Cerpen dan Sastra Sufistik

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Cerpen dan Sastra Sufistik

Cerita pendek merupakan karya prosa imajiner yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dan interaksinya dengan sesamanya dan lingkungannya. Kehidupan yang ditampilkan itu merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungan yang ada di sekitarnya itu. Bahkan, Wellek 1989:135 memandang bahwa karya sastra, termasuk cerpen tentu saja, dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat. Karenanya, sejarah sastra dapat dianggap sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Pada tahun 1970-an muncul karya-karya sastra yang berwawasan estetika dan kesaadaran baru dalam sastra Indonesia. Abdul Hadi WM, dalam wawancara dengan wartawan Minggu Pagi , 31 Oktober 1987 memandang bahwa karya-karya sastra yang ditulis pada tahun 1970-an itu memiliki benang merah yang jelas dalam wawasan estetika, pandangan hidup, daerah penjelajahan, dan kesadaran zaman yang didominasi rasionalisme, nasionalisme, dan teknologi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karya sastra yang dijumpai antihero, menggarap arus kesadaran dalam pelakunya, tidak mempedulikan alur, dan mengembalikan realitas sastra kepada realitas imajiner. Dunia transenden digarap kembali sehingga muncul karya-karya sufistik atau ketasawufan dengan penghayatan baru. Di dalam kesusastraan Melayu, sastra tasawuf sudah dirintis oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Pasai pada abad ke-16 di Aceh, yang dipengaruhi ajaran Wahdat al- Wujud Ibnu Arabi dari sastra Arab. Ajaran ini cenderung Pantheistis dan menemukan bumi suburnya di dalam sastra sufi Jawa Simuh, 1994:14. Abdul Hadi WM 1995:12 menganggap Hamzah Fansuri sebagai peletak dasar puitika dan estetia Melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruhnya masih terlihat sampai abad ke-20, khususnya dalam karya-karya penyair Angkatan Pujangga Baru. Bahkan, pengaruh itu juga terlihat pada sastrawan Angkatan 70-an, seperti Danarto. Cerpen-cerpen Danarto, dikatakan Hadi 1999:23 sebagai karya yang memiliki kecenderungan sufistik. Dikatakannya demikian, karena pengalaman yang dipaparkannya merupakan pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transendental. Sumber ilham karya sufistik ini adalah tasawuf dan karya penulis sufi. Sebagaimana sastra sufi, sastra sufistik juga sering menggunakan sistem pencitraan dan perlambangan khas sastra sufi, terkadang juga menggunakan perlambang ciptaan sastrawannya sendiri. Sastra sufitik menurutnya dapat disebut juga sebagai sastra transendental. HB Jassin 1991:38 mengistilahkan karya seperti ini dengan mistisisme. Maksudnya, karya itu menjelmakan perasaan kedekatan dengan wujud keilahian; atau kebenaran Yang Paling Akhir, persatuan dengan Yang Mahatinggi. Pengarang, dalam hal ini, melukiskan pengalamannya dalam mencari dan merasakan napas ketuhanan dan keabadian. Sastra sufistik ini berbeda dari sastra sufi. Sastra sufi, selain ditulis oleh para sufi, isinya berupa doktrin atau ajaran tasawuf. Tema sastra sufi, di samping masalah cinta Ilahi, makrifat, tauhid, dan persatuan dengan kehendak Tuhan, juga kaya akan tema sosial dan moral. Dalam hal pengucapan, para sufi biasanya menggunakan sistem pencitraan dan perlambangan khas sastra sufi Hadi, 1993:8 —9. Sementara Nicholson 1978:98 berpendapat bahwa sastra tasawuf dalam hal-hal tertentu bersifat figuratif, karena dengan cara itulah para sufi dapat menyembunyikan atau merahasiakan ajarannya yang sebenarnya hanya boleh diketahui oleh dirinya sendiri. Selain itu, dengan citra itu mereka dapat menuangkan pengalaman kerohaniannya. Lambang yang digunakan bermacam- macam, baik lambang yang umum seperti mabuk anggur, kekasih laut, burung, perahu, dan cermin, maupun lambang yang sesuai dengan pengarangnya. Isinya berupa masalah- masalah ketasawufan sehingga karya ini bersifat ideologis. Oleh sebab itu, sastra tasawuf ini diguakan sebagai wadah menuangkan ajaran tasawuf atau ideologi kaum sufi. Menurut pandangan Simuh 1992:6 sastra sufi lahir dari kebutuhan untuk menyebarkan ajaran tasawuf sehingga sebagian ajaran tasawuf itu diungkapkan melalui karya sastra. Pemerhati sastra menaruh perhatian besar terhadap karya-karya Danarto. Hal ini terlihat dari beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Misalnya saja, Godlob diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dengan judul Abacadabra . Kumpulan cerpennya Berhala mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1990. Teeuw 1998:199, menempatkan Danarto sebagai pengarang Indonesia mutakhir yan paling berhasil dalam pembaharuan terhadap prosa Indonesia, khususnya dalam hal teknik fiksi, di samping dalam hal isinya. Bahkan, Burton Raffel dalam The Asian Wall Street Journal , 28 Februari 1980 menulis, “Mungkin yang paling menarik adalah eksperimentalis Danarto. Cerpen-cerpennya mempesona dan melebihi cerpen-cerpen terbaik di Eropa maupun Amerika dewasa ini” Danarto, 1982:kulit belakang. Sampai tahun 1993, ada empat buku kumpulan cerpen yang ditulis Danarto. Keempat buku kumpulan cerpen itu adalah Godlob 1975, Adam Ma’rifat 1982, Berhala 1987, dan Gergasi 1993. Danarto juga menulis catatan harian berjudul Orang Jawa Naik Haji dan diterbitkan tahun 1983. Pada tahun 1986, ada dua buah kumpulan esai diterbitkannya, yaitu Gerak-gerik Allah dan Begitu Ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu . Pada tahun 1999, ia menerbitkan novel perdananya berjudul Asmaraloka. Selain itu, masih banyak karyanya yang tersebar di berbagai surat kabar dan majalah, seperti Republika, Kompas, Horison , dan Zaman , baik yang berbentuk puisi, esai, maupun cerpen. Kumpulan cerpen Gergasi , yang merupakan objek penelitian ini, memuat tiga belas cerpen, yaitu 1 “Rembulan di Dasar Kolam”, 2 “Allah Berkenan Mengejawantah Lusa”, 3 “Bulan Sepotong Semangka”, 4 Dinding Ayah”, 5 Dinding Waktu”, 6 Matahari Mabuk”, 7 “Gaharu”, 8 “Bulan Melahap Madu”, 9 “Menu”, 10 “Semak Belukar”, 11 “Kolam Merah”, dan 12 “Gandasturi”. Ada perbedaan tajam antara kumpulan cerpen Godlob dan Adam Ma’rifat dengan Berhala dan Gergasi . Perbedaan itu, setidaknya, dapat dilihat dari tokoh dan peristiwa yang dikemukakan. Pada Godlob dan Adam Ma’rifat, sebagian besar tokohnya merupakan tokoh yang sulit dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya dengan peristiwa yang dikemukakan. Tampaknya, kenyataan dalam karya sastra betul- betul dikembalikan pengarang kepada kenyataan yang imajiner. Dalam Berhala dan Gergasi kesan seperti ini tidak begitu tampak. Setidaknya, tokoh dan peristiwa yang dikemukakan pengarangnya banyak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, te tapi kesan taklogis tetap terasa juga. Dalam cerpen “Anakmu Bukanlah Anakmu, Ujar Gibran” Danarto, 1996:63—78, misalnya, ditokohi Niken, seorang mahasiswa berotak cerdas, aktivis pembela kebenaran dan keadilan, pejuang rakyat kecil, dianggap pemerintah Orde Baru sebagai pemberontak, sehingga akhir cerita ia diculik. Realistik, aktual, dan kontekstual. Akan tetapi, kesan taklogis tetap juga ada, karena cerita ini diwarnai peristiwa atau kejadian-kejadian yang luar biasa dan tidak masuk akal yang dialami tokoh. Perilaku sufistik ada juga dalam cerpen ini, yaitu makam cinta . Tampaknya dalam cerpen ini, Danarto mengambil peristiwa sehari-hari yang aktual, lalu mengomentarinya dan menghubungkannya dengan dunia transendental, dunia tasawuf. Peristiwa lain yang juga terungkap dalam cerpen Berhala ini adalah korupsi, pencurian mayat, penembakan misterius, gali, dan gejala paranormal. Oleh sebab itu, Kayam 1996:xiv-xx memandang Danarto telah meninggalkan dunia sonya ruri, yang tidak riil tetapi tidak sepenuhnya abstrak. Walaupun demikian, ia tidak sepenuhnya meninggalkannya. Warna baru yang ditampilkan Danarto dalam cerpen Berhala dan Gergasi ini adalah pemakaian bahasa yang lugas dan alur cerita yang lebih linier. Apa yang tampak pada Berhala , berlanjut pada kumpulan cerpen berikutnya, yaitu Gergasi . Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” Danarto, 1996:1—14, misalnya, berkisah tentang seorang istri yang selalu dimarahi dan dituduh suaminya memata-matainya. Setelah diselidiki salah seorang anaknya, yaitu Bagas, ternyata si Ibu berhasil menguasai ruang dan waktu. Di mobil ibunya, Bagas menemukan puisi berjudul “Doa Rabiah dari Basrah”. Ia pun berkesimpulan bahwa ibunya berhasil memiliki kemampuan itu karena mempelajari puisi Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang terkenal itu. Tokoh dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini adalah tokoh yang biasa dijumai di dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang dikisahkan pun biasa, seorang suami yang memiliki istri simpanan, tetapi kesan taklogis terasa juga. Tokoh Ibu dalam cerpen ini dikisahkan memiliki kemampuan menguasai ruang dan waktu, salah satu kemampuan yang dimiliki oleh seorang sufi. Cerpen lain dari Gergasi ini yang juga memperlihatkan muatan tasawuf adalah “Allah Berkenan Mengejawantah Lusa” Danarto, 1996:15—23. Kelompok pohonan, yang dianggap masyarakat sedang bermusyawarah, telah menyedot perhatian masyarakat untuk menyaksikannya. Hal ini menjadikan tempat yang semula sepi menjadi ramai dan sekaligus membuka peluang usaha bagi penduduk sekitar tempat itu. Setelah waktu yang ditentukan tiba, yaitu sesudah waktu ashar, pohon-pohon itu meneriakkan ketiadaannya . Yang ada hanyalah Yang Mutlak Allah. Penyatuan diri makhluk dengan Khalik mengakhiri cerita ini. Cerpen berjudul “Dinding Ayah” Danarto, 1996:40—58 jika dilihat sekilas tidak memperlihatkan perilaku sufistik di dalamnya. Akan tetapi, bila dicermati, muatan tasawuf itu ada. Tahapannya memang belum sampai pada penyatuan makhluk dengan Tuhan, tetapi baru pada kezuhudan , yaitu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang haram. Cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang pengusaha kaya yang sangat berambisi menguasai semua sektor perdagangan dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Hal ini menimbulkan kecemasan, bukan saja dari para pesaingnya, tetapi juga bagi anak-istrinya sendiri. Oleh sebab itu, ada beberapa orang, anaknya sendiri merasa tidak berbahagia menyaksikan kekayaan usahawan itu, bahkan mereka tidak mau menikmatinya karena memandang bahwa semua itu diperoleh dengan cara yang tidak halal. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan Danarto dalam kumpulan cerpen berjudul Gergasi ini amat kontekstual dan aktual. Walaupun demikian, peristiwa-peristiwa ini dihadirkannya dengan menghubungkannya dengan dunia transendental, dunia tasawuf. Dengan demikian, dimensi soasial dan transendental benar-benar disatukannya. Bagi Danarto, karya seni memang merupakan alat untuk menerima dan memberi enlightment Tjitro Subroto, 1986:8. Maksudnya, melalui karyanya, ia dapat memberikan pencerahan kepada pembacanya. Dalam wawancara dengan Abdul Hadi W.M di harian Berita Buana , 14 Agustus 1984, Danarto mengemukakan bahwa kata-kata yang digunakannya merupakan sarana bagi penglihatan batinnya. Dengan kata-kata, ia harus mampu menjadikan yang abstrak berdaging, dan yang ‘tersirat’ menyebabkan pencerahan. Semua itu hanya dapat dicapai dengan kekuatan kesadaran ‘bumi yang berenang di langit’. Kecerahan ini diperoleh pengarang karena ia terus-menerus melakukan hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga ia mencapai persatuan rahasia unio mystica dengan-Nya Hadi, 1999:17. Tampaknya, Danarto mendahului menjawab tantangan Syukur 1999:vi, yaitu agar di abad XXI tasawuf lebih bersifat pragmatik, empirik, dan fungsional. Tasawuf hendaknya mempunyai tanggung jawab yang nyata antara yang bersifat spiritual, psikologi, politik, moral intelektual, sosial, dan ekonomi. Dengan sendirinya, tasawuf tidak eksklusif melainkan inklusif di dalam aspek kehidupan. Ini antara lain segi menarik dari kumpulan cerpen Gergasi ini untuk diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini. Penelitian terhadap cerpen-cerpen Danarto banyak dilakukan. Di antaranya dilakukan oleh Siti Sundari Tjitrosubono dan kawan-kawan 1985 dan Th, Sri Rahayu Prihatmi 1989. Tjitrosubono meneliti struktur cerpen-cerpen Danarto yang ditulis dalam kurun waktu tahun 1967 —1977. Sementara Prihatmi meneliti cerpen-cerpen dalam kedua kumpulan cerpen Danarto, yaitu Godlob dan Adam Ma’rifat. Penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa kedua kumpulan cerpen yang diteliti itu tergolong cerpen yang nonrealis, yang menghadirkan dunia nyata dan dunia tidak nyata sekaligus melalui pertemuan terhadap unsur-unsur strukturnya, yaitu alur, tokoh, dan latarnya. Penelitian terhadap sufi dan sastra sufstik juga banyak dilakukan, baik terhadap karya sastra Melayu, karya sastra Jawa, maupun karya sastra Indonesia modern. Di antaranya P.J Zoetmulder 1990, Purwadaksi 1992, Vladimir I. Braginsky 1993, Abdul Hadi W.M. 1995, Simuh 1995, dan Ahmad Badrun 1994. Zoetmulder meneliti ajaran mistik yang terdapat dalam karya sastra Jawa. Sementara, Purwadaksi menyunting dan mengkaji teks Ratib Saman dan Hikayat Syekh Muhammad Saman . Braginsky meneliti sistem citra dan system simbolisme dalam puisi-puisi karya Hamzah Fansuri. Hadi W.M. juga meneliti karya Hamzah Fansuri berjudul Zinat al-Wahidin . Simuh, sebagaimana Zoetmulder, meneliti ajaran mistik yang terdapat di dalam sastra suluk Jawa, sementara Badrun meneliti tasawuf yang terdapat di dalam tiga buah puisi karya Abdul Hadi W.M berjudul “Meditasi”, “Dari Tawangmangu” dan “Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Penelitian mengenai perilaku ketasawufan pada tahap tarikat yang terdapat dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto belum dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah