Dramaturgi Korupsi KEKUASAAN DI ATAS LOGIKA UANG.

2

2. Dramaturgi Korupsi

Para aparatus negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak ubahnya para aktor yang sangat piawai mengkemas peran yang elok untuk dipentaskan di ”panggung depan” yang sejatinya tidak lebih dari politik pencitraan atau tebar pesona untuk merebut simpati atau dukungan publik. Di depan publik mereka senantiasa menunjukkan perilaku santun, bijak, dan sejuta citra elok lainnya untuk mengelabui agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak kentara di mata publik. Kalaupun sesekali tampak berlaku keras atau kasar, itu pun dengan alasan masih dalam konteks membela kepentingan rakyat. Untuk membangun citra positif di mata publik mereka dengan mudah dapat membayar media untuk mempublikasi keterlibatannya dalam sejumlah program atau kebijakan yang dianggap membela kepentingan rakyat. Sebaliknya di ”belakang panggung” sejatinya mereka berperan bebas sambil diam-diam merancang skenario rahasia untuk keberlangsungan pentas menipu rakyat. Terkuaknya kasus korupsi proyek Pembangunan Wisma atlet di Palembang, Pembangunan Sekolah Olahraga Nasional SON di Bukit Hambalang, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, serta pengadaan Al Quran merupakan kasus paling mutakhir dari sederetan kasus yang mengindikasikan adanya skenario para elite untuk menggerogoti uang negara di balik kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan. Ketika skenario korupsi yang dimainkan mulai terbongkar, skenario-skenario baru pun disusun untuk menyelamatkan diri dan sedapat mungkin mempertahankan citra positif di mata publik. Di antaranya dengan memanipulasi penampilan dengan mengenakan atribut- atribut yang melambangkan keimanan seakan menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman yang menjadi korban dari habitus birokrat yang korup. Lebih parah lagi jika sistem penegakan hukum juga terjebak dalam skenario permainan dramaturgi, maka langkah pemberantasan korupsi pun bisa menjadi sebatas pentas di ”panggung depan”. sementara di balik ”panggung” para tahanan koruptor dengan mudah menikmati berbagai fasilitas dan kenyamanan, termasuk pelesiran ke luar negeri. Dramaturgi yang berkepanjangan dan tak kunjung berakhir dapat mengundang frustasi dan ketidakpercayaan rakyat terhadap penegakan hukum. Akumulasi frustasi dan ketidakpercayaan yang kian memuncak berpotensi bagi lahirnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang bersifat nativistik. 3

3. Logika Uang dalam Hedonisme Penguasa dan Pengusaha