Indonesia yang serasi dan harmonis dalam keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan atau kelompok, diperlukan adanya sikap, akhlak mulia, dan kepribadian
luhur yang beriman dan bertaqwa keepada Tuhan Yang Maha Esa.
35
Selain itu, sebagian masyarakat menggangap bahwa meningkatkan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dan perbuatan serta
penyelenggaraan pornoaksi dalam masyarakat saat ini sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
36
Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang bergulir “membola salju” sekaligus menuai kontroversi ditengah masyarakat. Kerja Panitia Khusus Pansus
B. Dinamika Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sudah disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008 oleh DPR. Disepakati 8 fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat DPR mereka menandatangani naskah draft, yang tinggal menunggu pengesahannya di rapat paripurna. Delapan fraksi terebut adalah Fraksi
PKS, Fraksi PAN, Fraksi FPD, Fraksi FPG, Fraksi PBR, Fraksi PPP dan FKB.Sedangkan dua Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi PDS melakukan aksi “Walk
Out”. Sebelumnya, masing-masing fraksi menyampaikan pandangan akhirnya, mayoritas fraksi mencapai kesepakatan. “Kami dari Pemerintah mewakili Presiden
menyambut baik diselesaikannya pembhasan Rancangan Undang-Undang
Pornografi”, ujar Mentri Agama, Maftuh Basyuni dalam rapat kerja PANSUS Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pornografi, di gedung Dewan Perwakilan
Rakyat DPR.
35
http:Draf _ruuapp.co.id
36
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang diketuai oleh Balkan Kaplele dari Fraksi Demokrat, banyak mendapatkan masalah. Undang-Undang ini terus dibayang-bayangi sikap pro dan kontra yang kian
menajam. Sebagian kalangan mendukung dengan adanya Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, karena dianggap akan mampu menghentikan eksploitasi
perempuan, memperbaiki moral bangsa dan kriminalitas seksual. Adapun pihak yang menolak dengan alasan Undang-Undang ini akan menghambat kebebasan
berekspresi, terutama di wilayah kesenian, hiburan dan media massa serta tidak akan sanggup mengakomodasi keragaman budaya Indonesia, sekaligus bisa mengancam
sektor industri yang menjadi andalan daerah tertentu, seperti Bali, Jawa Tengah dan Papua.
Sebagian pihak lainnya menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film
dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang
hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam Rancanga Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi atau
Rancangan Undang-Undang Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia
Indonesia. Adapun Pro dan Kontra yang terjadi pasca disahkannya Rancangan Undang-
Undang Pornografi dan Pornoaksi menjadi Undang-Undang masih saja mewarnai dinamika masyarakat, Khususnya para pekerja media dan lingkungannya. Adanya
kesimpang siuran arus informasi mengenai apa sebenarnya isi dari Undang-Undang ini menjadikan mereka beranggapan Undang-Undang tersebut nantinya akan
menghambat kinerja mereka di dalam bentuk penayangan cetak, visual, ataupun
Universitas Sumatera Utara
audio-visual. Aturan baku dari pemerintah ini tentu saja nantinya akan menjadi batu sandung tersendiri dalam kebebasan pers itu sendiri. Spekulasi-spekulasi yang
mengarah pada kontra pasca pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi semacam ini memang santer terdengar di telinga penulis.
Ketakutan-ketakutan ini muncul seiring dengan adanya arus globalisasi di dunia media. Banyak media-media massa yang ikut larut terjerembab ke dalam arus
pornografi dari pada mempertahankan idealis mereka sebagai mediator informasi. Sebagai faktanya, tidak sedikit dari program-program visual yang mempertontonkan
adegan-adegan vulgar dimana syarat berbau Pornografi yang menjamur di ranah media elektronik semacam televisi. Meskipun di sudut kiri atau kanan atas telah
tercantum kode “Dewasa” ataupun “Bimbingan Orang Tua BO”, toh tentu penonton tidak akan menggubrisnya.
Beberapa aksi penolakan serta dukungan tidak hanya terjadi di Pulau Jawa saja, tetapi di kota Medan juga menjadi masalah, sejak awal kota Medan telah
memiliki keragaman suku etnis, dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai-nilai budaya tesebut
tentunya sangat menguntungkan. Sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan modernisasi, sangat diyakini pula, hidup dan
perkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyayian, makanan,
bangunan fisik, dan sebagainya, jusru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di kota Medan.
Adanya pluralisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primodalisme yang dapat menggangu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya
tujuan dan sasaran, serta strategi pembangunan kota Medan dirumuskan dalam
Universitas Sumatera Utara
bingkai Visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis. Undang- Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dianggap beberapa kalangan di kota Medan
sangat tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang majemuk. Sama halnya dengan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, sebagian kalangan menganggap
dengan berlatar belakang menjaga moral generasi penerus, Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dianggap sebagai “senjata” yang ampuh untuk mengurangi
tindak kriminalitas. Namun dengan keberagaman yang terdapat di kota Medan, keberadaan
Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi juga dianggap sebagai “senjata pemusnah” kemajemukan masyarakat kota Medan.
C. Aksi Dukungan dan Penolakan Undang-Undang Pornografi di Sumatera Utara