5
BAB II KEBIJAKAN SEKTOR KETENAGALISTRIKAN NASIONAL
1. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN SEKTOR TENAGA LISTRIK
Selama tiga dasawarsa terakhir, penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh PT PLN Persero sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan
PKUK. Permintaan listrik yang tinggi dalam kurun waktu tersebut tidak sepenuhnya mampu dipenuhi oleh PKUK, sehingga partisipasi dari pelaku-
pelaku lain seperti koperasi, swasta dan industri sangat diperlukan untuk membangkitkan tenaga listrik baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan umum. Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta, membuka jalan bagi
usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum skala besar, baik bagi proyek yang direncanakan oleh Pemerintah maupun melalui partisipasi
swasta. Akibat krisis ekonomi yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun
1997, kemampuan Pemerintah dan swasta untuk mendanai proyek-proyek termasuk proyek kelistrikan sangat rendah, sehingga Pemerintah menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan
Swasta yang berkaitan dengan PemerintahBadan Usaha Milik Negara, maka proyek-proyek yang telah direncanakan oleh PemerintahBadan Usaha Milik
Negara maupun proyek yang diusulkan oleh swasta ditangguhkan atau dikaji kembali. Sejalan dengan makin membaiknya perekonomian Indonesia, maka
kebutuhan listrik kembali meningkat, sehingga pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keputusan
Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang PenangguhanPengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta yang berkaitan
dengan PemerintahBadan Usaha Milik Negara, maka proyek 26
Independent Power Producer
IPP yang ditunda telah selesai dinegosiasi ulang. Pada tahun 2002 telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan menurut fungsi usaha. Penyediaan tenaga listrik perlu
diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparansi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama
kepada semua pelaku usaha dan memberi manfaat yang adil dan merata kepada semua konsumen. Namun Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 15
Desember 2004 menetapkan Undang-Undang tersebut dibatalkan dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan. Dengan demikian maka usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PKUK dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan.
6 Untuk kelengkapan peraturan sektor tenaga listrik, Pemerintah pada tanggal
16 Januari 2005 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang
Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, selanjutnya untuk mendorong percepatan diversifikasi energi untuk pembangkitan tenaga listrik ke non-bahan
bakar minyak dan meningkatkan investasi swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik, maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 mengalami
perubahan kedua melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006. Dengan demikian
khusus untuk sektor ketenagalistrikan, pengaturan tentang kerjasama atau pembelian tenaga listrik, pengelolaan, pelaksanaan
pembangunan serta pengadaan usaha penyediaan tenaga listrik tunduk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 sebagaimana telah dua kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 tersebut.
2. KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK 2.1 Penyelenggaraan
Tenaga listrik sebagai salah satu infrastruktur yang menyangkut hajat hidup orang banyak, oleh karena itu maka penyediaan tenaga listrik harus dapat
terjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, harga yang wajar dan mutu yang baik. Dalam rangka terciptanya industri ketenagalistrikan yang efektif,
efisien, dan mandiri serta mewujudkan tujuan pembangunan ketenagalistrikan, maka usaha penyediaan tenaga listrik berazaskan pada peningkatan manfaat,
keadilan, efisiensi, berkelanjutan, optimasi ekonomi, kemampuan sendiri, usaha yang sehat, kelestarian fungsi lingkungan, keamanan dan keselamatan.
Penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh BUMN yang ditugasi untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Agar tenaga listrik tersedia dalam jumlah yang cukup dan merata dan untuk meningkatkan kemampuan negara sepanjang tidak merugikan kepentingan
negara maka dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lainnya berdasarkan izin usaha ketenagalistrikan Sesuai Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1985 Izin usaha Ketenagalistrikan dapat meliputi jenis usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi
tenaga listrik. Pemerintah mengalami keterbatasan finansial untuk pendanaan di sektor
ketenagalistrikan sehingga peran swasta masih sangat diharapkan, oleh karena itu maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 sebagai perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989, dimungkinkan pembelian tenaga listrik bagi
PKUK dan PIUKU dari koperasi, BUMD, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan setelah mendapat persetujuan Menteri, Gubernur, atau
BupatiWalikota sesuai kewenangannya.
7
2.2. Tarif
Kebijakan Pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai
keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya produksi yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan signal
positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan. Meskipun penetapan tarif dilakukan sesuai dengan nilai keekonomiannya,
namun khusus untuk pelanggan yang kurang mampu dengan mempertimbangkan kemampuan bayar pelanggan maka subsidi untuk tarif
listrik masih diberlakukan. Mengingat kemampuan keuangan Pemerintah yang terbatas, maka subsidi akan lebih diarahkan langsung kepada kelompok
pelanggan kurang mampu dan atau untuk pembangunan daerah perdesaan dan pembangunan daerah-daerah terpencil dengan mempertimbangkan atau
memprioritaskan perdesaandaerah dan masyarakat yang sudah layak untuk mendapatkan listrik dalam rangka menggerakkan ekonomi masyarakat.
Kebijakan tarif listrik yang tidak seragam
non-uniform tariff dimungkinkan
untuk diberlakukan di masa mendatang, hal ini berkaitan dengan perbedaan perkembangan pembangunan ketenagalistrikan dari satu wilayah dengan
wilayah lainnya dan kemampuan bayar masyarakat yang berbeda.
3. KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PRIMER UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK
Kebijakan pemanfaatan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik ditujukan agar pasokan energi primer tersebut dapat terjamin. Untuk menjaga keamanan
pasokan tersebut, maka diberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation
DMO, pemanfaatan sumber energi primer setempat, dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Kebijakan pengamanan pasokan energi primer untuk
pembangkit tenaga listrik dilakukan melalui dua sisi yaitu pada sisi pelaku usaha penyedia energi primer dan pada sisi pelaku usaha pembangkitan tenaga listrik.
Kebijakan di sisi pelaku usaha penyedia energi primer antara lain: pelaku usaha di bidang energi primer khususnya batu bara dan gas diberikan kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memasok kebutuhan energi primer bagi pembangkit tenaga listrik sesuai harga dengan nilai keekonomiannya. Kebijakan lainnya
seperti pemberian insentif dapat pula diimplementasikan. Kebijakan pemanfaatan energi primer setempat untuk pembangkit tenaga listrik
dapat terdiri dari fosil batubara lignit, gas marginal maupun non-fosil air, panas bumi, biomassa, dan lain-lain. Pemanfaatan energi primer setempat
tersebut memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan tetap memperhatikan aspek teknis, ekonomi, dan keselamatan lingkungan.