xi
BAB I PENDAHULUAN
Masyarakat hukum adat atau juga persekutuan hukum adat adalah merupakan lembaga adat yang ada jauh sebelum Negara Indonesia ini lahir.
Masyarakat hukum adat merupakan warisan dari para leluhur dan masih dipelihara sampai sekarang. Mengenai keberadaannya diakui oleh negara berdasarkan Pasal 18
B ayat 2 UUD Negara RI 1945. Masyarakat hukum adat tersebut disebut dengan berbagai nama di Indonesia seperti nagari di Sumatra Barat, hutanagori di Sumatra
Utara, gampong di Aceh, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, pekon di Lampung, dan desa adat di Bali
1
. Desa adat di Bali, diubah namanya menjadi desa pakraman dengan
Peraturan Daerah No. 3 tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah No.3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
Desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat mempunyai otonomi, yaitu kewenangan untuk mengatur atau mengurus rumah tangganya sendiri, kewenangan
tersebut lahir dari desa adat tersebut dan tidak dari kekuasaan yang lebih tinggi karena desa adat tidak berada di bawah pemerintahan desa dinas. Wirta Griadhi
menjabarkan bahwa ada tiga jenis kekuasaan yang melekat pada otonomi yaitu : a. kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan hukum yang mesti diperhatikan
dan ditaati oleh setiap bagian dari masyarakat yang tersebut;
1
I Wayan Koster, “Desa Adat Mendapat Kepastian Hukum”, Bali Post, Tanggal 6 Januari 2014, h.23
xii b. kekuasaan untuk menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat dalam
rangka kesejahteraan warga; c. kekuasaan untuk menyelesaian sengketa yang terjadi di kalangan warga
2
. Berkaitan dengan tiga jenis kekuasaan seperti tersebut di atas, dimana
kekuasaan pertama selaras dengan pandangan Kusumadi Pujosewoyo, yang mengatakan bahwa masyarakat hukum adalah masyarakat yang menerapkan aturan
hukumnya sendiri dan tunduk sendiri pada aturan yang dibuatnya
3
. Terkait dengan aturan hukum yang dibuat sendiri oleh masyarakat hukum dalam hal ini desa
pakraman tersurat dalam bentuk awig-awig hukum adat tertulis. Awig-awig ini yang dipakai sebagai pedoman oleh warga desa dalam bertingkah laku, baik dalam
hubungannya sesama warga, dengan lingkungan alam dan yang paling penting dalam hubungannya dengan Tuhan
Tri Hita Karana.
Kekuasaan yang kedua, yakni yang berkaitan dengan penyelenggaraan tata kehidupan bermasyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan warga dilandasi oleh
corak kehidupan masyarakat adat yang sosial religius. Dalam kaitan inilah dapat dilihat arti pentingnya memperdayakan sumber daya alam yang menjadi penghasilan
bagi kehidupan masyarakat hukum adat. Kekuasaan ketiga, yaitu untuk menyelesaikan sengketa merupakan
perwujudan dari kekuasaan peradilan yang dimiliki desa adat, yakni kekuasaan untuk mewujudkan keadilan dan kepatutan apabila terjadi sengketa di kalangan warga desa.
2
I Ketut Wirta Griadhi, “Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”, Kertha Patrika, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, 1977, h. 50.
3
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia , Penerbit Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 1967, h. 32.
xiii Ketiga kekuasaan yang ada pada desa adat tersebut yang merupakan
otonomi desa adat, persoalannya menjadi penting manakala otonomi desa adat tersebut dikaitkan dalam lingkup bernegara, dalam hal ini dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut. Di Bali terdapat dua jenis desa yakni desa adat dan desa dinas. Kedua desa
tersebut mempunyai wewenang dan fungsi masing-masing. Sekalipun demikian ada kalanya kedua desa tersebut bersinergi dalam menjalankan fungsinya seperti misalnya
dalam mendata penduduk pendatang. Hal yang humanis tersebut nampaknya tidak akan dapat berjalan kedepannya terkait berlakunya Undang-Undang Desa tersebut.
Hal mana dikarenakan dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 menentukan harus memilih salah satu antara desa dinas dan desa adat pakraman
untuk didaptarkan. Terkait hal tersebut maka menjadi penting untuk melakukan penelitian
mengenai sikap masyarakat adat di Bali dan hal-hal yang timbul sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tersebut.
xiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA