xiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Desa pakraman adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
kahyangan tiga
atau
kahyangan desa
yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri Pasal 1 angka 4 Perda No. 3 Tahun
2003. Desa pakraman tersebut lebih dikenal dengan sebutan desa adat merupakan
satu kesatuan masyarakat hukum yang dilandasi aturan-aturan hukum adat yang dibentuk dan ditetapkan oleh masyarakat hukum itu sendiri. Desa pakraman
merupakan satu pergaulan hidup yang bertindak sebagai satu kesatuan baik ke dalam maupun ke luar, memiliki tata susunan yang tetap, memiliki pengurus dan harta
kekayaan baik yang bersifat duniawi maupun gaib, dan tidak ada satu keinginanpun dari warga untuk membubarkan kelompoknya itu karena dipandangnya sebagai satu
hal yang bersifat kodrati demikian diungkap oleh Ter Haar
4
, hal yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Soepomo
5
. Landasan filosofi desa pakraman bersumber pada ajaran Agama Hindu yang
disebut
tri hita karana
yang dimanifestasikan dalam keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam lingkunan, dan hubungan
4
Ter Haar, Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Subakti Pusponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, h. 54.
5
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, h. 43.
xv manusia dengan sesamanya. Keharmonisan hubungan itu diatur dalam awig-awig.
Ciri khas sebuah desa pakraman di Bali ditandai dengan adanya tempat pemujaan yang disebut Kahyangan tigaKahyangan desa yang meliputi : Pura Desa, Pura Puseh
dan Pura Dalem. Ini merupakan perwujudan hubungan manusia dengan Tuhan, sementara hubungan manusia dengan lingkungan diwujudkan dalam aturan
kewajiban warga memlihara lingkungan yang dikenal dengan palemahan. Di samping itu dalam hubungan antar sesama diketahui dari adanya aturan tentang pasuka-dukan
yaitu hubungan sesama warga dalam suka maupun duka. Semua aturan yang ada disertai dengan sanksi manakala warga tidak mematuhinya, sanksi mana disebut
sanksi adat. Penjatuhan sanksi oleh desa pakraman sejalan dengan otonomi desa yang dimilikinya.
Desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat yang ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, bahkan setelah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia NKRI keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat tetap diakui.
Pasal 18 B ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghomati kaesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Pengaturan lebih lanjut tentang masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam U U No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dalam U U ini masyarakat
hukum adat disebut dengan nama desa sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12, dinyatakan bahwa: Desa adat atau yang disebut nama lain selanjutnya yang
xvi disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Dengan diakuinya kesatuan masyarakat hukum sebagai desa, ini berarti
dalam pemerintahan negara terdapat dua jenis desa yaitu desa yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat dan desa yang dibentuk oleh pemerintah atau negara. Kondisi
tersebut, sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Pada penjelasan Pasal 6 dari Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa dalam satu
wilayah hanya satu desa, oleh karena itu maka harus memilih antara desa adat dan desa dinas untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan,
duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam satu wilayah. Ini berarti kedepannya hanya ada satu desa yakni Desa Dinas atau Desa Adat berdasarkan
Undang-Undang Desa tersebut. Ketentuan penjelasan 6 tersebut dapat berpengaruh terhadap sikap masyarakat adat di Bali. Berkenaan dengan hal maka penelitian
tentang sikap masyarakat adat di Bali menjadi penting untuk dilakukan.
xvii
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN