pandang
yang digunakan pengarang dan
nadanya
. Secara lebih rinci, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perilaku aufistik pada
makam
apakah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen
Gergasi
ini dan apa yang melatarbelakangi para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu?
2. Bagaimanakah sikap
implied author
terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen
Gergasi
ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Bedasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Merumuskan perilaku sufistik yang terdapat di dalam kumpulan cerpen
Gergasi
karya Danarto dan latar belakang para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu. 2.
Merumuskan sikap
implied author
terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen
Gergasi
.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi sastra itu sendiri maupun bagi hal-hal di luar sastra, seperti di dalam kehidupan masyarakat. Pengguanaan
teori hermeneutik dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah model aplikasi teori sastra terhadap karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam rangka
memperkaya pemaknaan terhadap karya sastra, dalam hal ini terhadap karya Danarto. Karena karya sastra merupakan cermin kondisi sosial budaya masyarakat dan
memuat tanggapan evaluatif pengarang terhadap kondisi itu, setidaknya penelitian ini menujukkan sejumlah masalah yamg ada dalam kehidupan itu. Dari dunia alternatif yang
ditawarkan pengarang, diharapkan penelitian ini dapat membantu mengatasi masalah yang ada di dalam kehidupan itu.
1.5 Sumber Data
Dari ketiga belas cerpen yang terdapat di dalam
Gergasi
ini, dipilih sembilan cerpen yang dijadikan sumber penelitian ini. Pemilihan terhadap kesembilan cerpen ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa kesembilan cerpen ini memiliki perilaku sufistik. Kesembilan cerpen itu adalah: 1 ”Rembulan di Dasar Kolam”, 2 Allah Berkenan
Mengejawantah Lusa”, 3 “Bulan Sepotong Semangka”, 4 “Dinding Ayah”, 5 “Dinding Waktu”, 6 “Gaharu”, 7 “Balairung”, 8 “Semak Belukar”, dan 9
“Gandasturi”.
1.6 Landasan Teori
Landasan teori yang dipakai dalam rangka menjawab masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah teori hermeneutika. Kata hermeneutika secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
hermeneuin
yang berarti ‘menafsirkan’. Kata ini berhubungan dengan kata benda
hermeneia
yang berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’. Kedua kata ini berkaitan dengan nama dewa pada mitologi Yunani, yaitu
Hermes. Dewa ini bertugas menyampaikan pesan Dewa Yupiter kepada manusia. Ia menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat
dipahami oleh manusia. Oleh sebab itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti Palmer dalam
Sumaryono, 1993:23 —24.
Semula hermeneutika hanya mencurahkan perhatian pada pembacaan dan penafsiran teks-teks keagamaan, seperti Alkitab. Akan tetapi, pada abad ke-19 bidang
cakupannya diperluas sehingga meliputi semua karya Eagleton, 1988:73. Kaitannya dengan studi sastra adalah berdasarkan kenyataan bahwa teks-teks yang ditulis pada
masa lampau terus ada dan dibaca, sementara penulisnya dan kaitan historisnya yang menghasilkan karya-karya itu sudah tidak ada. Pembacaan teks-teks seperti ini menjadi
tak terpisahkan dari penafsiran Newton, 1994:52. Schleimacher dianggap sebagai pendiri hermeneutika modern karena ia
memperluas makna hermeneutika melampaui batas-batas keagamaan sehingga hermeneutika diharapkan dapat diterapkan untuk menafsirkan teks-teks yang bersifat
lebih umum. Menurut pendapatnya, pemahaman memiliki dua aspek pokok, yaitu yang bersifat gramatikal dan bersifat kejiwaan. Maksudnya, setiap pengucapan, baik lisan
maupun tertulis, haruslah merupakan bagian dari sistem kebahasaan. Oleh karena itu, pengucapan tidak akan dapat meiliki pengetahuan mengenai struktur tersebut, di lain
pihak, pengucapan itu juga merupakan hasil manusia dan harus dipahami dalam hubungannya dengan kehidupan orang-orang yang mengucapkannya. Prinsip yang
menjadi rekonstruksi bidang bahasa dan kejiwaan ini diistilahkannya dengan lingkaran hermeneutik Newton, 1994:52 dan Kaelan, 1990:187.
Bertolk dari pendapat Schleimacher inilah E.D. Hirsch mengembangkan pendapatnya. Menurutnya, makna keseluruhan karya adalah penafsiran sebagaimana
yang dimaksud pengarangnya. Dalam menafsirkan sebuah karya, secara keseluruhan karya itu boleh disatukan kembali dengan apa yang diketahui tentang pengarang itu dan
konteks historisnya Newton, 1994:62 dan Eagleton, 1988:74. Dalam identitas arti teks dengan maksud penulisnya ini dapat dicapai penafsiran teks yang ilmiah sehingga dapat
dibuktikan. Pembuktiannya memang tidak dilakukan secara eksperimental, seperti dalam ilmu-ilmu eksakta, melainkan perlu melalui proses pendekatan kebenaran yang
berangsur-angsur, dan yang akhirnya berdasarkan prinsip probabilitas. Menurutnya, validitas merupakan kesimpulan yang objektif mengenai probabilitas yang nisbi. Jadi,
dalam interpretasi teks tidak dapat dibuktikan bahwa hanya sebuah interpretasi yang mutlak, dan seluruhnya benar dan absah. Walaupun demikian, pencapaian terhadap
kebenaran interpretasi itu tidak boleh diabaikan. Identifikasi arti karya sastra dengan maksud penulis akan memberi jaminan bagi pemberian penafsiran setepat mungkin
Newton, 1994:58 dan Teuw, 1984:175. Dalam upaya interpretasi ini, Hirsch Newton, 1994:59 dan Teuw, 1984:176
membedakan
meaning
arti dan
significance
makna.
Meaning
arti merupakan suatu
determinat, genah
, niat penulis seperti terkandung dan terjelma dalam tulisannya, dan itu merupakan hal yang dapat diteliti dan dipastikan secara objektif. Di sisi lain,
significance
makna menurutnya adalah hubungan antara arti dan seorang atau sesuatu di luar teks, antara arti dan pembaca dalam situasinya yang khas pada masa tertentu. Ia mengakui
bahwa makna itu adalah sesuatu yang variabel, terus berubah, tetapi menyamakan arti dan makna berarti meniadakan perbedaan antara pemahaman dan kritik.
Dengan memerhatikan tokoh, sudut pandang pengarang, dan nada yang ada dalam cerpen
Gergasi
ini, akan terlihat sikap dan perilaku sufistik para tokohnya. Selain dari itu, pendeskripsian mengenai perilaku sufistik ini juga mencerminkan sikap
implied author
terhadap tasawuf, dalam hal ini, perilaku sufistik.
Menurut Both 1961:66 —67
implied author
adalah jiwa pengarang masuk dalam karya-karyanya. Kadang-kadang
implied author
dapat dilihat melalui komentar eksplisit narator dan melalui penggunaan teknik
akuan
, kadang-kadang pula disamakan dengan gaya atau teknik dalam sebuah karya. Yang jelas bahwa
implied author
itu terlihat dari keseluruhan struktur karya yang di dalamnya pengarang tidak pernah netral terhadap
suatu nilai. Ia mempunyai nilai yang dianut dan menjadi komitmennya. Situasi pengarang terhadap karya sastra dan terhadap pembaca bersifat ambivalen. Maksudnya,
pengarang berada di luar situasi karya sastra, tetapi sekaligus merupakan bagian dari karya itu. Dalam
implied author
ini, Juhl dan Teeuw 1984:180 mengatakan, memasukkan pengarang ke dalam karya fiksi, kritik sastra akan menghasilkan sintesis
yang luhur; kita diberi ilusi bahwa kehadiran pengarang dan fungsi komunikasi sastra telah dirukunkan dengan dunia rekaan yang memenuhi tuntutan akan kemurnian mutlak.
Penelitian terhadap cerpen-cerpen karya Danarto dalam
Gergasi
ini memerlukan pengetahuan mengenai tasawuf, baik tasawuf Islam, maupun mistik Jawa. Ada beberapa
pendapat mengenai asal kata tasawuf ini. Dalam Syukur 1999:9 —10 dikemukakan
bahwa kata
sufi
berasal dari kata
suf
‘bulu domba’,
safa
’bersih’, dan
saf
‘barisan’. Yang berpendapat bahwa sufi itu berasal dari kata
suf
‘bulu domba’ mengaitkannya dengan pakaian yang sering dikenakan para sufi, yaitu
wool
kasar yang terbuat dari bulu domba. Pakaian itu merupakan wujud kesederhanaan atau sebagai perotes sosial terhadap
kemewahan masyarakat ketika itu. Yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata
safa
‘bersih’ dan
saf
‘barisan’ mengaitkannya dengan kebersihan hati para sufi itu sehingga mereka diharapkan berada pada barisan pertama di sisi Allah Swt.
Schimmel 1986:1 —2 menggunaan istilah tasawuf dengan mistik Islam. Kata
mistik itu sendiri secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani
myein
‘menutup mata’. Dalam kata mistik itu terkandung makna ‘misterius’ yang tidak dapat dicapai
dengan cara- cara biasa atau dengan cara intelektual. Mistik juga disebut sebagai “arus
kerohanian yang mengalir dalam semua agama”. Dalam pengertiannya yang paling luas, kata mistik itu didefinisikan sebagai kesadaran terhadap
Kenyataan Tunggal
, yang mungkin disebut sebagai kearifan, cahaya, cinta, nihil. Nicholson 1987:3 berpendapat
bahwa walaupun kata mistik dan tasawuf itu berpadanan, istilah tasawuf mengandung konotasi religius dan luhur serta menggambarkan kebersahajaan. Oleh karena itu,
menurutnya, hanya istilah tasawuf yang dapat digunakan untuk mistik bagi penganut ajaran Islam. Abu Muhammad al-Jurairi berpendapat bahwa tasawuf adalah membina
kebiasaan-kebasaan baik serta menjaga hati dan kalbu dari berbagai keinginan dan hasrat hawa nafsu Valiuddin, 1997:37.
Basyuni dalam Syukur 1999:11 —16 mendefinisikan tasawuf ke dalam tiga
tahap. Tahap pertama,
al-bidayah
pemula. Pada tahap ini secara naluri manusia mulai menyadari bahwa di balik dirinya ada Realitas Mutlak. Oleh karena itu, muncul dorongan
dalam dirinya untuk mendekati-Nya. Hal ini disebut kesadaran tasawuf. Tahap kedua,
al- mujahadah
perjuangan keras. Kesadaran ini muncul karena manusia menyadari ada jarak antara dirinya dan
Realitas Mutlak
itu. Jarak itu bukan saja jarak fisik, tetapi juga jarak rohani yang penuh tantangan dan hambatan sehngga diperlukan kesungguhan dan
perjuangan keras untuk dapat menempuh jarak itu. Caranya, adalah dengan menciptakan kondisi tertentu untuk mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak itu. Tahap ini disebut
sebagai tahap perjuangan tasawuf. Tahap ketiga,
al-maazaqat,
bermakna seorang sufi telah lulus mengatasi hambatan dalam mendekati Realitas Mutlak sehingga ia dapat
berkomunikasi dan berada dekat sekali dengan-Nya serta merasakan kenikmatan spiritual yang didambakan. Tahap ini lebih menitikberatkan pada rasa serta kesatuan dengan
Yang Mutlak.
Tasawuf pada dasarnya adalah ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga seseorang itu dapat melihat-Nya dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat
menyatu dengan ruh Tuhan Nasution, 1978:83. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ada dua hal yang mendasari tasawuf. Pertama, Tuhan bersifat ruhani sehingga yang dapat
mendekati-Nya adalah ruh, bukan jasmani. Kedua, Tuhan Mahasuci, sehingga yang dapat mendekati-Nya adalah ruh yang suci pula.
Sementara itu, Hasan dalam Simuh 1999:25 mengemukakan bahwa tujuan seseorang mengamalkan tasawuf adalah untuk sampai kepada zat
al-Haq
atau
Mutlaq, yaitu Tuhan dan dapat bersatu dengan-Nya,
atau disebut dengan
makrifat
. Di dalam tasawuf, untuk sampai pada makrifat itu, ada beberapa tahap yang harus
ditempuh. Al-Ghazali dalam Simuh, 1999:102 —104 mengemukakan agar sebelum
mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf, seseorang itu harus memilik pengertian yang cukup tentang pokok-pokok ajaran
syariat
serta menjalankannya dengan penuh
kesadaran dan ketaatan. Sesudah itu, barulah ditingkatkan pada ajaran tasawuf secara urut dan tertib agar pengalaman dan keyakinan agamanya semakin mantap.
Konsep Al-Ghazali tentang tasawuf ini secara singkat dapat dilihat dari skema berikut.
Dari konsep ini, akhirnya berkembang rumusan tiga tahap di dalam tasawuf, yaitu
syariat, tarikat
, kemudian,
hakikat
, dan
makrifat
. Pembagian tasawuf yang terdiri dari tiga tahap ini sama dengan yang dikemukakan Schimmel 1986:101,hanya saja tahap
ketiga hanya hakikat, bukan hakikat dan makrifat seperti yang dikemukakan oleh Imam Gazali. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tahap
tarikat
. Qutbaddin al-Ibadi dalam Schimmel 1986:101 mengemukakan, tarikat adalah
“jalan” yang harus ditempuh oleh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Jalan utamanya, disebut
syari’ dan anak jalannya disebut
tariq
. Pengalaman tasawuf tidak mungkin dapat dicapai bila perintah syariat tidak ditaatai
terlebih dahulu secara seksama.
Tariq
ini merupakam jalan yang lebih sempit dan lebih sulit dijalani oleh si pejalan
salik
dalam pengembaraan
suluk
. Pengembaranaannya ini melalui berbagai persinggahan
makam
sehingga cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan
adalah Satu. Antara sufi yang satu dengan sufi yang lain, tidak jarang memperlihatkan
perbedaan kecil, dalam hal makam-makam yang ditempuhnya, karena ini bersifat personal. Misalnya saja, Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, menempuh makam:
tobat
—
zuhud
—
sabar
—
kefakiran
—
kerendahan hati
—
tawakal
—
kerelaaan--cinta
—
makrifat
. Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menempuh:
tobat
—
wara
—
zuhud
—
kefakiran
—
sabar
—
tawakal
—
kerelaan hati
Nasution, 1973:60 —62. Sufi wanita, Rabiah al-
Pengetahuan syariat yang memadai disertai
dasar ilmu Al-Quran dan hadis
Melaksanakan syariat dan tasawuf
Syariat dengan keyakianan dan budi
luhur ditambah ilmu
laduniyah
Adawiyah, dalam mencapai makrifat ini menempuh:
tobat
—
zuhud
—
sabar
—
syukur
—
wara
—
rida
—
mahababah
cinta Asfari, 1998:78. Sementara, Al-Ghazali, yang ingin mengembalikan tasawuf ke ajaran Quran dan Hadis, menempuh
makam tobat
—
sabar
—
zuhud
—
kefakiran
—
tawakal
—
makrifat
—
cinta
—
rida
Syukur, 1999:49. Schimmel 1986:112
—147 mengemukakan secara umum bahwa makam-makam itu urutannya adalah:
tobat
—
warak
—
zuhud
—
tawakal
—
kemiskinan
—
sabar
—
syukur
—
rela
—
ketakutan
—
harapan
—
cinta
—
makrifat
. Kecuali Al-Ghazali, umumnya para sufi tidak merasa puas sampai di makam
makrifat saja. Oleh sebab itu, mereka terus berusaha agar lebih dekat lagi dengan Tuhan. Bahkan, mereka ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan. Istilah sufinya adalah
ittihad
. Sebelum seseorang sampai pada pengalaman
ittihad
ini, ia harus mengalami
fana
dan
baka
dahulu. Jika hampir mengalami
ittihad
itu, dari mulutnya keluar ungkapan- ungkapan teopatis atau
syatahat
. Ungkapan teopati yang dikeluarkan oleh Abu Yazid al- Bustami, misalnya saja, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku,
maka sembahlah Aku”. Ungkapan itu dikemukakan oleh Abu Yazid ketika ia mengalami
penyatuan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu, ungkapan ini dapat diinterpretasikan bahwa Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, tetapi ia mengucapkan kata
Tuhan lewat bibirnya. Al-Hallaj juga adalah seorang sufi yang mengalami penyatuan dengan Tuhan. Ia menamai penmgalamannya dengan
al-hulul
. Ungkapan teopatis yang keluar dari mulutnya ketika ia mengalami peristiwa itu adalah
Ana al-Haq
Aku adalah Yang Mahabenar. Ibnu Arabi juga mengalami penyatuan dengan Tuhan ini. Ia
membawa ajaran
Wahdat al-Wujud
, yang memandang bahwa alam sebagai makhluk merupakan penampakan diri
tajalli
dari Tuhan Syukur, 1999:55 —59.
Mistik Jawa menekankan pada pencapaian
insan kamil
manusia sempurna yang dapat mencapai penyatuan dengan Tuhan
Manunggaling Kawula Gusti
karena penghayatan spiritualnya. Ajaran ini hampir menjadi ajaran pokok dalam kepustakaan
Islam kejawen. Ajaran mistik dalam kepustakaan Islam kejawen ini bersifat
sinkretisme
. Maksudnya, ajaran itu dipadukan dengan tradisi Jawa yang telah lama menerima
pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Di samping itu, mistik Jawa ini bersumber juga dari sikap para sastrawan dan bangsawan Jawa pada masa itu Simuh, 1999:262
—263.
Dalam penyatuan diri dengan Tuhan, pada saat ekstasis, mistik Jawa tidak memperlihatkan Pantheisme. Hal ini dapat dilihat dari ketiga sumber, yaitu kitab
Bonang
, bagian pertama suluk
Ngasmara
dan serat
Centini,
terutama bagian teks Mijil Zoetmulder, 1991:96
—113. Ketiga teks ini mengindikasikan bahwa penyatuan diri dengan Tuhan pada saat ekstasis, ketunggalan dan transendensi Tuhan dijaga dengan
baik, Sang Pencipta tidak tenggelam atau berbaur dengan ciptaan-Nya. Dalam hal
fana
, terdapat kesamaan konsepnya dengan
Al-Hallaj syatahat
. Tentang Adanya Tuhan dan adanya makhluk memperlihatkan kesamaan konsep dengan Al-Ghazali, yaitu adanya
Tuhan sebagai
en a sepengada
dan Adanya tidak tergantung pada
Yang Lain
, sedangkan adanya makhluk sebagai
en ab lio
adanya semata-mata tergantung pada
Yang Lain
. Tuhan mencipta karena keagungan dan kemandirian-nya serta agar dihormati, dipandang,
dan dicintai. Dalam proses penciptaan semesta mistik Jawa bersifat monisme. Proses ini
dikenal dengan istilah emanasi yang melalui tujuh martabat. Walaupun demikian, persamaan yang sempuna antara Tuhan dengan ciptaan-Nya juga tidak diakui. Hal ini
distilahkan dengan
tunggal tan tunggal
‘satu tetapi tidak satu’, karena emanasi menyebabkan terjadinya perubahan. Emanasi Ada dalam bermacam bentuk ini tidak
boleh dipandang sebagai bentuk yang hakiki, melainkan hanya wujud semu. Teori emanasi ini terdiri dari tujuh martabat. Ketujuh martabat ini adalah 1
Ahadiyah
. Pada tahap ini Zat Mutlak atau hakikat ketuhanan belum menganal individuasi dan belum ada
ide-ide. Martabat ini disebut juga martabat tersembunyi. 2 Martabat
Wahda
yang merupakan awal pemancaran. Pada tahap ini hakikat ketuhanan mulai berindividuasi
dalam bentuk
Nur Muhammad
yang tersembunyi dalam rahasia Tuhan. 3 Martabat
Wahidiyah
atau individuasi kedua. Pada tahap ini semua ide sudah mantap dalam pengetahuan Tuhan. Adanya hakikat yang keluar
‘ayan kharija sejalan dengan yang ada dalam pengetahuan
‘ayan sabita. Dengan demikian, zat-Nya dan sifat-sifat-Nya menjadi tampak. Ketiga martabat ini disebut martabat batiniah atau lingkungan Ilahi
sedangkan keempat martabat berikutnya disebut martabat lahiriah. Martabat lahiriah terdiri dari martabat
arwah, missal, ajsam
, dan
insan kamil.
Keempat martabat ini menampilkan ‘
ayan sabita
’ Dandang Gula, dalam Zoetmulder, 1991:116—127.
Ketujuh teori emanasi dalam mistik Jawa memeperlihatkan perbedaan kecil dengan teori emanasi atau tajali yang dikemukakan Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri
merumuskannya dalam lima martabat saja, yaitu 1 la ta’ayyun atau tidak nyata. Pada
tahap ini Allah tidak dapat dijangkau oleh siapa pun dan pengetahuan apa pun. 2 Ta’ayyun atau
nyata
, yang terdiri dari empat macam, yaitu ta’ayyun awal atau kenyataan
pada tahap pertama, ta’ayyyun
tsani
kenyataan pada tahap kedua, ta’ayyun
tsalits
kenyataan pada tahap ketiga, dan ta’ayyun rabi’ dan
khamis
kenyataan pada tahap keempat dan kelima. Pada
ta’ayyun awal, dengan adanya ilmu atau pengetahuan, maka Tuhan itu Alim Mahatahu dan Maklum Yang Diketahui. Karena Allah Wujud atau
Ada, maka Dialah Yang Mengadakan atau Yang Ada. Karena Nur atau cahaya, maka Dialah Yang Menerangkan dengan Cahaya-Nya dan Yang Diterangkan oleh Cahaya-Nya.
Pada ta’ayyun sani ialah maklum. Kenyataan menjadi Yang Dikenal atau Yang
Diketahui. Pengetahuan Tuhan Yang Dikenal disebut a’yan sabitah esensi segala
sesuatu atau
suwari al-ilmiyah
bentuk yang dikenal, atau
haqiqat al-asyy
a’ hakikat segala sesuatu di alam semesta, atau
ruh idafi
ruh yang terpaut. Ta’ayyun
tsalits
berupa ruh manusia dan makhluk-makhluk lain.
Ta’ayyun rabi’ dan
khamis
berupa penciptaan jasmani alam semesta dan makhluk-makhluk lain, termasuk manusia Fansuri dalam
Hadi, 1995:84 —91.
Ada beberapa ajaran mistik Jawa yang berbeda dari tasawuf Islam. Misalnya, Tuhan bersifat
antropomorphis
. Maksudnya, Tuhan digambarkan memiliki sifat sebagai manusia, begitu juga sebaliknya, manusia dilukiskan memiliki sifat-sifat sebagai Tuhan.
Mengenai hal ini, Zoetmulder 1991:215 —216 cenderung berpendapat bahwa ajaran
Atman dalam agama Hindulah yang lebih mendominasi daripada tasawuf Islam. Bahkan, ada juga sekte mistik Jawa yang amat radikal menentang Islam dalam mencapai
Manunggaling Kawula Gusti
Zoetmulder, 1991:278 —283. Dalam mencapai
Manunggaling Kawula Gusti,
mereka menghina praktik syariat; ada yang bertingkah laku sebagai orang gila, bahkan bergaul bebas antara pria dan wanita, karena mereka
menganggap bahwa perbedaan kedua jenis kelamin itu tidak ada.
1.7 Metodologi Penelitian