Culture Shock Kajian Pustaka .1 Komunikasi Antar Budaya

5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal Mulyana, 2007: 350. Jika antara pesan verbal dan pesan nonverbal terdapat pertentangan, kita biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal yang menunjukkan pesan yang sebenarnya karena pesan nonverbal lebih sulit untuk dikendalikan daripada pesan verbal. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65 dari komunikasi tatap-muka adalah bahasa nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian 93 dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap-muka diperoleh dari isyarat-isyarat nonverbal Mulyana, 2007: 351. Pada dasarnya bahasa verbal dan bahasa nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya. Dengan memahami perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal, individu tidak hanya akan dapat memahami beberapa pesan yang dihasilkan selama interaksi, namun juga akan dapat mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan dan nilai yang mendasarinya. Komunikasi nonverbal terkadang menunjukkan sifat dasar dari suatu budaya. Terdapat kesamaan antara budaya dan perilaku nonverbal adalah bahwa keduanya dikerjakan menurut naluri dan dipelajari. Walaupun banyak perilaku individu merupakaan bawaan seperti senyuman, gerakan, sentuhan dan kontak mata, tetapi invidu tidak lahir dengan pengetahuan mengenai dimensi komunikasi yang diasosiasikan dengan pesan nonverbal Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 297-298. Pesan-pesan nonverbal ini dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi kedalam dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu, dan sikap diam. Klasifikasi ini sejajar dengan klasifikasi John R. Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat nonverbal perilaku dan isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti ukuran ruangan dan sifat-sifat situsional lainnya Mulyana, 2007: 352-353.

2.2.2 Culture Shock

Proses individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, Universitas Sumatera Utara pola-pola budaya ditanamkan ke dalam diri individu dan menjadi kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu itu disebut enkulturasi Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138. Enkulturasi mengacu pada proses dimana budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Individu mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar bukan melalui gen. Enkulturasi terjadi melalui orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan. Individu yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi yang kedua yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana suatu nilai masuk ke dalam diri indiividu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139. Akulturasi mengacu pada proses dimana budaya seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan budaya lain. Misalnya sekelompok imigran yang tinggal di Jerman budaya tuan rumah, maka budaya kelompok imigran tersebut akan dipengaruhi oleh budaya tuan rumah. Lambat laun, nilai-nilai, cara berperilaku serta kepercayaan dari budaya tuan rumah akan menjadi bagian dari budaya kelompok imigran tersebut Lubis, 2012: 21-22. Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan dalam akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi adalah komunikasi personal yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal verbal dan nonverbal; serta lingkungan komunikasi Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140. Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu- invidu yang berinteraksi dalam pertemuan budaya tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya culture shock. Pengalaman-pengalaman Universitas Sumatera Utara komunikasi dengan kontak antarpersona secara langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock diperkenalkan oleh seorang antropolog yang bernama Kalvero Oberg pada tahun 1960. Kalvero Oberg memberikan definisi yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut : Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari- hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari. Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kejutan budaya adalah rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan tidak efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Mulyana mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174. Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri personality mal-adjustment yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru. Sedangkan menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena ia harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai budaya dan pengharapan budayanya yang lama tidak lagi sesuai. Meskipun gegar budaya sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya yang identik dengan negara asing, lingkungan budaya baru yang dimaksud di sini sebenarnya bisa Universitas Sumatera Utara juga merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan sekolah atau universitas baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat perkawinan mertua, ipar, dan sebagainya. Bennet menyebut fenomena yang diperluas ini dengan sebutan transition shock, suatu konsekuensi alamiah yang disebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan baru dan berubah dalam berbagai situasi, seperti perceraian, relokasi, kematian seseorang yang dicintai, dan perubahan nilai yang berkaitan dengan inovasi sosial yang cepat, juga kehilangan kerangka rujukan yang dikenal dalam memasuki budaya lain. Pada dasarnya gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal nilai-nilai budaya yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Individu biasanya menerima begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang juga dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, ketika individu memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsinya, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan sebagainya. Benturan- benturan persepsi itu yang kemudian menimbulkan konflik dalam diri individu, dan menyebabkannya merasa tertekan dan menderita stres. Efek stres inilah yang disebut gegar budaya Mulyana, 2007: 247-249. Ketika memasuki suatu lingkungan yang baru, seseorang tidak langsung mengalami gegar budaya. Fenomena itu dapat digambarkan dalam beberapa tahap. Peter S. Adler dalam Mulyana, 2007: 249 mengemukakan lima tahap dalam pengalaman transisional ini: kontak, disintregasi, reintegrasi, otonomi, dan independensi. Tahap kontak biasanya ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan kekagetan, karena seseorang melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa. Setelah tahap “bulan madu” ini, individu mulai memasuki tahap kedua yang ditandai dengan kebingungan dan disorientasi. Perbedaan menjadi lebih nyata ketika perilaku, nilai, dan sikap yang berbeda mengganggu realitas perseptual individu. Individu semakin jengkel, cemas, dam frustasi menghadapi perbedaan budaya itu. Lalu ia pun merasa terasing dan tidak mampu mengatasi situasi yang Universitas Sumatera Utara baru ini. Kebingungan, keterasingan, dan depresi lalu menimbulkan disintegrasi kepribadian individu ketika kebingungan mengenai identitasnya dalam skema budaya yang baru itu terus meningkat. Tahap reintegrasi, ditandai dengan penolakan atas budaya kedua. Individu menolak kemiripan dan perbedayaa budaya melalui penstereotipan, generalisasi, evaluasi, perilaku dan sikap yang serba menilai. Individu membenci apa yang dialaminya tanpa alasan yang jelas. Pada tahap transisi ini, individu akan mencari hubungan dengan orang-orang yang berasal dari budaya yang sama. Munculnya perasaan negatif ini dapat merupakan tanda akan tumbuhnya kesadaran budaya kita yang baru, kalau seseorang masih bertahan. Kembali ke budaya lama merupakan pilihan lain untuk mengatasi dilema ini. Pilihan yang diambil seseorang bergantung pada intensitas pengalamannya, daya tahan, atau interpretasi dan bimbingan yang diberikan orang-orang penting disekitarnya. Tahap otonomi dalam transisi ini ditandai dengan kepekaan budaya dan keluwesan pribadi yang meningkat, pemahaman atas budaya baru, dam kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya baru seseorang. Seseorang menjadi lebih santai dan mampu memahami orang lain secara verbal dan non verbal. Ia merasa nyaman dengan perannya sebagai orang dalam – orang luar dalam dua budaya yang berbeda. Akhirnya, menurut Adler pada tahap independensi, individu menghargai perbedaan dan kemiripan budaya, bahkan menikmatinya. Seseorang menjadi ekspresif, humoris, kreatif dan mampu mengaktualisasikan dirinya. Hal terpenting ialah ia mampu menjalani transisi lebih jauh dalam kehidupan melewati dimensi-dimensi baru dan menemukan cara-cara baru menjelajahi keberagaman manusia. Pada tahap inilah individu dapat menjadi manusia yang disebut “manusia antarbudaya” yang memahami berbagai budaya, mampu bergaul dengan orang- orang dari berbagai budaya lain, tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya sendiri. Manusia antarbudaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antarbudaya yang atribut-atribut internalnya tidak didefinisikan secara kaku, namun terus berkembang melewati parameter-parameter psikologi suatu budaya. Manusia antarbudaya dilengkapi dengan kemampuan berfungsi secara Universitas Sumatera Utara efektif dalam lebih dari satu budaya dan memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan menunjukkan empati budaya. Taft dalam Mulyana, 2007: 251 meringkas berbagai reaksi psikologis, sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi : • Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia sulit tidur, dan gangguan psikosomatik lainnya. • Perasaan kehilangan karena tercerabut dari lingkungan yang dikenal. • Penolakan individu terhadap anggota-anggota lingkungan baru. • Perasaan tak berdaya karena tidak mampu menghadapi lingkungan asing. Gegar budaya ini dalam berbagai bentuknya adalah fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua, yakni faktor internal ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan dan faktor eksternal kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki. Tidak ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak individu memasuki budaya lain. Itu bergantung pada sejauh mana perbedaan budaya yang ada dan apakah individu memiliki ciri-ciri kepribadian yang kondusif untuk mengatasi gegar budaya tersebut. Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan kita mempunyai kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan budaya bersifat ekstrem, sementara kita lembek, penakut, dan kurang percaya diri, kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri. Dalam hidupnya manusia pasti akan menghadapi komunikasi antarbudaya dimana komunikator dan komunikan berasal dari budaya yang berbeda. Ketika individu memasuki lingkungan baru berarti melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga akan berhadapan deng an orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi maka komunikasi antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam prakteknya bukanlah persoalan yang sederhana. Individu harus menyandi pesan dan menyandi balik Universitas Sumatera Utara pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi Lubis, 2010: 177. Dalam membahas mengenai culture shock harus dipahami perbedaan antara pengunjung sementara sojourners dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen settlers. Seperti yang dikatakan oleh Bochner dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 474, perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojouners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraan bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Dedy Mulyana mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat utnuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa sing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143. Reaksi antara individu yang satu dengan individu lainnya terhadap culture shock bervariasi dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain: 1. Permusuhan terhadap lingkungan yang baru 2. Perasaan disorientasi rasa kehilangan arah 3. Rasa penolakan 4. Gangguan pada lambung dan sakit kepala 5. Homesick rindu pada rumah lingkungan lama 6. Rindu pada teman dan keluarga 7. Perasaan kehilangan status dan pengaruh 8. Menarik diri Universitas Sumatera Utara 9. Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka Samovar, Porter, dan Mcdaniel, 2010: 476-477 Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock . Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 477-478 1. Fase Optimistik Optimisthic Phase, fase pertama yang digambarkan sebagai ujung sebelah kiri dalam kurva-U. Fase ini berisi kegembiraan, harapan dan euforia sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya baru. 2. Fase Masalah Kultural Cultural Problems, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala sesuatunya mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. Ini adalah periode krisis dalam culture shock 3. Fase Kesembuhan Recovery Phase, fase ketiga dimana individu mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu secara bertahap membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. 4. Fase Penyesuaian Adjustment Phase, fase terakhir yang berada pada ujung sebelah kanan atas dari kurva-U. Individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain. Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya yang berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu. Universitas Sumatera Utara Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh budaya dimana individu lahir dan berkembang. Setiap daerah memiliki kata-kata tertentu dan bisa bermakna lain di daerah tertentu. Berbagai bahasa yang dipergunakan di daerah lain sering tersisip dalam komunikasi. Karena bahasa yang dipakai itu terasa asing dan tidak pernah didengar, seseorang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara. Akibatnya komunikasi mengalami hambatan dan pembicaraan tidak komunikatif. Bila dapat teratasi secara berangsur, maka semuanya akan berjalan lancar. Dengan demikian proses hubungan antar manusia sudah dapat dimulai yang ditandai dengan munculnya landasan daya tarik manusia, karakteristik hubungan, siklus suatu hubungan dan pemeliharaan hubungan.

2.3 Penelitian Terdahulu