Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

BAB II PROSES PENETAPAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

A. Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

Undang-Undang Pornografi sebelumnya saat masih berbentuk Rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat menjadi RUU APP, kemudian menjadi UU Pornografi adalah suatu produk hukum berbentuk Undang-Undang yang mengatur mengenai pornografi. Undang-Undang ini disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat DPR pada tanggal 30 Oktober 2008. Pembahasan akan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah dimulai sejak tahun 1997 diajukan pada tanggal 14 Februari 2006 yang berisi 11 bab dan 93 pasal. Pornografi dalam rancangan pertama didefenisikan sebagai “Substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan erotika” sementara pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan dan erotika dimuka umum”. 29 Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Diantara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah defenisi pornografi dan pornoaksi. Karena defenisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan defenisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Porne pelacur dan Graphos gambar atau tulisan yang secara harfiah berarti “tulisan atau gambar tentang pelacur”. Definisi pornografi 29 httpid.wikipedia.orgwikiuu_pornografi. Universitas Sumatera Utara pada draft ini adalah “upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”. Dalam draft yang dikirimkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, Rancangan Undang-Undang ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul Rancangan Undang-Undang ini pun diubah sehingga menjadi Rancangan Undang-Undang RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Negara Pemberdaaan Perempuan untuk membahas rancangan undang- undang ini bersama Panitia Khusus PANSUS Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Dalam draft final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, Rancangan Undang-Undang Pornografi tinggal terdiri dari 8 Bab dan 44 Pasal. Pada Rancangan Undang-Undang Pornografi, defenisi pornografi disebutkan dalam pasal 1 adalah: “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukkan dimuka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Defenisi ini menggabungkan Pornografi dan Pornoaksi pada Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya, dengan memasukkan “gerak tubuh” kedalam defenisi pornografi. Rancangan terakhir Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi ini masih menimbulkan kontroversi. Banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah seperti Universitas Sumatera Utara Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Papua yang tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang ini. 30 Pengertian pornografi sangat luas sekali pemaknaannya, tentang istilah ini sangat tergantung dari aspek mana kita melihatnya. Dalam pengunaan kata “porno” dan “pornografi” secara defenisi memang mempunyai pengertian yang sedikit berbeda. Kalau kata “porno” biasanya mencakup baik tulisan, gambar, lukisan, maupun kata-kata lisan, tarian serta apa saja yang bersifat asusila atau cabul. Sedangkan “pornografi” hanya terbatas pada tulisan, gambar dan lukisan. Terbatas pada apa yang bisa di graphein digambar, ditulis atau dilukis. Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi adalah sebuah Rancangan Undang-Undang mengenai permasalahan pornografi dan pornoaksi. Dimana dalam hal ini Undang-Undang adalah peraturan yang tegas dan mengikat yang ditunjukkan kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali dan apabila ada yang melanggar maka akan mendapatkan sangsi yang kuat dan tegas. Pengertian pornografi sangat luas sekali pemaknaannya, tentang istilah pornografi sangat tergantung dari aspek mana kita melihatnya. Pengertian porno sendiri masih dianggap rancu, dikarenakan tidak terdapatnya kata ini dalam kamus bahasa Indonesia. Kata porno sendiri diadaptasi dari tata bahasa Yunani, hal ini berarti dalam pengertian bahasa Indonesia baku tidak terdapat kata porno. Dalam penggunaan kata porno dan pornografi secara defenisi memang mempunyai pengertian yang sedikit berbeda kalau kata porno biasanya mencakup baik tulisan, gambar, lukisan maupun kata-kata lisan yang terbatas pada apa yang bisa ditulis atau dilukis. A.1. Defenisi Pornografi dan Pornoaksi 30 Ibid Universitas Sumatera Utara Pengertian pornografi yang memberikan defenisi sederhana bahwa gambar, tulisan, atau bentuk komunikasi lain yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual. Jadi unsur pokok materill yang disebut porno adalah yang sengaja dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual. Berdasarkan defenisi, batasan atau kriteria diatas, tentang pornografi ditawarkan sebagai berikut: disebut porno, segala karya manusia baik berupa cerita, gambar, film, tarian maupun lagu yang diciptakan dengan maksud sengaja untuk membakar nafsu birahi orang lain, sehingga merangsang syahwatnya serta menimbulkan pikiran-pikiran jorok dibenaknya. 31 Pornografi memiliki tiga defenisi yaitu: Pornografi ini juga terkadang disebut dengan istilah obscene dan banyak perkataan lainnya yang berkaitan dengan perbuatan mesum atau cabul atau tindakan sengaja yang menyebabkan rangsangan terhadap birahi seksual atau nafsu seksual. 32 1. Defenisi pertama, defenisi yang menyatakan bahwa pornografi itu adalah semua segala sesuatu yang menggambarkan ketelanjangan adalah pornografi, hal ini sesuai dengan pemahaman dari sudut konservatif. 2. Defenisi kedua, adalah defenisi pornografi yang bersifat pemahaman liberal, dan pemahaman ini biasanya dipahami dan didukung oleh para seniman, arsitektur, pembuat film, mereka menyatakan bahwa pornografi itu sendiri adalah sesuatu yang baik-baik saja, karena merupakan aspek dari seksualitas. Mereka beranggapan bahwa seksualitas merupakan sesuatu yang lumrah, manusiawi dan tidak dapat dihilangkan. 3. Defenisi ketiga, mengenai defenisi pornografi yang muncul dari pendekatan feminis, yang menyatakan bahwa ketelanjangan adalah segala sesuatu yang wajar 31 Tjipta Lesmana, Puspa Swara Jakarta: 1995. 32 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1997, hal. 141. Universitas Sumatera Utara saja selama ketelanjangan tersebut masih dalam konteks keindahan dan merupakan satu kesatuan arti. Bagi feminis pornografi adalah persentasi baik itu secara verbal maupun non verbal dari perilaku seksual yang merendahkan atau kasar dari satu atau lebih pelaku. Menurut kaum feminis pornografi merupakan suatu budaya yang mengesahkan tindakan pemerkosaan atau pelecehan seksual yang lain yang ditimpakan pada perempuan dan anak-anak. Menurut Santoso, dalam bukunya menyatakan bahwa pornografi adalah segala tindakan yang bertujuan untuk merangsang nafsu seksual, termasuk juga dalam kategori pornografi yakni gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca, melihat, atau mendengarkan. Termasuk juga yang bukan saja gambar tetapi juga segala tindakan yang berdaya menimbulkan nafsu birahi bagi orang yang mengkonsumsinya. 33 Tayangan iklan di media elektronik atau media cetak juga seringkali menggumbar eksostisme dari tubuh perempuan untuk menarik minat masyarakat yang melihatnya untuk membeli produk yang ditawarkan. Dalam hal ini bisa Pornografi merupakan masalah yang jamak dan sudah sering sekali diangkat untuk dijadikan sebuah tulisan, perdebatan dan sebagainya. Namun, dengan banyaknya pembahasan mengenai hal tersebut pornografi tetap saja menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Hal ini terbukti dengan banyaknya tayangan-tayangan televisi yang menayangkan mengenai pembahasan pornografi sebagai daya tarik dari acara tersebut. Tidak saja mengenai tayangan di televisi, media cetak pun seakan- akan tidak mau kalah untuk beraksi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya buku-buku dan majalah-majalah yang membahas masalah tersebut. 33 Topo Santoso, Ibid, hal. 145 Universitas Sumatera Utara dikatakan bahwa pornografi atau pornoaksi adalah sesuatu yang dapat dijual kepada masyarakat. Dalam catatan sejarah, pornografi adalah masalah yang masih sering dibahas. Hal ini dikarenakan masalah pornografi dikatakan menyangkut pada permasalahan moral. Disamping itu permasalahan pornografi cendrung dikatakan rancu dikarenakan tidak adanya standarisasi batasan mana yang dianggap porno dan mana yang tidak porno. Pornografi atau pornoaksi dikatakan sebagai salah satu penyebab utama terjadinya dekadensi moral. Hal ini dikarenakan setelah menikmati tontonan atau bacaan yang “berbau” porno masyarakat bisa saja langsung mempraktekkannya tanpa memperhatikan sanksi atau aturan-aturan yang berlaku. Kebanyakan pelakunya adalah remaja yang dalam masa pencarian jati diri. Tanpa memperhatikan norma- norma dalam masyarakat mereka akan melakukan apa yang mereka lihat dan mereka baca. Di samping itu, sekarang ini mengakses media porno bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tayangan-tayangan dan bacaan-bacaan yang tersedia secara bebas membuat masyarakat dengan mudah mengkonsumsi media porno tersebut. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial, masalah pornografi dan pornoaksi seringkali dikaitkan dengan tubuh kaum perempuan. Beberapa bagian dari tubuh kaum perempuan dikaitkan sebagai pengundang nafsu yang membahayakan bagi kaum laki- laki. Dosa awal manusia pun terjadi karena ketertarikan kaum laki-laki terhadap tubuh kaum perempuan yang membuat manusia menjadi berdosa. Tubuh kaum perempuan diimajinasikan sebagai tubuh yang kotor, yang merupakan penyebab dari segala malapetaka. Oleh sebab itu, bagi keturunan kaum perempuan-perempuan Universitas Sumatera Utara lainnya, pengontrolan terhadap tubuhnya menjadi penting agar moral masyarakat terjaga dan keturunan kaum laki-laki lainnya tidak akan jatuh ke jurang nista lagi. 34 34 www.parasindonesia.com Di beberapa Negara yang menganut faham liberalisme dan demokrasi seperti Amerika dan Eropa, permasalahan pornografi dan pornoaksi bukanlah suatu masalah atau isu yang penting untuk dibahas. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya adalah masyarakatnya yang sudah memperoleh pendidikan tentang seksual sejak dini, serta terkait dengan humanisme Eropa dimana individu memiliki kebebasan untuk berekspresi. Bukan berarti sebagian Negara yang tidak mempermasalahkan pornografi adalah Negara yang tidak memiliki budaya, akan tetapi Negara yang berpaham liberal dan demokrasi lebih menggangap bahwa individu memiliki sebuah kebebasan tersendiri dalam memanfaatkan tubuh mereka. Beberapa Negara ini justru lebih menekankan pada ada atau tidaknya eksploitasi yang terjadi dalam memanfaatkan tubuh tersebut. Misalnya, dalam sebuah majalah terlihat gambar perempuan tanpa mengenakan busana, maka yang dilihat dari unsur ini adalah apakah si model bersedia untuk difoto dengan kesadaran penuh atau terjadinya eksploitasi. Setiap individu dianggap memiliki hak untuk mengatur diri dan tubuhnya sendiri. Namun, hal ini tidak terjadi pada beberapa Negara yang menjadikan aturan agama sebagai aturan hukum yang mutlak terhadap masyarakatnya. Beberapa Negara yang memiliki nilai agama yang kuat seperti Arab Saudi dan Vatikan, menggangap pornografi atau segala kegiatan seksual adalah sesuatu yang tidak sepantasnya dipublikasikan atau dibicarakan secara terbuka. Hal itu dianggap menentang aturan agama. Universitas Sumatera Utara Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam, menggangap segala hal yang “berbau” seks sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi dipertontonkan. Hal inilah yang menjadi permasalahan, dimana maraknya tayangan- tayangan televisi yang mempertontonkan adegan-adegan seksual dikaitkan sebagai adegan yang kurang pantas atau tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang dimiliki Indonesia. Misalnya, yang terjadi pada kasus “Goyang Patah-Patah” yang dilakukan oleh “Dewi Persik” menjadi masalah yang cukup serius dan dikecam oleh banyak pihak. Goyangan Dewi dianggap banyak merusak jiwa generasi muda di Indonesia. Bahkan, beberapa tindakan pemerkosaan yang dilakukan oleh remaja setelah menonton VCD Video Compact Disk Dewi yang mempertontonkan “goyang patah-patahnya”. Namun sebagian masyarakat justru berpikir bahwa Dewi menemukan goyangan baru yang menarik untuk dilihat. Goyangan Dewi dianggap tidak akan menaikkan birahi kaum laki-laki, apabila dilihat dari sisi seni. Sebagian seniman menggangap Dewi telah merusak citra musik dangdut di Indonesia. Bahkan Dewi Persik banyak mendapat kecaman dari masyarakat dan pihak-pihak pemerintahan. Dewi dianggap turut bertanggung jawab atas merosotnya moral para generasi muda di Indonesia. Dari masalah Dewi Persik tersebut, berkembang isu-isu pornografi dan pornoaksi. Bukan hanya sebuah goyangan yang dinilai porno, akan tetapi bentuk tubuh hingga pakaian yang dikenakan perempuan menjadi sorotan tajam aksi porno dikalangan masyarakat Indonesia. Berkembangnya isu pornografi dan pornoaksi itu semakin pesat dengan terbitnya majalah Playboy pertama di Indonesia. Majalah tersebut di Negara asalnya Amerika adalah majalah yang dibuat khusus buat pria dewasa. Di beberapa Negara bagian di Amerika majalah ini mendapat tempat khusus bagi pembacanya. Walaupun Universitas Sumatera Utara tidak ada larangan atau masalah bagi penerbitan majalah ini di wilayahnya, tetapi hal itu tidak menjadi permasalahan yang berarti. Sebagian masyarakat Indonesia yang terdiri dari kaum religi menggangap terbitnya majalah akan semakin mempertajam penurunan moral manusia. Gambar- gambar “syur” yang disajikan majalah tersebut akan membuat masyarakat semakin mudah untuk menikmati pornografi. Padahal, sebelum terbitnya majalah ini di Indonesia, banyak media cetak lain yang menyajikan gambar atau cerita “panas” dari kaum perempuan. Semenjak terbitnya majalah ini di Indonesia, banyak aksi-aksi penolakan yang terjadi dengan seruan-seruan bahwa majalah ini membawa perbuatan dosa dan sangat tidak pantas untuk berada di Indonesia. Dengan adanya beberapa contoh kasus pornografi dan pornoaksi tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat DPR pada awal tahun 2006 lalu menyiapkan tim khusus untuk membahas permasalahan tersebut. Tim ini diketuai oleh “Balkan Kaplele” anggota DPR-RI dari Partai Demokrat. Panitia Khusus Pansus ini ditugaskan untuk membentuk sebuah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi demi menekan tindakan pornografi dan pornoaksi. Secara normatif, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dirumuskan untuk menekan tingkat kriminalitas seksual, dimana perempuan seringkali menjadi objeknya. Paling tidak, ada dua asumsi yang bisa diajukan untuk memahami latar belakang yang “membidani” kelahiran Undang-Undang ini. Pertama, kriminalitas seksual dalam masyarakat kita sudah mencapai tingkat yang sangat parah. Kedua, perlu dirancang sebuah Undang-Undang untuk menekan atau menguranginya. Pada artinya penekanan-penekanan nilai dalam Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi adalah untuk mewujudkan tatanan masyarakat Universitas Sumatera Utara Indonesia yang serasi dan harmonis dalam keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan atau kelompok, diperlukan adanya sikap, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang beriman dan bertaqwa keepada Tuhan Yang Maha Esa. 35 Selain itu, sebagian masyarakat menggangap bahwa meningkatkan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dan perbuatan serta penyelenggaraan pornoaksi dalam masyarakat saat ini sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. 36 Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang bergulir “membola salju” sekaligus menuai kontroversi ditengah masyarakat. Kerja Panitia Khusus Pansus

B. Dinamika Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.