Sepeda Onthel Sebagai Simbol yang digunakan JOC

commit to user komunitas untuk mencapai tujuan tertentu jadi tindakan mereka bukan tanpa tujuan. Para anggota JOC yang kesemuanya berasal dari bermacam-macam daerah dari dalam maupun luar Kota Yogyakarta, dalam teori aksi dari Talcott Parsons menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativias dan proses penghayatan diri individu. Dari semula Parsons menjelaskan teori aksi memang tidak dapat menerangkan keseluruhan aspek kehidupan sosial. Walaupun teori aksi berurusan dengan unsur-unsur yang paling mendasar dari kehidupan sosial namun ia mengakui bahwa unsur-unsur yang mendasar itu tidaklah berurusan dengan keluruhan struktur sosial. Sepeda onthel yang diminati anggota JOC, itu semua adalah cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuannya yang tengah dibangun oleh anggota JOC.

2. Sepeda Onthel Sebagai Simbol yang digunakan JOC

Karakteristik para anggota JOC adalah mereka tidak terbatas dalam menggunakan satu makna terhadap sepeda onthel. Di dalam berkomunikasi mereka menggunakan simbol-simbol yang diungkapkan melalui kata-kata yang mengandung makna, namun memiliki arti yang dapat dimengerti secara sesama anggota JOC. Suatu makna dari sepeda onthel sebagai suatu simbol tergantung kepada kesepakatan sesama komunitas yang mempergunakan simbol itu, sehingga dapat ditangkap melalui proses penafsiran. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Dalam hal ini, commit to user perlu diingat JOC adalah suatu komunitas yang bertujuan untuk melestarikan sepeda onthel di Kota Yogyakarta, maka mereka perlu menyampaikan makna sepeda onthel itu sendiri sebagai simbol yang digunakan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sepeda onthel yang disimbolkan dengan beragam sebutan seperti simbol kederhanaan, simbol gaya hidup sehat, simbol kehidupan di pedesaan yang bebas polusi atau sama halnya seperti ”sahabat” tidak begitu saja bisa langsung diterima dan dimengerti oleh semua orang di Kota Yogyakarta, maka simbol itu harus terlebih dulu ditafsirkan. Hal ini dapat dipahami melalu pendapat Mead yang membedakan antara tanda-tanda alamiah natural signs dan simbol-simbol yang mengandung makna significant symbols. Natural signs bersifat naluriah serta menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang. Sedangkan, significant symbols tidak harus menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang. Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa simbol komunikasi merupakan proses dua arah di mana kedua belah pihak saling memberikan makna atau arti terhadap symbol-simbol itu. 20 Menurut pandangan Interaksionisme Simbolik, melalui proses berfikir itu maka tindakan manusia menjadi jauh lebih efisien dibandingkan dengan melalui proses belajar dengan coba-coba belaka. Dengan demikian tindakan sekarang dapat menjadi semacam tanggapan terhadap stimulus yang diharapkan di masa datang dan bagian-bangian tindakan tertentu dapat 20 George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2009: 54-55 commit to user direncanakan segera untuk masa yang akan datang. Berfikir tidak hanya membawa orang ke masa datang, tetapi juga ke masa lalu. 21 Teori Interaksionisme Simbolik yang juga termasuk ke dalam paradigma definisi sosial berusaha membentuk suatu komunitas melalui proses penafsiran dengan cara komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya oleh para anggota JOC yang kemudian saling menyesuaikan makna dari simbol yang digunakan. Meskipun makna dari simbol itu sendiri memberikan pembatasan tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimiliki mereka yang mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai secara bersama. Dari hasil penelitian ini didapat beberapa informan yang tergabung dalam JOC tidak hanya memaknai sepeda onthel sebagai suatu simbol, melainkan dengan alasan bergabung dengan JOC dapat membentuk suatu komunitas dalam mencapai tujuan yang sama untuk melawan arus modernisasi, sehingga sepeda onthel kembali menjadi alat transportasi utama di Kota Yogyakarta. Tidak hanya karena alasan itu saja, tentunya beragam aksi komunitas melalui kegiatan yang berhubungan dengan sepeda onthel berarti mereka sedang menampilkan proses dialog yang disatukan dalam sebuah kebudayaan yang dapat mencerminkan sikap untuk berinteraksi mengikuti modernisasi. Jadi, karena adanya penggemar sesama sepeda onthel tentunya hal tersebut dapat mempermudah mereka mengayuh menyusuri jalan 21 Ibid: 58 commit to user sambil membawa kenangan akan kejayaan sepeda onthel, sehingga diketahui suatu gambaran akan keberadaan sepeda onthel agar tetap eksis yang secara umum terlihat dari peran JOC dalam melestarikan sepeda onthel di Kota Yogyakarta. commit to user

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Para anggota JOC yang dinilai cukup heterogen ini mempunyai beragam pendapat dalam memaknai sepeda onthel sebagai simbol yang digunakan. Ada banyak merek sepeda onthel yang digunakan oleh JOC, namun hal ini tidak menjadi permasalahan yang mendasari setiap pilihan, baik individu maupun kolektif. Mulai dari Simplex, Fongres, Phoniex, Batavus, dan Locomotief. Apabila dilihat dari segi bentuk sepeda onthel memiliki konstruksi tinggi, besar, dan kuat. Terlepas dari itu, JOC memiliki pandangan tersendiri yang semakin memperdalam kecintaan mereka terhadap sepeda onthel. Adapun beberapa pemaknaan sepeda onthel sebagai simbol yang digunakan JOC, sebagai berikut : a. Sepeda onthel dapat memberikan semangat yang tinggi. b. Sepeda onthel dapat menghangatkan suasana kota. c. Sepeda onthel merupakan alat transportasi sederhana yang dapat meramaikan budaya ”ngontel” di masyarakat, khususnya pelajar dalam mengkampanyekan bersepeda untuk pergi ke sekolah.