Konsep Relasi Jus Cogens dan Kedaulatan

satu atribut paling penting dari jus cogens. Karena hukum adat berkembang, tindakan pemerintah bisa matang dalam hukum kebiasaan internasional atau dimasukkan ke dalam perjanjian. Praktik negara, termasuk tindakan hukum dari eksekutif atau legislatif apabila melanggar prinsip-prinsip jus cogens, maka dalam pandangan hukum internasional dapat batal. Karakteristik meniadakan jus cogens juga menjelaskan penekanan pada non- derogability prinsip adat tertentu dalam hukum internasional: non-derogability sinyal bahwa aturan kebiasaan internasional adalah jus cogens . Merupakan persyaratan penting dari hukum kebiasaan adalah bahwa hal itu masuk ke dalam berbagai teori hukum dan rezim. Jus cogens tidak hanya alami cocok dengan teori hukum yang utama dan sistem hukum domestik, Jus cogens telah memainkan peran kunci dalam pengembangan tubuh unifikasi hukum internasional.

4. Konsep Relasi Jus Cogens dan Kedaulatan

Dalam konteks relasi kedaulatan negara dan HAM, hambatan sebelumnya, suatu negara tidak diperkenankan untuk campur tangan terhadap permasalahan di dalam yurisdiksi nasional negara lain. Campur tangan tersebut termasuk pula mempertanyakan tindakan atau perlakuan suatu negara terhadap warga negaranya. Melalui konvensi-kenvensi tentang HAM, campur tangan tersebut diperkenankan atas dasar kewajiban dalam Konvensi-konvensi yang berkaitan dengan HAM. Konvensi telah menjamin bahwa setiap negara taat sebagai negara Negara Pihak dalam yurisdiksinya untuk dapat dilakukan kontrol. 85 Kedaulatan negara dalam relasinya dengan jus cogens, dapat dinyatakan bahwa negara dalam batas-batas kesepakatan antara mereka sendiri, dapat berbeda atau bahkan melepaskan sama sekali dari aturan hukum internasional. Tetapi ada beberapa aturan 85 Hazel Fox, Ibid, hal.119. dimana pengurangan tidak diperkenankan. 86 Beberapa aturan hukum internasional dikatakan memiliki bobot nyata melebihi dari aturan. 87 Aturan tersebut, yang umumnya disebut sebagai norma yang harus ditaati atau jus cogens , hanya ada jika ada kategori yang berlaku umum dan ditetapkan. Namun untuk mengatakan bahwa ada berbagai kategori aturan hukum internasional serta jenis-jenis hukum internasional menurut Birney merupakan klaim yang tendensius. Ia berpendapat bahwa hukum internasional hanya sebatas dibedakan oleh sumber dan ruang lingkup aturannya, tetapi tidak pada bobot atau peringkatnya. 5. Konsep Non-Refulement dan Pengungsi Internasional Jumlah pemohon pengungsi secara internasional terus meningkat jumlahnya dan perlu mendapat perhatian serius dalam penanganannya. 88 Para pemohon status pengungsi, yang merupakan warga negara asing ketika memasuki suatu negara yang bukan merupakan warga negara tersebut, akan menghadapi hukum nasional negara yang dikunjungi. Suatu negara dalam teritorialnya memiliki kedaulatan serta dapat memaksakan hukum negaranya tersebut pada orang asing, khususnya terkait dengan keimigrasian. Namun pada sisi lain, setiap orang yang terancam jiwanya, atas nama kemanusiaan wajib diberikan perlindungan tanpa mendiskriminasikan kewarganegarannya. Terdapat suatu prinsip dalam hukum 86 Robert Jennings ed., 1996, Oppenheim’s International Law , Oxford University Press, hal.7. 87 Richard K. Birney “Peremptory Norm of International Law: Their Source, Function and Future” dalam Nicholas Onuf, 2008, International Legal Theory: Essays and Engagements , 1966-2006, Routledge Cavendish, London, hal. 51. 88 Berdasarkan Laporan “Hak Asasi Manusia dan Pengungsi”, Lembar Fakta No.20, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, yang dipublikasikan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta disebutkan sejak lembaga PBB Urusan Pengungsi, jumlahnya meningkat dari satu juta pengungsi bertambah menjadi 17,5 juta. Laporan diunduh dari www.pusham.uii.ac.id. internasional, yang kemudian dinormakan salah satunya dalam Konvensi Pengungsi yaitu “non-refoulement”. Oleh beberapa ahli norma non-refoulement dikategorikan sebagai jus cogens. 89 Kejelasan kedudukan atau status non-refoulement ini penting karena akan berdampak pada perlakuan negara-negara saat menghadapi klaim pengungsi dari bukan warga negaranya. 90 Elihu Lauterpacht dalam pandangannya norma non-refoulement yang terdapat dalam Konvensi pengungsi 1951 tidak sebatas suatu istilah yang berisi ringkasan tentang konsep yang bekaitan dengan pengungsi. Di samping itu, Lauterpacht melihat ada konteks lain. Konsep non-refoulement relevan, terutama dalam hukum yang lebih umum yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Konsep ini relevan dengan larangan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan kemanusiaan. 91

6. Konsep Parameter Kriteria Jus Cogens