold yang menjadi monopoli partai besar.
Politik hukum
pengangkatan dan
pemberhentian menteri negara dalam praktik presidensil dan multipartai di Indonesia masih
kental dengan pertimbangan politik-kepartaian ketimbang faktor kompetensi-profesionalisme.
Sehinga idealnya,
dalam upaya
mewujudkan sistem presidensial yang efektif, hendaknya
politik hukum
pengangkatan menteri negara didasari faktor kompetensi-
42
Deni Indrayana, Ibid.
profesionalisme, bukan semata pertimbangan politik-kepartaian.
Presiden seyogianya
melaksanakan secara konsisten UU No 38 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara
yang melarang pengangkatan menteri yang menjabat sebagai ketua umum organisasi
yang
dibiayai APBNAPBD,
Parpol termasuk dalam tafsir pasal ini.
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Cipto, Bambang, Politik Pemerintahan Amerika
, ctk pertama, Yogyakarta: Lingkaran, 2003.
Duverger, Maurice, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok
Penekan ,
Bandung: Bina Aksara, 1981. Huntington, Samuel. P. The Third Wafe
Democratization in the Late Twentieth Century,
Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991.
Indrayana, Denny, Kabinet Pas Terbatas, dalam Negara Antara Ada dan Tiada,
Jakarta, KOMPAS, 2008.
Ign Ismanto, J.Kristiadi, Indra.J.Piliang…et al. Penyunting T.A Legowo, Y.Subagyo,
Sutomo…et. al, Pemilihan Presiden Secara
Langsung 2004; Dokumentasi, Analisis dan Kritik
, ctk pertama Jakarta :Kedeputian
dinamika Masyarakat
Menristek RI,
Kerjasama dengan
Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, 2005.
Isra, Saldi, Dinamika Ketatanegaraan Masa
Transisi 2002-2005, Padang: Andalas University Press, 2006.
Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan,
Yogyakarta: Gama Media, 1999.
S. Shinta, Muh. Sabri, Presiden Tersandera; Melihat
Dampak Kombinasi
Sistem Presidensial-Multipartai Terhadap Relasi
Presiden-DPR di Masa Pemeritahan SBY- Boediono
, Jakarta: RM Book,2012.
Soberg Shugart, Matthew and Carey, John, “Presidents
and Assemblies”,
Cambridge: Cambridge University Press, 1992.
Yudha A.R., Hanta, Presidensialisme Setengah
Hati; Dari Dilema ke Kompromi , Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
JURNAL
Cheibub, Jose Antonio, “Minority Government, Deadlock Situations,
and the Survival of Presidential Democracies”, dalam Journal of
Comparative Political Studies, No.35, tahun 2002.
Linz, Juan dan Velenzuela, Arturo, The Failure
of Presidential Democracy: The Case of Latin America
, New York: John Hopkins University, 1994.
Mainwaring, Scott,
Presidentialism, Multipartism,
and Democracy:
The Difficult
Combination ,
Comparative Political Studies, Vol. 26, No.2 tahun 1993.
Yuni Noor Sidqi, Sexio, Anomali Sistem Presidensial
Indonesia Evaluasi
Praktek Politik
Parlementarian ,
dalam JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI. Tahun 2008.
R. William Liddle and Saiful Mujani, A New Multiparty Presidential Democracy,
Asian Survey. Vol XLVI, No 1, January February, Press, 2006.
KORAN
1. Qodari, “Tak Berharap pada UU
Pemilu”, Kompas, Senin, 3 Maret 2008.
Kompas, “Pemilu Diusulkan Dibarengkan” Rabu, 12 Maret 2008.
Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”, KOMPAS cetak, 27 November 2008.
Syamsuddin Haris, Mendesain Koalisi Presidensial,
Seputar Indonesia, 16 Desember 2008.
Ikrar Nusa Bhakti, “Kabinet Profesional dan Sistem Presidensial”, Harian Solo
Pos, 13 Oktober 2009.
M. Hernowo, Langkah Hegemoni Parpol Besar
, Kompas, Jumat, 14 Maret 2008.
IMPEACHMENT PRESIDENWAKIL OLEH MPR
Hotma P. Sibuea
Abstract
Normativisasi process positivisasi values into legal norms called legal establishment. Establishment of law made ruler state with reference to the ideal values in the destination country mixed with real
factors such as the development of society, technology, international development, and so on. Therefore, the process of establishing the rule of law is a real concrete cultural processes because the
law is man’s work that reflects your taste, reason and human initiative.
Key words: positivism, impeachment, constitution.
A. PENDAHULUAN