Tujuan dan Manfaat Penulisan Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kendala Penyidikan Tindak Pengertian Tindak Pidana

Pidana Kelalaian Culpa Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban Studi Pada Poldasu . B. Permasalahan Hal yang telah merupakan kebiasaan di dalam menulis skripsi, harus ditentukan masalah yang menjadi titik tolak dari pembahasan selanjutnya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian culpa pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban? 2. Apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas? 3. Apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana culpa dalam kecelakaan lalu lintas?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian culpa pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. 3. Untuk mengetahui kendala dalam penyidikan tindak pidana culpa dalam kecelakaan lalu lintas. Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan dalam hal ini adalah: a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum itu Universitas Sumatera Utara sendiri khususnya dalam bidang hukum pidana tentang penyidikan tindak pidana kelalaian culpa pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat apabila terjadi tindak kelalaian culpa pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

D. Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kendala Penyidikan Tindak

Pidana Kelalaian Culpa Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban Studi Pada Poldasu” , dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Penyidikan

Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang- Universitas Sumatera Utara undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut : Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1 menyebutkan: “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan “. Kemudian, pasal 6 ayat 1 penyidik adalah : 1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia, 2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 6 ayat 2 menyebutkan “syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah“. Dalam penjelasan dari pasal 6 ayat 2 KUHAP, disebutkan juga bahwa Universitas Sumatera Utara “Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum“. Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan : Pasal 2 ayat 1 : a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua polisi. b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I Golongan IIb atau yang disamakan dengan itu. Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat 2 dari pasal 2 di atas yaitu : “dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik “. Ayat 3 “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku “. Ayat 4 “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “. Universitas Sumatera Utara Ayat 5 “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia “. Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari penyidikan itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya pasal 1 butir 2 KUHAP. Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus mampu mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa yang telah terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya. Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil. Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah dinyatakan di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah memenuhi syrat-syarat tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang penyidik. Tidak diberikannya kedudukan sebagai penyidik kepada setiap polisi Universitas Sumatera Utara negara ini, di samping adanya pembagian tugas tersendiri pada dinas kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran bahwa penyidikan itu haruslah dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat kepangkatan tertentu pada dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah orang-orang yang telah memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan, baik dalam segi teknik maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya penyidik harus menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain. Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak diadakan penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu sendiri menjunjung hak asasi manusia. Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang tertentu, sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih kurangnya tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada dinas kepolisian negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari Polisi sendiri maupun dari pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam lingkungan kepolisian negara.

2. Pertanggung Jawaban Pidana

Pertanggung jawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, Universitas Sumatera Utara jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang diharuskan, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar untuk itu. 5 1 Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara temporair. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan pidana kan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab toerekeningsvatbaar bilamana pada umumnya: a. Keadaan jiwanya: 2 Tidak cacat dalam pertumbuhan gagu, idiot, imbecile dan sebagainya dan. 3 Tidak terganggu karena terkejut, hyponotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadarreflexe beweging, melindurslaapwandel, mengingau karena demamkoorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya: 1 Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya. 2 Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan, 3 Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut”. 6 Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi dalam Pasal 44 KUHP adalah 5 EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002, hal. 249. 6 Ibid., hal. 249. Universitas Sumatera Utara verstandelijke vermogens. Untuk terjemahan dari vertandelijke vermogens sengaja digunakan istilah keadaan dan kemampuan jiwa seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. 7 Pidana adalah kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, dan sebagainya. 8 Alf Ross mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung jawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan- kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea. 9 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 1006. 8 Ibid, hal. 766. 9 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 64. Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Universitas Sumatera Utara Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. 10 1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat. Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu: 2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu: a. Disengaja b. Sikap kurang hati-hati atau lalai 10 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 153. Universitas Sumatera Utara c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal intelectual factor yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan volitional factor yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 11 1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan idiote, yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus. Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut : 2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman. Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis jiwa 11 Ibid, hal. 167. Universitas Sumatera Utara pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan” opzet atau karena kelalaian culpa. Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu: 12 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. 2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. 3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari 12 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 93. Universitas Sumatera Utara kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun.” Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu: 1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum. 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum. 13 Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu: a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. b. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar 13 Moeljatno, Op.Cit. hal. 127. Universitas Sumatera Utara Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara “dasar pembenar” permisibilry dan “dasar pemaaf” ilegal execuse. Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legalboleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana. Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu: 1. Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknyaguru terhadap muridnya. 2. Hak jabatan atau pekerjaan. Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit Universitas Sumatera Utara dalam daya berpikir, daya paksa overmacht, bela paksa, lampau batas noodweerexes, perintah jabatan yang tidak sah. Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Masalah pertanggungjawaban tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.

3. KelalainCulpa

Kealpaan terdapat pada pasal 359 KUHP, yaitu : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.” Selain kealpaan dapat menyebabkan matinya korban, kealpaan juga dapat mengakibatkan luka berat yang diatur dalam pasal 360 KUHP,yaitu : 1 Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka- luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. 2 Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halanagn menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.” Luka berat yang dimaksud dalam pasal 360 KUHP disebutkan dan dijelaskan pada pasal 90 KUHP, yaitu: “Luka berat berarti : Universitas Sumatera Utara - Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. - Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian. - Kehilangan salah satu panca indera. - Mendapat cacat berat. - Menderita penyakit lumpuh. - Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. - Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.” Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang kelalaian, maka untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan kelalaian tersebut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan dan persamaan kelalaian dengan kesengajaan. Perbedaan kelalaian dengan kesengajaan adalah terletak pada unsur subyektifnya. Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang. 14 Kelakuan alpa” diartikan sebagai kelakuan yang tidak memenuhi syarat- syarat yang ditentukan oleh situasi. 15 14 J.E.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995. hal. 87. 15 Ibid, hal. 115. Moeljatno mengutip dari pendapat Langemeyer bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya keadaan batin yang tertentu, dan di lain pihak Universitas Sumatera Utara keadaan batinnya itu sendiri. 16 1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu : 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Sedangkan pendapat Simons yang dikutip oleh Moeljatno tentang kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah tidak adanya penghati-hati di samping dapat diduga-duganya akan timbul akibat. 17 1. Pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat sesuai aturan hokum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum. Pengertian kealpaan terdiri dari tiga komponen, yaitu : 2. Selanjutnya pelaku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah. 3. Akhirnya pelaku dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan lengah. 18 Menurut pasal 7 3 Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip oleh Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu: 1. Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu untuk mencegahnya. 2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya 16 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 200. 17 Ibid, hal. 201. 18 J.E.Sahetapy,Op. Cit, hal. 112. Universitas Sumatera Utara akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu. 19 Kesimpulam Moeljatno yang dikutip oleh Zainal Abidin bahwa orang yang mempunyai sikap batin culpa lata adalah : 1. Kurang memperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hokum, dan 2. Ditinjau dari segi masyarakat, ia kurang memperhatikan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat. 20 Culpa dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Pelaku telah berbuat schuld yang mencolok atau culpa lata, dan 2. Dalam hal ini pelaku telah berbuat kesalahan ringan atau culpa levis. 21 Perbedaan antara dolus dan culpa, yaitu : Dolus : 1. Perbuatan dilakukan dengan sengaja 2. Perbuatan itu disebut doleuz delicten 3. Diancam dengan hukuman lebih berat daripada culpoze delicten. Sedangkan culpa : a. Perbuatan yang dilakukan karena kelalaian kealpaan b. Perbuatan itu disebut culpose delicten atau schuld delicten c. Ancaman hukumannya adalah lebih ringan daripada doleuze delicten.

F. Metode Penelitian

19 H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 326. 20 Ibid, hal. 332. 21 Ibid, hal. 330. Universitas Sumatera Utara Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifatmateri penelitian

Sifatmateri penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 22

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, Tentang Angkutan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Undang-Undang Kepolisian Negara Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya. c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup: 1 Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan 22 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta, 2006. hal. 32. Universitas Sumatera Utara terhadap hukum primer dan sekunder. 2 Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier penunjang di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini. G . Sistematika Penulisan Bab I yang berjudul Pendahuluan adalah sebagai suatu pengantar dari pembahasan-pembahasan selanjutnya, hal mana terdiri dari 7 tujuh sub bab, yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan. Universitas Sumatera Utara Bab II Dengan judul Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Kelalaian Culpa Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban, adalah merupakan suatu pembahasan dari segi teori yang terdiri dari; Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kelalaian Culpa Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban. Bab III yang berjudul Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalamnya terdiri dari: Fungsi dan Peranan Lalu Lintas, Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, Disiplin Lalu Lintas. Bab IV yang berjudul Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalam terdiri dari Gambaran Umum Pelaksanaan Penyidikan, Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Upaya Dalam Mengatasi Kendala Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban. Bab V yang berjudul Kesimpulan dan Saran dimana di dalamnya akan diuraikan Kesimpulan dari pembahasan terdahulu serta diberikan Saran-Saran. Universitas Sumatera Utara BAB II PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN CULPA PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum. 2. Pelanggaran pidana. 3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum. 23 Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman. 24 Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan 23 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 32. 24 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991, hal. 11. 27 Universitas Sumatera Utara penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan schuld seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate. 25 1. Perbuatan yang dilarang. Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu : Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana. 2. Orang yang melakukan perbuatan dilarang. Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tindak pidana yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang. 3. Pidana yang diancamkan. Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar undang- undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai hukuman tambahan. 26 Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan “Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab Undang- 25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, hal. 62. 26 Pipin Syarifin, Op.Cit, hal. 44. Universitas Sumatera Utara undang hukum Pidana KUHP tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”. 27 Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harafia perkataan “straafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 28 Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya. Oleh karena seperti yang telah diuraikan diatas, ternyata pembentuk Undang-undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenar-nya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit” 29 Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. 30 Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran 27 Ibid., hal. 45. 28 Ibid., hal. 46. Universitas Sumatera Utara norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan umum. 31 Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Menurut ajaran Causalitas hubungan sebab akibat di sebutkan pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah , peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum. Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda. Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis hukum atau secara kriminologis. 29 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 21. 30 EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit, hal. 102. Universitas Sumatera Utara sesuatu sebab. Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan Nulla poena sine culpa 32 1. Simons . Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu untuk di pertanggung jawabkan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tidak memberikan rumusan tentang pertanggung jawaban pidana. Akan tetapi dalam literatur hukum pidana Indonesia dijumpai beberapa pengertian untuk pertanggung jawaban pidana yaitu : 33 Simons menyatakan kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan 31 Ibid., hal. 103. 32 Ibid., hal. 105. Universitas Sumatera Utara sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya, kemudian Simons menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab. 2. Van Hamel 34 3. Van Bemmelen Van Hamel menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psyhis dan kematangan yang membawa adanya kemampuan pada diri perilaku. 35

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 73 91

Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan TNI (Studi Pada Pengadilan Militer Medan)

2 80 77

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MENINGGAL (Studi Perkara Nomor 830/Pid.B(A)/2010/PN.TK)

1 9 41

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Putusan No: 51/Pid.A/2013/Pn.GnS)

1 10 55

PROSES PENANGANAN PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DI KABUPATEN KLATEN Proses Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya Seseorang di Kabupaten Klaten.

0 3 18

HALAMAN JUDUL SKRIPSI Proses Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya Seseorang di Kabupaten Klaten.

0 3 13

PENDAHULUAN Proses Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya Seseorang di Kabupaten Klaten.

0 4 19

PERTANGGUNG JAWABAN BAGI ANAK DALAM TINDAK PIDANA LALU LINTAS MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG LAIN Pertanggung Jawaban Bagi Anak Dalam Tindak Pidana Lalu Lintas Mengakibatkan Matinya Orang Lain (Studi Kasus di Kabupaten Sukoharjo).

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN - Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

0 0 25