Sumber Data Landasan Teori

pandang yang digunakan pengarang dan nadanya . Secara lebih rinci, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Perilaku aufistik pada makam apakah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi ini dan apa yang melatarbelakangi para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu? 2. Bagaimanakah sikap implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen Gergasi ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Bedasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Merumuskan perilaku sufistik yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto dan latar belakang para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu. 2. Merumuskan sikap implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen Gergasi .

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi sastra itu sendiri maupun bagi hal-hal di luar sastra, seperti di dalam kehidupan masyarakat. Pengguanaan teori hermeneutik dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah model aplikasi teori sastra terhadap karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam rangka memperkaya pemaknaan terhadap karya sastra, dalam hal ini terhadap karya Danarto. Karena karya sastra merupakan cermin kondisi sosial budaya masyarakat dan memuat tanggapan evaluatif pengarang terhadap kondisi itu, setidaknya penelitian ini menujukkan sejumlah masalah yamg ada dalam kehidupan itu. Dari dunia alternatif yang ditawarkan pengarang, diharapkan penelitian ini dapat membantu mengatasi masalah yang ada di dalam kehidupan itu.

1.5 Sumber Data

Dari ketiga belas cerpen yang terdapat di dalam Gergasi ini, dipilih sembilan cerpen yang dijadikan sumber penelitian ini. Pemilihan terhadap kesembilan cerpen ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kesembilan cerpen ini memiliki perilaku sufistik. Kesembilan cerpen itu adalah: 1 ”Rembulan di Dasar Kolam”, 2 Allah Berkenan Mengejawantah Lusa”, 3 “Bulan Sepotong Semangka”, 4 “Dinding Ayah”, 5 “Dinding Waktu”, 6 “Gaharu”, 7 “Balairung”, 8 “Semak Belukar”, dan 9 “Gandasturi”.

1.6 Landasan Teori

Landasan teori yang dipakai dalam rangka menjawab masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah teori hermeneutika. Kata hermeneutika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Kata ini berhubungan dengan kata benda hermeneia yang berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’. Kedua kata ini berkaitan dengan nama dewa pada mitologi Yunani, yaitu Hermes. Dewa ini bertugas menyampaikan pesan Dewa Yupiter kepada manusia. Ia menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Oleh sebab itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti Palmer dalam Sumaryono, 1993:23 —24. Semula hermeneutika hanya mencurahkan perhatian pada pembacaan dan penafsiran teks-teks keagamaan, seperti Alkitab. Akan tetapi, pada abad ke-19 bidang cakupannya diperluas sehingga meliputi semua karya Eagleton, 1988:73. Kaitannya dengan studi sastra adalah berdasarkan kenyataan bahwa teks-teks yang ditulis pada masa lampau terus ada dan dibaca, sementara penulisnya dan kaitan historisnya yang menghasilkan karya-karya itu sudah tidak ada. Pembacaan teks-teks seperti ini menjadi tak terpisahkan dari penafsiran Newton, 1994:52. Schleimacher dianggap sebagai pendiri hermeneutika modern karena ia memperluas makna hermeneutika melampaui batas-batas keagamaan sehingga hermeneutika diharapkan dapat diterapkan untuk menafsirkan teks-teks yang bersifat lebih umum. Menurut pendapatnya, pemahaman memiliki dua aspek pokok, yaitu yang bersifat gramatikal dan bersifat kejiwaan. Maksudnya, setiap pengucapan, baik lisan maupun tertulis, haruslah merupakan bagian dari sistem kebahasaan. Oleh karena itu, pengucapan tidak akan dapat meiliki pengetahuan mengenai struktur tersebut, di lain pihak, pengucapan itu juga merupakan hasil manusia dan harus dipahami dalam hubungannya dengan kehidupan orang-orang yang mengucapkannya. Prinsip yang menjadi rekonstruksi bidang bahasa dan kejiwaan ini diistilahkannya dengan lingkaran hermeneutik Newton, 1994:52 dan Kaelan, 1990:187. Bertolk dari pendapat Schleimacher inilah E.D. Hirsch mengembangkan pendapatnya. Menurutnya, makna keseluruhan karya adalah penafsiran sebagaimana yang dimaksud pengarangnya. Dalam menafsirkan sebuah karya, secara keseluruhan karya itu boleh disatukan kembali dengan apa yang diketahui tentang pengarang itu dan konteks historisnya Newton, 1994:62 dan Eagleton, 1988:74. Dalam identitas arti teks dengan maksud penulisnya ini dapat dicapai penafsiran teks yang ilmiah sehingga dapat dibuktikan. Pembuktiannya memang tidak dilakukan secara eksperimental, seperti dalam ilmu-ilmu eksakta, melainkan perlu melalui proses pendekatan kebenaran yang berangsur-angsur, dan yang akhirnya berdasarkan prinsip probabilitas. Menurutnya, validitas merupakan kesimpulan yang objektif mengenai probabilitas yang nisbi. Jadi, dalam interpretasi teks tidak dapat dibuktikan bahwa hanya sebuah interpretasi yang mutlak, dan seluruhnya benar dan absah. Walaupun demikian, pencapaian terhadap kebenaran interpretasi itu tidak boleh diabaikan. Identifikasi arti karya sastra dengan maksud penulis akan memberi jaminan bagi pemberian penafsiran setepat mungkin Newton, 1994:58 dan Teuw, 1984:175. Dalam upaya interpretasi ini, Hirsch Newton, 1994:59 dan Teuw, 1984:176 membedakan meaning arti dan significance makna. Meaning arti merupakan suatu determinat, genah , niat penulis seperti terkandung dan terjelma dalam tulisannya, dan itu merupakan hal yang dapat diteliti dan dipastikan secara objektif. Di sisi lain, significance makna menurutnya adalah hubungan antara arti dan seorang atau sesuatu di luar teks, antara arti dan pembaca dalam situasinya yang khas pada masa tertentu. Ia mengakui bahwa makna itu adalah sesuatu yang variabel, terus berubah, tetapi menyamakan arti dan makna berarti meniadakan perbedaan antara pemahaman dan kritik. Dengan memerhatikan tokoh, sudut pandang pengarang, dan nada yang ada dalam cerpen Gergasi ini, akan terlihat sikap dan perilaku sufistik para tokohnya. Selain dari itu, pendeskripsian mengenai perilaku sufistik ini juga mencerminkan sikap implied author terhadap tasawuf, dalam hal ini, perilaku sufistik. Menurut Both 1961:66 —67 implied author adalah jiwa pengarang masuk dalam karya-karyanya. Kadang-kadang implied author dapat dilihat melalui komentar eksplisit narator dan melalui penggunaan teknik akuan , kadang-kadang pula disamakan dengan gaya atau teknik dalam sebuah karya. Yang jelas bahwa implied author itu terlihat dari keseluruhan struktur karya yang di dalamnya pengarang tidak pernah netral terhadap suatu nilai. Ia mempunyai nilai yang dianut dan menjadi komitmennya. Situasi pengarang terhadap karya sastra dan terhadap pembaca bersifat ambivalen. Maksudnya, pengarang berada di luar situasi karya sastra, tetapi sekaligus merupakan bagian dari karya itu. Dalam implied author ini, Juhl dan Teeuw 1984:180 mengatakan, memasukkan pengarang ke dalam karya fiksi, kritik sastra akan menghasilkan sintesis yang luhur; kita diberi ilusi bahwa kehadiran pengarang dan fungsi komunikasi sastra telah dirukunkan dengan dunia rekaan yang memenuhi tuntutan akan kemurnian mutlak. Penelitian terhadap cerpen-cerpen karya Danarto dalam Gergasi ini memerlukan pengetahuan mengenai tasawuf, baik tasawuf Islam, maupun mistik Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata tasawuf ini. Dalam Syukur 1999:9 —10 dikemukakan bahwa kata sufi berasal dari kata suf ‘bulu domba’, safa ’bersih’, dan saf ‘barisan’. Yang berpendapat bahwa sufi itu berasal dari kata suf ‘bulu domba’ mengaitkannya dengan pakaian yang sering dikenakan para sufi, yaitu wool kasar yang terbuat dari bulu domba. Pakaian itu merupakan wujud kesederhanaan atau sebagai perotes sosial terhadap kemewahan masyarakat ketika itu. Yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata safa ‘bersih’ dan saf ‘barisan’ mengaitkannya dengan kebersihan hati para sufi itu sehingga mereka diharapkan berada pada barisan pertama di sisi Allah Swt. Schimmel 1986:1 —2 menggunaan istilah tasawuf dengan mistik Islam. Kata mistik itu sendiri secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani myein ‘menutup mata’. Dalam kata mistik itu terkandung makna ‘misterius’ yang tidak dapat dicapai dengan cara- cara biasa atau dengan cara intelektual. Mistik juga disebut sebagai “arus kerohanian yang mengalir dalam semua agama”. Dalam pengertiannya yang paling luas, kata mistik itu didefinisikan sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal , yang mungkin disebut sebagai kearifan, cahaya, cinta, nihil. Nicholson 1987:3 berpendapat bahwa walaupun kata mistik dan tasawuf itu berpadanan, istilah tasawuf mengandung konotasi religius dan luhur serta menggambarkan kebersahajaan. Oleh karena itu, menurutnya, hanya istilah tasawuf yang dapat digunakan untuk mistik bagi penganut ajaran Islam. Abu Muhammad al-Jurairi berpendapat bahwa tasawuf adalah membina kebiasaan-kebasaan baik serta menjaga hati dan kalbu dari berbagai keinginan dan hasrat hawa nafsu Valiuddin, 1997:37. Basyuni dalam Syukur 1999:11 —16 mendefinisikan tasawuf ke dalam tiga tahap. Tahap pertama, al-bidayah pemula. Pada tahap ini secara naluri manusia mulai menyadari bahwa di balik dirinya ada Realitas Mutlak. Oleh karena itu, muncul dorongan dalam dirinya untuk mendekati-Nya. Hal ini disebut kesadaran tasawuf. Tahap kedua, al- mujahadah perjuangan keras. Kesadaran ini muncul karena manusia menyadari ada jarak antara dirinya dan Realitas Mutlak itu. Jarak itu bukan saja jarak fisik, tetapi juga jarak rohani yang penuh tantangan dan hambatan sehngga diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jarak itu. Caranya, adalah dengan menciptakan kondisi tertentu untuk mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak itu. Tahap ini disebut sebagai tahap perjuangan tasawuf. Tahap ketiga, al-maazaqat, bermakna seorang sufi telah lulus mengatasi hambatan dalam mendekati Realitas Mutlak sehingga ia dapat berkomunikasi dan berada dekat sekali dengan-Nya serta merasakan kenikmatan spiritual yang didambakan. Tahap ini lebih menitikberatkan pada rasa serta kesatuan dengan Yang Mutlak. Tasawuf pada dasarnya adalah ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga seseorang itu dapat melihat-Nya dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat menyatu dengan ruh Tuhan Nasution, 1978:83. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ada dua hal yang mendasari tasawuf. Pertama, Tuhan bersifat ruhani sehingga yang dapat mendekati-Nya adalah ruh, bukan jasmani. Kedua, Tuhan Mahasuci, sehingga yang dapat mendekati-Nya adalah ruh yang suci pula. Sementara itu, Hasan dalam Simuh 1999:25 mengemukakan bahwa tujuan seseorang mengamalkan tasawuf adalah untuk sampai kepada zat al-Haq atau Mutlaq, yaitu Tuhan dan dapat bersatu dengan-Nya, atau disebut dengan makrifat . Di dalam tasawuf, untuk sampai pada makrifat itu, ada beberapa tahap yang harus ditempuh. Al-Ghazali dalam Simuh, 1999:102 —104 mengemukakan agar sebelum mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf, seseorang itu harus memilik pengertian yang cukup tentang pokok-pokok ajaran syariat serta menjalankannya dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Sesudah itu, barulah ditingkatkan pada ajaran tasawuf secara urut dan tertib agar pengalaman dan keyakinan agamanya semakin mantap. Konsep Al-Ghazali tentang tasawuf ini secara singkat dapat dilihat dari skema berikut. Dari konsep ini, akhirnya berkembang rumusan tiga tahap di dalam tasawuf, yaitu syariat, tarikat , kemudian, hakikat , dan makrifat . Pembagian tasawuf yang terdiri dari tiga tahap ini sama dengan yang dikemukakan Schimmel 1986:101,hanya saja tahap ketiga hanya hakikat, bukan hakikat dan makrifat seperti yang dikemukakan oleh Imam Gazali. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tahap tarikat . Qutbaddin al-Ibadi dalam Schimmel 1986:101 mengemukakan, tarikat adalah “jalan” yang harus ditempuh oleh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Jalan utamanya, disebut syari’ dan anak jalannya disebut tariq . Pengalaman tasawuf tidak mungkin dapat dicapai bila perintah syariat tidak ditaatai terlebih dahulu secara seksama. Tariq ini merupakam jalan yang lebih sempit dan lebih sulit dijalani oleh si pejalan salik dalam pengembaraan suluk . Pengembaranaannya ini melalui berbagai persinggahan makam sehingga cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah Satu. Antara sufi yang satu dengan sufi yang lain, tidak jarang memperlihatkan perbedaan kecil, dalam hal makam-makam yang ditempuhnya, karena ini bersifat personal. Misalnya saja, Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, menempuh makam: tobat — zuhud — sabar — kefakiran — kerendahan hati — tawakal — kerelaaan--cinta — makrifat . Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menempuh: tobat — wara — zuhud — kefakiran — sabar — tawakal — kerelaan hati Nasution, 1973:60 —62. Sufi wanita, Rabiah al- Pengetahuan syariat yang memadai disertai dasar ilmu Al-Quran dan hadis Melaksanakan syariat dan tasawuf Syariat dengan keyakianan dan budi luhur ditambah ilmu laduniyah Adawiyah, dalam mencapai makrifat ini menempuh: tobat — zuhud — sabar — syukur — wara — rida — mahababah cinta Asfari, 1998:78. Sementara, Al-Ghazali, yang ingin mengembalikan tasawuf ke ajaran Quran dan Hadis, menempuh makam tobat — sabar — zuhud — kefakiran — tawakal — makrifat — cinta — rida Syukur, 1999:49. Schimmel 1986:112 —147 mengemukakan secara umum bahwa makam-makam itu urutannya adalah: tobat — warak — zuhud — tawakal — kemiskinan — sabar — syukur — rela — ketakutan — harapan — cinta — makrifat . Kecuali Al-Ghazali, umumnya para sufi tidak merasa puas sampai di makam makrifat saja. Oleh sebab itu, mereka terus berusaha agar lebih dekat lagi dengan Tuhan. Bahkan, mereka ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan. Istilah sufinya adalah ittihad . Sebelum seseorang sampai pada pengalaman ittihad ini, ia harus mengalami fana dan baka dahulu. Jika hampir mengalami ittihad itu, dari mulutnya keluar ungkapan- ungkapan teopatis atau syatahat . Ungkapan teopati yang dikeluarkan oleh Abu Yazid al- Bustami, misalnya saja, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku”. Ungkapan itu dikemukakan oleh Abu Yazid ketika ia mengalami penyatuan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu, ungkapan ini dapat diinterpretasikan bahwa Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, tetapi ia mengucapkan kata Tuhan lewat bibirnya. Al-Hallaj juga adalah seorang sufi yang mengalami penyatuan dengan Tuhan. Ia menamai penmgalamannya dengan al-hulul . Ungkapan teopatis yang keluar dari mulutnya ketika ia mengalami peristiwa itu adalah Ana al-Haq Aku adalah Yang Mahabenar. Ibnu Arabi juga mengalami penyatuan dengan Tuhan ini. Ia membawa ajaran Wahdat al-Wujud , yang memandang bahwa alam sebagai makhluk merupakan penampakan diri tajalli dari Tuhan Syukur, 1999:55 —59. Mistik Jawa menekankan pada pencapaian insan kamil manusia sempurna yang dapat mencapai penyatuan dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti karena penghayatan spiritualnya. Ajaran ini hampir menjadi ajaran pokok dalam kepustakaan Islam kejawen. Ajaran mistik dalam kepustakaan Islam kejawen ini bersifat sinkretisme . Maksudnya, ajaran itu dipadukan dengan tradisi Jawa yang telah lama menerima pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Di samping itu, mistik Jawa ini bersumber juga dari sikap para sastrawan dan bangsawan Jawa pada masa itu Simuh, 1999:262 —263. Dalam penyatuan diri dengan Tuhan, pada saat ekstasis, mistik Jawa tidak memperlihatkan Pantheisme. Hal ini dapat dilihat dari ketiga sumber, yaitu kitab Bonang , bagian pertama suluk Ngasmara dan serat Centini, terutama bagian teks Mijil Zoetmulder, 1991:96 —113. Ketiga teks ini mengindikasikan bahwa penyatuan diri dengan Tuhan pada saat ekstasis, ketunggalan dan transendensi Tuhan dijaga dengan baik, Sang Pencipta tidak tenggelam atau berbaur dengan ciptaan-Nya. Dalam hal fana , terdapat kesamaan konsepnya dengan Al-Hallaj syatahat . Tentang Adanya Tuhan dan adanya makhluk memperlihatkan kesamaan konsep dengan Al-Ghazali, yaitu adanya Tuhan sebagai en a sepengada dan Adanya tidak tergantung pada Yang Lain , sedangkan adanya makhluk sebagai en ab lio adanya semata-mata tergantung pada Yang Lain . Tuhan mencipta karena keagungan dan kemandirian-nya serta agar dihormati, dipandang, dan dicintai. Dalam proses penciptaan semesta mistik Jawa bersifat monisme. Proses ini dikenal dengan istilah emanasi yang melalui tujuh martabat. Walaupun demikian, persamaan yang sempuna antara Tuhan dengan ciptaan-Nya juga tidak diakui. Hal ini distilahkan dengan tunggal tan tunggal ‘satu tetapi tidak satu’, karena emanasi menyebabkan terjadinya perubahan. Emanasi Ada dalam bermacam bentuk ini tidak boleh dipandang sebagai bentuk yang hakiki, melainkan hanya wujud semu. Teori emanasi ini terdiri dari tujuh martabat. Ketujuh martabat ini adalah 1 Ahadiyah . Pada tahap ini Zat Mutlak atau hakikat ketuhanan belum menganal individuasi dan belum ada ide-ide. Martabat ini disebut juga martabat tersembunyi. 2 Martabat Wahda yang merupakan awal pemancaran. Pada tahap ini hakikat ketuhanan mulai berindividuasi dalam bentuk Nur Muhammad yang tersembunyi dalam rahasia Tuhan. 3 Martabat Wahidiyah atau individuasi kedua. Pada tahap ini semua ide sudah mantap dalam pengetahuan Tuhan. Adanya hakikat yang keluar ‘ayan kharija sejalan dengan yang ada dalam pengetahuan ‘ayan sabita. Dengan demikian, zat-Nya dan sifat-sifat-Nya menjadi tampak. Ketiga martabat ini disebut martabat batiniah atau lingkungan Ilahi sedangkan keempat martabat berikutnya disebut martabat lahiriah. Martabat lahiriah terdiri dari martabat arwah, missal, ajsam , dan insan kamil. Keempat martabat ini menampilkan ‘ ayan sabita ’ Dandang Gula, dalam Zoetmulder, 1991:116—127. Ketujuh teori emanasi dalam mistik Jawa memeperlihatkan perbedaan kecil dengan teori emanasi atau tajali yang dikemukakan Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri merumuskannya dalam lima martabat saja, yaitu 1 la ta’ayyun atau tidak nyata. Pada tahap ini Allah tidak dapat dijangkau oleh siapa pun dan pengetahuan apa pun. 2 Ta’ayyun atau nyata , yang terdiri dari empat macam, yaitu ta’ayyun awal atau kenyataan pada tahap pertama, ta’ayyyun tsani kenyataan pada tahap kedua, ta’ayyun tsalits kenyataan pada tahap ketiga, dan ta’ayyun rabi’ dan khamis kenyataan pada tahap keempat dan kelima. Pada ta’ayyun awal, dengan adanya ilmu atau pengetahuan, maka Tuhan itu Alim Mahatahu dan Maklum Yang Diketahui. Karena Allah Wujud atau Ada, maka Dialah Yang Mengadakan atau Yang Ada. Karena Nur atau cahaya, maka Dialah Yang Menerangkan dengan Cahaya-Nya dan Yang Diterangkan oleh Cahaya-Nya. Pada ta’ayyun sani ialah maklum. Kenyataan menjadi Yang Dikenal atau Yang Diketahui. Pengetahuan Tuhan Yang Dikenal disebut a’yan sabitah esensi segala sesuatu atau suwari al-ilmiyah bentuk yang dikenal, atau haqiqat al-asyy a’ hakikat segala sesuatu di alam semesta, atau ruh idafi ruh yang terpaut. Ta’ayyun tsalits berupa ruh manusia dan makhluk-makhluk lain. Ta’ayyun rabi’ dan khamis berupa penciptaan jasmani alam semesta dan makhluk-makhluk lain, termasuk manusia Fansuri dalam Hadi, 1995:84 —91. Ada beberapa ajaran mistik Jawa yang berbeda dari tasawuf Islam. Misalnya, Tuhan bersifat antropomorphis . Maksudnya, Tuhan digambarkan memiliki sifat sebagai manusia, begitu juga sebaliknya, manusia dilukiskan memiliki sifat-sifat sebagai Tuhan. Mengenai hal ini, Zoetmulder 1991:215 —216 cenderung berpendapat bahwa ajaran Atman dalam agama Hindulah yang lebih mendominasi daripada tasawuf Islam. Bahkan, ada juga sekte mistik Jawa yang amat radikal menentang Islam dalam mencapai Manunggaling Kawula Gusti Zoetmulder, 1991:278 —283. Dalam mencapai Manunggaling Kawula Gusti, mereka menghina praktik syariat; ada yang bertingkah laku sebagai orang gila, bahkan bergaul bebas antara pria dan wanita, karena mereka menganggap bahwa perbedaan kedua jenis kelamin itu tidak ada.

1.7 Metodologi Penelitian