Logika Uang dalam Hedonisme Penguasa dan Pengusaha

3

3. Logika Uang dalam Hedonisme Penguasa dan Pengusaha

Hal yang menarik untuk dicermati dalam fenomena korupsi dewasa ini adalah mereka yang terlibat korupsi adalah kalangan elite aparatus negara yang terdidik dan memiliki penghasilan yang cukup memadai pula. Motif korupsi pada kelompok elite ini jelas-jelas bukanlah untuk sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan hidup melainkan lebih bertujuan untuk memenuhi hasrat keinginan mereka yang tiada batas. Akibatnya, jabatan dan kekuasaan yang semestinya identik dengan tugas dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dijadikan arena penyemaian gaya hidup hedonis, yakni gaya hidup yang lebih mengedepankan kenikmatan duniawi pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat banyak. Bagi kaum hedonis, perburuan kedudukan atau jabatan bukanlah terdorong oleh amanat penderitaan rakyat, melainkan untuk melampiaskan hasrat kekuasaan, karena di dalamnya mereka memperoleh kenikmatan sebagai kelas penguasa the ruling class yang memiliki kewenangan untuk memerintah atau mengatur kelas yang dikuasainya the ruled class. Dengan memanfaatkan kekuasaannya mereka dengan mudah melakukan praktik abuse of power, yakni tindakan-tindakan untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan instrumen-instrumen kekuasaan yang melekat padanya termasuk membangun kolaborasi dengan elite pengusaha korporat sebagai sponsor politik. Melalui relasi transaksional, kolaborasi antara birokrat dan korporat sangat berpotensi melahirkan kleptokrasi dalam bentuk tindakan korupsi yang dilakukan oleh kalangan birokrat dan tindakan merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh kalangan korporat. Dengan demikian, antara penguasa dan pengusaha akhirnya berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan-jahat mereka. Dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para elite kekuasaan di negeri ini juga mengindisikasikan bahwa para elite penguasa sejatinya adalah pengusaha yang memanfaatkan kekuasaan untuk melampiaskan libido kapitalisnya guna memaksimalisasi laba. Dengan demikian, logika kekuasaan bukan lagi logika pengabdian, melainkan logika dalam lembaran mata uang, sehingga tidaklah mengherankan jika berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan lebih banyak dideterminasi oleh logika uang. Berkembangnya logika uang tak terlepas dari pengaruh kapitalisme Global. Ideologi kapitalis yang identik dengan semangat mengejar keuntungan tiada batas tidak hanya dianut oleh kalangan korporat, tapi juga telah menyusup pada kalangan birokrat. Bagi mereka, nikmatnya tahta belum terasa sempurna tanpa dukungan harta yang melimpah. Kesempatan 4 sebagai penguasa sekaligus juga dimanfaatkan sebagai pengusaha untuk memperkaya diri melalui sejumlah perusahaan yang dibangun dan dijalankan dengan relasi primordial. Akibatnya, berbagai proses tender proyek pembangunan sulit terhindar dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Jika di kalangan elite penguasa terdapat hasrat berusaha, maka di kalangan elite pengusaha pun terdapat hasrat berkuasa. Bagi mereka, kenikmatan hidup bergelimang harta belum terasa lengkap sebelum merasakan nikmatnya tahta. Dengan dukungan dana yang berlimpah mereka dengan mudah dapat ”membeli” kekuasaan. Kekuasaan baik di bidang politik maupun ekonomi telah menjadi bagian dari gaya hidup hedonis kelompok elite yang diraih dengan segala cara. Akibatnya, negeri ini pun dipimpin oleh kelompok oligarki ”pengusaha yang berkusa” dan ”penguasa yang berusaha” yang cenderung mencari kenikmatan pribadi di atas penderitaan rakyatnya. Libido kapitalisme kini juga telah merambah berbagai bidang melalui komodifikasi berbagai macam objek, seperti pendidikan, kesehatan, peradilan, lingkungan, bahkan juga agama juga dijadikan arena untuk mencari untung. Melalui komodifikasi, berbagai objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas dengan tujuan utaman untuk meraup keuntungan ekonomi yang maksimal. Akibatnya, segala urusan diwarnai logika uang yang pada gilirannya mentransformasikan semangat ”membela yang benar” menjadi ”membela yang bayar”. Komodifikasi di bidang pendidikan, misalnya, telah melahirkan ”rezim pe ndidikan” yang membuat ”orang miskin dilarang bersekolah” atau komodifikasi di bidang kesehatan telah melahirkan ”rezim medis” yang membuat ”orang miskin dilarang sakit”, serta komodifikasi pada bidang-bidang lainnya yang pada dasarnya dilandasi logika uang.

4. Logika Uang dan Integritas