Kesehatan Seksual Disfungsi Seksual Perempuan

sempurna. Glazener meneliti kembalinya aktivitas seksual pada 1.075 perempuan Inggris dan menemukan bahwa 70 di antara perempuan tersebut telah melakukan hubungan seksual dalam 8 minggu setelah melahirkan. Nilai tengah jarak waktu antara persalinan dengan hubungan seksual setelahnya adalah 5 minggu. Alasan yang dikemukakan untuk menunda hubungan seksual adalah kekhawatiran mengenai nyeri perineum, perdarahan, dan kelelahan. 7 Pada penelitian lain, Barret dan rekan melaporkan bahwa hampir 90 persen dari 484 perempuan primipara telah melakukan hubungan seksual dalam waktu enam bulan. Meskipun 60 dari jumlah tersebut melaporkan adanya masalah dalam hubungan seksual, hanya 15 yang mendiskusikannya dengan tenaga kesehatan. 8 Anjuran terbaik mengenai kapan sebaiknya hubungan seksual dilakukan, adalah berdasarkan keinginan dan kenyamanan pasien. Perempuan pasca persalinan harus diedukasi bahwa menyusui dapat menyebabkan perpanjangan periode supresi produksi estrogen, yang menyebabkan atrofi dan kekeringan vagina, dan selanjutnya menurunkan lubrikasi vagina selama rangsangan seksual. 13

2.3 Kesehatan Seksual

Kesehatan seksual merupakan salah satu pilar penyokong dalam status “sehat” seseorang. Menurut WHO, kesehatan seksual didefinisikan sebagai integrasi aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dalam berbagai cara yang memperkaya dan menambah kualitas kepribadian, komunikasi dan cinta. 14 Universitas Sumatera Utara Disfungsi seksual membawa dampak yang besar dalam kualitas hidup manusia. Pada perempuan, kondisi ini sering kali diabaikan dan tidak terdeteksi baik oleh penderita maupun klinisi, meskipun ternyata memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibanding pada laki-laki. 1 Berbagai penelitian dan studi terbaru mengenai anatomi pelvis perempuan dan perkembangan terkini dalam fisiologi seksual perempuan telah membantu penegakan diagnosis disfungsi seksual perempuan.

2.4 Siklus Respon Seksual

Pada tahun 1960-an, Masters dan Johnson mengemukakan satu teori mengenai siklus respons seksual pada manusia. Terdapat empat fase berurutan dalam siklus respons seksual manusia: bangkitan excitement, dataran tinggi plateau, orgasme orgasm, dan resolusi Gambar 1. 15 Keempat fase ini merupakan model linear bagi pria dan perempuan, namun lebih menggambarkan siklus seksual pria. Gambar 1. Siklus Respon Seksual menurut Masters dan Johnson 19 Kaplan pada tahun 1979 memodifikasi hipotesis ini dan membagi fase bangkitan excitement menjadi dorongan desire dan rangsangan Universitas Sumatera Utara arousal, serta menghilangkan fase plateau. 16 Model ini lalu menjadi dasar definisi disfungsi seksual dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat DSM-IV, dan dasar pembuatan FSFI Female Sexual Function Index sebagai alat untuk menilai fungsi seksual perempuan. 18 Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa siklus respons seksual perempuan secara lebih spesifik dipengaruhi oleh aspek sosial dan psikologis, seperti model yang diajukan oleh Basson pada tahun 2002 Gambar 2. Model ini menggambarkan hubungan sirkuler antara seksualitas dan kepuasan, yang berfokus pada keintiman. Begitu keintiman dan rangsang seksual membuat perempuan terangsang secara emosional, maka akan timbul dorongan dan rangsangan seksual dan berakhir pada kepuasan fisik dan emosi. Pada model ini jelas tergambar bahwa pada perempuan dorongan tidak selalu mendahului rangsangan seksual, namun begitu terlibat dalam aktivitas seksual, seorang perempuan dapat menjadi terangsang dan mengalami dorongan seksual. 17 Universitas Sumatera Utara Gambar 2. Siklus Respon Seksual menurut Basson 21 Pada setiap fase dalam siklus respons seksual terjadi perubahan- perubahan dalam alat genital perempuan berdasarkan sifat miotonia dan vasokongesti. 19

1. Fase bangkitan excitement phase

Oleh Kaplan, fase ini dibagi menjadi dua, yaitu: 18  Dorongan Dorongan seksual adalah motivasi dan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual atau respons terhadap kelanjutan seksualnya. Pusat dorongan seksual terletak pada sistem limbik yang sensitif terhadap dopamin dan dipengaruhi oleh hormon testosteron. Dorongan seksual dipengaruhi oleh orientasi seksual, pilihan, status psikologis, kepercayaan dan nilai-nilai, harapan, kesediaan untuk bertindak secara seksual, dan kondisi lingkungan. 18 Universitas Sumatera Utara  Rangsangan Fase rangsangan excitement dimediasi oleh sistem saraf parasimpatis dan ditandai oleh perasaan erotis dan timbulnya lubrikasi vagina. Rangsangan seksual meningkatkan aliran darah ke vagina, dan menghasilkan vasokongesti dan perubahan dalam permeabilitas kapiler, menciptakan suatu kondisi yang meningkatkan fraksi filtrasi kapiler. Cairan kapiler yang difiltrasi ditransudasikan antara ruang interselular dari epitel vagina, menyebabkan droplets cairan pada dinding vagina. Perempuan yang terangsang secara seksual akan mengalami takikardia, bernafas cepat, peningkatan tekanan darah, perasaan hangat, pembesaran payudara, ketegangan otot secara umum myotonia, ereksi puting susu, dan suatu ruam makulopapular eritematous sex flush di bagian dada dan payudara. Selama fase ini, klitoris dan labia membengkak; vagina memanjang, menggelembung, dan membesar; dan uterus terangkat ke luar dari panggul. Sepanjang fase rangsangan akhir, tegangan seksual dan perasaan erotis menguat, dan vasokongesti mencapai intensitas maksimum plateu. Kulit menjadi lebih berbintik, payudara menjadi lebih membesar, dan puting susu menjadi lebih tegak. Labia lebih bengkak dan berubah menjadi merah gelap, dan sepertiga bagian bawah vagina membengkak dan menebal untuk membentuk platform orgasm. Klitoris menjadi lebih bengkak dan terangkat mendekati simfisis pubis. Uterus terangkat secara penuh ke luar Universitas Sumatera Utara dari pelvis. Dengan rangsangan seksual yang cukup, perempuan mencapai titik ambang orgasme. 18

2. Fase datar plateau phase

Dalam stadium ini perubahan fisik berperan dalam respons terhadap sentuhan atau memiliki perasaan dan gagasan untuk melakukan hubungan seksual. Fase rangsangan yang menetap disebut plateau, yang ditandai oleh pembesaran payudara dan ereksi puting payudara, dan kulit menjadi lebih berbintik. Labia lebih bengkak dan berubah menjadi merah gelap, dan sepertiga bagian bawah vagina membengkak dan menebal untuk membentuk platform orgasm. Klitoris menjadi lebih bengkak dan terangkat mendekati simfisis pubis. Uterus terangkat secara penuh ke luar dari pelvis. Dengan rangsangan seksual yang cukup, perempuan mencapai titik ambang orgasme. 18

3. Fase orgasme orgasm phase

Fase ini merupakan puncak dari siklus respons seksual. Orgasme merupakan suatu respon miotonik yang dimediasi oleh sistem saraf simpatik dan melibatkan kontraksi otot-otot vagina, anal, dan abdomen, disertai hilangnya kontrol otot-otot involunter dan tercapainya tingkat kepuasan yang tinggi. Orgasme adalah kenikmatan yang menyenangkan dari sensasi seksual, sebagai pelepasan mendadak dari ketegangan yang dibangun selama fase rangsangan. Otot-otot vagina, uterus dan kadang-kadang rektum berkontraksi secara ritmik 3-15, dengan lama 0,8 detik tiap kontraksi. Kontraksi uterus juga dialami oleh banyak perempuan selama orgasme. Jika rangsangan Universitas Sumatera Utara diteruskan setelah orgasme, maka akan tampak perbedaan yang nyata antara pria dan perempuan. Perempuan dapat mengalami orgasme lagi pada setiap saat dalam masa resolusi, bahkan sampai beberapa kali dalam satu siklus. Pada pria, hal ini tidak dapat terjadi. 18

4. Fase resolusi resolution phase

Merupakan fase seksual yang mengikuti pelepasan ketegangan seksual mendadak yang dibawa oleh orgasme, perempuan mengalami suatu perasaan relaks dan nyaman. Perubahan fisiologis yang berperan selama masa rangsangan akan berbalik arah, dan tubuh kembali ke status istirahat atau tanpa rangsangan. Turunnya uterus secara penuh, mengecilnya klitoris, dan dekongesti vagina dan labia membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 menit. 18 Apabila dalam siklus respon seksual ini ada stadium yang tidak tercapai, maka hal ini dapat menyebabkan problem seksual yang mengganggu. Bagi pria, respons dan fungsi seksual difokuskan terutama pada kemampuan untuk mencapai dan mempertahankan ereksi. Sementara bagi perempuan, respons seksual jauh lebih kompleks, melibatkan proses sosial, psikologis, neurologis, vaskuler, dan hormonal, serta interaksinya dengan stimulasi seksual, sistem saraf pusat dan perifer, yang belum dipahami seluruhnya. 18,19

2.5 Disfungsi Seksual Perempuan

3,18 Disfungsi seksual perempuan didefinisikan sebagai gangguan fungsi seksual yang melibatkan satu atau beberapa fase dalam siklus Universitas Sumatera Utara respon seksual, atau nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual. Perlu dibedakan antara keluhan seksual sexual complaint dengan gangguan seksual sexual disorder. Keluhan seksual adalah ekspresi ketidaksenangan atau nyeri yang berhubungan dengan fungsi seksual. Sementara gangguan seksual sexual disorder adalah disfungsi seksual yang memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi ke-IV DSM-IV dan mencakup disfungsi dan adanya penderitaan yang nyata marked distress. Kriteria ini kemudian disempurnakan oleh American Foundation for Urologic Disease AFUD pada tahun 1999, dengan menambahkan penyebab psikogenik dan organik dari kelainan bangkitan, rangsangan, orgasme, dan nyeri seksual. Kriteria AFUD menekankan pentingnya penderitaan secara pribadi personal distress pada kelainan seksual, sehingga dapat didiagnosis sebagai gangguan seksual. Kriteria gangguan seksual berdasarkan sistem AFUD tahun 1999 adalah sebagai berikut: 1. Gangguan Bangkitan Seksual a. Gangguan bangkitan seksual hipoaktif Merupakan spektrum penyakit yang menimbulkan penderitaan pribadi akibat hilangnya atau kurangnya fantasi dan keinginan seksual yang menetap atau berulang, dan kurangnya respons terhadap aktivitas seksual. Kondisi ini dapat disebabkan oleh menopause akibat alasan medis, Universitas Sumatera Utara depresi dan terapinya, gangguan endokrin serta konflik berkepanjangan dalam suatu hubungan. b. Gangguan aversi seksual Merupakan gangguan aversi fobik yang menetap atau berulang, dan berujung pada menghindari kontak seksual. Biasanya disebabkan oleh masalah psikologis atau emosional, akibat trauma masa kecil, penyiksaan abuse seksual atau fisik. 2. Gangguan Rangsangan Seksual Merupakan ketidakmampuan yang menetap atau berulang untuk mendapatkan atau mempertahankan kesenangan seksual yang adekuat, sehingga menyebabkan penderitaan pribadi. Hal ini dapat berupa kurangnya kesenangan subyektif, kurangnya respons somatik atau kurangnya pembengkakan atau lubrikasi pada daerah genital. Penyebab organik biasanya adalah kerusakan saraf pasca pembedahan pada daerah pelvis yang mengakibatkan turunnya sensasi pada labia dan klitoris, serta berkurangnya relaksasi dari otot polos vagina. Penyebab lain umumnya bersifat psikologis. 3. Gangguan Orgasme Gangguan orgasme dapat berupa hilang secara keseluruhan maupun kesulitan berulang dalam mencapai orgasme setelah stimulasi seksual yang cukup. Gangguan ini dapat bersifat primer seorang perempuan tidak pernah mencapai orgasme atau sekunder seorang perempuan pernah dapat mencapai orgasme Universitas Sumatera Utara namun tidak lagi dapat mencapainya. Kondisi ini merupakan gangguan seksual yang sering ditemui di klinik, mencapai 24-37 kasus yang datang untuk mendapatkan terapi. Gangguan primer biasanya disebabkan oleh trauma emosional atau penyiksaan seksual, sementara gangguan sekunder sering disebabkan oleh defisiensi hormon, trauma pembedahan, atau akibat pengobatan tertentu misalnya konsumsi SSRI selective serotonin reuptake inhibitors. 4. Gangguan Nyeri Seksual a. Vaginismus Merupakan spasme involunter menetap atau berulang dari otot-otot vagina saat terjadi penetrasi. b. Dispareunia Merupakan nyeri genital menetap atau berulang saat berhubungan seksual sexual intercourse. Angka kejadian dispareunia berkisar antara 14-18. Nyeri dapat disebabkan oleh stimulasi nonkoital seperti pada herpes genitalis, endometriosis dan vestibulitis. Sepertiga kasus disebabkan oleh faktor psikologi seperti rasa takut, cemas, dan konflik interpersonal. Sebab lain adalah gangguan pada dasar panggul terutama pasca pembedahan pelvis atau pada perempuan multipara dan kurangnya lubrikasi vagina pasca menopause. Universitas Sumatera Utara

2.6 Disfungsi Seksual Perempuan Pasca Persalinan

Dokumen yang terkait

Perbedaan Fungsi Seksual Wanita Premenopause dan Pascamenopause dengan Menggunakan Score Index Fungsi Seksual Wanita (FSFI Score) di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Jejaring

20 129 70

Kadar Homosistein Dengan Keparahan Preeklampsia Di RSUP.H.Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

2 75 89

Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

0 0 12

Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

0 0 2

Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

1 1 4

Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

0 2 6

Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

1 1 29

Kadar Estradiol Serum Pada Wanita Menopause Dengan Dan Tanpa Sindroma Vasomotor Di RSUP H Adam Malik Dan Rs Jejaring Fk Usu Medan

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PREMENOPAUSE - Perbedaan Fungsi Seksual Wanita Premenopause dan Pascamenopause dengan Menggunakan Score Index Fungsi Seksual Wanita (FSFI Score) di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Jejaring

0 0 15

Perbedaan Fungsi Seksual Wanita Premenopause dan Pascamenopause dengan Menggunakan Score Index Fungsi Seksual Wanita (FSFI Score) di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Jejaring

0 0 19