PERILAKU SUFISTIK TOKOH Tasawuf Kontekstual Kajian Hermeneutika Cerpen-Cerpen Danarto.

BAB II PERILAKU SUFISTIK TOKOH

DALAM KUMPULAN CERPEN GERGASI KARYA DANARTO 2.1 Pendahuluan Pembahasan mengenai perilaku sufistik tokoh yang terdapat dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto ini dilakukan per cerpen. Sebelum analisis dilakukan, disajikan sinopsis ceritanya. Perilaku sufistik ini dikaitkan dengan makam - makam yang terdapat di dalam tahap tarikat . Analisis mengenai perilaku sufistik tokoh ini dikaitkan pula dengan hal yang melatarbelakangi perilaku sufistik itu dilakukan para tokoh. Berdasakan analisis yang dilakukan terhadap perilaku sufistik tokoh dalam kumpulan cerepen Gergasi karya Danarto ini, tampak bahwa perilaku sufistik yang dijumpai adalah perilaku makam sabar dalam “Rembulan di Dasar Kolam” dan “Balairung”; rela dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”, dan “Gandasturi”; syukur dalam “Allah Berkenan mengejawantah Lusa”; tawakal dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Gaharu”, dan “Gandasturi”; zuhud dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Dinding Ayah”, Balairung”, “Semak Belukar”, dan “Gandasturi”; cinta dalam “Rembulan di Dasar Kolam”, “Dinding Waktu”, “Gaharu”, dan “Semak Belukar”; fana dalam “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”, “Dinding Waktu”, dan “Gandasturi”, baka dalam “Dinding Waktu”. Ada juga tokoh yang mencapai predikat insan kamil , yaitu pada cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”. Analisis yang dilakukan sedapat mungkin dikembalikan kepada judul setiap cerpen, kecuali jika judul itu telah tereksplisit dalam cerita. Secara lebih rinci, perilaku sufistik dimaksud terlihat dari uraian berikut. 2.2 Perilaku Sufistik Tokoh 2.2.1 Sabar Dilandasi Cinta: Representasi Sufi Rabiah al-Adawiyah 1 Sinopsis Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” Tokoh Ibu adalah seseorang yang memiliki figur ideal seorang ibu, seperti sabar, rajin, menyayangi anak-anak dan suaminya, dan pandai mengurus rumah tangganya. Akan tetapi, ia selalu dibentak oleh suaminya, karena dianggap suaminya selalu memata- matainya. Walaupun demikian, Ibu tidak pernah menanggapinya, apalagi membela diri. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga salah seorang anaknya, Bagas, mengetahuinya. Hal ini menimbulkan keingintahuan si anak tentang kebenaran tuduhan itu. Diam-diam, ia mengikuti perjalanan ibunya. Di sebuah museum, ia melihat ayahnya berjalan dengan seorang wanita asing, sementara ibunya ada juga di tempat itu, tetapi sikapnya jauh dari memata-matai. Ibunya asyik mengamati relief yang digelar di museum itu. Ayah yang sempat melihat keberadaan Ibu di tempat itu merasa bersalah sehingga ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mobil Bagas lebih dulu sampai di rumah mereka, tetapi ia kembali terkejut tiba- tiba ibunya muncul dari dalam rumah sementara ia sendiri baru memasuki rumah. Kejadian ini kembali menimbulkan keingintahuan si anak. Ketika ibunya pergi ke Surabaya, Bagas memeriksa mobil ibunya. Tidak ada yang istimemewa yang dijumpainya. Di antaranya, ia menemukan puisi “Doa Rabiah dari Basrah” lalu membacanya. Ia juga menemukan beberapa kaset pengajian Alquran. Tiba-tiba ia mendengar suara ibunya sehingga ia cepat-cepat masuk ke rumah. Kembali ia terkejut karena ia melihat ibunya keluar dari kamarnya sehingga ia menanyakan kepulangan ibunya yang tiba-tiba itu. Tetapi, ibunya menjawab sambil masuk ke kamarnya bahwa masih ia masih berada di Surabaya. Bagas yang diliputi keheranan memasuki kamar ibunya, tetapi ibunya tidak ada di kamar itu. Ketiga peristiwa aneh yang dialami Bagas itu menyadarkannya akan keluarbiasaan ibunya, yaitu memiliki kemampuan menguasai ruang dan waktu. Ia yakin bahwa ibunya mengetahui segala perbuatan ayahnya. Akhirnya, ia juga merasakan keanehan yang terjadi dalam dirinya, setelah ia membaca kembali puisi “Doa Rabiah Barda dari Basrah”. 2 Perilaku Sufistik Perilaku sufistik tokoh yang tedapat dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” itu tampak dlakukan oleh tokoh Ibu. Peilaku sufistik yang dilakukan itu berkaitan dengan makam sabar , dan cinta . Dari judul cerpen ini, dapat dilihat kaitannya dengan tasawuf, yaitu mengenai tajalli , bahwa wujud alam ini hanya merupakan representasi atau bayang-bayang dari wujud Allah Syukur, 1999:55 —59. Dalam cerpen ini, rembulan yang terlihat di dasar kolam bukanlah rembulan yang sesungguhnya, melainkan representasi atau bayang-bayang dari rembulan yang sesungguhnya. Demikian juga halnya dengan tokoh Ibu dalam cerpen ini hanya menggambarkan representasi atau bayang-bayang seorang sufi wanita yang terkenal, yaitu Rabiah al-Adawiyah. Representasi ini jelas terlihat dari perilaku tokoh Ibu dalam menyikapi segala sesuatu yang ada di lingkungannya, terutama suami dan anak-anaknya. Kesabaran sabr merupakan tonggak penting daam tarikat . Al-Qusyayri sebagaimana dikutip Smith 1997:67 mengatakan pentingnya kesabaran ini bagaikan pentingnya sebuah kepala bagi tubuh. Dalam Ensiklopedi Islam 1996:125 dikemukakan bahwa sabar adalah “Konsekuen dan konsisten melaksanakan semua perintah Allah Swt. dan menjauhi segala laragannya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan, tabah menunggu datangnya pertolongan Allah Swt. dan tabah menerima segala konsekuensi kesabaran tersebut ”. Kesabaran tokoh Ibu terlihat ketika ia menghadapi tuduhan suaminya bahwa ia telah memata-matainya. Konflik yang terdi di awal cerita ini, ditanggapi oleh tokoh utama, Ibu, dengan sikap membisu. Ia diam saja menghadapi tuduhan itu, dan tidak pula berkeinginan membela diri. Hal ini dituturkan oleh tokoh aku, sebagai tokoh bawahan berikut. “KAMU MEMATA-MATAI SAYA” TERDENGAR BENTAKAN AYAH. Suara kemarahan itu merangkum seisi kamar tidur. Saya seperti melihat cermin dan peralatan kecantikan, syukur as bunga dengan gloxinia, dan gelas air putih yang disediakan sejak malam hari, ikut memaklumi sambil mengantar kesenyapan. Adakah yang lebih baik dari kesenyapan bagi suara ayah yang seringkali saya bayangkan menggetarkan kelambu itu. Ibu, ya suara Ibu, saya menunggu suara Ibu. Saya yang kebetulan melewati kamar itu, mendengar suara ayah lalu bersijingkat merapatkan tubuh ke pintu untuk bisa sebanyak dan sejelas mungkin menangkap suara- suara. Sesaat saya tunggu suara Ibu, tak juga suara itu terdengar. Tak juga desahan pun. Hanya geseran sepatu ayah yang pada lantai yang menapak mendekati jendela. Lalu terdengar gemerisik kertas perak bungkus rokok yang dibuka. Geretan tas bergetar dan bunyi gemeretak rokok keretek yang disedot. Pada puncak kemarahan ayah, pada pucak keterdesakan Ibu, hanya kesenyapan yang biasa menerima semuanya dengan sebaik-baiknya. Ibu hanya berpihak pada kesenyapan, agaknya tak pernah terlintas untuk memberikan alasan apa pun walaupun sejumput Danarto, 1996:1. Walaupun konflik ini berlanjut dalam bentuk tuduhan serupa dari tokoh ayah, Ibu tetap pada sikapnya. Hal ini juga dituturkan tokoh aku dari kutipan berikut. Seminggu kemudian itulah saya mendengar kembali suara ayah dari balik kamar tidur itu, dan tak pernah terdengar suara Ibu, walaupun sekadar gesekan ingsutan duduknya. Lama saya menunggu di dapur sampai keduanya keluar Danarto, 1996:3. Dengan menggunakan sudut pandang “akuan”, kutipan di atas memperlihatkan nada yang bersikap empati terhadap tokoh Ibu, yang merupakan tokoh utama cerpen ini. Kesabaran yang dilakukan tokoh Ibu ini meliputi tiga tahap kesabaran sebagaimana diklasifikasian oleh Abu Thalib dikutip Smith, 1997:67. Pertama , menghentikan keluhan; kedua merasa puas dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah; dan ketiga , menerima dan menyenangi semua yang telah ditentukan oleh Allah kepada hamba-Nya. Kesabaran tokoh Ibu juga tampak ketika ia menghadapi kelima anaknya. Ibu selalu menjawab semua pertanyaan anaknya dengan sabar . Penuturan narrator pada kutipan berikut memperlihatkan hal itu. Wangi, si bungsu, memang bintang meja makan. Dia —begitu manis— menguasai pembicaraan di meja makan. Semua makanan, satu per satu ditanyakan namanya, dan Ibu dengan penuh kesabaran memberikan jawabannya Danarto, 1996:4. Tampaknya, perilaku sabar tokoh Ibu dilandasi oleh cinta . Cinta dipandang sebagai makam tertinggi dari perjalanan tarikat Smith, 1997:101. Ensiklopedi Islam mendefinisikan makam cinta ini dengan patuh kepada-Nya, membenci setiap sikap yang melawan kepada-Nya, menyerahkan diri sepenuhnya, dan mengosongkan diri dari segala- galanya kecuali Allah swt. yang dicintai 1996:125. Dari makam cinta ini serang sufi akan langsung meraih makrifat sehingga ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya. Rabiah al-Adawiyah dipandang sebagai sufi yang mengajarkan cinta tanpa pamrih kepada Allah, suatu konsep baru di kalangan para sufi pada masanya. Bahkan, Attar dikutip Smith, 1997:113 menceritakan bahwa Rabiah ketika ditanya tentang cintanya kepada A llah menjawab, “Cintaku kepada Allah tidak menyisakan ruang di dalam hatiku untuk membenci setan sekalipun”. Cinta Rabiah yang utuh kepada Allah ini menyebabkan ia tidak memiliki rasa benci kepada makhluk lain, sekalipun makhluk itu adalah setan yang jelas-jelas merupakan musuh manusia Surat Taha:117. Tokoh Ibu dalam cerpen ini tampaknya merupakan representasi tokoh sufi wanita dari Basrah itu karena cintanya yang utuh kepada suaminya, menyebabkan ia tidak mempunyai rasa benci kepada suaminya itu, walaupun suaminya jelas-jelas mengkhianati cintanya. Di dalam konsep tasawuf cinta tidak terbatas pada cinta kepada Allah, tetapi juga cinta keada semua makhluk. Cinta kepada sesama makhluk ini merupkan sarana untuk mencintai Allah. Surat at-Taubah:24 memang memandang bahwa cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah, disusul cinta kepada rasul, dan cinta berjuang di jalan Allah. Cinta berikutnya barulah buah cinta kepada sesama makhluk. Rasa cinta suami- istri memang diciptakan Allah, karena Allah ingin memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada manusia Surat ar-Rum:21. Dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini tampak bahwa tokoh Ibu mengamalkan perilaku sufistik sampai kepada makam cinta , yang merupakan makam tertinggi dalam tarikat . Di dalam karya-karya hagiografi cerita tentang para sufi, sering dijumpai pembicaraan mengenai firasa kearifan seorang yang beriman kardiognosia membaca batin yang dimiliki seorang sufi. Seorang sufi itu melihat dengan penerangan Tuhan Schimmel, 1986:209 sehingga tidak mengherankan bila ia mampu membaca apa yang terdapat di dalam hati seseorang. Bahkan ada beberapa sufi yang mengatakan bahwa ia dapat melihat seseorang masuk surga atau masuk neraka. Selain itu, seorang sufi juga dapat menghilang dari pandangan, menjadi sama sekali tidak terlihat dan mempraktikkan buriz, eksteioisasi , yaitu ia dapat hadir pada beberapa tempat yang berbeda pada saat yang sama. Karya-karya hagiografi ini tampaknya mengilhami pengarang dalam menulis cerpennya ini. Tokoh Ibu diceritakan memiliki kemampuan luar biasa di antaranya adalah hadir di beberapa tempat dalam waktu yang sama. Hal ini dapat dilihat dari penutuan narator sebagai berikut. Saya sampai di rumah lebih dahulu daripada Ibu. Saya beranjak dari teras ke dalam ruang ketika mobil Ibu memasuki pekarangan dan langsung ke garasi. “Astaga” pekik saya tiba-tiba ketika mendadak beratatapan dengan Ibu yang muncul dari kamarnya sambil menenteng buku perpustakaan museumnya itu, padahal saya mendengar pintu mobil baru saja ditutup kembali. “Bagas” sergah Ibu, “Kamu kok seperti bertemu macan Bengong dan merah padam.” “Mendadak saya tidak enak badan, Bu”, sahut saya sambil menghindar. Saya memang gemetar. Barangkali saya tak kuat menyaksikan kejadian itu. Saya tak bias mengerti bagaimana mungkin Ibu secepat itu turun dari mobil lalu menutup pintunya dan tiba-tiba saja sudah muncul dari dalam kamarnya, padahal antara garasi dan kamar Ibu akan melewati saya yang sedang masuk kamar tamu dari teras Danarto, 1996:9. Kemampuan tokoh Ibu hadir di beberapa tempat juga disaksikan oleh Bagas ketika ia memeriksa mobil ibunya. Ia menemukan dan membaca beberapa tulisan yang ada di dalam mobil itu. Kelancangannya ini dilandasi keingintahuan mengenai kejadian luar biasa yang dilihatnya dari perilaku ibunya itu. Kita lihat kutipan berikut ini. Saya ingin tahu juga apa yang sedang berubah dalam mobil Ibu. Sementara sopir di luar mencucinya, saya melongok-longok ke dalam. Tidak ada yang menarik. Beberapa buku, majalah, kertas-kertas, balpoin, dan sejumlah katalog. Apakah sahabat-sahabat Ibu ini dapat memeberikan keterangan kepada saya. Saya balik lembaran fotokopi tulisan yang lepas- lepas itu. Saya baca dengan acuh tak acuh sebuah puisi “Doa Rabiah dari Basrah”. Belum selesai saya letakkan kembali kertas itu. Agak ogah-ogahan saya membalik-balik sejumlah kaset pengajian Al-Quran. Lalu saya kembali ke jok belakang. Sambil bersandar saya baca kembali puisi itu. ……………………………………………………………………….. Terdengar Ibu dari dalam rumah, buru-buru saya keluar dari mobil. Ini suatu hal yang tidak mungkin. Ibu saat ini sedang berada di Surabaya. Kecuali oleh satu hal yang sangat darurat, Ibu selalu punya jadwal yang tepat. Saya bergegas ke rumah. Saya kaget ketika Ibu tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya, seperti peristiwa dulu. “Lho Ibu ternyata sudah datang,” seru saya. “Lebih cepat dari yang direncanakan.” “Tidak,” sahut Ibu. “Sebenarnya Ibu saat ini masih di Surabaya.” “Saya tidak mengerti maksud Ibu.” Lalu Ibu kembali masuk ke kamarnya. Saya penasaran menungu di luar. Setelah satu jam tak muncul, pelan-pelan saya memasuki kamarnya. Mlompong . Kamar itu kosong. “Ibu” teriak saya dengan gemetar. Jendela kelihatan tetap terkunci. Pintu yang menembus ke kamar lain juga terkunci. Ibu telah lenyap tak berbekas. Pasti wajah saya nampak bengong dan merah padam. Lalu saya ke dapur. Pembantu asyik memasak. Saya segan untuk menanyakan tentang kedatangan Ibu tadi… Danarto, 1996:12—13. Kedua peristiwa yang dialami Bagas itu memperlihatkan kemampuan luar biasa yang dimiliki Ibu dan sekaligus memperlihatkan nada yang penuh kecurigaan terhadap tokoh Ibu itu. Kemampuan serupa ini merupakan kemampuan yang lazim dimiliki oleh para sufi yang telah mencapai makrifat . Tokoh Bagas, yang semula menyikapi kemampuan luar biasa ibunya dengan penuh curiga, akhirnya memiliki sikap kagum dan bangga terhadap ibunya itu. Di lain pihak, ia menampakkan sikap sinis terhadap perlakuan ayahnya terhadap ibunya itu. Hal ini dituturkan tokoh Aku Bagas seperti terlihat dari kutipan berikut ini. Serta merta saya merasakan keagungan Ibu, seorang perempuan yang mampu menegakkan rumah tangganya begitu tegar dalam kehalusan seorang istri yang begitu mengerti akan hasrat-hasrat yang mendadak, yang tidak dapat dimengerti. Ini semua saya rasa berkat kemampuan menguasai ruang dan waktu itu. Diam-diam Ibu telah menguasai suatu ilmu yang sudah ditinggalkan orang. Suatu kekuatan anugerah yang tidak dapat diminta maupun ditolak. Saya rasa ilmu itu datang dengan sendirinya ketika seseorang lupa untuk memedulikannya. Saya tidak percaya Ibu tidak mengetahui percintaan Ayah dengan perempuan lain. Roh Ibu pasti sudah mengendus-endus gerak- gerik ayah… Danarto, 1996:13. Walaupun demikian, kemampuan yang dimiliki Ibu itu bukanlah semata-mata hal ‘keadaan’ yaitu sesuatu yang turun dari Tuhan ke dalam hati manusia, tanpa dapat ditolak kedatangannanya atau dicegah kepergiannya; atau dengan kata lain hal adalah anugerah dari Allah Schimel, 1986:102, seperti yang diduga tokoh Aku, melainkan merupakan makam , yaitu suatu yang berlangsung terus yang dicapai oleh manusia berkat usahanya yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dengan usaha itulah seorang sufi dapat mencapai suatu taraf tertentu dalam perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, makam merupakan kategori tindakan. Beberapa tindakan yang dilakukan Ibu dalam upaya mencapai makam makrifat , seperti terdapat pada uraian sebelum ini, yaitu melakukan makam sabar dan cinta . Usaha lain yang juga tampak dilakukan Ibu adalah mempelajari ajaran tasawuf, yang dimetaforkan oleh pu isi “Doa Rabiah dari Basrah”. Selain itu, Ibu juga mempelajari Al- Quran yang disimbolkan dengan adanya kaset pengajian Al-Quran. Kedua hal ini dijumpai tokoh aku di dalam mobil Ibu. Akan halnya dengan keanehan yang dialami Bagas setelah ia membaca pusisi “Doa Rabiah dari Basrah”, memang digolongkan sebagai hal, karena itu semata-mata merupakan anugerah Allah, sementara ia sendiri tidak pernah menginginkannya atau berupaya mencapai kemampuan itu. Hal aneh dimaksud dapat dilihat dari penuturan narator melalui tokoh saya yang memperlihatkan nada kagumnya terhadap ibunya berikut ini. …Sambil membaca kembali puisi “Doa Rabiah dari Basrah”, saya makin memuja Ibu dan merasa bangga dilahirkan dari rahimnya. “Bagi-bagi dong”, surat pacarnya” seru Madu yang begitu saja muncul dari jok depan. Bukan main kaget saya sambil secepatnya menyembunyikan puisi karya Rabiah al-Awaliyah itu. “Mas terlalu, deh” masak jalan-jalan di fakultas Madu nggak mau nemuin adiknya. Lagian diem aja waktu ditegur. Sampai beberapa teman Madu ngirain mas sedang kesambet,” tutur Madu nerocos. “Masya Allah” seru saya, “Madu Seharian saya cuma di rumah saja. Sejengkal pun tak beranjak keluar dari pekarangan.” Sementara Madu menertawakan saya yang dianggapnya bercanda, saya merasa sesuatu keanehan sedang menyelinap di hati sanubari saya. Mungkinkah saya sedang menyusul kemampuan Ibu lewat puisi Rabiah ini? Danarto, 1996:14 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari uraian perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Rembulan di Da sar Kolam” ini, terlihat bahwa tokoh Ibu melakukan perilaku sufistik itu, dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk menciptakan keharmonisan keluarganya sehingga ia mampu mengatasi segala masalah yang sedang bergejolak di dalam kehidupan keluarganya, yang memang sedang bermasalah. Dengan modal kesabaran, yang merupakan salah satu makam dalam tarikat , tokoh Ibu mampu menegakkan keutuhan rumah tangganya, yang menunjukkan adanya gejala akan terpecah karena suaminya berpaling kepada perempuan lain. Ia tidak menaggapi tuduhan suaminya atas dirinya dengan balik menuduh suaminya telah mengkhianatinya. Ia menyikapi tuduhan suaminya itu dengan diam walaupun sesungguhnya ia mengetahui segala perbuatan suaminya. Selain itu, makam cinta , yang merupakan makam tertinggi dalam tahap tarikat , yang dilakukan oleh tokoh Ibu lebih menentukan dalam upayanya menegakkan keutuhan rumah tangganya itu. Dadanya yang penuh rasa cinta kepada suaminya itu tidak menyisakan sedikit pun kebencian kepada sang suami, walaupun sang suami telah mengkhianatinya. Melalui tasawuf, ternayata bahwa tokoh Ibu mampu mengatasi masalah yang terjadi di dalam kehidupannya, terutama kehidupan rumah tangganya. 2.2.2 Rela dan Syukur Demi Menggapai Rida Allah 1 Sinopsis Cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa” Sekelompok pohonan berdiri melingkari laki-laki yang mengumpulkan mereka. Tujuan laki-laki mengumpulkan pepohonan itu adalah untuk menyampaikan pesan Allah bahwa Allah akan menampakkan diri lusa hari Jumat sebelum waktu Ashar. Pepohonan itu amat gembira menerima berita itu dan mereka ramai memperbincangkannya. Tiba- tiba salah satu pohon itu bertanya tentang laki-laki pembawa berita itu dan dari mana ia mendapatkan berita itu. Laki-laki itu menjawab bahwa ia menerima berita itu dari Allah sendiri melalui gunung, yang bergerak menyebabkan segala kehancuran dan dia sendiri pingsan. Pepohonan itu terkesima sehingga suasana menjadi hening. Mereka menjadi terharu setelah mendengar penjelasan laki-laki itu bahwa hanya kepada pohon-pohon saja Allah berkenan menampakkan diri sedangkan kepada makhluk lainnya tidak. Sementara pepohonan tenggelam dalam keharuan, laki-laki itu pergi ke sebuah kedai yang tidak jauh dari tempat itu. Pemilik kedai itu tiba-tiba terjaga ketika laki-laki itu memasuki kedainya. Ia lalu berteriak bahwa ia harus berbelanja lebih banyak keesokan harinya karena tempat itu ramai dikunjungi orang. Ketika hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi sekali orang-orang berdatangan ke tempat itu untuk melihat pohon bermusyawarah. Orang-orang yang berjualan pun menjadi banyak dan dagangan mereka laris. Mereka benar-benar menikmati totonan pohon yang mereka anggap bermusyawarah itu. Laki-laki itu heran melihat keadaan itu tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, bahkan mendekati pohon itu menjelang waktu yang dijanjikan pun ia tidak ia mau karena takut menyalahi pesan Allah. Ia pun tidur dan baru terjaga karena mendengar percakapan antarpohon tentang ketepatan janji Allah karena saat itu waktu Ashar telah lewat, sementara laki-laki itu puas sebab ia telah mematuhi perintah Allah. Ia juga menyaksikan kebahagiaan seluruh makhluk di tempat itu. Pepohonan itu pun tiba-tiba meneriakkan ketiadaannya. Mereka terus berkembang hingga seratus kali lebih tinggi dan lebih besar dari bentuk semulanya, sementara orang-orang yang menyaksikannya panik dan jatuh pingsan. 2 Perilaku Sufistik Tokoh yang memperlihatkan perilaku sufistik dalam cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa” ini adalah laki-laki pembawa berita dan pohon-pohon. Tampaknya, kisah tentang Nabi Musa yang ingin melihat Allah mengilhami pengarang dalam menulis cerpen ini. Dikatakan demikian, karena kisah yang dialami tokoh laki-laki pembawa berita itu memiliki kesamaan dengan kisah yang dialami Nabi Musa seperti terdapat dalam Quran Surat al- A’raf:143 berikut ini. Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, berkatalah Musa, “Ya, Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat- Mu”. Tuhan berfirman, “kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya sebagai sediakala niscaya kamu dapat melihat- Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunug itu, dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, ia berkata, “Mahasuci engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku orang yang pertama- tama beriman”. Ada beberapa hal lagi yang dapat memperkuat bahwa tokoh laki-laki pembawa berita itu adalah insan kamil, yaitu kemampuannya dapat berkomunikasi dengan makhluk lain, dalam hal ini pohon. Hal ini terlihat dari kutipan berikut. Karena pohon-pohon itu begitu ributnya, kuping laki-lai itu lebih menangkap keramaian pasar malam, daripada suatu pemicaraan tentang akan hadirnya Allah. Laki-laki itu mengacungkan tangannya. Pohon-pohon itu mengerti, lalu mengatup mulutnya. “Dari mana Anda tahu bahwa Allah berkenan akan mengejawantah?” Tanya sebatang pohon. “Saya diberi tahu,” jawab laki-laki itu. “Siapa yang memeberi tahu Anda?” “Allah sendiri.” “Dari mana Anda tahu bahwa itu Allah sendiri?” “Saya menduganya.” “Anda ini siapa sampai-sampai Allah turun tangan sendiri memberi tahu Anda?” “Saya orang biasa.” “Mengapa Allah tidak mengutus malaikat-Nya untuk memberi tahu Anda?” “Itulah saya tidak tahu.” Danarto, 1996:16—17. Kutipan berikut ini, yang merupakan penuturan narator, juga memperlihatkan kemampuan tokoh laki-laki pembawa berita itu berkomunikasi dengan makhluk lain itu. POHON-POHON ITU LALU BERANJAK SETELAH DIPANGGILNYA. Tanpa merasa menghujam tanah, pohon-pohon itu begitu mulus menghampirinya, dengan akar-akar berjuntaian, terseret, sambil mencengkeram gumpalan-gumpalan ranah. Serta –merta burung- burung, belalang, kadal, ular, semut-semut, kupu-kupu beterbangan dan berlarian meninggalakan pohon-pohon yang berjalan, bergoyang-goyang itu. Awan gemawan terpana. Laki-laki yang memandangi pohon-pohon itu berdiri tegak di tengah tanah datar itu. Ia nampak tenang. Sebagai seorang yang tahu segala, laki-laki itu nampak biasa bergaul dengan segala jenis makhluk, termasuk tanaman-tanaman. Pohon-pohon itu melingkari laki-laki tadi. Menancapkan kembali akar-akarnya, menghujam ke dalam, mencengkeram. Seolah memanggil teman sejawatnya di warung kopi, laki-laki itu tersenyum menyambut mereka. Dalam ruang kira-kira seluas 5m x5m laki-laki itu kelihatan akrab dengan pohon-pohon itu Danarto, 1996:15. Dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” serbatahu, kutipan di atas memperlihatkan nada yang bersikap akrab pohon-pohon yang semula curiga terhadap laki-laki pembawa berita itu. Ada beberapa perilaku sufistik dalam tarikat yang terlihat dari tokoh-tokoh laki-laki pembawa berita ini, yaitu makam syukur dan rela . Kedua makam ini memeiliki hubungan yang erat. Menurut Attar dikutip Schimmel, 1986:130 kesyukuran dalam makna yang sedalam-dalamnya adalah keinsafan akan kearifan takdir Ilahi. Rasa syukur kepada Tuhan mengajarkan kepada manusia agar dengan mata hati ia melihat hikmah yag terselubung dari sebuah musibah. Di sisi lain, rela merupakan kegembiraan hati dalam pahitnya takdir Zunnun dikutip Schimmel, 1986:131. Kesyukuran itu sendiri terdiri dari tiga tingkat, yaitu kesyukuran karena pemberian, kesyukuran karena tidak diberi, dan kesyukuran karena dapat merasa ber syukur Schimmel, 1986:129. Perilaku ketasawufan kedua makam ini terlihat dari sikap tokoh laki-laki pembawa berita yang rela menerima ketentuan Allah bahwa hanya pohon yang berhak melihat pengejawantahan Allah sedangkan makhluk lain tidak boleh, termasuk dirinya sendiri. Sikap ini juga mencerminkan kesyukurannya . Kesyukuran yang dilakukan oleh tokoh laki-laki pembawa berita ini, bukanlah kesyukuran pada tahap rendah, yaitu karena mendapat nikmat. Kesyukurannya merupakan kesyukuran tingkat menengah dan tingkat tinggi, yaitu kesyukuran karena tidak diberi nikmat dan bersyukur karena dapat merasa bersyukur. Tokoh laki-laki pembawa berita sengaja tidur sesudah waktu zuhur. Hal itu dilakukannya semata-mata karena sikap patuhnya terhadap pesan Allah, yaitu hanya pohon yang berhak menyaksikan pengejawantahan Allah itu. Setelah waktu ashar, ia terjaga dan melihat keanehan terjadi. Hal ini memperlihatkan nada simpati dan penuh kagum narator terhadap perilaku laki-laki pembawa berita itu. Penuturan narator itu adalah: Jika ada orang yang paling heran, ialah laki-laki yang membawa pesan Allah itu. Dengan hadirnya orang-orang kota itu, pesan Allah bakal terganggu. Begitu laki-laki itu berpikir. Perlukah ia mengusir orang-orang itu sebelum ashar? Laki-laki itu lalu bersolat mohon petunjuk. Ternyata petunjuk itu tak diberikan. Kemudian laki-laki itu beranjak dan berjalan menuju tempat pohon bersmusyawarah itu bersama bondongan orang yang baru datang. Tidak. Ia tidak akan menyalahi pesan Allah. Ia hadir di tempat itu, tetapi ia tidur, supaya ia tidak menyaksikan pengejawantahan Allah. Sementara waktu menjelang ashar makin mendekat Danarto, 1996:21 —22. …………………………………………………………………………… Laki-laki itu mengusap kedua matanya. Ia merasa lega karena telah mematuhi perintah Allah. Ia memandang berkeliling. Ia merasakan kebahagiaan orang-orang, binatang-binatang, pohon-pohon, benda-benda. Bahkan ia melihat rantang yang berjingktak-jingkrak Danarto, 1996:22 — 23. ……………………………………………………………………………… Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia sasksikan pohon-pohon bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan cabang- cabangnya ke angkasa: “Saya tidak ada” Danarto, 1996:23. Kerelaan dan kesyukuran tokoh laki-laki pembawa berita dalam cerpen ini menyebabkan kerelaan Tuhan pula terhadapnya. Ketika pengejawantahan Allah terjadi, laki-laki pembawa berita tidak diperkenankan Allah menyaksikan pengjawantahan-Nya. Sementara, orang-orang kota yang berdatangan ke tempat itu pingsan melihat peristiwa itu. Hal ini terlihat dari dialog para pohon dan penuturan narator berikut. “Jangan-jangan Allah telah mengejawantah. Hanya saja kita tidak melihat- Nya,” kata pohon kembar. “Tetapi tunggu dulu,” seru pohon bulat, “Saya merasa, saya merasa, saya merasa tidak ada.” “He” teriak pohon lengkung. “Saya juga merasa tidak ada” Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia saksikan pohon-pohon bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan cabang- cabangnya ke angkasa: “Saya tidak ada” Laksana menyedot pupuk langsung dari Lauhul Mahfud , batang-batang pohon itu berkembang, berkembang, dan berkembang. Membesar, membesar, dan membesar. Pohon itu menjadi seratus kali lebih besar, lebih tinggi, dan lebih rimbun. Menyaksikan pohon-pohon raksasa ini, orang- orang yang sedang piknik itu panik dan jatuh pingsan Danarto, 1996:23. Tokoh lain yang juga memperlihatkan perilaku ketasawufan adalah pohon-pohon. Dalam cerpen ini, pohon dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari makhluk ciptaan Tuhan dari kelompok tumbuh-tumbuhan. Kalau demikian, pohon itu sendiri merupakan tajalli dan emanasi Allah. Selain itu, pohon pohon juga dapat diinterpretasikan sebagai manusia yang patuh dan selalu bertasbih kepada Allah, sekaligus juga merupakan metafor manusia yang menderita karena pengeksplorasian yang berlebihan terhadap kehidupan mereka, sementara nasib dan kelangsungan hidup mereka tidak diperhatikan. Perilaku ketasawufan pohon-pohon ini sudah mencapai fana peleburan. Dalam Ensiklopedi Islam 1996:286 dikemukakan bahwa fana merupakan suatu kondisi yang dialami oleh seorang sufi yang merasakan bahwa ia kehilangan kemanusiaannya dan tenggelam dalam keesaan Tuhan. Fana itu sendiri ada beberapa macam. Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds dikutip Purwadaksi, 1992:14 —17 mengemukakan bahwa fana itu ada sembilan jenis. Salah satu di antaranya adalah fana al-Istilam , yaitu fana yang dirasakan seorang sufi ketika wujud Allah memengaruhi wujud dirinya sehingga ia tidak merasakan lagi keberadaan dirinya, Ia merasakan bahwa semua yang berwujud ini lenyap, yang dirasakannya hanyalah wujud Allah. Jenis fana al-Istilam ini dirasakan oleh pohon-pohon sebagaimana terlihat dari dialog antarpohon berikut. “Tetapi tunggu dulu,” seru pohon bulat, “Saya merasa, saya merasa, saya merasa tidak ada.” “He” teriak pohon lengkung. “Saya juga merasa tidak ada” Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia saksikan pohon-pohon bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan cabang- cabngnya ke angkasa: “Saya tidak ada” Laksana menyedot pupuk langsung dari Lauhul Mahfud , batang-batang pohon itu berkembang, berkembang, dan berkembang. Membesar, membesar, dan membesar. Pohon itu menjadi seratus kali lebih besar, lebih tinggi, dan lebih rimbun. Menyaksikan pohon-pohon raksasa ini, orang- orang syang sedang piknik itu panik dan jatuh pingsan Danarto, 1996:23. Pohon yang merupakan makhluk Allah, merupakan makhluk yang selalu bertasbih kepada Allah. “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” al-Isra’:44. Selain itu, di dalam konsep tasawuf, alam semesta, termasuk pohon tentu saja, merupakan tajalli atau penampakan Allah. Peristiwa tajalli ini memakan waktu yang panjang, melalui beberapa martabat, misalnya, Hamzah Fansuri mengelompokannya ke dalam lima martabat. Menurutnya, penciptaan manusia yang dapat diinderai terjadi pada martabat kelima. Dalam rangka Tuhan menampakkan diri- Nya, Dia ber tajalli pada diri manusia dengan sifat asma-Nya, sehingga wujud manusia itu menjadi “pakaian Tuhan” di dalam syahadah ini Hadi, 1995:84 —91. Pohon dalam cerpen ini dapat diinterpretasikan sebagai metafor manusia yang patuh bahkan mencintai Allah. Bagi manusia yang mencintai Allah, khususnya para salik pengembara pencari Allah, pertemuan dengan Allah merupakan tujuan mereka sehingga hal ini menimbulkan kebahagiaan yang dinanti-nanti. Hal ini tampak dari penuturan narator berikut ini. Pohon-pohon itu tiba-tiba diam. Apakah mereka lalu berpikir? Mereka berikut cabang, ranting, dan seluruh daunnya, menjadi tegak lurus. Patung-patung hijau, patung-patung yang tumbuh. Perupa mana yang sanggup menemukan kebaruan ini? Apakah pohon-pohon itu mendadak tersihir? Apakah sedang berzikir? Apakah mereka sedang mensyukuri nikmat Allah? Air mata berlelehan. Kelihatannya mereka sedang menikmati keharuan Danarto, 1996:19. Kutipan di atas juga memperlihatkan nada yang bersikap simpati narator melalui sudut pandang ”diaan” serbatahu terhadap kepatuhan dan kesyukuran yang diperlihatkan pohon-pohon itu. Selain merupakan metafor manusia yang dicintai Allah, pohon itu juga merupakan metafor kelompok masyarakat yang terpinggir. Hal ini terlihat dari penuturan narator melalui jalan pikiran tokoh laki- laki pembawa berita berikut ini. “Apakah Allah menyaksikan keadaan pohon-pohon di bumi makin berkurang? Begitu gumam laki-laki itu mencoba menduga ke arah mana gerak- gerik Allah tertuju” Danarto, 1996:20. Sekalipun tersisih, mereka tetap sabar menghadapi masalah mereka, bahkan mereka selalu berzikir kepada Allah. Oleh sebab itu, Alah membalas ke rela aan mereka dengan ke rela an-Nya juga. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari pembahasan mengenai perilaku sufistik tokoh dalam cerepen “Allah Berkenan Mengeja wantah, Lusa” ini terlihat bahwa perilaku sufistik itu dilakukan para tokoh dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memeperoleh kerelaan Allah. Tokoh laki- laki pembawa berita, yang mencapai tahap insan kamil , berperilaku sufistik semata-mata hanya karena Allah. Ia tidak mengharapkan dampak perilaku sufistik semata-mata berupa kekeramatan atau kemampuan supranatural lainnya. Ke syukur an dan ke rela an yang dilakukannya terutama kepada Allah, yang semula dijanjikan Allah hanya untuk pohon- pohon. Pohon-pohon, baik dalam pengertian denotasi maupun dalam pengertian konotasi, yang sampai pada makam fana melakukan perilaku sufistik juga semata-mata untuk mencari kerelaan Allah, bukan untuk mencari kekeramatan dari perilaku mereka itu. 2.2.3 Rela dan Zuhud Memberikan Ketenangan Hidup 1 Sinopsis Cerpen “Bulan Sepotong Semangka” Seorang pengusaha sukses, kepala rumah tangga yang berhasil dan selalu memuaskan hati keluarganya dengan memenuhi kebutuhan materi mereka, tiba-tiba memutuskan untuk bertapa berendam di sebuah sungai di kaki Gunung Lawu, setelah melampiaskan kemarahannya dengan menembaki bath tubnya hinga hancur berkeping- keping. Ia melakukan itu karena mengetahui bahwa putri bungsunya, Nari dinyatakan hamil, bath tub itulah yang dianggap sebagai perantara kehamilannya. Sementara Nari, yang merasa tidak pernah disentuh oleh laki-laki itu, menerima kehamilan itu dengan pasrah sehingga menolak menggugurkannya atau melahirkan di luar negeri. Dokter dan kiayi yang mereka tanyai tentang hal itu yakin bahwa ada kejadian luar biasa. Sejak kepergian ayahnya, Nari mengasingkan diri di kamar, tanpa makan dan minum. Tak seorang pun di antara keluarganya mampu melunakkan hatinya untuk keluar dari kamar itu, walaupun berbagai upaya telah mereka lakukan. Nari pun melahirkan di kamarnya. Peristiwa ini menjadikan seluruh keluarganya ingin sekali menengoknya tetapi Nari tetap membisu. Usaha menjebol dinding dan plafon kamarnya juga sia-sia, bahkan alat yang mereka gunakan rusak. Nari membesarkan dan mendidik anaknya sendiri di kamarnya itu sampai perguruan tinggi. 2 Perilaku Sufistik Tokoh yang memperlihatkan perilaku Sufistik dalam cerpen “Bulan Sepotong Semangka” ini adalah Nari. Nari yang merupakan tokoh utama dalam cerpen ini, hamil di luar kebiasaan yang terjadi. Menurut diagnosis dokter, ia hamil karena menggunakan bath tub ayahnya ketika mandi. Diduga bath tub itulah yang menjadi perantara kehamilannya. Peristiwa yang dialami Nari ini mengingatkan pada kejadian yang dialami Maryam, ibunda Nabi Isa As, dalam arti bahwa kehamilan Nari tidak disebabkan oleh hubungan intim dengan laki-laki. Tampaknya, pengarang menulis cerpen ini diilhami peristiwa itu. Di dalam Surat Maryam:16 —36 dikisahkan bahwa Maryam hamil tidak berdasarkan hukum alam yang semestinya. Ia hamil atas kehendak Allah. Melalui Malaikat Jibril, Allah meniupkan roh-Nya sehinga hamillah Maryam. Ia pergi menyepi membawa kehamilannya itu ke suatu tempat dan Allah menyiapkan sungai di bawah tempatnya dan pohon kurma yang telah berbuah yang siap dimakan dengan hanya menggoyangkan pohon itu. Jibril menyarankan agar Maryam membisu ketika anaknya telah lahir dan membawa anak itu kepada kaumnya. Allah memperlihatkan kebesaran- Nya Bayi Isa dapat berbicara dan menyataan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan diberi alkitab. Allah juga akan menjadikan ia seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak sombong, ia juga diperintahkan Allah untuk mendirikan salat dan membayar zakat. Ia juaga berdoa agar kesejahteraan dilimpahkan kepadanya, baik pada waktu ia dilahirkan, dimatikan, maupun ketika dibangkitkan. Di dalam cerpen “Bulan Sepotong Semangka” ini. Nari mengasingkan diri di kamarnya sendiri sehingga ia melahirkan bahkan membesarkan dan mendidik anaknya sendiri tanpa makan dan minum. Perilaku sufistik yang dilakukan oleh tokoh Nari ini berkaitan dengan makam rela, tawakal, dan zuhud. Ibnu ‘Ata’ dikutip Syukur , 1997:147 mengemukakan bahwa rela adalah ketenangan kalbu pada pilihan Allah kepada hamba, bahwa dia memilihkan untuknya yang paling utama. Dia rela kepada pilihan itu dan tidak ada kebenciannya terhadap pilihan Allah. Kerelaan Nari atas pilihan atau ketentuan Allah ini terlihat ketika ia dinayatakan hamil. Walaupun semula ia heran dan takut, akhirnya ia menerima kenyataan ini dengan rela . Hal ini terlihat dari penuturan narator berikut. ... Setengah berbisik N ari menyorongkan mulutnya: “Saya hamil.” Hamil? Apa salahnya dengan hamil? Lalu saya baru sadar bahwa Nari belum menikah. Bahkan dia mengaku belum punya pacar. Setelah berkali- kali saya mendesak, dia mengatakan bahwa ini suatu peristiwa yang ajaib. Ajaib? Ajaib bagaimana? “Bagaimana mungkin saya bisa hamil, sedang disentuh laki-laki pun tidak,” kata Nari menerawang jauh. Ia tidak menjadi sedih karenanya. Ia termangu-mangu, setelah mendengar kepastian seorang dokter bahwa dia positif hamil. Keheranannya ia lepaskan ke cakrawala, memantulkan pertanyaan-pertanyaan, ketakutan, dan juga ketakjuban Danarto, 1996:30. Oleh sebab itu, ketika orang tuanya menyarankan agar ia menggugurkan kandunganya ia menolaknya, karena ia tidak ingin menjadi pembunuh. Konflik yang terjadi antara Nari dan orang tuanya ini menyebabkan Nari memutuskan untuk mengasingkan diri di kamarnya. Ia menerima ketentuan Allah untuk dirinya dengan rela dan tidak ada kebenciannya terhadap ketentuan Allah itu. Karena ayanhnya mengasingkan diri bertapa di sebuah sungai di lereng Gunung Lawu, Ibunya mengancam akan bunuh diri bila anak-anaknya yang lain yang sudah berkeluarga tidak mau serumah dengannya untuk menjagai Nari. Saudara-saudaranya yang ada yang jauh dari rumah, ada juga yang menangis meraung-raung. Bahkan, keponakannya jatuh sakit. Nari yang mengasingkan diri di kamarnya mencemaskan seluruh keluarganya, mengingat ia telah satu bulan mengurung diri di kamar tanpa sesuatu yang dimakannya. Berbagai upaya dilakukan oleh keluarganya untuk membujuknya keluar dari kamarnya tetapi upaya itu sia-sia. Usaha kekerasan pun ternayata gagal mengeluarkan Nari dari kamarnya. Hal ini terlihat dari penuturan narator, yang semula menggunakan sudut pandang “akuan” saya, tiba-tiba menggunakan kami, yang mewakili keluarganya berikut. Nari aganya telah berubah jadi karang yang buta dan tuli dan bisu. Kami hanya mendengar suara ketipak-ketipak sandal yang berjalan dari kamar tidur ke kamar mandi. Suara air yang diguyurkan. Suara lembaran buku yang dibalik-balik. Suara sisir yang digunakan . Atau suara batuknya. Kami kalang kabut ketika sadar bahwa sudah satu bulan Nari mengunci diri dalam kamarnya. Bagaimana dia makan selama ini? Mas Bam dengan marah mencoba menghancurkan jendela yang juga selalu tertutup itu. Seorang tukang las mencoba menjebol pintu. Tapi semua itu sia-sia. Sepertinya kami mendengar pintu dan jendela itu tertawa melecehkan usaha kami. Rasanya Nari dibungkus oleh suatu kekuaan di luar batas angan- angan. Suatu kekuatan yang tak terbayangkan oleh siapa pun. Bagaimana keadaan bayinya ? Danarto, 1996:34. Kutipan ini secara eksplisit memperlihatkan nada sinis narator terhadap para tokoh yang mencoba menggunakan segala upaya untuk mencapai tujuannya. Selain itu, kutipan di atas juga memperlihatkan bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt. dan berlaku atas ketentuan-Nya. Tidak seorang pun dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa seizing dan kehendak Allah Swt. Hal ini menunjukkan bahwa Nari juga telah mencapai makam tawakal . Keyakinan utama yang mendasari tawakal adalah keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah Swt. Di dalam batin seseorang yang ber tawakal tertanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt., baik berupa hal-hal yang memberi manfaat atau mudarat, menggembirakan atau menyedihkan. Sekalipun seluruh makhluk berusaha memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada seseorang mereka, tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan izin Allah Swt. Begitu juga sebaliknya, sekalipun orang-orang berkumpul untuk memudaratkan seseorang, mereka tidak akan dapat melakukannya, kecuali dengan izin-Nya Ensiklopedi Islam , 1996:97 —98. Kebertawakalan Nari kepada Allah menjadikan ia yakin sekali bahwa Allah akan menyediakan jalan keluar bagi keyakinannya itu sehingga ia mampu bertahan hidup bersama kehamilannya, walaupun tanpa makanan dari keluarganya. Bahkan dengan kondisinya seperti itu, ia juga mampu melahirkan sendiri anaknya sekaligus menjadi guru bagi anaknya. Sikap dan keadaan Nari ini terlihat dari penuturan narator berikut. … Namun keteguhannya untuk tetap diam dan mematung di kamar, dengan perut yang semakin membesar dengan perut yang semakin membesar? tanpa makan apa-apa tanpa makan apa-apa? tentu merupakan cerita tersendiri tentang sesuatu daya tahan yang pasti mencengangkan para dokter. Pada suatu subuh di hari Jumat, tiba-tiba terdengar cenger , tangis bayi dari dalam kamar Nari. Saya meloncat dari pembaringan saya di depan tv lalu menelengkan telinga ke pintunya. Tangis bayi itu makin jelas. Nari sudah babaran , sudah melahirkan. Mendengar tangisnya yang keras agaknya bayinya laki-laki yang dilahirkannya. Buru-buru saya membangunkan ibu, lalu dengan sedikit berlari saya pulang ke rumah untuk membangunkan istri. Lalu mengangkat telepon membangunkan Mas Bam, Mbak Fit, dan Fir. Tanpa tersasa sembilan bulan lebih telah dilalui Nari sendirian. Bagaimana mungkin dia menolong dirinya sendiri dalam keadaan melahirkan. Nari tak punya pengetahuan apa-apa tentang melahirkan bayi, merawat bayi, dan membesarkan bayi, betapa ini semua merupakan peristiwa yang berada di luar dugaan kami Danarto, 1996:35 —36. …………………………………………………………………………… Seperti hari ini, ketika cucu itu, anak Nari, laki-laki, seperti yang kami dengar suaranya dari dalam kamar, Bim namanya, seperti yang kami dengar jika ibunya memanggil, telah berulang tahun ke-20. Ibunya bertindak sebagai gurunya dan dosennya dalam berbagai mata pelajaran, telah memberinya pendidikan yang sebagus-bagusnya. Sekolah Bim lancar. Bim kini duduk di tingkat dua Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, di universitas kamar keabadiannya itu Danarto, 1996:39. Kutipan di atas memperlihatkan nada simpati narator terhadap tokoh utama cerita ini, yaitu Nari. Makam lain yang tampak dilakukan tokoh Nari adalah zuhud . Pembicaraan mengenai zuhud dapat dilihat dari dua sisi, yaitu zuhud yang merupakan bagian integral dari tasawuf; jadi merupakan makam , dan zuhud sebagai moral Islam dan pergerakan protes. Sebagai makam , Abd al-Hakim Hasan dikutip Syukur, 1997:2 mengemukakan bahwa zuhud adalah berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah, melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan berhalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak zikir,. Dalam kaitannya sebagai moral Islam dan gerakan protes, zuhud dapat diartikan sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim di dalam kehidupan. Dunia bukan tujuan hidup melainkan merupakan sarana untuk mencapai ke rela an Allah. Kedua pengertian zuhud ini, tampaknya dilakukan oleh Nari, tokoh utama crpen “Bulan Sepotong Semangka”. Kemengasingan diri Nari ke kamarnya dapat diinterpretasikan sebagai zuhud dalam pengertian makam . Ia mengasingkan diri karena menjauhi dunia atau kehidupan keluarganya yang bergelimang harta dan kemewahan serta cenderung mengunakan harta untuk hal yang mubazir. Ia ingin melatih dan mendidik dirinya memerangi kesenangan dan kemewahan yang dimiliki oleh keluarganya itu dengan jalan mengasingkan dirinya dan melakukan tafakur untuk memperoleh pemurnian diri. Di samping itu, ia juga ingin merenungi kehamilannya yang di luar hukum alam itu. Kemewahan hidup keluarga Nari ini terlihat dari kutipan berikut. Dan perkembangan keluarga kami pun sangat marak. Seperti yang dikehendaki ayah, kami bergerak menuju berbagai penjuru. Bagi ayah hanya ada satu kebahagiaan, yaitu jika kami memperoleh kepuasan. Begitulah, ibu —orang-orang begitu tahu kebutuhan anak-anaknya—menghimpun kami, persis kele-katu yang melihat petromaks, kami pun berbondong- bondong mendatanginya. Pesta taman itu diakhiri dengan diceburkannya kami dalam pakaian lengkap berjas berdasi satu per satu oleh ayah ke kolam renang di belakang rumah. “Kamu pikir kamu sudah dipercaya membangun jalan layang” sembur ayah sambil menyodok Mas Bam dalam setelan biru dengan dasi biru pula. Byur Sorak-sorai dan tepuk tangan tamu pun berderai. “Kamu pikir kamu yang tercantik di antara sarjana fisika?” sembur ayah ambil menyodok Mbak Fit dalam setelan krem dan dasi cokelat. Byur Sorak-sorai dan tepuk tangan para tamu pun pecah. “Kamu pikir kamu satu-satunya geolog yang gampang jatuh cinta ?” sembur ayah ambil menyodok saya dalam setelan abu-abu. Byur Sorak- sorai dan tepuk tangan para tamu pun meledak. Lalu menyusul Fir, adik saya yang mewarisi bakat dagang ayah, dalam setelan hiatm-hitam dengan dasi merah, diceburkan. Yang terakhir adalah si Nari, si bungsu yang cantik, 20 tahun, yang dimajakan ayah ibu maupun kakak-kakaknya. Apa komentar ayah ketika menceburkannya, sudah tidak kedengaran lagi karena sorak-sorai para tamu. Inilah kami, kelima anak yang dibesarkan dengan kebebasan penuh. Yang mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya dan disiplin tangguh atas kesadaran sendiri. Siapa yang dapat melebihi kebahagiaan kami, ketika semua tamu mengelilingi kolam renang, bersorak, bertepuk, berkomentar Danarto, 1996:28 —29. Kutipan di atas memperlihatkan nada mengejek atau menertawakan ketololan orang-orang kaya yang hidup bergelimang harta dan kemewahan serta gaya hidup hedonistik. Nari, yang memutuskan mengasingkan diri di kamarnya bersama kehamilannya itu, ternyata dapat mengatasi segala masalah hidupnya, termasuk berhasil mendidik anaknya sendiri di kamarnya itu. Selain itu, ke zuhud an yang dilakukan Nari itu, dapat dikatan sebagai moral akhlak Islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia yang fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah dan mencari ke rela an-Nya. Zuhud dalam pengertian ini bertujuan untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Pelakunya sendiri menyadari bahwa cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan pangkal keburukan. Bahkan Al-Quran menerangkan bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Kebanggaan dan kesenanan materi ini hanyalah kesenangan yang menipu Surat al- Hadid:20. Nari yang mengasingkan diri di kamarnya itu merupakan simbol sikapnya menjauhi kehidupan mewah, kebanggaan ayahnya terhadap keberhasilannya dalam hal anak-anaknya dan prestasi, baik yang dicapainya maupun yang diacapai anak-anaknya. Kamar tempat Nari mengasingkam diri itu dapat diinterpretasikan sebagai suatu tempat yang tersendiri dan terpisah dari keluarganya, dan ketidakberhasilan keuarganya membuka pakas pintu kamar itu dapat diinterpretasikan sebagai ketidakberhasilan pihak keluarganya mengajaknya kembali pada kehidupan mewah itu. Begitu juga upaya-upaya untuk mengajak Nari kembali pada kehidupan mewah, tetapi Nari tetap pada pendiriannya membuat jarak anatara dirinya dengan kehidupan mewah itu. Lihat saja kutipan berikut. Hampir setiap hari kamar Nari menjadi pusat tatapan mata kami. Mas Bam dan istrinya biasa mengintip lewat lubang bawah pintu yang memanjang itu. Sinar listrik mempertegas lubang itu. Mbak Fit dan suaminya lebih suka berduet nyanyi di bawah jendelaya yang berkisi-kisi itu. Semua anak-anak dimintanya bermain di kebun bawah jendela, supaya derai tawa dan celoteh mereka melemahkan hati Nari. Saya yang paling dekat dengannya, lebih suka memanggil-manggilnya. Mengingatkannya saat-saat yang paling menggembirakan ketika berenang di kolam, atau rebutan pizza. Saya juga bercanda dengan istri dan anak-anak di depan pintunya. Sedang ibu paling getol menulis surat yang dimasukkannya lewat bawah pintu. Kami tidak tahu apakah surat itu dibacanya Danarto, 1996:34 —35 Tampaknya, semua usaha yang dilakukan saudara-saudara Nari bersama istri dan anak-anak mereka, untuk mengajak Nari kembali pada kehidupan yag penuh kemewahan dan kegembiraan, memperlihatkan nada penentangan mereka terhadap sikap yang diambil Nari. Walaupun demikian, semua itu tidak mampu menggoyahkan pendirian Nari. Bahkan ia juga tidak menanggapi ajakan ibunya yang dilakukannya melalui surat- suratnya yang dikirimkannya. Nari betul-betul memperlihatkan kemantapan hatinya dalam mengambil keputusannya membuat jarak dengan kehidupan mewah itu. Kutipan berikut, yang menggunakan sudut pandang “diaan”, juga memperlihatkan kemantapan hati Nari dalam hal membuat jarak dengan kehidupan mewah itu. Kamar Nari letaknya di sisi ruang duduk, tempat kami nonton TV. Juga bersebelahan dengan ruang makan. Segala kegiatan di situ, dari ketawa dan celoteh kami atas acara TV, sampai keletak-keletik bunyi kegiatan di meja makan, pasti didengar Nari. Dia pasti meresapinya. Namun, ketangguhannya untuk tetap diam dan mematung di kamar, dengan perut yang semakin membesar dengan perut yang semakin membesar? tanpa makan apa-apa tanpa makan apa-apa?, tentu merupakan cerita tersendiri tentang suatu daya tahan yang pasti mencengangkan para dokter Danarto, 1996:35 —36. Pesta yang diselenggarakan keluarga Nari, baik pada hari ulang tahun anaknya maupun hari ulang tahunnya, juga tidak mampu membawa Nari kembali pada kehidupan mewah yang ditawarkan itu. Semua usaha yang dilakuakn oleh keluarga Nari ini memperlihatkan sikap mereka yang menentang sikap yang diambil Nari. Kehamilan Nari dalam cerita ini dapat diinterpretasikan sebagai suatu gejala munculnya generasi baru yang membawakan warna baru di dalam kehidupan keluarga mereka. Hal ini tampak dari kesadaran tokoh aku Rik berikut ini. Ketika ibu tampak terhuyung itulah, saya baru sadar bahwa hari-hari keluarga kami bertambah senja. Tutup buku satu per satu barangkali sudah diberi tanda, untuk ucapan selamat datang bagi generasi berikutnya. Cara ibu memegang pena untuk menyurati cucunya. Cara beliau bertelekan di lengan kursi, meraba pintu tertutup kamar anaknya, sebuah sentuhan pada keabadian. Lebih langgeng dari hasrat-hasratnya Danarto, 1996:38 —39. Hal ini tampaknya juga diperlihatkan oleh judul cerpen ini, yaitu “Bulan Sepotong Semangka” yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu yang baru muncul, masih muda, masih dalam tahap perkembangan dan akan terus berkembang hingga mencapai kesempurnaan. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Bulan Sepotong Semangka” ini terlihat bahwa tokoh Nari melakukan perilaku sufistik itu dilatari oleh kehidupan mewah yang dijalani oleh keluarganya yang cenderung hedonistik. Ia merasakan bahwa segala kemewahan ang dirasakannya itu tidak memberikan ketenangan dalam hidupnya. Oleh sebab itu, ia memutuskan sikap untuk mengambil jarak dengan kehidupan yang cenderung hedonistik itu. Dengan bermodalkan ke rela an, ia juga mampu menjalani kehidupannya bahkan menikmatinya. Begitu juga halnya dengan kezuhudan yang dilakukannya, menjadikan ia hidup lebih tenang bersama anaknya dengan segala kesederhanaan. 2.2.4 Kezuhudan Memerangi Kejahatan Menegakkan Moral Keilahian 1 Sinopsis Cerpen “Dinding Ayah” Tokoh ayah adalah seorang pengusaha sukses yang menangani segala jenis usaha dari usaha paling kecil sampai yang paling besar. Pada suatu hari, tokoh ayah mengkhawatirkan keluarganya karena ia terdengar melakukan pertarungan seru di dapur. Berbagai usaha dilakukan oleh para bodyguard ayahnya untuk membuka pintu dapur tetapi sisa-sia. Dari dalam dapur anaknya terdengar suara mendesis yang disertai bau busuk yang luar biasa. Menyusul terbukalah dapur itu sehingga memperlihatkan suasana porak-poranda dan semua yang ada di dapur itu hancur seperti telah terjadi perang. Tokoh ayah muncul dengan wajah yang cerah, tanpa memerhatikan anak istri yang mecemaskannya. Sebelum kejadian itu, tokoh ayah juga pernah melakukan hal yang di luar kebiasaan manusia, yaitu menghabiskan tar buatan istrinya sekaligus dengan piringnya. Kedua peristiwa yang dilakukan tokoh ayah itu menimbulkan keheranan di hati anak istrinya sehingga membicarakannya dengan psikolog. Analisis psikolog itu adalah bahwa tokoh ayah akan menjadi musuh terbesar planet ini. Tokoh aku, yang merupakan tokoh utama cerpen ini, tidak dapat membayangkan bahwa ayahnya akan menjadi seperti itu karena sepanjang yang diketahuinya ayah adalah orang yang baik. Sementara kakaknya, Mas Pramana, bersama istri dan ketiga anaknya, bersikap menjauhi keluarga karena memandang bahwa harta orang tuanya itu lelucon belaka. Demikian juga Mbak Asti bersama suaminya dan ketujuh anaknya sejak menikah telah memisahkan diri dengan orang tuanya. Rekan-rekan bisnis tokoh ayah memandang ayah sebagai tong sampah karena kebiasaannya yang selalu mencaplok bisnis orang lain yang memperlihatkan prospek baik. Diam-diam keluarganya sendiri bertindak sebagai penyelamat para pengusaha yang hampir jatuh ke perangkap tokoh ayah. Pada sebuah jamuan piknik yang diselenggarakan tokoh ayah untuk teman-teman anak-anaknya di sebuah kawasan hutan buah-buahan miliknya, terjadi hal aneh. Ketika rombongan akan pulang, tiba-tiba tujuh mahasiswi teman tokoh aku yang ikut piknik menghilang bersama ayah. Pencarian pun dilakukan. Tokoh aku bersama bodyguard dan teman-temannya memasuki hutan. Tiba-tiba mereka menemukan ketujuh teman mereka yang hilang itu dengan tubuh tercerai berai seperti dimangsa binatang buas. Tokoh aku bersama bodyguard -nya terus mencari pemangsa teman-temannya itu dengan tidak menghiraukan dirinya lagi menembus hutan dan menyeberangi lautan. Bertahun-tahun pencarian itu dilakukan hingga suatu hari terjadi gempa yang menewaskan kedua bodyguard dengan tubuh tercerai berai tergantung di atas pohon diikuti suara mendesis dan bau yang sangat busuk, yang mengingatkan tokoh aku pada suara mendesis dan bau busuk yang pernah terjadi di dapurnya. Ia sadar bahwa musuh yang harus diburunya adalah ayahnya sendiri. 2 Perilaku Sufistik Perilaku sufistik yang tampak di dalam cerpen “Dindig Ayah” ini dilakukan oleh tokoh Mas Pramana, Mbak Asti, dan tokoh utama aku. Perilaku sufistik yang tampak dilakukan oleh ketiga tokoh ini adalah zuhud . Ibnu Taimiyah dikutip Al-Jauziyah, 2000:148 mengemukakan bahwa zuhud artinya meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Kezuhudan yang dilakukan oleh Mas Pramana bermula dari konflik yang ada dalam batinnya tentang kehalalan uang yang datang berlimpah kepada keluarga ayahnya. Ia menganggap bahwa semua itu merupakan lelucon atau permainan sehingga ia selalu bersikap sinis terhadap kekayaan orang tuanya itu. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan sudut pandang “diaan” berikut ini. Sebagai kakak kedua, Mas Pramana tidak menunjukkan perhatiannya kepada orang tua yang milyarder. Sejauh ini sikapnya justru menjauhi keluarga. Ia dengan keras melindungi Mbak Mari dan tiga orang anaknya dari kepentingan-kepentingan keluarga. Kami, tiap orang, yang selalu kebanjiran uang puluhan juta rupiah setiap bulannya, ini bagi Mas Pramana merupakan “lelucon tersendiri”. Sungguh saya tidak tahu jalan pikirannya. Segala yang keluar masuk saku kami dianggapnya loelucon. Ia selalu melengos ketika melihat kekayaan keluarga yang melimpah ruah itu, yang kelihatannya ia hanya ingin mengatakan bahwa semua harta itu haram. Ia bersumpah sedikit pun tak hendak kecipratan Danarto, 1996:46. Pendapat Mas Pramana yang mengatakan bahwa harta keluarga ayahnya yang melimpah itu merupakan “lelucon”, dapat diinterpretasikan bahwa harta yang diperoleh dengan cara tidak halal itu merupakan permainan atau kesenangan yang menyesatkan Surat Al-Hadid:20. Oleh sebab itu, ia bersumpah akan melindungi dirinya dan anak istrinya dari memakan harta yang haram itu. Ke zuhud an yang dilakukan Mas Pramana ini, menurut Imam Ahmad ibn Hambal dikutip Al-Jauziyah, 2000:148 dapat dilakukan sebagai zuhud nya orang awam, yaitu sikap hidup yang meninggalkan segala sesuatru yang haram. Demikian juga dengan ke zuhud an yang dilakukan suami Mbak Asti. Sejak pengantin baru, ia bersikap memisahkan diri dari rumah mertuanya yang kaya raya itu. Zuhud yang dilakukan oleh kedua tokoh ini bukanlah zuhud yang ekstrem sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para arif yang telah mencapai makrifat , yaitu meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah Swt. Aku, tokoh utama cerpen ini, juga memperlihatkan perilaku zuhud itu. Akan tetapi, ke zuhud an yang dilakukan itu cenderung pada buah atau hasil zuhud . Al-Ghazali 1997:153 —155 mengemukakan bahwa buah zuhud itu adalah isar dan futuwwah. Isar merupakan sikap kedermawanan tertinggi, karena ia merupakan pengerahan harta tanpa mengharapkan balasan atau tendensi tertentu. Tendensinya semata-mata adalah ingin berakhlak sebagaimana akhlak Allah Swt, yaitu memanifestasikan sifat-sifat dan asma Allah dalam dirinya. Futuwwah adalah perilaku mengesampingkan angan-angan pada dirinya, harta, dan anak-anakanya. Seluruhnya diserahkan kepada yang memililiki keseluruhan hidup, yaitu Allah. Al-fatiy pelaku futuwwah selalu berprasangka baik kepada sesama makhluk. Jika makhluk berperilaku bertentangan dengan syariat , ia mengaitkan dosanya dengan setan, bukan dengan makhluk itu. Semua kejahatan itu dikembalikannya kepada Allah, di samping tetap mengubah kemunkaran itu dengan tangannya, dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dengan demikian, futuwwah menuntut keksatriaan dalam memerangi kemunkaran. Buah atau hasil zuhud yang tampak dilakukan oleh tokoh aku adalah futuwwah . Sebetulnya, futuwwah ini tidak hanya dilakukan oleh tokoh aku tetapi juga dilakukan oleh seluruh keluarga tokoh ayah. Mereka melakukan hal itu dengan cara sembunyi- sembunyi, tanpa diketahui oleh tokoh ayah. Hal ini mereka lakukan sebagai sikap penentangan mereka terhadap perbuatan tokoh ayah. Hal ini terlihat pada narasi berikut. Ayah yang berpikir bebas, melakukan tindakan-tindakan bebas, juga penuh kekerasan. Siapa saja yang tidak tunduk, ayah lalu menindaknya dengan tangan besi. Dan tidak ada seorang pun yang tidak bertekuk lulut. Bagi kemi sekeluarga, itu semua tak ada harganya. Kami sudah sangat berbahagia dengan cara-cara yang paling sederhana. Sehingga kami menyabot sendiri semua usaha ayah yang penuh penindasan terhadap usahawan lain. Untung sekali ayah tidak merasa ada musuh dalam selimut. Ibu, sebagai musuh di dalam selimut, tidak jarang menyelamatkan orang-orang yang hampir masuk ke dalam mulut ayah. Tentu saja ayah terheran-heran melihat calon-calon korbannya berloncatan melarikan diri dan selamat Danarto, 1996:49 —50. Perilaku futuwwah yang dilakukan oleh anak istri tokoh ayah ini dilakukan secara diam-diam. Lain halnya dengan perilaku futuwwah yang dilakukan oleh tokoh saya. Sikap tokoh saya, yang pada bagian awal cerita lebih berpihak kepada ayahnya, setelah ia mengetahui puncak kemunkaran yang telah dilakukan ayahnya yaitu menewaskan ketujuh orang teman dan kedua bodyguard -nya, merusak kelestarian hutan, dan menguras kekayaan yang terpendam di perut bumi, sikapnya berubah memerangi ayahnya itu. Perilaku yang dilakukannya dengan segenap jiwa dan raganya, dengan tidak memedulikan ibu dan sasudara-saudaranya, bahkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penuturan narator dengan sudut p andang pengarang “akuan” sebagai tokoh utama berikut. Saya sudah tidak peduli lagi seperti apa rupa binatang buas yang telah mencabik-cabik jadi serpihan kedua bodyguard saya; hanya ada satu sasaran pasti kini: saya harus membunuh ayah. Saya mengejar suara mendesis dan bau busuk itu ke mana larinya. Saya harus mengejar dengan sepotong kayu yang membara. Saya mengejarnya sepanjang hari, sepanjang malam. Saya mengejarnya berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun- tahun. Berpuluh-puluh tahun. Saya tidak dapat membayangkan bentuk binatang itu. Larinya menimbulkan gempa di muka bumi dan di langit. Semua daerah yang dilaluinya terjadi kerusakan hebat: porak-poranda batang-batang pohon itu bertumbangan. Seketika hutan menjadi gundul, disusul ke baka ran hutan yang meluas hingga asapnya menyundul langit. Saya mengejarnya beratus-ratus tahun. Saya mengejarnya sendirian. Lebih mirip fosil daripada batang tubuh yang hidup, betapa rapuh sudah tulang-tulang ini, namun saya masih tetap teguh menodong Sang Waktu untuk memberi kesempatan meringkus binatang itu. Ratusan tahun sudah saya lewati bersama pohon-pohon dan suara-suara. Bersahabat dengan gelap yang begitu setia meneduhi dan menyelimuti. Sekali sekali saya kangen ibu. Juga Mbak Tuti dan Mas Indra, Mas Pramana dan Mbak Mari, Bung David dan Mbak Asti. Rasanya saya melihat kelebatnya Ting-Ting dan Bom-Bom di antara pohon-pohon di antara pohon-pohon. Tapi saya sadar bahwa orang-orang yang saya cinta i itu, sudah lama lewat, sudah menyatu bersama keabadian puluhan tahun yang lalu. Generasi baru mereka tentu susul- menyusul menggantikannya. Cucu, cicit, canggah, wareng, udeg-udeg siwur, mahacucu muncul dan lenyap menyemarakkan zaman Tapi saya sendirian di sini, menggapai-gapai kekekalan Danarto, 1996:56 —57. Tokoh ayah yang menjelma menjadi makhluk yang bersuara mendesis dan berbau sangat busuk, dapat diinterpretasikan sebagai lambang nafsu. Jadi, ia merupakan metafor penguasa atau pengusaha yang dikendalikan oleh nafsu atau pengusaha yang serakah. Dikatakan demikian, karena perilaku tokoh yang memang menampakkan perilaku orang yang dikendalikan nafsunya sehingga ia menjadi serakah dan kejam. Kutipan berikut akan memperlihatkan hal itu. Di kalangan bisnis ayah dianggap serakah. Yang membuat saya merasa marah besar adalah julukan yang diberikan kepada ayah oleh saingan bisnisnya, sungguh keterlaluan: tong sampah. Gosip ini sudah merambah dari kalangan atas hingga paling bawah. Ayah memang biasa dengan sigap menggunakan kesempatan sekecil-kecilnya untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Celakanya ayah sudah terpikat oleh kesuksesan orang lain di lahan yang sama. Kemudahterpikatan ayah inilah menyebabkan orang lain menderita. Bagaimana tdak. Jika ayah terpikat akan kesuksesan pembaudidayaan ikan baronang, misalnya, beliau mengambil saja lahan milik orang itu. Tentu saja ini sama dengan membunuhnya. Dan yang paling ndesit, sangat kampungan —meminjam olok-olok Srimulat —ayah juga sangat rakus mengganyang bisnis kere sekalipun. Misalnya warung-warung di tenda kaki lima, beliau sampai hati mencaploknya. Ini milyarder macam apa? Danarto, 1996:46 —47. Kutipan berikut lebih mempertegas keserakahan dan kekejaman ayah dan sekaligus memperlihatkan nada yang bersikap menghina tokoh ayah. “Saya akan mengejarnya terus” “Anda tidak mungkin mampu menangkapnya,” tukas kepala suku.” Binatang itu sudah kami kenal sejak ribuan tahun yang lalu. Goyangan tubuhnya sedikit saja, dapat menimbulkan kebakaran hutan yang apinya menyala-nyala selama bertahun-tahun. Binatang itu kerakusannya selangit. Ia tidak nggaglak kayu, tetapi juga menelan rotan, emas, perak, timah, besi, tembaga, garam, intan, batu bara, mutiara, uranium, beras, gula, sayuran, udang, dan semua yang mendatangkan kenikmatan Danarto, 1996:58 —59. Di samping perilaku tokoh ayah menyiratkan nafsu atau keserakahan, di kalangan para sufi masa awal, nafsu memang sering dilambangkan dengan binatang-binatang seperti anjing hitam, rubah, tikus, onta yang bandel, dan ular. Ada juga yang melambangkan nafsu dengan Firaun, seorang raja yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Semantara, keserakahan sering dilambangkan sebagai seeokor naga Schimmel, 1986:115 —117. Dalam cerpen “Dinding Ayah” ini nafsu dan keserakahan itu dilambangkan dengan binatang mendesis ular yang menimbulkan bau yang amat busuk. Jadi, tokoh ayah dalam cerpen ini, tampaknya merupakan metafor dari penguasa atau pengusaha yang dikendalikan nafsunya sehingga ia tidak segan-segan mematikan usaha orang lain untuk memajukan usahanya, mengeksploatasi alam tanpa memperhitungkan keseimbangannya sehingga menimbulkan malapetaka, bahkan membunuh siapa saja yang dianggapnya akan membahayakan keberlangsungan keserakahannya. Nafsu yang dimiliki tokoh ayah ini disebut Al-Ghazali 1997:48 sebagai nafsu amarah karena pemiliknya menyerah pada tantangan nafsu bahkan menuruti syahwat dan ajakan setan. Toko h aku dalam cerpen “Dinding Ayah” ini, secara konotatif dapa dikatakan sebagai simbol kesadaran baru atau generasi baru, yang berusaha memerangi penguasa atau pengusaha yang serakah itu. Yang dilakukannya bukan hanya berpaling dari keburukan itu, melainkan berperan aktif dalam menumpas kejahatan itu. Dalam dunia tasawuf, perilaku seperti ini disebut makam zuhud . Pengejaran tokoh aku terhadap tokoh ayah sampai beratus-ratus tahun tetapi belum juga berhasil membunuhnya, secara konotatif dapat diinterpretasikan bahwa upaya menumpas keserakahan atau kejahatan itu dilakukannya terus-menerus, sepanjang masa, dan dengan sungguh-sungguh, selama keserakahan atau kejahatan iru belum dapat dikalahkan. Ramalan psikolog yang dihubungi keluarga pengusaha kaya raya ini, ketika tokoh ayah seperti bertempur di dapur, bahwa tokoh ayah akan menjadi musuh besar planet ini ternayata benar. Musuh utama tokoh ayah dalam cerpen ini tampaknya adalah nili-nilai atau moral keilahian. Kata dinding pada judul “Dinding Ayah” pada cerpen ini, agaknya melukiskan seseorang yang sudah terhijab, sudah terdinding hatinya untuk melihat nilai-nilai moral keilahian sehingga perilakunya dikendalikan oleh nafsu yang ada dalam dirinya. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Berdasarkan uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Dinding Ayah” ini, terlihat bahwa para tokohnya melakukan perilaku ketasawufan itu dilatarbelakangi oleh sikap protes mereka terhadap pemerolehan harta dengan jalan yang tidak benar dan upaya mereka membentengi diri dari dosa. Mereka menyadarai bahwa harta yang diperoleh dengan cara seperi itu tidak halal sehingga harus dhindari. Perilaku seperti ini, zuhud orang awam, tampak dialkuakn oleh Mas Pramana dan Mbak Asti bersama suaminya. Tindakan anak-istri tokoh ayah yang secara diam-diam memusuhi tokoh ayah futuwwah , yang merupakan buah atau hasil zuhud, juga merupakan protes terhadap keserakahan dan kekejaman yang dilakukan tokoh ayah. Mata batin mereka mampu melihat nilai-nilai moral keilahian sehingga mereka lebih berpihak kepada orang lain, yang menjadi korban tokoh ayah, daripada berpihak kepada suami dan ayah mereka sendiri. Perilaku tokoh aku yang secara terang-terangan menyatakan perang dengan ayahnya futuwwah juga dilakukan sebagai protes terhadap keserakahan dan kejahatan yang dilakukan ayahnya. Protes yang dilakukan tokoh aku ini dilakukan dengan segenap jiwa dan raganya, dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, perilaku, ketasawufan yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Dinding Ayah” ini, bukan bertujuan untuk mencapai makrifat kepada Allah atau mengharapkan kekeramatan, melainkan untuk meningkatkan kualitas spiritual dalam rangka pengamalan nilai-nilai moral keilahian. 2.2.5 Cinta Berbuah Ketaatan yang Tinggi Hanya kepada-Nya 1 Sinopsis Cerpen “Dinding Waktu” Tokoh saya tiba-tiba dikejutkan oleh pertanyaan mengenai kepuasannya menyaksikan perang. Suara itu ternyata adalah susara batu tempat dia berlindung. Para wartawan perang memanfaatkan peristiwa itu dengan sebaik-baiknya. Mereka mewawancarai batu itu, yang ternyata adalah ibu dari tujuh puluh orang anak yang semuanya gugur dalam perang yang telah berlangsung selama seribu tahun itu. Di puncak kesedihannya, ibu itu ingin menjelma menjadi batu, maka jadilah ia batu. Ia merasa lebih baik dengan keadaannya itu karena baginya suasana, ruang, dan waktu telah musnah. Mendengar cerita itu, para wartawan itu ramai-ramai ingin dijadikan batu. Ketika ibu itu berkata “jadilah”, para wartawan itu pun menjadi batu semua. Para penonton memprotes ibu batu itu dengan mengatakan bahwa ia memusnahkan tubuhnya supaya mudah menuju kekekalan, untuk mejadi pemenang abadi. 2 Perilaku Sufistik Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Dinding Waktu” ini tampak dilakukan oleh batu, yang semula adalah seorang ibu. Perilaku ketasawufan tokoh batu ini tampaknya telah mencapai makam cinta , yang disepakati sebagian sufi sebagai makam tertinggi. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan para sufi tentang cinta ini. Nurbakhsh 1993:4 mengemukakan bahwa cinta sufi merupakan cinta transendental. Cinta ini tidak tergantung pada situasi dan kondisi apakah yang dicinta akan memberikan kebahagiaan atau kemurkaan atau hukuman. Bagi sufi, hukuman dan keramahan Yang Dincinta sama saja. Ia tetap taat pada Yang Dicinta. Al-Gazali dikutip Schimmel, 1986:139 —140 mengemukakan bahwa cinta para sufi adalah cinta yang menyucikan. Cinta ini, ibarat pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit; buahnya menampakkan dirinya di hati, di lidah, dan di anggota badan. Buah itu adalah ketaatan akan perintah Tuhan, dan kenangan terus-menerus kepada kekasih yang memenuhi hati dan melimpah ke lidah. Kecintaan tokoh batu ini terlihat dari ketaatannya akan perintah Tuhan berupa pemberian diri dan hartanya kepada Allah Surat at-Taubah:111. Tokoh batu, yang semula adalah seorang ibu, telah merelakan miliknya yang amat berharga, yaitu anak- anaknya sendiri, bahkan dalam jumlah yang amat banyak, yaitu tujuh puluh orang untuk terjun dalam peperangan yang merupakan salah satu hal yang diperintahkan Tuhan. Perang yang diwajibkan itu adalah dalam rangka berbuat kebajikan, bukan berbuat kemunkaran atau permusuhan Surat an-Nahl:90. Ia menerima dengan ikhlas anaknya satu demi satu gugur dalam pertempuran itu. Hal ini dapat dilihat dari dialog antara tokoh batu dan para wartawan peliput perang berikut. “Sesungguhnya saya seorang ibu…,” jawab batu itu. “Seorang ibu yang batu?” potong seorang wartawan. Kamera-kamera makin sibuk mencari posisi yang paling baik untuk pengambilan gambar. “Saya seorang ibu dari tujuh puluh anak. Laki-laki lima puluh dan perempuan dua puluh. Semuanya sudah musnah dalam peperangan seribu tahun ini. Yang laki-laki gugur satu per satu sebagai pejuang. Yang perempuan gugur sebagai perawat, satu per satu di garis depan.” Danarto, 1996:62. Tokoh ibu yang semula selalu gembira setiap kali melepas kepergian anaknya berperang, ketika melihat kenyataan bahwa anaknya gugur, ia merasakan kesedihan juga. Kesedihan tokoh ibu diungkapkannya seperti kutipan berikut ini. “Bagaimana datangnya keputusan Ibu untuk menjelma batu?” “Kesediahan susul-menyusul dengan penderitaan. Saya tak mungkin dapat menanggungkan penderitaan atas musnahnya puluhan anak saya. Pada puncak kesedihan dan derasnya air mata lalu saya menginginkan menjelma batu. Maka jadilah saya batu.” Danarto, 1996:62. Dengan berubahnya wujud tokoh Ibu Batu menjadi seonggok batu, ia merasa lebih baik. Inilah pengakuan tokoh ibu kepada wartawan yang mewawancarainya. “Tadinya saya pikir juga demikian. Seorang ibu biasa mengawani anak- anaknya ke medan perang dengan gembira. Tapi ketika anak-anaknya tertelungkup di lumpur dan tidak bangun-bangun, kesedihan itu benar-benar ada. Hanya dengan menjelma batu, saya menjadi beku terhadap apa saja yang pernah saya kenal. Senjata apa saja sekarang ini sudah tak mampu lagi membuat saya jatuh sedih. Suasana, ruang, waktu sudah musnah. Semuanya menjadi tidak ada.” Danarto, 1996:63. Tokoh ibu merasa bahagia setelah berubah wujud menjadi batu. Sejak itu, ia tak pernah lagi merasakan kesedihan, bahkan suasana, ruang, dan waktu yang membatasi kehidupannya menjadi tidak ada. Ia juga mampu melupakan segala yang pernah menjadi miliknya. Tokoh ibu dalam cerpen “Dinding Waktu” ini, dapat diinterpretasikan sebagai seorang hamba yang lebur dalam cinta kepada Tuhan fana . Hal ini diibaratkan oleh Syah Waliullah dikutip Schimmel, 1986:139 bagaikan sebongkah es yang dimasukkan ke dalam periuk di atas api, bongkahan es itu akan mencair, menjadi panas, mendidih, dan akhirnya menguap bagai uap air, yaitu bentuk paling dekat dengan sifat panas yang terkandung dalam cinta Ilahi. Cinta tokoh batu ini kepada Allah sebelumnya diungkapkan dalam bentuk sikap patuh yang tinggi kepada Allah. Dengan kepatuhannya itu, ia merelakan kesenangan, kebanggaan, kenikmatan duniawi, kekayaan, dan segala yang dimilikinya untuk berbakti kepada Allah. Dalam cerpen ini, pengorbanan tokoh batu itu disimbolkan dengan anak- anaknya sebanyak tujuh puluh orang gugur sebagai pahlawan dalam peperangan. Kepatuhannya ini, dalam pengertian sufi Schimmel, 1986:140 mewujud dalam penyerahan diri sepenuhnya menerima kehendak Sang Kekasih baik dalam bentuk keramahan, maupun kemarahan. Cintanya tidak berkurang karena kekejaman dan tidak bertambah karena keramahan. Bagi pecinta, sakit dan maut disambut gembira, asalkan Kekasih yang memerintahkannya. Dalam konsep tasawuf, kematian berarti leburnya sifat-sifat individual, tersingkapnya penutup yang memisahkan Kekasih yang Khalik dan pecinta yang makhluk. Al-Ghazali dikutip Schimmel, 1986:140 mengatakan bahwa tidak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian. Kematian diartikan sebagai pelepasan sifat-sifat pribadi seseorang. Di kalangan para sufi hal ini dikenal dengan istilah mati sebelum mati , yang memungkinkan mereka memikirkan dampak hilangnya sifat-sifat rendah yang mengakibatkan kebangkitan spiritual pada waktu masih hidup di dunia. Istilah ini juga dikemukakan oleh Hamzah Fansuri dikutip Zoetmulder, 1990:206. Di dalam mistik Jawa, hal ini dikenal dengan istilah mati sajro ning urip mati di tengah-tengah kehidupan, yang diartikan sebagai penyiksaan badan, dengan mengekang hawa nafsu dan menjauhkan diri dari kenikmatan, serta melakukan kebajikan Zoetmulder, 1990:205. Perubahan wujud tokoh ibu menjadi batu dalam cerpen “Dinding Waktu” ini, tampaknya mengacu pada istilah mati sebelum mati , dalam konsep tasawuf. Hal ini tampak dari pengakuan tokoh batu ketika diwawancarai para wartawan seperti kutipan berikut. …. Hanya dengan menjelma batu, saya jadi beku terhadap apa saja yang pernah saya kenal. Senjata apa saja sekarang ini sudah tidak mampu lagi membuat saya jatuh sedih. Suasana, ruang, waktu, sudah musnah. Semuanya menjadi tidak ada Danarto, 1996:63. Dengan leburnya pecinta, dalam hal ini tokoh batu, ke dalam cinta Ilahi, menjadikan ia tidak pernah lagi memikirkan penderitaan. Keadaan seperti ini diungkapkan oleh Hujwiri sebagaimana dikutip Schimmel 1986:136 berikut ini. Adalah kebiasaan Tuhan untuk selalu menampakkan diri kepada hati orang yang mencintainya, agar supaya kebahagiaan yang ditimbulkannya menguatkan mereka untuk menahan segala penderitaan; lalu mereka berkata dalam doa: Bagi kami semua siksaan lebih diinginkan daripada bila kami tertutup dari Engkau. Jika keindahan-Mu terungkap di hati kami, penderitaan tidak kami pikirkan. Peperangan dalam cerpen “Dinding Waktu” ini dapat diinterpretasikan sebagai kehidupan di dunia ini yang penuh dengan benturan atau pertarungan antara kebaikan dan keburukan, kejujuran dan kecurangan, kebahagiaan dan kesedihan, hak dan kewajiban. Tokoh aku telah memenangkan peperangan itu dengan mengubah wujudnya menjadi batu atau mati sebelum mati , walaupun ia diprotes oleh para penikmat kehidupan. Para penikmat kehidupan itu dalam cerpen ini dimetaforkan dengan para penonton perang. Hal ini memperlihatkan nada penentangan para penonton perang itu terhadap sikap tokoh batu. Protes para penonton perang itu dapat dilihat dari kutipan berikut. “Ibu batu itu tidak sportif” Teriak salah satu penonton. “Dia harus dikenai kartu merah” “Dia penonton berbahaya. Dia memusnahkan tubuhnya supaya mudah menuju kekekalan, untuk menjadi pemenang abadi,” teriak yang lain. Kami berlarian terus meninggalkan batu-batu itu, diantara gelegar dan desingan Danarto, 1996:63. Keadaan atau peristiwa leburnya sang pencipta atau makhluk dengan yang dicintainya atau Khalik, dalam tasawuf diistilahkan dengan fana Schimmel, 1986:134. Fana ini selalu diikuti oleh baka , yaitu ‘kelestarian, tinggal di dalam Tuhan’. Maksudnya pecinta yang telah mencapai fana itu merasakan kelestariannya di dalam Tuhan. Bila diperhatikan kutipan di atas, tampaknya tokoh batu telah mencapai fana dan baka ini. Dikatakan demikian, karena ia telah mencapai peleburan diri itu dengan Tuhan melalui cintanya kepada Tuhan yang menyebabkan ia melepaskan sifat-sifat pribadi dan kebahagiaannya, untuk mengantarkannya kepda kekasihnya Tuhan. Dalam cerpen ini dilambangkan dengan ibu itu menjadi batu. Fana ini juga diikuti oleh baka . Hal ini diperlihatkan oleh kutipan di atas. Selain itu , perubahan wujud Ibu menjadi batu dalam cerpen “Dinding Waktu” ini dapat diinterpretasikan sebagai kematian lahiriah. Di dalam tradisi sufi, kematian lahiriah atau kematian yang sesungguhnya juga merupakan tujuan tersendiri. Mengenai hal ini , al-Ghazali dikutip Schimmel, 1986:140 —141 mengemukakan, “Pencinta yang sudah belajar menerima kematian sebagai jembatan kepada yang dicintai seharusnya menyerahkan nyawanya dengan senyum seperti bunga mawar”. Itulah sebabnya, al- Hallaj, salah seorang sufi penganut paham wahdat al-wujud , menari-nari dengan tangan terbelenggu ketika dibawa untuk menjalani hukuman mati. Tokoh batu yang merasa lebih bahagia dengan perubahan wujudnya itu dapat juga diartikan sebagai kematian lahiriah ini. Dengan kematian itu, ia merasa lebih bahagia karena telah berjumpa dengan Tuhan. Tampaknya, judul cerpen ini menggambarkan bagaimana seorang yang telah mencapai fana dan baka atau orang mati sebelum mati , atau orang mati fisik itu merasakan bahwa ia tidak lagi merasakan jarak dan waktu yang membatasinya. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Berdasarkan uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Dinding Waktu” ini, terlihat bahwa tokoh ibu yang akhirnya berubah menjadi batu, melakukan perilaku sufistik adalah karena cintanya kepada Tuhan. Kecintaannya ini diwujudkan dalam bentuk ketaatan atau kepatuhannya yang tinggi kepada Tuhan. Ia telah mengaorbankan segala kesenangan, kebanggaan, kebahagiaan, dan miliknya untuk berbakti kepada Allah. Dalam cerpen ini, segala kebahagiaan dan kesenangan itu dilambangkan dengan gugurnya ketujuh puluh orang anaknya di medan perang yang berlangsung selama seribu tahun. Ketaatan atau kepatuhannya yang tinggi ini akhirnya membawanya pada kepasrahan menerima segala ketentuan yang diberikan Allah kepadanya, baik ketentuan itu berupa kebahagiaan atau penderitaan. Semua itu tidak menyebabkan kecintaannya kepada Tuhan bertambah atau berkurang. Akhirnya leburlah tokoh batu dalam cintanya kepada Tuhan, sehingga ia telah menanggalkan keindividualannya menuju keilahian. Hal ini dalam tasawuf diistilahkan dengan mati sebelum mati . Dalam cerpen ini dilambangkan dengan perubahan wujud tokoh Ibu menjadi batu. Peristiwa ini dapat diinterpretasikan sebagai kematian lahiriah, karena kematian lahiriah juga adalah hal yang membahagiakan para sufi karena mereka akan bertemu dengan kekasihnya. Baik dalam pengertian mati sebelum mati , maupun dalam pengertian mati lahiriah, ternyata bahwa keduanya menjadikan tokoh batu merasakan kebahagiaanya. Dengan demikian, hal yang melatarbelakangi tokoh batu melakukan perilaku ketasawufan dalam cerpen ini adalah cintanya kepada Allah, sehingga ia merelakan segala yang dimilikinya untuk mengabdi kepada yang dicintainya. Karena cintanya kepada Allah itulah yang mengantarkannya pada tahap fana dan baka . 2.2.6 Kepemimpinan Dilandasi Cinta Berbuah Kebijakan Berpihak pada Rakyat 1 Sinopsis Cerpen “Gaharu” Pangeran Muda bersama para ulama pendampingnya, menyaksikan atrasksi kesenian yang digelar oleh sekelompok katak, di sebuah taman yang indah. Pangeran Muda hampir bahagia karena ia mendengar seakan-akan nyanyian itu menyebut-nyebut namanya dan ia juga seperti melihat nyanyian itu. Ia berterima kasih atas penghormatan itu dan penghormatan lainya dari mahluk yang lain. Para penonton menyaksikan pertunjukkan itu penuh khidmat, sehingga mereka hampir lupa bahwa pendukung pementasan seni itu adalah binatang-binatang yang sering diusir dari kolam. Mereka betul-betul menikmati atraksi itu. Kerajaan itu selalu membicarakan hal-hal yang sedang dihadapi rakyatnya dan memberi fatwa untuk menghadapi masalah itu. Fatwa ini juga diterima oleh negara- negara tetangga karena fatwa itu selalu dilandasi oleh kearifan dan kasih sayang Pangeran. Oleh sebab itu, sang Pangeran menjadi incaran negara-negara lain untuk memimpin negara mereka. Walaupun kerajaan Pangeran itu tidak memiliki angkatan perang, mereka selalu selamat dari serbuan angkatan perang negara yang mengincarnya itu. Ketika Pangeran tiba-tiba lenyap, timbul keinginan angkatan perang negara- negara tetangga untuk ikut mencari Pangeran kerajaan itu. Kalaulah semasa ada Pangeran, rakyat kerajaan itu patuh untuk tidak balas menyerang setiap kali ada serbuan negara asing, ketika Pangeran tidak ada lagi mereka tidak bisa mengendalikan diri. Mereka menyerang tanpa senjata sehingga pasukan perang negara asing itu menyingkir dengan malu. Di lain pihak, semenjak kepergian Pangeran, seluruh rakyat dan pada ulama kerajaan itu tidak bergairah lagi. Semua sektor kehidupan merosot, termasuk moral rakyatnya. Pencarian Pangeran, yang diduga diculik ke dalam hutan, terus dilakukan sehingga hutan menjadi porak-poranda dan rongsokan senjata perang berserakan. Timbul inisiatif pohon besar di hutan balik menyerang negara asing itu. Melalui angin dan izin Tuhan, dikirimnyalah seikat ilalang ke negara yang paling mengincar Pangeran, sehingga semua angkatan perang dan baju tentara negara itu ditumbuhi ilalang. Dengan demikian, negara itu terkalahkan. Pasukan ilalang itu setelah kembali ke kerajaan mendapat tugas mencari Pangeran. Sementara para ulama merasa sedih dan meninggalkan istana. Tinggallah kerajaan itu tanpa pemimpin. 2 Perilaku Sufistik Perilaku Sufistik tokoh yang terdapat di dalam cerpen “Gaharu” ini tampak dilakukan oleh tokoh Pangeran Muda. Perilaku sufistik yang dilakukan itu berhubungan dengan makam cinta , yang merupakan makam tertinggi dalam tarikat . Oleh sebab itu, jika seseorang telah mencapai makam ini, tentu saja ia telah melampaui makam-makam sebelumnya seperti tobat, sabar, zuhud, wara, dan tawakal . Demikian juga halnya Pangeran Muda dalam cerpen ini. Karena ia telah mencapai makam cintai , tentu saja ia telah melampaui makam-makam sebelumnya. Cinta dan kasih sayang yang dilakukan oleh Pangeran Muda tampak dari perilakunya yang penuh kasih sayang kepada rakyatnya. Bahkan, Pangeran Muda juga memperlakukan makhluk lainnya dengan kasih sayangnya. Hal ini terlihat dari penuturan narrator dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” serbatahu berikut, yang sekaligus memperlihatkan nada simpati kepada Pangeran. …. Taman yang indah itu ada dengan sendirinya, sebagai ungkapan terima kasih alam kepada Pangeran Muda yang selalu menebarkan kasih sayang kepada rakyatnya. Pohon-pohonnya menghasilkan buah-buah lezat, pohon yang tahu berterima kasih, yang sering mendapatkan perawatan langsung dari tangan Pangeran sendiri Danarto, 1996:85. Cinta dan kasih sayang Pangeran sangat mewarnai kepemimpinannya. Ia selalu tanggap menghadapi segala masalah yang sedang berkembang di lingkungan kerajaannya. Oleh sebab itu, setiap kali ada masalah yang sedang berkembang, para ulama selalu mendiskusikannya dan hasilnya berupa fatwa yang amat berguna bukan saja bagi rakyat kerajaan itu, tetapi juga bagi rakyat negara-negara tetangganya. Mereka menerima fatwa itu dengan senang hati karena pemerintahan kerajaan itu dilandasi kasih sayang Pangeran Muda. Keadaan ini terlihat dari kutipan berikut. Sehabis menyaksikan peristiwa yang unik atau penting, maupun peristiwa- peristiwa yang hanya berdasarkan laporan rakyat, biasanya para ulama lalu bertemu untuk berbincang-bincang kalau-kalau ada hal yang dapat didiskusikan. Sering dari pertemuan itu lalu diumumkan suatu fatwa yang menyangkut kepentingan orang banyak berdasarkan peristiwa yang baru dialami. Itulah tugas alim ulama, dan fatwa itu menjangkau ke negara-negara lain. Mereka dapat menerima fatwa itu dengan senang hati, mengingat kerajaan Pangeran Muda merupakan kerajaan belas kasih yang pemerintahannya berdasarkan kasih sayang. Pangeran hidup sendirian, sehingga ia lebih mirip pertapa daripada seorang raja. Ia dipanggil Pangeran, itulah nama sebutannya, tak lebih dan tak kurang. Kerajaan tak memiliki angkatan perang Danarto, 1996:88. Kutipan di atas juga memperlihatkan nada simpati terhadap tindakan yang dilakukan tokoh Pangeran. Kepemimpinan Pangeran yang berlandaskan kasih sayang ini akhirnya menyebar ke negara-negara lain. Itulah sebabnya kerajaan Pangeran yang tidak memiliki angkatan perang itu selalu diserbu oleh angkatan perang negara lain. Mereka ingin meculik Pangeran untuk memimpin negara mereka. Walaupun demikian, mereka selalu gagal karena sebelum memasuki balairung mereka berhadapan dengan angkatan perang lain yang juga menginginkan Pangeran. Kedua bala tentara itu sama-sama musnah. Sikap Pangeran yang demikian, dilandasi oleh makam tawakal , dalam arti berserah diri secara total kepada Allah Ensiklopedi Islam, 1994:125. Al-Ghazali 1998:142 mengemukakan bahwa keadaan spiritual yang tumbuh dari sikap tawakal ini adalah “ketenangan dan penyandaran kalbu kepada Allah Swt.” Bahkan para sufi, misalnya saja Zunnun, dikutip Schimmel, 1986:121 menggambarkan tawakal sebagai “kepastian sepenuhnya”. Maksudnya, Tuhan dalam kemutlakan-Nya adalah satu-satunya pelaku; karena itu manusia harus sepenuhnya mengandalkan Dia. Atau dengan kata lain, kekuatan Ilahi mencakup segalanya dan manusia percaya penuh kepada kekuatan-Nya. Tampaknya, gambaran tawakal inilah yang melandasi sikap Pangeran yang tidak memerlukan angkatan perang. Ia yakin sepenuhnya bahwa Tuhan adalah satu-satunya pelaku sehingga ia sepenuhnya mengandalkan kekuatan-Nya itu. Berkali-kali kerajaannya diserbu pasukan negara lain, tetapi kerjaannya selalu menang tanpa perlawanan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut. Karena itulah kerajaan sering diserang oleh negara-negara tetangga. Mereka tidak ingin menjajah atau merampok, tetapi hanya menginginkan Pangeran. Setiap kali pasukan musuh memasuki balairung kerajaan untuk menangkap Pangeran, pasukan musuh yang lain juga sedang mencari Pangeran, menyerangnya. Pertempuran terjadi di balairung itu. Sampyuh . Kedua pasukan itu mati semua. Tak seorang pun selamat dan meloloskan diri. Begitulah, kejadian itu selalu berulang kembali. Atau secara diam-diam, suatu pasukan khusus yang terdiri dari tiga atau lima orang, menyelinap masuk ke kerajaan. Tujuan mereka sama. Tetapi pasukan istimewa ini tetap tidak mampu menemukan Pangeran. Entah Pangeran bersembunyi di mana Danarto, 1996:88 —89. Ketawakalan dalam cerpen “Gaharu” ini juga tampak dilakukan oleh pohon- pohon dan ilalang yang ada di hutan. Ketawakalan ini tampak setelah mereka merencanakan penyerangan balik terhadap negara-negara penyerang yang telah memporak-porandakan kelestarian hutan. Yang ditugasi melakukan penyerangan itu adalah ilalang, bukan gajah atau harimau. Hal ini dilakukan mengingat gajah atau harimau mudah tertembak, sedangkan ilalang tidak. Dialog antara pohon dan ilalang berikut ini memperlihatkan hal itu. Ketika pagi belum terang tanah, seikat ilalang dicabut oleh sebatang pohon besar dari tanah tempat tumbuhnya. Pohon dan ilalang yang lain terpana. “Jika Tuhan mungkin mengizinkan, jadilah kamu, sahabatku, mengemban tugas yang sebenarnya musykil untuk dapat dikerjakan, melawan bala tentara yang gemar menyerang negeri kita,” bisik pohon besar kepada seikat ilalang itu. “Jika Tuhan memang mengizinkan, doamu dikabulkan, sahabatku, jadilah aku senjata yang mengalahkan mereka,” balas seikat ilalang itu. Pohon dan ilalang yang lain terpana. Udara pagi menghantarkan kesejukan. Sinar matahari mulai membuka kabut. Pohon-pohon mulai menghadiahkan bayang Danarto, 1996:93. Kutipan di atas juga memperlihatkan nada simpati dan kagum narator terhadap ketawakalan yang dilakukan oleh makhluk tumbuhan ini. Usaha yang disertai ketawakalan ini mendatangkan hasil yang memuaskan. Melalui perantaraan angin, ilalang itu tiba di negeri yang paling mengincar Pangeran. Mereka tumbuh dengan amat subur sehingga negeri itu dipenuhi ilalang bagaikan kota yang tidak berpenghuni. Mereka juga tumbuh di semua peralatan perang milik negeri itu. Bahkan, mereka menumbuhi pakaian para tentaranya sehingga negeri itu dapat ditaklukkan. Negeri-negeri lain pun ditaklukkan dengan cara seperti ini. Dengan demikian, kemenangan ada di pihak kerajaan Pangeran. Hal ini juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap ketawakalan yang dilakukan pohon dan para ilalang itu. Tampaknya ketawakalan yang dilakukan oleh Pangeran dan yang dilakukan oleh para pohon dan ilalang memperlihatkan perbedaan. Ketawakalan yang dilakukan oleh Pangeran merupakan ketawakalan yang tergolong keras sebagaimana yang diseringkali dipraktikkan oleh sufi pada masa awal. Tawakal dimaknai sebagai meyakini tauhid. Di satu sisi, takut, dianggap menggantungkan diri pada sesuatu makhluk, berarti syirik khafi ‘mempersekutukan Tuhan secara tersembunyi’. Dalam psikologi sufi, tawakal merupakan salah satu kebenaran asasi. Apabila setiap perasaan dan pikiran ditujukan kepada Tuhan dalam ketulusan yang sempurna tanpa pamrih tambahan, tak ada manusia atau binatang yang dapat melukai sufi. Dengan demikian, tawakal menghasilkan ketentraman batin yang sempurna Schimmel, 1986:123. Dalam cerpen “Gaharu” ini, Pangeran mempraktikkan ketawakalan yang tergolong keras. Ia yakin sekali bahwa Allah akan melindunginya, rakyatnya, dan kerajaannya sehingga ia tidak memerlukan angkatan perang. Ketawakalannya itu menjadikan tidak satu pun negara yang menginginkannya berhasil menangkapnya. Mereka musnah sesama mereka sebelum sempat memasuki gerbang istana. Ketawakalan yang dipraktikkan oleh pohon-pohon dan ilalang merupakan ketawakalan yang sering dipraktikkan oleh sufi moderat. Ketawakalan ini lebih sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. ketika beliau menasihati seorang Badui berikut. “Pertama-tama ikatlah dulu lutut ontamu, kemudian percayakanlah kepada Tuhan” Dikutip Schimmel, 1986:123. Dengan demikian, sebelum menyerahkan kepada Allah, manusia hendaklah melakukan usaha terlebih dahulu. Dalam hubungannya dengan cerpen “Gaharu” ini, pohon melakukan usaha berupa pengutusan bala tentara ilalang berikut. Pohon-pohon besar lalu menyatukan rasa, memusatkan pikiran, mengerahkan tenaga untuk menghimpun angin. Setelah setiap sayap angin dapat dikumpulkan, lalu ditaruh di sebuah palung yang menganga di angkasa. Begitu sudah cukup kekuatannya, pohon-pohon besar itu lalu berputar-putar menghembuskan angin dari palung ke arah seikat ilalang itu hingga terbuncang jauh, sangat jauh, menuju negera-negara yang akan diserangnya. Seikat ilalang itu melayang dengan kecepatan penuh sebagai diterbangkan angin Nabi Sulaiman. Melewati gundukan-gundukan awan yang merupakan patung-patung angkasa yang selalu berubah bentuknya yang terpancang tak habis-habisnya, seikat ilalang itu merasakan adanya suatu tanah yang subur, ingin rasanya tumbuh dan mengembang di situ. Tapi angin memberi tahu bahwa gumpalan awan adalah sejenis gumpalan angin yang tak terpegang oleh siapa pun. Seikat ilalang itu akhirnya jatuh dalam kawasan salah satu negera yang sangat mengincar Pangerannya Danarto, 1996:94. Usaha pengerahan bala tentara ilalang ini disertai penyerahan kepada izin Allah. Baik pohon maupun ilalang, berserah kepada kekuasaan dan izin Allah. Hal ini terlihat dari dialog pohon besar dan ilalang berikut yang menampakkan nada simpati dan kagum terhadap pohon dan ilalang. “Jika Tuhan mungkin mengizinkan, jadilah kamu, sahabatku, mengemban tugas yang sebenarnya musykil untuk dapat dikerjakan, melawan bala tentara yang gemar menyerang negeri kita,” bisik pohon besar kepada seikat ilalang itu. “Jika Tuhan memang mengizinkan, doamu dikabulkan, sahabatku, jadilah aku senjata yang mengalahkan mereka,” balas seikat ilalang itu Danarto, 1996:91. Baik pohon maupun ilalang dalam cerpen “Gaharu” ini tidak hanya mengandalkan ketawakalan semata atau mengandalkan usaha semata, melainkan menggabungkan kedua usaha itu. Ketawakalan secamam ini juga mendapat balasan dari Allah berupa keberhasilan mereka mengalahkan negara yang sering menyerang mereka, walaupun keadaan mereka tidak mendukung. Tokoh Pangeran dalam cerpen “Gaharu” ini mengingatkan orang pada kisah sufi masa silam, yaitu Ibrahim bin Adham. Sufi satu ini sering disamakan dengan Budha, dalam hal keduanya sama-sama seorang raja yang hidup penuh dengan kegemerlapan, lalu meninggalkannya. Salah satu versi cerita Ibrahim bin Adham dikemukakan Goldziher dikutip Syukur, 1997:73 seperti berikut. Suatu ketika para penjaga istana Ibrahim bin Adham mendengar suara gaduh dan gemuruh di atas atap istana. Ternyata mereka sedang mencari ontanya yang hilang. Para penjaga istana itu membawa mereka ke hadapan Ibrahim. Ketika mereka ditanya Ibrahim tentang kemungkinan terjadinya onta lari ke atas atap, mereka menjawab bahwa mereka sekedar mengikuti apa yang dilakukan Ibrahim, yaitu berusaha mencari atau bertemu Allah dengan cara duduk di singgasana. “Adakah orang yang seperti itu bisa mendekatkan diri kepada Allah?” pencari onta itu balik bertanya. Sejak peristiwa itu, Ibrahim lari dari istananya dan tidak ada seorang pun yang melihatnya kembali. Versi lain mengisahkan bahwa pada suatu hari Ibrahim bin Adham berburu ke hutan. Ketika ia mengejar seekor rusa, tiba-tiba ia terpisah dari teman-temannya. Sewaktu kijang itu dekat dengannya, hati nuraninya bertanya, “Adakah untuk ini kau diciptakan di alam ini?” Pertanyaan ini menyadarkannya sehingga ia bertobat dan hidup menyendiri. Ia akhirnya mencari makan dari tangannya sendiri. Dari kedua jalan cerita itu, tampak adanya kemiripan jalan hidup yang ditempuh Pangeran Muda dengan Ibrahim bin Adham. Kelenyapan Pangeran yang tiba-tiba itu terjadi tidak lama setelah ia menyaksikan atraksi seni yang disajikan oleh para katak. Pementasan seni itu dilakukan oleh para katak sebagai ungkapan terima kasih mereka terhadap kebijaksanaan Pangeran dalam memimpin kerajaannya. Pangeran beserta para ulama yang mendampinginya betul-betul menikmati sajian itu sehingga mereka tidak ingat bahwa katak-katak yang sedang mengucapkan terima kasih kepada mereka itu adalah katak-katak yang sering mereka usir dari kolam. Pangeran bahkan seakan mendengar para kata itu memujinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut. Gerombolan katak yang jumlahnya lebih dari seribu itu lalu mendengungkan nyanyiannya, nyaring, dengan bentuk yang kelihatan bulat. Nyanyian itu mirip dengan bunyi-bunyian perkusi, sambung-menyambung, saling meloncat-loncat, saling tubruk, lalu menyambar satu-satu. Satu suara yang jernih, orisinil, dan memikat. Air kolam seperti merekam nyanyian itu, lalu menyiarkannya ke angkasa, melintasi bulan dan mengembalikanya ke permukaan bumi. Dan gaung nyanyian itu seperti mengembang di atas permukaan kolam. Pangeran itu menjulurkan tangannya ke arah kolam seakan-akan mau meraba tebaran gaung nyanyian itu. “Sepertinya saya melihat nyanyian itu,” gumamnya. Ia tampak tenang. Hampir-hampir bahagia. Tampak pada raut mukanya rasa berterima kasih yang dalam. Selama ini ada saja makhluk-makhluk dari berbagai jenis yang memberikan apa-apa yang mereka anggap baik bagi Pangeran, sebagai kekaguman dan penghormatan. Gerombolan burung, gerombolan kera, tak kurang dari mencericit, menceroak, seperti suara-suara mereka di kebun binatang, memberikan warna berbeda yang kesemuanya itu mengagumkan. Pangeran Muda dan para ulama itu mengikuti jalannya pementasan para katak dengan penuh khidmat. Mereka hampir-hampir tidak melihat bahwa yang dihadapi adalah segerombolan binatang yang sering diusir dari kolam. Pada puncak pergelaran itu, seluruh katak itu berloncatan kian kemari, menganga mengatup mulutnya. king kong kong k k k kung kong i kung kong i kung kong i king n n n kong kong g kong kong g g kong n n n u u u k k k o o o n n n g k i n g k i n g k i n g n a n a n a o n o n o n k u n g k u n g k u n g k o n g k i n g k a n g k a n g k u n g k o n g k u n g k u n g k o n g k i n g k a n g k o n g k i n g k u n g k a n g k i n g k o n g u n n i k a n g k u n g Danarto, 1996:86 —87. Tampaknya, atraksi kesenian yang disajikan para katak itu menimbulkan konflik batin di hati Pangeran, yang akhirnya menyadarkan ia, sebagaimana sadarnya Ibrahim bin Adham. Pangeran sadar akan kebesaran jiwa para katak, walaupun sering diusir dari kolam istana, mereka tetap mengabdi kepada sang Pangeran dengan nyanyian pujian kepadanya. Pujian itu juga datang dari para makhluk lainya. Menurut Ibrahim bin Adham dikutip Syukur, 1997:79 pujian merupakan salah satu sebab tertutupnya hati nurani seseorang. Semua itu membawa Pangeran pada renungan tentang keadaannya yang hidup serba gemerlapan, sedang makhluk di sekelilingnya ada yang menderita, bahkan penderitaan itu disebabkan oleh kebijakannya, misalnya terusirnya para katak. Konvigurasi para katak sewaktu menyanyi juga ikut menyadarkannya. Konvifurasi itu, tampak seperti terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas, seperti bentuk binatang sedakan bagian bawahnya tampak seperti bentuk mahkota. Bentuk mahkota yang berada di bawah bentuk binatang dapat dimaknai sebagai keadaan yang dialami oleh Pangeran. Sesungguhnya kehidupannya yang penuh kekuasaan dan kegemarlapan itu tidak lebih baik daripada kehidupan para katak, walaupun tersisih dapat menikmati dan merasakan syukur yang dalam kepada rajanya. Renungan-renungan inilah tampaknya yang menyebabkan kesadaran spiritualnya sehingga akhirnya ia meninggalkan istananya dengan segala kemewahannya itu. Tokoh Pangeran yang akhirnya meninggalkan segala kemewahan hidupnya sebagai raja itu, di dalam dunia tasawuf diistilahkan dengan zuhud . Perlakukan para sufi tidak sama terhadap kezuhudan ini. Akan tetapi, para sufi sama-sama menekankan pentingnya makam zuhud ini. Kezuhudan yang ditempuh Pangeran ini, tampaknya dilandasi anggapan seperti yang dikemukakan oleh sufi, Hasan al-Basri, dalam Ensiklopedi Islam , 1994:125 agar memperlakukan dunia sebagai jembatan untuk dilalui, jangan membangun apa-apa di atasnya. Menurutnya dunia ini hendaknya dijauhi karena ia bagaikan ular, lembut bila dielus dengan tangan, tetapi racunnya mematikan. Menghadapi dunia hendaklah berhati-hati kerena ia penuh kebohongan dan kepalsuan. Sebagian sufi, terutama sufi klasik, menganggap bahwa dunia dan segala kehidupan materinya merupakan sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa. Dengan demikian, ia menjadi penghalang untuk sampai kepada Allah. Tokoh Pangeran dalam cerpern “Gaharu” ini dapat juga diinterpretasikan sebagai sosok pemimpin yang melandasi kepemimpinannya dengan kasih sayang cinta . Kepemimpinannya yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang ini menjadikan segala kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin selalu berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpin itu akan diterima dengan senang hati, bukan saja oleh rakyatnya tetapi juga oleh masyarakat dunia atau internasional. Hal ini tergambar dari penuturan narat or dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” berikut. …. Dan fatwa itu menjangkau ke negara-negara lain. Mereka dapat menerima fatwa itu dengan senang hati mengingat kerajaan Pangeran merupakan kerajaan belas kasih, yang pemerintahannya berdasarkan kebijaksanaan kasih sayang. Pangeran hidup sendirian, sehingga ia lebih mirip pertapa daripada seorang raja. Ia dipanggil Pangeran, itulah nama sebutannya, tak lebih dan tak kurang Danarto, 1996:88. Kutipan di atas mermperlihatkan nada simpati narator kepada Pangeran. Selain itu, kepemimpinan yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang dalam cerpen “Gaharu” ini tampak mendatangkan kebahagiaan bagi seluruh rakyat dan rasa syukur kepada pemimpinnya. Hal ini menjadikan pemimpin itu lebih dihormati dan disayangi rakyatnya. Ungkapan terima kasih para rakyat ini dimetaforkan dengan atraksi seni dari para katak dan suara makhluk-makhluk lainnya, serperti kera dan para burung. Lebih jauh lagi, tokoh Pangeran dalam cerpen “Gaharu” ini dapat diinterpretasikan sebagai nilai-nilai keilahian itu sendiri. Nilai keilahian dimaksud adalah nilai-nilai sebagaimana yang terdapat di dalam nama-nama Allah. Hal ini tampak dari perubahan sudut pandang pengarang “diaan” sebagai observer, menjadi sudut pandang akuan jamak yaitu kami berkut. Degup jantung hutan itu seperti kedengaran sampai istana, o, rimba yang mendekap Pangeran, menyibaklah, kembalikan ia kepada kami. Atau kami bakal terpanggang senyap oleh lebat daunmu, tanpa tahu jalan, tanpa ada yang bisa ditanyai. Setiap cabang, ranting, memiliki rahasianya sendiri yang harus ditebak dengan cara-cara yang khusus, daun yang gugur menorehkan tinta di Lauhul Mahfud, dan tiap tetes hujan disertai satu malaikat. Pangeran maafkan kami jika menghilangmu karena kemarahanmu melihat sepak terjang kami. Di manakah bisa kami temui jika memang engkau bersembunyi bukan karena maumu. Berserulah, supaya gaung suaramu dapat kami tangkap Danarto, 1996:91. Kutipan di atas juga memperlihatkan nada penyesalan terhadap lenyapnya Pangeran. Nilai- nilai keilahian yang tampak dalam cerpen “Gaharu” ini adalah ar- Rahman Maha Pengasih dan ar-Rahim Maha Penyayang. Selama kedua nilai ini melandasi kehidupan di dunia ini, segala penghuni alam hidup dalam keseimbangan dan penuh kasih sayang serta rasa syukur. Di dalam cerpen ini, hal ini terlihat dari keseimbangan kasih antara pohon dan Pangeran. Pohon-pohon yang telah dirawat oleh Pangeran dengan kasih sayang, memberikan buah-buahnya yang lezat sebagai ungkapan terima kasih atas kasih sayang yang telah diberikan Pangeran kepada mereka Danarto, 1996:85. Mahluk yang lain pun, seperti burung-burung dan para kera juga merasakan kasih sayang Pangeran dengan pernyataan syukur mereka berupa suara mereka yang memberikan keindahan di kerajaan itu Danarto, 1996:86. Begitu juga halnya dengan rakyat kerjaan itu. Mereka selalu menerima segala kebijakan yang diambil oleh Pangeran dengan senang hati karena kebijakan itu selalu berpihak pada kepentingan meraka. Kebijakan ini dilandasi rasa kasih dan sayang Pangeran terhadap rakyatnya. Karena kebijakan bersifat universal, maka ia diterima juga oleh negara-negara tetangga kerajaan itu Danarto, 1996:88. Bahkan, nilai-nilai kasih sayang itu mampu menghindarkan kekuatan-kekuatan musuh yang datang dari luar. Mereka semuanya musnah tanpa perlawanan dari pihak Pangeran Danarto, 1996:88 —89. Akan tetapi, ketika nilai-nilai keilahian itu lenyap, tidak dijadikan sebagai pedoman di dalam kehidupan, segala tatanan kehidupan di kerajaan itu pun menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini terlihat dari kutipan berikut. Kerajaan yang ditinggalkan Pangeran itu jadi tidak memikat. Rakyatnya tidak bergairah lagi mencari nafkah. Para ulamanya dirundung kesedihan. Perdagangan merosot. Saling pengertian antar manusia menjadi susut. Moral jadi barang yang disamarkan. Tanah pertanian menjadi tak terurus. Perindustrian macet. Keluarga-keluarga saling bertengkar. Ini semua mengakibatkan seluruh sektor kehidupan jadi kehilangan pegangan. Alam sepertinya juga tak membatu. Pangeran yang diperkirakan diculik ke hutan, rasanya pohon-pohon bertambah lebat. Binatang-binatang yang hidup di dalamnya jadi ganas, yang menyebabkan tak seorang pun berani merambah ke dalam hutan. Sekali lagi inilah kesempatan bagi negara tetangga untuk menangkap Pangeran – yang menurut undang-undang mereka sendiri secara sah Pangeran diburu oleh siapa pun itu – menurut keyakinan siapa pun – sangat berguna bagi negara yang memilikinya, karena jiwa Pangeran mampu mengayomi negara dan bangsa Danarto, 1996:91. Kutipan di atas juga memperlihatkan nada simpati penutur cerita kepada Pangeran. Pencarian terhadap Pangeran yang hilang, yang tidak hanya dilakukan oleh rakyatnya sendiri tetapi juga dilakukan oleh angkatan perang negara lain, merupakan metafor pencarian manusia terhadap nilai-nilai keilahian itu. Akan tetapi, cara yang mereka lakukan bahkan menjauhkan mereka dari nilai-nilai keilahian, bahkan mereka telah menghancurkan nilai-nilai itu, seperti marusak alam. Hal ini, tampaknya mengakibatkan pencarian itu tidak kunjung bertemu. Judul cerpen ini, yaitu “Gaharu” tampaknya, dapat diinterpretasikan bahwa sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan itu tidak lain adalah melakukan tindakan yang mengandung nilai-nilai keilahian. Dikatakan demikian, karena baik di dalam tradisi Jawa maupun di dalam tradisi Melayu, gaharu digunakan sebagai sarana untuk berhubungan dengan kekuatan gaib atau supranatural. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Gaharu” ini, terlihat bahwa ada perbedaan latar belakang tokoh Pangeran melakukan perilaku sufistik. Ketika ia masih menjadi Pangeran di kerajaannya, tampaknya ia melakukan perilaku sufistik pada makam cinta dan tawakal , akhirnya ia melakukan kezuhudan dengan meninggalkan istananya. Makam cinta yang dilakukan Pangeran terwujud dalam bentuk cinta dan kasih sayangnya kepada segenap rakyat dan semua makhluk yang ada di kerajaanya. Oleh sebab itu, semua kebijakan yang diambilnya selalu berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan ia menjadi incaran negera-negara tetangganya. Tampaknya, ini semua dilakukan oleh Pangeran dilatarbelakangi kepercayaan bahwa jabatan merupakan amanah Allah dan oleh sebab itu, ia harus menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya, antara lain ia harus berakhlak sebagaimana akhlak Allah, yaitu dengan memanifestasikan sifat-sifat Allah. Dalam tasawuf hal ini dikenal dengan istilah at-Tasybih Rakhmat, 1991:1. Perilaku Pangeran ini ternyata menjadikan ia dicintai oleh rakyatnya dan segenap mahluk yang ada di kerajaanya itu. Ketawakalan yang dilakukan Pangeran, tampaknya dilatarbelakangi oleh keyakinan yang kuat akan kemahakuasaan Allah. Ia yakin bahwa bila Allah menghendaki sesuatu, tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya. Demikian juga sebaliknya, jika Allah tidak menghendaki sesuatu, usaha apa pun yang dilakukan oleh manusia akan sia-sia saja. Hal itulah yang melandasi kebijakannya yang tidak memiliki angkatan perang untuk melindungi dirinya dan kerjaannya. Walaupun berkali-kali diserang angkatan perang negara lain, kerajaannya tetap selamat dan ia juga terhindar dari penculikan. Dengan demikian, ia berhasil menyelamatkan kerajaannya dari ancaman bahaya. Tampaknya, kezuhudan yang dilakukan Pangeran, dilatarbelakangi oleh kesadaran yang muncul dalam dirinya, bahwa jabatan dan kehidupan yang penuh dengan kemewahan tidak mungkin dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Oleh sebab itu, ia meninggalkan kerajaanya dan pergi entah ke mana. Kepergian Pangeran ini tampaknya menimbulkan kemerosotan kehidupan di kerajaannya, baik secara lahir maupun batin. Ketawakalan yang dilakukan oleh pohon-pohon besar dan para ilalang, tampaknya juga dilandasi oleh iman yang kuat akan kemahakuasaan Allah. Dengan sikap seperti ini, mereka dapat menaklukkan semua negara yang sering menyerang mereka itu. 2.2.7 Isar dan Futuwah Sarana Amar Makruf Nahi Munkar Seniman 1 Sinopsis Cerpen “Balairung” Ki Ageng Tjiptowiro, seorang dalang terkenal, tiba-tiba ditahan oleh CPM atas perintah Bupati tanpa diketahui sebabnya. Peristiwa penahanan ini dianggap isteri Pak Dalang sebagai suatu penghinaan, karena selain tidak berdasarkan prosedur, juga yang diperintahkan membawa Pak Dalang ke kantor CPM itu adalah keponakan Pak Dalang sendiri. Oleh sebab itu, ia memaki-maki Bupati ketika ia menjenguk suaminya itu. Walaupun demikian, Pak Dalang menerima perintah itu dengan rela. Ketika suatu malam Pak Dalang diinterogasi Bupati, terjadi perdebatan sengit di antara keduanya. Bupati menganggap Pak Dalang telah menghina Prabu Kresna melakukan korupsi lewat dialog yang dituturkan oleh Petruk pada pergelaran wayang pada malam Minggu sebelumnya. Pada malam itu Petruk mengatakan bahwa korupsi Prabu Kresna paling besar karena ia memegang dua jabatan. Jadi, sebagai raja, ia melakukan korupsi dan sebagai Batara ia juga melakukan korupsi. Sementara Pak Dalang mengatakan bahwa Prabu Kresna sendiri tidak tersinggung dengan kata-kata Petruk, bahkan sang Prabu tertawa terbahak-bahak. Selama berada dalam tahanan, Pak Dalang tidak pernah mengeluh. Bahkan, ia merasa risih karena selalu mendapat perlakuan baik dan suguhan makanan dari para PM itu. Ia akhirnya merencanakan mengadakan pergelaran wayang di kompleks asrama PM itu. Hasil penjualan tiketnya akan digunakan untuk memperbaiki asrama itu. Hal ini kembali menyebabkan Pak Bupati marah karena menurutnya seorang tahanan tidak boleh mendalang. Larangan ini dikemukakannya karena dalang dapat menyebarkan ajaran yang melawan pemerintah. Sejak peristiwa itu, Bupati asyik mendengarkan rekaman pergelaran wayang Pak Dalang, sementara Pak Dalang terus mendalang, sehingga pekerjaan Pak Bupati tak habis-habisnya. 2 Perilaku Sufistik Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Balairung” ini tampak dilakukan oleh tokoh Pak Dalang. Perilaku sufistik yang tampak dilakukan oleh tokoh Dalang ini adalah makam rela, sabar , dan zuhud . Al-Harits dikutip al-Gazali, 1998:147 mengemukakan bahwa kerelaan adalah “ketenangan kalbu terhadap ketetapan yang berlaku”. Kerelaan tokoh Dalang ini tampak ketika ia dijemput keponakannya yang CPM ke tempat tahanan di asrama CPM itu, atas perintah Pak Bupati. Ini menunjukkan betapa besar marah Pak Bupati, begitu anggapan orang. Sebagai dalang mumpuni, ia tidak bertanya ini-itu tentang penahanan dirinya. Seperti cara jalannya yang lenggang kangkung, Pak Dalang kalem saja menapaki lorong asrama CPM itu sambil menjawab sapaan para PM dan melempar senyum, menjabat tangan, batuk-batuk sedikit, kemudian masuk dan rebahan di kamar tahanan dengan enaknya Danarto, 1996:141. Kerelaan Pak Dalang juga terlihat ketika ia menerima kedatangan keponakannya yang membawa surat perintah penahanan terhadap dirinya. Ia bahkan menasihati keponakannya itu dengan mengingatkan tugas dilematis yang diemban Arjuna ketika menghadapi perang Bharatayudha. Hal ini terlihat dari dialog Pak Dalang dengan keponakannya berikut. “Hamba lebih baik dikirim ke medan perang daripada harus mengemban tugas ini, Pak De” tutur keponakannya kepadanya, ketika prajurit muda itu sudah dipersilahkan duduk. “Ananda sudah sering nonton saya mendalang, tentu dapat sedikit-sedikit mengambil suri tauladan dari para ksatria,” kata Pak Dalang. “Betul, Pak De.” “Nah, Nak Mas tentu tidak ragu dalam melaksanakan tugas yang dibebankan ke pundak Nak Mas,” “Nah, apalagi yang Nak Mas tunggu?” “Hamba,” kata keponakannya terbata. “Sungguh berat untuk mengatakannya, apalagi melaksanakan tugas ini.” “Apakah tugasmu seberat Arjuna di medan Bharatayudha?” “O, begitu. Baiklah, katakan saja kalau sangat ringan, lalu limpahkan ke pundak saya jika berat,” “Baik, Pak De. Hamba mohon beribu-ribu maaf sebelumnya. Hamba ditugaskan menjemput dan mengatar Pak De ke asrama CPM,” “Cuma itu?” “Hanya itu, Pak De.” “Oke, Nak Mas. Kita berangkat,” “Lho, Pak De kok tidak bertanya kenapa?” “Memang kenapa?” “Kenapa Pak De tidak bertanya?” “Kenapa Nak Mas bertanya seperti itu?” Keponakannya bengong. Pak Dalang menyat dari kursi lalu melangkah ke pintu ketika keponakannya berkata: “Mohon maaf, Pak De perlu membawa pakaian dan perlengkapan mandi” “Baiklah.” Danarto, 1996:141—142. Perilaku sufistik yang ditunjukkan Pak Dalang dalam cerpen ini adalah kesabaran . Kesabaran merupakan tonggak penting dalam tasawuf Schimmel, 1986:129. Kesabaran merupakan sikap yang tetap tenang walaupun didera oleh cobaan- cobaan atau musibah. Kesabaran yang dilakukan Pak Dalang ini terlihat ketika ia menghadapi kemarahan isterinya kepada Pak Bupati ketika menjenguk dirinya di tempat tahanan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut. …. Dengan sesenggukan Bu Dalang memberi komentar betapa Pak Bupati mau ngenyek, mengejek, suaminya dengan cara memerintahkan keponakannya untuk menjemput suaminya. Ini piasu bermata dua, kata Bu Dalang selanjutnya, dan sama tajamnya. Satu menikam Pak Dalang dan satunya menikam k eponakannya…. …. Pak Dalang mencoba menurunkan suara Bu Dalang, tapi tak berhasil. Malahan Bu Dalang tambah berkobar-kobar dengan menuduh Pak Bupati sewenang-wenang. Mengapa tidak diadakan penyelidikan dulu, apa kesalahan suaminya. Jika sudah ketahuan Pak Dalang bersalah, baru dikenakan tahanan. Itu pun belum tentu harus ditahan di CPM. Boro-boro ditanya, eee, ini langsung comot saja, seperti menyiduk garong. Ke mana itu sopan santun …. Danarto, 1996:143. Dengan menggunakan sudut pandang “diaan” serba tahu, kutipan di atas memperlihatkan nada sinis isteri Pak Dalang terhadap Pak Bupati yang melakukan tindakan yang menyalahi prosedur. Kesabaran Pak Dalang ini bukan saja dalam menghadapi kemarahan isterinya atas tindakan Bupati, tetapi juga terlihat ketika ia dituduh Bupati menghina Prabu Kresna, saat Bupati menginterogasinya di dalam tahanan. Untuk memperkuat tuduhan itu, Bupati memperdengarkan kaset rekaman pergelaran wayang itu. Salah satu bagian pementasan itu membicarakan korupsi seperti terlihat dari dialog antartokoh berikut. “Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan,” ujar Prabu Kresna sambil menyunggingkan senyuman yang khas. “Tidaklah penting kaya atau miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya karena ia ketagihan. Sudah nyandu .” “Jika demikian halnya, kita yang hadir di sini juga bisa melakukannya,” kata Prabu Puntadewa. “Mengapa tidak, Yayi Prabu,” sahut Prabu Kresna. “Saya belum pernah melakukannya. Dan tak akan pernah melakukannya,” ujar Bima dengan suaranya yang besar dan mantap. “Barangkali saya sering melakukannya,” kata Arjuna. “Seingat saya, sedikit-sedikit saya pernah melakukannya,” kata Nakula dan Sadewa bersamaan. “Saya tidak tahu, apakah saya pernah beberapa kali atau berkali-kali mengerjakan korupsi,” kata Udawa. “Wah, banyak dan panjang sekali korupsi Patih Udawa,” tukas Petruk. “Bersungai-sungai korupsinya, waduh-waduh, jangan-jangan sepanjang sungai yang terpanjang di jagad ini.” Semua yang hadir tertawa mendengar komentar Petruk. Hanya Setyaki lalu menjewer kuping Petruk. Yang dijewer menjerit sesaat lalu tertawa. Setyaki adalah seorang ksatria yang dianggap berkemampuan Bima namun berbadan kecil, sehingga disebut Bima Kunting. Kresna yang masih tertawa-tawa bertanya kepada Petruk. “Bagaimana dengan Petruk sendiri? Pernah kamu korupsi, Truk?” “Sungguh mati baru kali ini hamba mendengar perkataan korupsi, Yang Mulia. Andai hamba dulu-dulu sudah kenal perkataan itu, hii, amit-amit jabang bayi, hamba ten tu sering jatuh pingsan karena ketakutan.” Kembali Kresna tertawa sambil berkata, “Yang paling menarik dari Petruk selalu saja kesombongannya,” “Cuma sayang kantongnya kosong,” sela Bima. “Mbok diisi,” tukas Petruk cepat. “Tahu kantong kosong, kok dibiarkan. Cepat diisi dong, daripada uang Yang Mulia mubazir.” Danarto, 1996:146— 147. Kutipan di atas memperlihatkan nada sinis narator terhadap perbuatan korupsi yang telah “membudaya” di kalangan para pejabat. Oleh sebab itu, Bupati menganggap dialog itu merupakan penghinaan terhadap raja. Bahkan, pada bagian lain menurut Bupati, penghinaan itu sudah keterlaluan. Bagian itu adalah dialog antartokoh berikut. “Tapi ngomong-ngomong perkara korupsi,” kata Petruk, “Yang paling banyak korupsinya pasti Yang Mulia Prabu Kresna.” Medengar omongan Petruk itu semua yang hadir tertawa, keculi Semar. Ayah Petruk ini kelihatan bersungut-sungut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Selama ini Semar memang sudah tobat melihat kelakukan anak keduanya ini. “Lho kok kamu tahu?” kata Prabu Kresna sambil masih terbahak. “Jelas dong. Petruk kan serba tahu,” kata Petruk. “Buktikan,” kata Kresna menahan geli. “Pertama: korupsinya seorang raja, kedua: korupsinya seorang betara,” kata Petru k. “Salahnya sendiri, punya titel kok dua.” Sri Prabu Batara Kresna bertambah terbahak-bahak mendengar ocehan Petruk ini dan Prabu Puntadewa yang biasnya cuma tersenyum, kali ini ikut tertawa seru. “Jelas,” sambung Petruk. “Korupsinya Yang Maha Mulia Prabu Batara Kresna tidak lagi tingkat kakap. Tapi sudah tingkat dewa- dewa.” Danarto, 1996:148. Bupati menganggap bahwa dialog yang dikemukakan Petruk itu merupakan pikiran-pikiran jahat dan menggelisahkan masyarakat. Karena Pak Dalang yang mendorong Petruk mengeluarkan kata itu, maka ia harus bertanggung jawab dan harus ditahan. Untuk membela dirinya, Pak Dalang mengatakan bahwa Prabu Kresna sendiri tidak marah dengan kata-kata Petruk itu, beliau malah tertawa. Petruk, yang sengaja didatangkan dari rumah Pak Dalang, juga membela diri dengan alasan serupa. Oleh sebab itu, Bupati tidak dapat menahan amarahnya sehingga ia melemparkan wayang Petruk ke lantai dan menginjak-injaknya. Hal ini memperlihatkan nada mengejek narator terhadap para pejabat yang melakukan tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika untuk kedua kalinya Bupati itu menginjak-injak wayang Petruk, Pak Dalang dengan sabar memungut wayang itu lalu membersihkannya sambil mengatakan: “Biarlah Petruk bersandar di sini, Pak Bupati,” kata Pak Dalang. “Jika ingin ngobrol, silahkan. Tapi Petruk harap dilihat saja. Dipegang jangan. Saya khawatir Pak Bupati akan menyobek-nyobeknya. Wayang Petruk ini sudah tak ternilai harganya,” Danarto, 1996:156. Dialog di atas juga memperlihatkan nada ejekan terhadap tindakan sewenang- wenang yang dilakukan oleh Bupati. Interogasi yang dilakukan oleh Pak Bupati tidak membicarakan sampai kapan penahanan itu dilakukan. Ironisnya, Pak Dalang tetap tabah dan tidak mengeluh sambil selalu mengerjakan shalat dan berzikir di dalam tahanannya. Hal ini juga memperlihatkan nada mengejek narator secara halus terhadap ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat. Kesabaran yang dilakukan oleh Pak Dalang ini dapat digolongkan sebagai sabir, yaitu orang yang sabar dalam kesusahan Schimmel, 1986:129. Perilaku sufistik lain yang tampak dilakukan Pak d alang dalam cepen “Balairung” ini adalah kezuhudan . Kezuhudan yang dilakuakan Pak Dalang ini berupa hidup disiplin, pribadi yang keras dan menjauhkan diri dari kesenangan pribadi Nasr dikutip Syukur, 1997:119. Hal ini terlihat dari perilaku Pak Dalang yang mengerjakan shalat di atas sajadahnya yang sudah bulukan walaupun ia memiliki sajadah lain yang baru Danarto, 1996:156. Kezuhudan ini terlihat juga dari penolakan Pak Dalang terhadap pemberian makanan dan keperluan hidup lainnya dari para petugas tempat tahanannya. Ia lebih senang memakan makanan yang sederhana Danarto, 1996:157. Kezuhudan yang merupakan makam , memiliki dua akhlak utama, yaitu 1 isar atau altruism yaitu mengutamakan orang lain, dan 2 futuwwah yaitu kekesatriaan al- Gazali, 1998:137. Kedua akhlak ini tampak dilakukan Pak Dalang dalam cerpen ini. Isar atau altruism tampak dari perilaku Pak Dalang yang melakukan kedermawaan yang tinggi dan tidak mengharapkan balasan. Tujuannya tidak lain hanyalah ingin berakhlak sebagaimana akhlak Allah Swt. Sikapnya yang mengutamakan orang lain itu berupa gagasannya untuk memperbaiki asrama CPM yang menurutnya tidak layak huni. Dana perbaikan asrama itu rencananya diperoleh dari pergelaran wayang yang diselenggarakannya di dalam komplek CPM itu, yang ternyata meraih sukses besar. Untuk mempertahankan kesuksesan pergelaran wayangnya, Pak Dalang sengaja menyajikan lakon-lakon menarik dan jarang digelar sebelumnya. Dengan demikian, ia berhasil mempertahankan ketertiban penonton pada pergelaran wayangnya itu. Hal ini dilakukan Pak Dalang dilandasi rasa kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah. Ia merasa bahagia jika dapat membahagiakan orang lain, sehingga ia berfikir bagaimana memberikan manfaat kepada orang lain. Ia mengutamakan memuliakan orang lain daripada memikirkan kemuliaannya al-Gazali, 1998:164. Walaupun demikian, tujuan mulia yang diinginkan Pak Dalang mendapat hambatan dari Bupati. Ia melarang Pak Dalang untuk mendalang dengan dalih bahwa dalang selalu menyebarkan ajaran yang melawan pemerintah. Oleh sebab itu, ia menyuruh Pak Kolonel untuk melarang Pak Dalang mendalang. Karena Pak Kolonel tidak menemukan ajaran yang menentang pemerintah dalam pagelaran wayang itu, ia tidak melarang Pak Dalang. Sementara itu, Pak Bupati tenggelam dalam pekerjaannya meneliti kaset rekaman pagelaran wayang Pak Dalang. Futuwah kekesatriaan yang dilakukan Pak Dalang adalah tindakannya yang melakukan kritik terhadap para penguasa atau pejabat yang koruptor. Dalam hal ini, Pak Dalang tidak berjuang dengan fisiknya melainkan berjuang dengan lidahnya nonfisik. Di dalam hadis juga dikemukakan bahwa perjuangan melawan keburukan itu tidak semata dengan fisik tetapi juga dapat dilakukan dengan lisan kata-kata, bahkan juga dapat dilakukan dengan hati di dalam hatinya, orang menolak keburukan itu. Perjuangan Pak Dalang dengan kata-kata ini terlihat dari kritik terhadap korupsi yang dilakukan Prabu Kresna melalui dialog yang diucapkan Petruk. Baik dalam sufi Jawa, maupun dalam sastra sufi Persia dan Melayu, simbol wayang dan dalang biasa digunakan. Biasanya, dalang melambangkan Yang Maha Pencipta, sementara wayang melambangkan manusia atau makhluk yang diatur oleh dalang atau Yang Maha Pencipta Hadi W.M., 1999:149 —145. Di dalam cerpen “Balairung” ini, tampaknya dalang bukanlah lambing Yang Maha Pencipta, melainkan dapat diinterpretasikan sebagai seniman, terutama pemimpin pergelaran seni. Selain itu, dapat juga diinterpretasikan sebagai media berkesenian. Demikian juga halnya dengan wayang Petruk tidak dapat diinterpretasikan sebagai manusia atau makhluk secara umum, melainkan merupakan komunitas seniman atau sastrawan yang kritis dalam berekspresi. Kehidupan yang berada di bawah kebudayaan “dekaden”, yaitu kebudayaan yang tidak mengacuhkan nilai kerohanian, menjadikan manusia terlalu mengejar dunia dan nilai-nilai kebendaan. Kondisi ini menimbulkan berbagai krisis di dalam kehidupan, seperti krisis sosial, krisis kemanusiaan, krisis kejiwaan, dan krisis kebudayaan. Kasim Ahmad dalam Hadi, W.M. , 1999:204 mengemukakan bahwa sastrawan memiliki peran yang penting dalam menghadapi kondisi ini. Peran itu adalah mengemukakan kritik mereka terhadap krisis-krisis itu dan mencari jawabannya. Lebih jauh Kuntowijoyo dalam Hadi, 2000:186 —187 mengemukakan bahwa peran sastrawan pada masa modern ini adalah melakukan humanisasi. Tugas humanisasi ini tersirat dalam amanah amar makruf , liberasi pembebasan, khususnya dari segala bentuk kezaliman, dan transendensi , yaitu penjabaran dari amanah nahi munkar dan beriman kepada Allah. Peran ini tampaknya dilakukan oleh Pak Dalang dalam menghadapi krisis sosial yang terjadi di lingkungannya. Ia mengeritik korupsi yang dilakukan para pejabat bahkan ia mengidentikkan jabatan dengan korupsi. Dengan demikian, semakin tinggi jabatan seseorang semakin besar peluangnya untuk melakukan korupsi. Hal ini terlihat dari ucapan dalang lewat wayang Petruk berikut. “Tapi ngomong-ngomong perkara korupsi,” kata Petruk, “Yang banyak korupsinya pasti Yang Mulia Prabu Kresna.” ……………………………………………………………………………… “Buktikan,” kata Prabu Kresna sambil menahan geli. “Pertama: korupsinya seorang raja. Kedua: korupsinya seorang batara,” kata Petruk. “Salahnya sendiri, punya titel kok dua.” ……………………………………………………………………………… “Jelas,” sambung Petruk. “Korupsinya Yang Maha Mulia Prabu Batara Kresna tidak lagi tingkat kakap. Tapi sudah tingkat dewa- dewa.” Danarto, 1996:148. Kutipan di atas juga memperlihatkan nada mengejek narator terhadap “budaya” korupsi yang sedang berkembang. Oleh sebab itu, Pak Dalang menganggap bahwa dialog yang diucapkan oleh wayang Petruk itu merupakan dialog-dialog yang cemerlang. Akan tetapi, Bupati menganggapnya sebagai dialog-dialog yang tidak pantas karena penuh dengan ketidaksopanan. Dialog-dialog serupa itu dipandangnya keluar dari pikiran jahat yang dapat mggelisahkan masyarakat. Atas dasar itulah, ia memasukkan Pak Dalang ke dalam tahanan karena ialah yang mendorong Petruk mengucapkan dialog itu. Tokoh Petruk dapat diinterpretasikan sebagai seniman yang kritis dalam berekspresi. Baginya, dalam berkarya, ia harus mengungkapkan kebenaran. Ia tidak mempedulikan apakah penikmatnya akan marah atau tertawa. Hal ini menimbulkan kemarahan Bupati tidak dapat ditahannya lagi. Dialog berikut memperlihatkan hal itu. “Begitu, ya? Apakah kamu tidak senang kalau semua orang tertawa mendengar lelucon- leluconmu?” “Saya tidak peduli.” “Bohong Kamu sangat peduli.” Petruk merasa terhina dan ia berang: “Bagi saya tidaklah penting, orang mau tertawa atau mau marah. Pokoknya saya berkoar”. “Ooo, jadi kamu bisa juga marah, ya.” Petruk makin berang: “Sedikit pun saya tidak peduli, apakah ia raja atau gembel.” “Aneh sekali. Petruk ternyata suka marah-marah.” Lalu Pak Bupati menginjak-injak lagi wayang Petruk itu hingga jadi kotor. Pak Dalang menyat dari dipan, memungut wayang Petruk itu dan membersihkannya. Disandarkannya wayang itu didinding Danarto, 1996:155 — 156. Di dalam cerita wayang, tokoh Kresna adalah pemimpin spiritual yang moralis. Ajarannya selalu memiliki nilai moral yang tinggi seperti menghindari nafsu pribadi dan kebenaran, selalu ikhlas atau tidak mengharapkan pamrih, mengutamakan kesucian budi dan mengekang nafsu. Bahkan ia dipandang sebagai nabi yang diutus untuk memperbaiki moral atau memerangi adarma Sastronaryatmo, 1987:15 —29. Selain itu, Kresna juga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu selaku pemelihara alam ensiklopedi Wayang Indonesia, 1999:228. Tampaknya, dalam cerpen “Balairung” ini, Kresna didekonstruksi oleh pengarang sehingga ia merupakan raja dan pemimpin spiritual yang koruptor. Tokoh Kresna ini dapat diinterpretasikan sebagai pemimpin, pejabat, penguasa, yang paling disegani, melakukan korupsi. Akan tetapi, di tengah publik ia berlagak bersih. Hal ini terlihat dari dialog antartokoh berikut. “Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan,” ujar Prabu Kresna sambil menyunggingkan senyumannya yang khas. “Tidaklah penting kaya atau miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya hanya karena ia ketagihan. Sudah nyandu.” “Jika demikian halnya kita yang hadir di sini juga bisa melakukannya,” kata Prabu Puntadewa. “Mengapa tidak, Yayi Prabu,” sahut Kresna Danarto, 1996:146. Pak Bupati, tampaknya dapat diinterpretasikan sebagai penguasa di suatu wilayah yang menganggap bahwa dirinyalah yang berkuasa. Ia tidak dapat melihat kebenaran sebagai kebenaran melainkan sebagai pikiran-pikiran jahat yang menggelisahkan masyarakat. Dengan mengatasnamakan ketentraman masyarakat, ia menyikapi kontrol sosial sebagai sikap permusuhan sehingga pelakunya harus “diamankan”. Kecurigaannya terhadap Pak Dalang akan menyebarkan pikiran-pikiran jahat, menyebabkan ia semakin tidak dapat melihat kebenaran. Hal ini terlihat ketika Pak Dalang menyelenggarakan pagelaran wayang di kompleks Asrama CPM dalam rangka menghimpun dana bagi perbaikan kompleks yang tidak layak huni itu. Akan tetapi, Pak Bupati tetap mencuriagainya, sehingga ia membuat aturan sendiri bahwa seorang tahanan dilarang mendalang. Hal ini terlihat dari dialog antartokoh berikut. “Ini apa-apaan Pak Dalang” teriak Pak Bupati. “Apa maksud Pak Bupati?” sahut Ki Ageng sambil bangun dari tiduran di kamar tahanannya, sedang mulutnya mencengkeram pipanya. “Orang tahanan tidak diperkenankan mendalang,” kata Pak Bupati. “Kenapa Pak Bupati baru memberi tahu sekarang setelah saya empat kali me ndalang,” “Kolonel seharusnya memberi tahu Pak Dalang,” “Jangan-jangan Kolonel juga tidak tahu,” “Mustahil,” “Lagian, ide menyelenggarakan pagelaran ini datang dari saya,” “Lalu untuk apa uang pemasukannya?” “Untuk membangun kompleks,” “Seenaknya saja,” Lalu Pak Bupati menemui Kolonel pimpinan kompleks. “Kolonel” kata Pak Bupati, “Anda tahu bahwa seorang tahanan tak boleh mendalang,” “Saya baru tahu sekarang,” kata Kolonel. “Saya pikir seorang tahanan boleh berbuat apa saja, asal berguna bagi sesama. Di sini ada yang melukis, bercocok tanam, mengajar pencak,” “Tetapi mendalang terlarang,” “Apa sebabnya, Pak Bupati?” “Kolonel kok lupa sih, bahwa dalang bisa menyebarkan ajaran yang melawan pemerintah. Itulah sebabnya Ki Ageng saya tahan,” “Tetapi selama mendalang empat kali berturut-turut, tidak ada ajaran yang melawan itu yang ia sebarkan kepada para penonton,” “Belum tentu. Saya akan meneliti rekamannya,” Danarto, 1996:160— 161. Kutipan di atas kembali memperlihatkan nada sinis narator terhadap penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Kecurigaan Pak Bupati terhadap Pak Dalang akan menyebarkan ajaran yang menyesatkan, akhirnya menjadikan waktunya tersita untuk meneliti kaset-kaset pagelaran wayang Pak Dalang. Sikap Bupati ini dapat dikatakan sebagai tindakan menjilat pimpinan , atau bahkan ia merasa sebagai objek yang dilakukan Pak Dalang. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Balairung” ini, terlihat bahwa tokoh Pak Dalang melakukan perilaku sufistik dilatarbelakangi oleh kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Ia melakukan protes sosial terhadap kejahatan itu. Protes sosial yang dilakukannya ini terutama sekali yang berkaitan dengan makam zuhud . Dalam hal ini, ia melakukan isar dan futuwwah , yang merupakan akhlak di dalam zuhud . Isar mengutamakan orang lain dilakukannya dengan menghimpun dana bagi perbaikan asrama CPM yang tidak layak huni dengan mendalang, sedangkan futuwwah keksatriaan dilakukannya dengan berjuang secara nonfisik dalam memerangi keburukan, dalam hal ini korupsi. Kerelaan dan kesabaran yang dilakukan oleh Pak Dalang semata-mata untuk mencapai ridho Allah. Ia rela dan sabar menerima apa saja takdir yang diberikan Allah kepadanya, tidak peduli takdir itu merupakan penderitaan. Dengan melakukan perilaku sufistik ini, Pak Dalang dapat mengatasi masalah yang dihadapinya dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain. 2.2.8 Cinta Mengubah Kekuatan Negatif Menjadi Positif 1 Sinopsis Cerpen “Semak Belukar” Semut-semut yang berasal dari semak belukar di belakang rumah tokoh aku sering mengesalkan keluarganya karena semut-semut itu sering berkeliaran di dapur mereka dan menggerogoti apa saja yang ada di sana. Akan tetapi, sejak kakeknya selalu memberi semut-semut itu makanan dan bergaul dengan semut-semut itu, gangguan itu tidak terjadi lagi. Keakraban kakek dengan para semut itu selalu diceritakan kakek kepada tokoh aku. Kebahagiaan kakek bersama semut-semut itu menimbulkan kebahagiaan pula bagi seluruh keluarganya. Bahkan akhrinya, tokoh aku merasakan perubaha perasaan. Ia merasakan kakeknya itu adalah ayahnya dan sebaliknya, ayahnya dirasakannya seperti kakeknya, sehingga ia selalu menyapa kakeknya dengan ayah dan menyapa ayahnya dengan kakek. Kawasan semak belukar itu pada suatu hari menjadi pusat perhatian karena dari lubang yang ada di sana, pasukan semut menggotong mayat yang berseragam tentara yang berbeda-beda sehingga tempat itu penuh tumpukan mayat. Dari ketua RT dan RW sampai aparat keamanan, petugas kesehatan, dan para wartawan disibukkan oleh peristiwa itu. Kakek mendadak menjadi pusat perhatian para wartawan. Akan tetapi, kakek tidak dapat menjelaskan dengan pasti mengenai hubungan dan saling pengertiannya dengan para semut itu. Peristiwa penemuan mayat-mayat di belakang rumah tokoh aku ini mengakibatkan perasaan bosan keluarganya. Tokoh aku bermaksud menumpang di rumah teman sekelasnya. Akan tetapi, ketika ia hampir mendekati rumah itu, ia terperosok ke dalam lubang dan tersedot ke dalamnya lalu pingsan. Ketika siuman ia tegeletak di atas pasir dengan situasi gelap. Di tempat ini tokoh aku menyaksikan pertempuran sengit antarbala tentara Timur Tengah. Tentara-tentara yang gugur itu diangkuti oleh pasukan semut, sehingga tahulah ia asal mayat-mayat yang keluar dari lubang di belakang rumahnya itu. Di antara mayat itu, ia juga melihat para cavers dan kakeknya yang juga digotong oleh pasukan semut itu. Melalui seutas tali, tokoh aku akhirnya menemukan jalan keluar dan mencul di belakang rumahnya. Akan tetapi, segala yang ada di rumah itu telah berubah menjadi serba modern. Lubang tempat ia baru saja keluar berubah menjadi tempat pengecoran patung perunggu. Patung-patung itu ditempatkan di sebuah plaza yang amat indah. Di antara patung-patung itu, ada patung kakeknya, para cavers , dan pasukan semut. 2 Perilaku Sufistik Perilaku Sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Semak Belukar” ini tampak dilakukan oleh tokoh kakek dan tokoh aku. Perilaku sufistik tokoh kakek berupa makam cinta yang dianggap sebagai makam tertinggi. Kecintaan yang dilakukan oleh kakek ini bukanlah cinta yang mutlak terhadap Allah, melainkan cinta terhadap sesama makhluk Allah, dalam hal ini semut. Nurbakhsh 1993:4 menyebutkan cinta seperti ini sebagai cinta persahabatan yang dilandasi oleh kesepakatan sosial. Kecintaan tokoh kakek terhadap sesama makhluk ini dalam tasawuf dipandang merupakan sarana untuk mencintai Allah. Bahkan, dalam hadis Bukhari dan Muslim dalam al-Ghazali, 29 —31 dikemukakan, Nabi Saw. bersabda bahwa menyayangi binatang dapat menyebabkan seseorang masuk surga, sebaliknya seseorang dapat masuk neraka karena menganiaya binatang. Cinta kakek yang tulus kepada semut-semut itu, bermula dari konflik yang terjadi antara semut-semut yang sering mengganggu dapur tokoh aku dengan ibunya. Dalam situasi ini kakek datang memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada para semut itu, yang mendatangkan manfaat timbal balik. Kakek menjadi lebih sehat dan cekatan, dan para semut itu menjadi jinak dan lebih gemuk. Kecintaan kakek kepada semut-semut itu dinyatakannya dengan selalu memberi mereka makanan yang cukup dan perhatian yang luar biasa, termasuk mendoakan meraka. Dengan demikian, terjalinlah hubungan yang akrab di antara meraka. Hal ini dapat dilihat dari penuturan narator dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” berikut. Ibu tentu saja marah-marah dan mengancam ingin membasmi kawasan semak belukar itu, tapi kakek turun tangan sambil memberi wejangan. Makanan yang boleh dikata berlebihan di rumah kami, itulah yang menarik serangga itu untuk berbondong-bondong mendatanginya. Lagian memberi makan serangga – tidak cuma binatang-binatang besar – perlu pula digalakkan. Mereka juga bagian dari kita, punya hak atas apa yang kita miliki. Panjang lebar kakek “berpidato”, begitu fasih dan jernih hingga kami terpana tak bisa memberi tanggapan apa-apa. Sejak itulah kakek lalu banyak main ke semak belukar itu, memberi makan seluruh serangga. Ribuan serangga berhimpun mengitari kakek yang menebar-nebar beras atau jagung yang lantas mereka sergap Danarto, 1996:164 —165. ………………………………………………………………………… Semak belukar itu akhirnya merupakan bagian hidup kakek, yang memberikan semangat dan kesegaran baru. Tiap paginya, dalam shalat subuhnya, kakek tak lupa menyelipkan doa – begitu katanya – bagi semut-semut itu. Dan setelah sarapan, punya kebiasaan baru dengan menengok kawasan belukar itu sambil menebar-nebar beras atau jagung maupun roti tawar sisa. Acara ini menjadi istimewa karena tidak saja mampu menguras perhatian tetapi juga memberikan kesehatan yang jauh lebih memadai bagi kakek. Encok beliau sedikit demi sedikit berkurang, seolah digerogoti oleh sahabat-sahabatnya itu, di samping juga kakek menjadi cekatan terhadap segala kegiatan Danarto, 1996:165 —166. Kutiapan di atas juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap perilaku kakek yang telah memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap para semut itu. Tokoh kakek dalam cerpen “Semak Belukar” ini, selain memperlihatkan perilaku sufistik pada makam cinta , juga melakukan kezuhudan. Kezuhudan yang dilakukan kakek dalam cerpen ini tampaknya, dapat digolongkan pada akhlak isar mendahulukan kepentingan orang lain. Isar yang dilakukan kakek ini tidak saja berupa kemurahan hatinya memberi makan para semut sahabatnya, yang tergolong pada kedermawanan orang awam, tetapi juga kedermawanan dengan perbuatan. Dengan demikian, isar yang dilakukan tokoh kakek dapat digolongkan pada kedermawanan orang yang khusus al-Ghazali, 1998:153. Isar tokoh kakek dengan perbuatan ini, terlihat ketika sebuah lubang dari semak belukar di belakang rumahnya keluar para semut sahabanya, dengan menggotong mayat tentara. Kakek juga turun tangan dan memperlakukan jenazah itu dengan hati-hati. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan menggunakan s udut pandang pengarang “akuan” berikut, yang memperlihatkan nada simpati terhadap perilaku kakek. Saya lihat dari lubang yang menganga, beribu-ribu semut sahabat kakek itu menggaet jenazah-jenazah tentara itu keluar dan menyeretnya pelan-pelan hingga tubuh-tubuh itu seolah melayang-layang. Semut-semut itu rupanya tidak peduli bahwa sepak kerjanya itu disimak oleh mata-mata manusia yang terkagum- kagum sambil berdiri mematung. Tustel dan kamera video tak kelihatan berhenti bekerja mengincar terus kesibukan gerombolan semut itu. Begitu satu tubuh dapat diseret keluar, lalu menyusul tubuh yang lain. Begitu susul-menyusul tak habis-habisnya. Semut-semut itu – barangkali saja jutaan jumlahnya – seperti tak lelah-lelahnya sejak kemarin siang bekerja. Di mana kakek? Kakek ternyata sekarang menjadi mandor, mengatur para pemuda kampung kami yang menggotong tubuh-tubuh itu dan harus meletakkannya dengan pantas. Sementara itu, para perawat mengangkat tubuh-tubuh itu ke mobil ambulan dan membawa ke rumah sakit. Bu Dokter memeriksa satu per satu tubuh itu, barangkali saja masih ada yang bernafas. Tetapi ternyata tak seorang pun yang masih hidup. Melihat tampangnya, jenazah-jenazah itu adalah tentara Timur Tengah dan tentara kulit putih Danarto, 1996:171 —172. Kakek juga mengkoordinasi pengumpulan jenazah ini siang-malam, tak mengenal lelah, sementara orang lain ada yang jatuh sakit, tetapi kakek bersama pasukan semutnya tetap tegar Danarto, 1996:175. Hal ini juga memperlihatkan nada simpati tokoh aku terhadap kakeknya itu. Tokoh aku dalam cerpen ini memperlihatkan perilaku sufistik juga. Perilaku itu, semula dinyatakannya dengan sikap simpatinya terhadap perilaku kakeknya, tetapi lama- kelamaan ia merasa kedekatan pada kakeknya itu sehingga ia merasa bahwa kakeknya itu adalah ayahnya. Sebaliknya, ia merasa bahwa ayahnya adalah kakeknya. Perubahan ini dapat diinterpretasikan sebagai perubahan pandangan yang dimiliki oleh tokoh aku, ia seakan-akan mewarisi perilaku kakeknya itu. Dalam tasawuf, keadaan seperti ini dikenal dengan istilah hal , yaitu sesuatu yang datang dari Tuhan ke dalam hati seseorang, tanpa ia mampu menolaknya bila ia datang atau menariknya bila ia pergi, dengan ikhtiarnya sendiri. Dengan demikian, hal merupakan anugerah atau karunia yang diberikan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya dan yang tidak bertalian dengan penyiksaan diri di bagian yang berikutnya Nasr, 2000:91. Hal lain yang juga diterima oleh tokoh aku adalah keajaiban yang dialaminya ketika ia terperosok ke dalam lubang, sewaktu akan menumpang di rumah temannya. Melalui kekuatan yang aneh, ia tersedot masuk ke dalam lubang itu dan mengalami perjalanan spiritual yang panjang. Ia menyaksikan pertempuran sengit antartentara Timur Tengah, melihat pasukan semut yang menggotong tentara yang gugur ke permukaan, yaitu lubang di kawasan semak belukar di belakang rumahnya. Hal ini terlihat dari penuturan tokoh aku berikut. “Allah, Allah, Allah,” dzikir saya berkepanjangan sambil merangkak terus dan menyebar-nyebarkan pasir ke depan, ke kiri, ke kanan, untuk menggertak apa saja yang mungkin menghadang Danarto, 1996:178. ……………………………………………………………………….. Sekujur tubuh rasanya dipompa dengan darah sepenuh-penuhnya, kulit mengokohkannya, dan menggelembunglah badan ini menjadi ringan, sebagai pelembungan, pelan-pelan terangkat dari tanah berpasir yang empuk itu, lama- lama meninggi sampai suatu batas yang entah, sementara mata tetap saya katupkan serapat mungkin. Mendadak ini tubuh terantuk dinding gua, sebagai terantuknya pelembungan pada dinding atau pepohonan, ia menghindar pelan, lalu menyusuri dinding itu agaknya, untuk terus membubung ke atas Danarto, 1996:179. ………………………………………………………………………. Saya membelokkan tubuh di suatu tikungan dan sinar-sinar menghambur garang membuat mata silau. Dentuman dan ledakan menggelegar. Rentetan tembakan. Desingan gencar di kanan, di kiri, di atas. Dinding-dinding berantakan menghantam tubuh saya. Wajah saya tertutup siraman pasir. Rentetan tembakan, Masya Allah. Di hadapan saya tergelar perang padang pasir yang dahsyat Danarto, 1996:180. ……………………………………………………………………… Tentara-tentara yang gugur itu serta-merta diangkut oleh jutaan semut yang kemudia saya ketahui adalah sahabat-sahabat kakek itu, ke sana, ke permukaan bumi, muncul di semak belukar belakang rumah kami itu. Allahu Akbar Danarto, 1996:181. Dengan bantuan tali yang ditemukannya, tokoh aku merambat ke atas dengan susah payah. Tiba-tiba ia tersedot ke atas sehingga muncul di semak belukar di belakang rumahnya. Akan tetapi, rumahnya telah berubah serba modern dan semua penghuninya tidak dikenalnya. Ketika ia kembali ke belakang rumahnya, tempat itu pun menjadi tempat pengecoran patung perunggu. Patung-patung itu dipajang di sebuah plaza yang amat indah. Ia melihat patung kakeknya, para cavers , dan semut-semut sahabat kakeknya terpajang di tempat itu Danarto, 1996:184 —186. Peristiwa yang dialami tokoh aku, tampaknya memiliki kemiripan dengan pengalaman yang dialami oleh tujuh pemuda saleh penghuni goa kahfi sebagaimana dikemukakan dalan Surat al-Kahfi:9 —26. Kisah tujuh pemuda saleh ini dipandang sebagai kisah waqiiyyah benar-benar terjadi, karena tekanan raja Dikyanus Decius yang memerintah tahun 249 —251 memaksa mereka memeluk agama Nasrani. Ketujuh pemuda saleh itu mendapat ilham dari Allah untuk mengasingkan diri di sebuah goa, di gunung Naikhayus, tidak jauh dari kota Uspus Antolia Selatan. Di dalam goa itu, mereka ditidurkan Allah selama 309 tahun. Ketika mereka terjaga, zaman telah berubah, antara lain uang yang mereka miliki ternyata tidak laku lagi dibelanjakan sehingga mereka dituduh penipu lalu ditangkap. Mereka akhirnya menceritakan kejadian yang mereka alami. Ternyata raja Decius telah meninggal ratusan tahun sebelumnya dan yang sedang memerintah pada masa itu adalah raja Theodosius yang beriman kepada Allah Ensiklopedi Islam , 1994:225. Ketika tokoh aku kembali muncul di belakang rumahnya, semua yang ada di tempat itu sudah berubah. Arsitektur rumah dan seluruh perabot rumahnya sudah berubah menjadi ultra modern. Penghuni rumah itu tidak lagi dikenalnya dan tidak pula mengenalnya. Tempat di belakang rumahnya, yang ketika ditinggalnya penuh kesibukan orang-orang mengakat jenazah, berubah menjadi kesibukan orang-orang mengangkat patung-patung perunggu yang akan dipasang di taman-taman dan plaza-plaza. Di antara patung yang diangkut itu adalah patung kakeknya, para semut sahabat kakeknya, dan para cavers . Jalan-jalan yang dilaluinya menuju plaza amat mulus dan luas, sedangkan ketika ia meninggalkannya, jalan itu berlubang-lubang dan tanpa trotoar. Plaza ultra modern itu sendiri, ketika ditinggalkannya adalah kawasan semak belukar tempat ia mencari kembang kering bersama teman-temannya untuk dijual sebagai penambah uang saku Danarto, 1996:186. Semut-semut ganas yang akhirnya menjadi sahabat tokoh kakek yang menghuni semak belukar dalam cerpen “Semak Belukar” ini, tampaknya dapat diinterpretasikan sebagai orang-orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka kecuali mencuri. Tidak ada orang yang mau memperhatikan hidup mereka. Ketika ibu tokoh aku marah-marah atas perlakuan semut-semut, yang memakan semua makanan dan menghabisi semua perabotan yang ada di dapurnya, ia mengancam akan membasi kawasan tempat tinggal semut-semut itu Danarto, 1996:163 —164, ketika itu tokoh kakek dengan murah hati mengulurkan tangan, membantu mereka. Ia mengatakan “Lagian memberi makan serangga – tidak cuma binatang-binatang besar – perlu pula digalakkan. Mereka juga bagian dari kita, punya hak atas apa yang kita miliki” Danarto, 1996:165. Ucapan tokoh kakek, tampaknya disitir dari al-Quran Surat az-Zariyat:19. Sejak kakek mau menyisihkan sebagian yang dimilikinya untuk para semut itu, ia tampak lebih sehat dan lebih gesit daripada sebelumnya. Sejak itu pula, hubungan antara kakek dan semut-semut itu terjalin dengan baik; semut-semut itu tidak lagi memperlihatkan keganasannya, bahkan mereka akhirnya membatu kakek melakukan pekerjaan yang amat besar, yaitu mengangkat jenazah para tentara yang gugur di medan perang Danarto, 1996:165 —174. Dengan demikian, tokoh kakek berhasil mengendalikan nafsu buruk yang terdapat di dalam diri manusia, sehingga nafsu itu dapat diarahkan ke hal-hal yang positif. Hal ini sekaligus memperlihatkan nada simpati narator terhadap perilaku tokoh kakek. Mengubah nafsu buruk menjadi hal-hal positif seperti yang dilakukan kakek ini merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh para penempuh jalan sufi Schimmel, 1998:116 —117. Perubahan dalam diri aku, yaitu perubahan perasaan tentang kakek dan ayahnya, tampaknya tidak cukup diinterpretasikan sebagai kedekatan hubungan secara fisik antara tokoh aku dan kakeknya. Perubahan perasaan ini tampaknya menandakan adanya gejala penjembatanan jurang kesadaran spiritual pada masa modern ini. Tokoh aku merupakan kelompok usia muda yang menaruh perhatian terhadap dunia tasawuf, yang sebelumnya diminati oleh generasi-generasi terdahulu kakek. Dengan demikian, tokoh aku dapat dikatakan sebagai lambang munculnya kesadaran kelompok intelektual muda terhadap kehidupan spiritual atau tasawuf Nasr, 2000:xi. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Semak Belukar” ini, terlihat bahwa tokoh kakek melakukan perilaku sufistik itu dilatarbelakangi oleh rasa cintanya kepada sesama makhluk Allah. Rasa cinta kepada makhluk Allah ini merupakan sarana untuk mencintai Allah. Cinta kakek terhadap sesama makhluk Allah ini berupa cinta kepada semut-semut atau dapat diinterpretasikan sebagai masyarakat miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka selain dari mencuri. Cinta kakek kepada mereka juga terwujud dalam bentuk isar mengutamakan kepentingan orang lain, baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk perbuatan yang merupakan akhlak makam zuhud . Kedua perilaku sufistik kakek ini ternyata mampu memberikan kemanfaatan yang timbal balik. Di satu sisi kakek menjadi lebih sehat dan lebih gesit daripada sebelumnya, di sisi lain para semut itu berubah menjadi jinak, bahkan menjadi sahabat setia kakek. Kakek dan para semut itu dapat menjalin kerja sama yang baik ketika mereka menghadapi masalah, yaitu mengakat para jenazah tentara yang gugur. Dengan demikian, perilaku sufistik yang dilakukan kakek mampu mengubah nafsu-nafsu yang buruk menjadi kekuatan yang positif sehingga dapat mengatasi masalah yang ada. Tokoh aku, yang baru memiliki kesadaran terhadap tasawuf, mengalami hal sehingga ia merasakan sebagian rahmat Allah kepda para sufi, yaitu memperoleh pengetahuan langsung dari Allah. Hal ini dialaminya ketika ia tersedot ke dalam lubang sehingga terbukalah rahasia mengenai asal-usul jenazah yang muncul di belakang rumahnya itu. Ia juga mengalami keajaiban berupa kelamaan perjalanan spiritual sehingga ketika ia kembali ke dunia nyata, segala sesuatuanya telah jauh berubah. Dengan demikian, baik tokoh aku apalagi tokoh kakek, melakukan perilaku sufistik tidak bertujuan untuk memperoleh kekuatan luar biasa bagi dirinya, bukan juga untuk menyatukan diri kepada Allah. Mereka melakukan perilaku sufistik itu didorong oleh keinginan untuk lebih berperanserta dalam menghadapi dan memecahkan segala masalah yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat. 2.2.9 Cinta dan Pengabdian kepada Sesama, Sarana Pengabdian kepada Allah 1 Sinopsis Cerpen “Gandasturi” Ibu tokoh saya, yang dijatuhi hukuman selama dua tahun karena dituduh mengurangi jatah pemberian obat kepada pasien di sebuah rumah sakit tempat ia bekerja, tiba-tiba kabur dari tempat tahanan setelah mendekam di dalamnya selama empat puluh hari. Kejadian ini menimbulkan misteri, baik bagi petugas maupun bagi anak-anak tokoh ibu karena kunci selnya tetap terkunci. Pencarian yang dilakukan di rumahnya dan di rumah-rumah saudaranya sia-sia. Ibu tidak ditemukan. Ada beberapa hal aneh yang dilakukan ibu selama ia di sel, yaitu ia tidak mau berbicara kepada siapa pun dan tidak makan atau minum apa pun. Hal ini menyebabkan teman-teman satu selnya ketakutan dan mengusulkan agar ia dipisahkan dari mereka. Walaupun ibu sendirian di selnya, keadaannya juga tidak berubah. Sehari sebelum ia lenyap dari penjara, keadaanya tak ubahnya seperti patung. Baru dua minggu Ibu ditahan, suaminya meninggal sehingga tokoh saya, sebagai anak tertua menggantikan kedudukan kedua orang tuanya. Ia berdagang kue gandasturi yang dibuatnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Ketika tokoh aku dan adik-adiknya masih merasakan keheranan atas misteri kaburnya ibunya dari penjara, tersiar kabar tentang beberapa jenis obat yang ditarik dari peredaran karena berbahaya. Salah satu jenis obat yang ditarik itu adalah obat yang tidak diberikan ibu kepada pasien di rumah sakit tempat ia bekerja. Tokoh saya amat gembira, seakan-akan ia memperoleh pembenaran terhadap perbuatan ibunya. Ketika tokoh aku bersama adik-adiknya berkunjung ke kuburan ayahnya, ada kuburan baru di sisi kubur ayahnya itu. Nama ibunya tertulis di nisan kuburan itu. Hal ini menimbulkan kesedihan baru bagi tokoh aku beserta keempat orang adik-adiknya yang masih mengharapkan kehadiran ibu mereka. 2 Perilaku Sufistik Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Gandasturi” ini tampak dilakukan oleh tokoh saya dan tokoh ibu. Perilaku sufistik yang dilakukan oleh tokoh aku berkaitan dengan makam tawakal , yaitu berserah diri secara total kepada Allah Swt. Ketawakalan dilandasi oleh keyakinan bahwa Allah Swt. tegak dengan zat-Nya dan menegakkan zat yang lain. Hal ini akan membuahkan ketenangan di dalam diri orang yang melakukannya Al-Gazali, 1998:142. Ketawakalan yang dilakukan oleh tokoh saya ini bukanlah ketawakalan yang berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi klasik yang keras sehingga menyebabkan seseorang menjadi pasif, melainkan ketawakalan seperti yang disarankan Nabi Muhammad Saw. kepada seorang Badui agar ia mengikat lutut ontanya dulu baru berserah diri kepada Allah Schimmel, 1986:123 —124. Tokoh saya yang ditinggalkan ayahnya untuk selamanya, setelah ibunya ditahan di penjara, harus menggantikan kedudukan kedua orang tuanya itu dalam menghidupi dan membimbing keemapt orang adiknya. Usaha yang dilakukannya adalah menjual kue gandasturi buatannya sendiri. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan menggunakan sudut pandang “akuan” berikut, yang juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap usaha tokoh saya dan saudara-saudaranya. Ibu dikenakan hukuman dua tahun, dan ketika baru di dalam penjara dua minggu, ayah seorang pegawai negeri meninggal kena serangan jantung. Praktis seluruh tanggung jawab keluarga berpindah ke pundak saya seorang jebolan SMA, yang belum bekerja. Dengan empat adik-adik kecil, Sri kelas satu SMP, Ton kelas enam SD, dan si kembar Pipin dan Nining masih TK, saya putuskan jualan kue untuk menyambung hidup. Sri dan Ton, yang tak mungkin melanjutkan sekolahnya, dengan saya bergantian berbelanja, membuat dan menggoreng kuenya. Dari kue gandasturi yang terbuat dari kacang hijau dan gula merah, dibentuk bundar kecil yang dilapisi terigu, lalu digoreng inilah napas kami sehari-harinya. Warung gandasturi kami buka jam 6 pagi dengan harapan anak-anak sekolah pada sarapan kue ini. Lumayan juga, sasaran kami mengena, ada saja yang beli. Termasuk bapak-bapak. Ada yang membeli untuk dimakan sambil jalan ke kantor. Begitu habis, kami menggoreng lagi. Terus-menerus. Sampai waktu Ashar masuk, biasanya, alhamdulilallah, warung kami tutup. Setelah shalat, saya tidur siang untuk dua jam. Sedang Sri dan Ton menyiapkan kue setelah Isya, sambil terkantuk-kantuk Danarto, 1996:220 —221. Tokoh Ibu dalam cerpen “Gandasturi” ini juga tampak melakukan perilaku sufistik. Perilaku sufistik yang dilakukan tokoh Ibu ini berkaitan dengan makam zuhud , yaitu menginggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan kebendaan Ensiklopedi Islam , 1994:125. Kezuhudan yang dilakukan oleh tokoh Ibu ini berupa menghindari makan, minum, dan berbicara selama empat puluh hari. Dalam kaitannya dengan lapar, sufi terkenal Rumi, mengatakan “Lapar adalah makanan Tuhan; dengan lapar ia menggerakkan tubuh orang yang benar.” Al-Balkhi mengatakan “Keadaan lapar terus- menerus selama empat puluh hari dapat mengubah kegelapan hari menjadi cahaya,” Schimmel, 1986:119. Dalam kaitannya dengan diam kontemplasi, tarikat moderat Naqsabandiyah dan tarikat moderat lainnya mengatakan bahwa orang-orang yang benar- benar berpuasa adalah orang yang membebaskan pikirannya dari makanan yang berupa usul-usul setan sehingga pikiran kotor tidak akan masuk ke dalam pikiran meraka; tidurnya orang seperti itu adalah kebaktian, setiap mereka berjalan, berlalu, dan diam merupakan pengagungan terhadap Tuhan dan napas mereka adalah pujian kepada Tuhan Schimmel, 1986:121. Perilaku kezududan tokoh Ibu ini terlihat dari tuturan narator melalui tokoh saya berikut. … ibu masuk penjara dan kami selalu menengoknya dengan kiriman makan atau buah-buahan sekedarnya. Namun, di luar dugaan, ibu tak pernah makan kiriman itu. Juga jatah makan penjara tak pernah disentuhnya. Kami dan para penjaga penjara sungguh tak bisa mengeri apa mau ibu. Apakah ibu sedang melancarkan mogok makan? Sering ibu diinterogasi. Tapi sungguh tak bergeming, jangankan ngobrol dengan sesama orang penjara, menjawab pertanyaan para interogator pun tidak. Diam, ya, diam, itulah dilakukan ibu dalam penjara. Apakah diam merupakan tameng ibu? Sampai datang waktu ibu ditempatkan di satu sel sendirian. Apa sebenarnya yang sedang dipikirkan ibu, tentu hanya ibu sendiri yang tahu. Jika saya lihat ketika kami mengengok selnya, ibu kelihatan terbebani pikiran berat yang harus segera dipecahkan. Kepada kami pun ibu tak mau berbincang-bincang, sampai membuat si kembar, Pipin dan Nining menangis. Selalu setiap kali menengok, si kembar menangis Danarto, 1996:223 —224. Setelah empat puluh hari, tokoh Ibu dipenjara dengan keadaan menolak makan, minum, dan berkomunikasi, keesokan harinya ibu diberitakan melarikan diri dari penjara. Akan tetapi, cara ibu melarikan diri tidak dapat dijelaskan oleh teori apa pun karena gembok selnya tetap terkunci. Hal ini disadari tokoh saya seperti kutiapan berikut. “Kelihatannya memang ada sesuatu yang dirahasiakan,” sahut saya sambil menyeruput kopi di meja kamar tidur tempat ibu biasa menaruh kain-kain jahi tannya. “Kelihatannya mereka juga tidak habis mengerti. Tetapi ketidakmengertian itu tidak pernah mereka kemukakan.” Danarto, 1996:226. Baru satu hari tokoh Ibu dinyatakan melarikan diri, tersebar berita di surat kabar mengenai obat yang dilarang beredar karena berbahaya. Berita ini menggembirakan tokoh aku karena ia memperolah pembenaran bagi tindakan ibunya. Ia juga yakin bahwa ibunya juga mengetahui berita di koran itu. Perilaku sufistik lain yang tampak dilakukan oleh tokoh Ibu berkaitan dengan makam rela rida, yaitu menerima kada dan kadar Allah Swt. serta mengeluarkan rasa benci sehingga yang tinggal hanyalah rasa senang, tidak meminta imbalan atas amal ibadahnya dan lebih dari itu merasa senang jika ditimpa musibah sebagaimana senangnya ia ketika menerima nikmat Ensiklopedi Islam , 1994:125. Kerelaan tokoh Ibu dalam cerpen ini terlihat dari sikapnya dengan gaji Rp100.000,00 per bulan. Ia tetap menjalankan tugasnya, melayani pasien dengan sabar tanpa membeda-bedakan siapa pasiennya. Ia juga menerima keadaan suaminya dengan gaji hanya Rp125.000,00 dengan lima orang anak. Kerelaan tokoh Ibu ini juga tampak ketika ia diadili kerena tuduhan menggelapkan obat. Tudingan dan tuduhan jaksa diterimanya dengan diam dan menangis. Hal ini terlihat dari penuturan tokoh saya seperti dikutipkan berikut. Kemarahan dan belas kasihan, jalin-menjalin dilontarkan para pengunjung kepada ibu yang tenang, kadang terlalu tenang, seperti suatu persiapan untuk menerima risiko yang sudah sewajarnya diterima, yang dipersiapkan jauh hari yang tentu bisa menimpa siapa pun. Seorang pengunjung meneriaki ibu. Air mata saya mengalir menyaksikan ibu yang tak berdaya, sekalipun punya pembela, sekalipun anak lelakinya hadir di dekatnya. Juga para saksi sangat memberatkan ibu. Mereka dapat bercerita yang memperngaruhi hukim maupun pengunjung tentang cara-cara ibu melakukan pencurian, yang kedengaran keterlaluan Danarto, 1996:222. Kutipan di atas memperlihatkan nada simpati narator melalui tokoh saya terhadap tokoh Ibu yang tidak mau membela diri, sekaligus menampakkan nada antipasti terhadap petugas pengadilan yang telah menuduh tokoh Ibu tanpa bukti yang kuat. Perilaku tokoh Ibu dalam cerpen “Gandasturi” ini tampak memperlihatkan kesamaan dengan perilaku Khidr, seorang guru spiritual yang mendapat rahmat dari Allah berupa pengetahuan langsung dari Allah, ketika ia mendampingi perjalanan spiritual Nabi Musa Surat al- Kahfi:64 —82. Khidr diceritakan melakukan perbuatan yang zalim, yaitu membocori perahu dan membunuh seorang anak. Hal ini menyebabkan Nabi Musa memprotes perbuatannya, walaupun sebelumnya ia telah berjanji tidak akan bertanya mengenai perbuatan Khidr. Ia juga mendirikan dinding yang hampir roboh yang juga mengundang protes Nabi Musa karena ia dapat mengambil upah dari perbuatannya itu. Ketika mereka akan berpisah, barulah Khidr mengemukakan latar belakang perbuatannya itu. Perahu yang dibocorinya itu milik nelayan miskin. Karena ada raja zalim yang akan merampas perhunya jika ia melaut, maka dibocorinyalah perahu itu, sehingga ia akan terhindar dari perbuatan itu. Ayah dan ibu anak yang dibunuhnya itu adalah seorang yang saleh. Dikhawatirkan, anak itu akan menyebabkan kekafiran bagi orang tuanya sehingga ia membunuhnya. Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik dari itu. Di tempat dinding yang didirikan itu tersimpan harta anak yatim yang orang tuanya saleh sehingga ia memperbaiknya jangan sampai roboh. Orang tuanya ingin agar harta itu dapat dikelola anak itu setelah ia dewasa. Tokoh Ibu yang dituduh menggelapkan obat di rumah sakit tempat ia bekerja, tampaknya mengetahui bahwa obat itu berbahaya jika diberikan kepada pasien. Ia juga tampaknya tidak mengambil obat itu untuk dijual demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini dituturkan narator melalui tokoh saya seperti berikut. … pikiran saya berputar-putar sekitar ibu, apa benar ibu telah melakukan pencurian selama satu tahun di tempat pekerjaannya. Ibu, yang jujur itu, telah melakukan pencurian? Ibu yang mengabdikan diri untuk melayani orang-orang sakit selama 15 tahun dengan penuh kesabaran, tanpa membeda-bedakan siapa pun, telah melakukan pencurian? Dari tiga kapsul sehari yang seharusnya disajikan kepada pasien untuk pagi, siang, dan sore diantara kapsul dan obat yang lain, ibu mengantungi tambahan penghasilan yang tetap juga belum mencukupi untuk menghidupi lima orang anak, mengingat gaji ibu hanya seratus ribu rupiah sebulan dalam pengabdiannya selama 15 tahun, biarpun ditambah gaji ayah sekitar seratus dua puluh lima ribu rupiah Danarto, 1996:222. Kutiapan di atas juga memperlihatkan nada simpati tokoh saya terhadap tokoh Ibu. Jawaban atas perbuatan ibu yang tidak memberikan obat-obat itu kepada pasien terungkap setelah ia diketahui melarikan diri dari tahanan. Hal ini terlihat dari penuturan tokoh saya seperti kutipan berikut, yang memperlihatkan sikap puasnya terhadap berita itu karena ia merasakan kebenaran perbuatan ibunya. Esoknya surat kabar-surat kabar memberitakan tentang ratusan obat yang ditarik dari peredaran karena bahaya. Di antaranya termasuk obat yang dicuri ibu. Obat-obat itu sudah lama dikonsumsi begitu bebasnya oleh seluruh lapisan masyarkat. Mendengar hal ini hati saya menggelegak. Saya tidak tahu kenapa. Apakah saya sedang mencari pembenaran untuk kelakukan ibu itu. Entahalah, seandainya saya bisa bertemu ibu dalam waktu dekat ini. Ah, tapi saya rasa ibu juga sudah mendengar berita itu Danarto, 1996:227. Tindakan tokoh Ibu yang menolak makan, minum, dan berbicara selama empat puluh hari di penjara dapat diinterpretrasikan sebagai tindakan spiritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuahan sehingga ia mencapai fana , yaitu fana at-tams sirna. Sufi yang mengalami fana at-tams ini sifat-sifat jasmaniahnya lenyap sama sekali. Ia tidak pernah makan tetapi tidak merasakan lapar, tidak pernah minum tetapi tidak merasakan haus, tidak tidur tetapi tidak merakan kantuk. Walaupun demikian, semua itu dilakukannya dengan tidak mencelakan dirinya Quds dikutip Purwadaksi, 1992:14 —17. Sikap tokoh Ibu ketika di pengadilan, tampaknya merupakan kesengajaan karena kehidupan di alam modern ini, pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual tidak dapat diterima. Pengetahuan seperti ini di dalam dunia tasawuf dikenal dengan ilmu laduni , yaitu ilmu yang langsung diberikan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki- Nya Armstrong, 1998:113. Hanya pengetahuan yang diperoleh secara empiriklah yang diakui. Peristiwa lenyapnya tokoh Ibu dari penjara, yang akhirnya diketahui meninggal dan dikuburkan di sisi kubur suaminya, dapat diinterpretrasikan sebagai berpisahnya ibu dari kehidupan dunia, termasuk kehidupan anak-anaknya, menuju kehidupan spiritual secara total. Peristiwa ini bersamaan waktunya dengan trebukanya latar belakang perbuatannya yang tidak memberikan sejumlah obat tertentu kepada pasien di rumah sakit tempat ia bekerja. Selain itu, lenyapnya tokoh Ibu dari penjara dengan misterius, tampaknya dapat pula diinterpretasikan sebagai pelenyapan saksi yang dapat memberatkan kesalahan seseorang dalam tindakan kejahatan, dalam hal ini pemberian obat yang ternyata dapat membahayakan pemakainya. Dengan pelenyapan saksi itu, kejahatan itu tidak dapat diungkap. Dengan demikian, kematian tokoh Ibu itu dapat diinterpretasikan sebagai kematian secara fisik. 3 Latar Belakang Perilaku Sufistik Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Gandasaturi” ini, terlihat bahwa tokoh saya melakukan perilaku sufistik bukanlah untuk menyatukan diri dengan Tuhan atau memperoleh kemampuan yang luar biasa, melainkan didorong oleh kesadarannya untuk mengemban amanah. Amanah dimaksud adalah tanggung jawab dalam kedudukan sebagai anak tertua. Dengan tidak adanya kedua orang tuannya, ialah yang menggantikan kedudukan mereka. Kesadaran ini dilandasi oleh rasa kasih dan sayangnya terhadap keempat orang adiknya. Pengabdinya kepada keluarganya ini merupakan sarana untuk mengabdi kepada Allah. Tokoh Ibu melakukan perilaku sufistik juga dilaratbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan pengabdiannya kepada sesama makhluk sebagai sarana pengabdiannya kepada Allah. Oleh sebab itu, ia tidak mempersoalkan berapa besar gaji yang diterimanya. Akan tetapi, setelah dunia di sekitanya tidak dapat mengerti tentang kebernaran yang dilakukannya, ia mengambil jarak dengan dunia yang ada di luar dirinya itu. Penolakkannya untuk makan. Minum, dan berbicara dilakukannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah sehingga ia sampai pada makam fana . Oleh sebab itu, ia tidak merasakan kemudaratan dari perbuatannya itu sampai ia dinyatakan hilang dan akhinya diketahui meninggal.

BAB III SIKAP IMPLIED AUTHOR TERHADAP PRILAKU SUFISTIK