4 sebagai penguasa sekaligus juga dimanfaatkan sebagai pengusaha untuk memperkaya diri
melalui sejumlah perusahaan yang dibangun dan dijalankan dengan relasi primordial. Akibatnya, berbagai proses tender proyek pembangunan sulit terhindar dari praktik-praktik
kolusi, korupsi, dan nepotisme. Jika di kalangan elite penguasa terdapat hasrat berusaha, maka di kalangan elite
pengusaha pun terdapat hasrat berkuasa. Bagi mereka, kenikmatan hidup bergelimang harta belum terasa lengkap sebelum merasakan nikmatnya tahta. Dengan dukungan dana yang
berlimpah mereka dengan mudah dapat ”membeli” kekuasaan. Kekuasaan baik di bidang politik maupun ekonomi telah menjadi bagian dari gaya hidup hedonis kelompok elite yang
diraih dengan segala cara. Akibatnya, negeri ini pun dipimpin oleh kelompok oligarki ”pengusaha yang berkusa” dan ”penguasa yang berusaha” yang cenderung mencari
kenikmatan pribadi di atas penderitaan rakyatnya. Libido kapitalisme kini juga telah merambah berbagai bidang melalui komodifikasi
berbagai macam objek, seperti pendidikan, kesehatan, peradilan, lingkungan, bahkan juga agama juga dijadikan arena untuk mencari untung. Melalui komodifikasi, berbagai objek,
kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas dengan tujuan utaman untuk meraup keuntungan ekonomi yang maksimal. Akibatnya, segala urusan diwarnai logika uang yang
pada gilirannya mentransformasikan semangat ”membela yang benar” menjadi ”membela yang bayar”. Komodifikasi di bidang pendidikan, misalnya, telah melahirkan ”rezim
pe ndidikan” yang membuat ”orang miskin dilarang bersekolah” atau komodifikasi di bidang
kesehatan telah melahirkan ”rezim medis” yang membuat ”orang miskin dilarang sakit”, serta komodifikasi pada bidang-bidang lainnya yang pada dasarnya dilandasi logika uang.
4. Logika Uang dan Integritas
Maraknya kasus korupsi yang terjadi di sejumlah lembaga negara merupakan potret dari betapa rendahnya integritas para aparatus negara, padahal aspek integritas merupakan
salah satu dari tiga komponen kualifikasi yang diharapkan mampu mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat. Ketiga komponen kualifikasi tersebut
adalah : 1 kompetensi, yaitu kemampuan dan keahlian dalam bekerja; 2 konstituensi, yaitu jumlah orang-orang yang memilih seseorang yang mewakili mereka; dan 3 integritas, yaitu
kesadaran seorang politisi tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar, karena jika dilanggar maka ia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya
sendiri Kleden, 2004 : 3-4.
5 Dalam tataran ideal, para aparatus negara, baik di bidang legeslatif, eksekutif, maupun
yudikatif, haruslah memenuhi standar dari tiga komponen kualifikasi tersebut. Artinya, seorang legislator, misalnya, di samping harus cerdas dan memiliki kemampuan yang
memadai dalam basis kompetensi tertentu, juga merupakan figur pilihan rakyat yang dilegitimasi dengan perolehan dukungan suara yang memadai, serta menunjukkan dedikasi
dan moralitas politik yang tinggi. Hal ini menjadi penting terkait tugas legislator dalam menyusun berbagai peraturan kenegaraan, selain dituntut intelegensi, juga harus benar-benar
merupakan representasi rakyat, serta memiliki integritas moral yang tinggi. Tanpa semua itu peraturan dan perundang-undangan yang disusunnya dapat diperalat untuk melanggengkan
ketidakadilan dan mengotori kesucian tugas yang diembannya. Berkaitan dengan pentingnya intelegensi dan integritas moral politik, budayawan
Mangunwijaya 1999 : 79, menyatakan bahwa demokrasi hanya dapat datang dari bangsa yang memiliki kebiasaan berpikir berdasarkan logika rasional. Menurutnya, suatu nasion
demokrasi adalah nasion demokrasi yang cerdas serta mampu berelasi secara fair play. Namun kini, demokrasi telah tercemar oleh logika uang dan kekuasaan yang mengedepankan
relasi transaksional. Meskipun dalam modus vivendi demokrasi mengedepankan aspek kompetensi,
konstituensi, dan integritas sebagai modal utama bagi para calon aparatus negara, namun dewasa ini logika uang telah menjadikan modal finansial sebagai modal yang paling utama.
Implikasi dari hal ini menyebabkan orang-orang yang cerdas dengan integritas moral yang tinggi, namun tidak didukung modal finansial yang kuat, akan sulit untuk mencapai posisi
strategis. Sebaliknya, mereka yang culas dengan integritas moral yang rendah, namun didukung modal finansial yang kuat, memiliki peluang lebih besar untuk mencapai posisi
strategis. Berkembangnya logika uang membuat demokrasi yang kini tengah diterapkan dan
diperjuangkan negara-negara di berbagai belahan dunia bukanlah merupakan sistem politik tanpa cela. Jauh sebelumnya Socrates bahkan cenderung menolaknya, karena menurut filosof
ini demokrasi memberi peluang bagi orang-orang yang dungu yang secara kebetulan mendapat dukungan suara untuk memerintah Kleden, 2004. Socrates tentulah memahami
dengan baik bahwa rakyat tidaklah selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya,
orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang
6 berkompeten untuk membela nasib mereka, melainkan orang-orang yang bersedia membayar
suara mereka. Kini bukan lagi menjadi rahasia umum, jika posisi-posisi strategis bukannya diraih
atas dasar kemampuan kompetensi dan integritas moral yang tinggi, melainkan atas dasar tumpukan uang. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika berapa lembar cek pelawat yang
harus dibagi-bagikan untuk meraih posisi gubernur bank, berapa kardus dollar harus disiapkan untuk menjadi ketua umum partai. Hal serupa juga juga terjadi dalam proses
rekrutmen calon pegawai negeri sipil, polisi, bahkan TKI. Dengan demikian, logika uang seakan menjadikan fit and proper test sebagai uji kemampuan dan kepatuhan untuk
membayar.
5. Transformasi Budaya Malu ke Budaya Pongah