Etika Pendidikan dan Pencitraan Individu dalam Problem Moral Sosial
2. Etika Pendidikan dan Pencitraan Individu dalam Problem Moral Sosial
Hampir setiap hari rakyat Indonesia memperoleh informasi tentang berbagai kejadian yang didominasi oleh berita tindak kejahatan dari media masa, baik media cetak maupun media visual elektronik. Berbagai kejadian dimaksud telah menjadi fenomena realistis dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ironisnya, sebagian dari kejadian yang diberitakan oleh media masa tersebut berisikan tindak kenakalan dan kejahatan yang dilakukan oleh murid atau pelajar dan juga mahasiswa.
Apa yang dilakonkan oleh para murid, pelajar dan mahasiswa senyatanya telah menciderai pemahaman berikut keyakinan masyarakat umum terhadap dunia pendidikan. Dalam pandangan masyarakat umum, pendidikan dipahami sebagai sebuah perusahaan moral, dimana guru bertugas memproduksi nilai-nilai moral guna memperbaiki prilaku individual dan sosial dari peserta didiknya (Kneller, 1971: 29). Perilaku tidak terpuji dari kalangan murid, pelajar dan mahasiswa menjadi bahan tudingan masyarakat terhadap dunia pendidikan yang dinilai gagal dalam memainkan perannya. Kegagalan itu berimbas pada eksistensi guru yang dijadikan sebagai kambing hitam.
Secara sederhana, tudingan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan, sebagai akibat dari perilaku tidak terpuji dari murid, pelajar dan mahasiswa, dapat dimaklumi, karena hal itu merupakan gambaran kekecewaan atas kepercayaan yang merasa terkhianati. Namun pola pikir sederhana ini tidak layak digunakan secara general tanpa sebelumnya melakukan evaluasi kritis terhadap berbagai pihak yang ikut berperan dalam lingkaran dunia pendidikan, seperti: pemerintah, masyarakat, public figure, dan juga orang tua.
Evaluasi kritis dapat dimulai dari program dan sistem pendidikan yang diberlakukan. Sistem pembelajaran beserta beban pelajaran yang cenderung tidak memberikan ruang berekspresi secara edukatif dapat menjadi sebab bagi tekanan mental peserta didik. Mereka kemudian melampiaskan hasrat berekspresinya di luar lingkungan sekolah dengan cara-cara yang menurut mereka dapat menarik perhatian orang lain agar eksistensi dirinya diakui. Pengakuan akan eksistensi diri merupakan naturalitas setiap individu, dan hal Evaluasi kritis dapat dimulai dari program dan sistem pendidikan yang diberlakukan. Sistem pembelajaran beserta beban pelajaran yang cenderung tidak memberikan ruang berekspresi secara edukatif dapat menjadi sebab bagi tekanan mental peserta didik. Mereka kemudian melampiaskan hasrat berekspresinya di luar lingkungan sekolah dengan cara-cara yang menurut mereka dapat menarik perhatian orang lain agar eksistensi dirinya diakui. Pengakuan akan eksistensi diri merupakan naturalitas setiap individu, dan hal
Sistem evaluasi yang digunakan hingga kini, secara etis telah memasung citra eksistensi peserta didik dengan simpulan rantai angka-angka. Kebutuhan pencitraan diri sekaligus pengakuan akan eksistensi tentunya tidak cukup dipenuhi hanya dengan interpretasi kuantitatif, karena dibalik kuantitas angka-angka itu tersembunyi banyak hal yang mempengaruhinya, seperti: kondisi fisik dan psikis saat evaluasi dilakukan; pola pengajaran oleh guru; dan suasana saat pembelajaran berlangsung.
Eksistensi individu, dalam kapasitasnya sebagai peserta didik, merupakan proses eksplorasi potensi kedirian yang bersifat kualitatif. Potensi kedirian itu elastis dan melampaui batas angka-angka, sehingga tidak layak untuk dibatasi oleh teralis angka-angka.
Pada bagian lain, realiltas dunia pendidikan yang telah terciderai oleh perilaku buruk para murid, pelajar dan mahasiswa, ikut dipengaruhi oleh sepak terjang masyarakat. Perilaku tidak terpuji yang dipertontonkan sebagian masyarakat, seperti: tindak kekerasan dalam rumah tangga, korupsi, pergaulan bebas di lingkungan selebritis, sangat potensial untuk ditiru oleh peserta didik yang masih berada di usia labil. Keberadaan media masa yang sepertinya tidak mampu menyaring kelayakan berita untuk dibaca, didengar dan ditonton oleh masyarakat, semakin memuluskan proses peniruan tindakan buruk oleh peserta didik.
Pada bagian lain, dunia pendidikan juga selalu diikutsertakan dalam mempertanggungjawabkan ‘kedangkalan rasionalitas’ masyarakat Indonesia.
Sekian banyak out-put pendidikan yang telah dihasilkan oleh berbagai institusi pendidikan formal, namun tetap saja bangsa Indonesia menjadi konsumen terbesar bagi produk ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa lain. Hal ini disebabkan oleh kekangan tali moralitas yang mengikat erat pemikiran anak bangsa dalam mengikuti proses pendidikan.
Dijadikannya ‘moral’ sebagai trend (standar umum), melebihi objektivitas rasional pendidikan di Indonesia, sedikit banyaknya telah memperlambat gerak lincah daya pikir peserta didik. Anehnya, pelanggaran dan penyimpangan moralitas justru kian hari semakin menjamur dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.
Ketidakselarasan antara nilai-nilai kebaikan yang diperoleh di ruang kelas dengan realitas keseharian masyarakat yang dipertontonkan oleh media masa, merupakan wilayah hidup yang membingungkan untuk dilintasi setiap individu yang berstatus sebagai peserta didik. Kebenaran dan kebaikan yang mereka dengarkan dari pengajaran gurunya sering tidak menemukan contoh pembenar dari lingkungan hidup nya. Hal ini tentunya membigungkan mereka dalam menempatkan diri, apakah harus mencitrakan diri dengan etika pendidikan atau kah melebur dalam moral sosial.
Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Sebagai pihak yang memegang kendali kebijakan dalam pengelolaan hidup masyarakat, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur dan menetapkan kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan pencitraan dunia pendidikan. Aplikasi dari Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Sebagai pihak yang memegang kendali kebijakan dalam pengelolaan hidup masyarakat, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur dan menetapkan kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan pencitraan dunia pendidikan. Aplikasi dari
Perbaikan sistem pendidikan dapat dilakukan pemerintah dengan melakukan evaluasi terhadap segala bentuk kebijakan. Pemerintah harus berani merancang dan memberlakukan kebijakan yang berpihak pada kepentingan pendidikan serta mengabaikan kepentingan lain, seperti prestise (gengsi) politis. Kebijakan SPP gratis dan pemberian dana BOS yang tidak disertai kejujuran serta keterbukaan, hanya menciptakan persoalan baru yang harus dihadapi oleh pihak sekolah dalam pengelolaannya.
Di satu sisi, kebijakan seperti tersebut tampak seperti membantu masyarakat kurang mampu, namun di sisi lain cenderung kurang mendidik karena berkonsekuensi pada menurunnya nilai keseriusan masyarakat untuk bersekolah. Haruslah diingat, bahwa pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk membentuk citra dirinya, dan bukan sebagai sarana bagi pencitraan prestise (gengsi) pemerintah.
Pelibatan berbagai elemen masyarakat, sebagaimana amanah yang diberikan oleh Undang-Undang RI nomor 20, 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, harus disertai dengan kontrol dari pihak yang merancang dan menerbitkan undang-undang tersebut, yakni pemerintah. Kontrol dapat dilakukan oleh pemerintah, sebagai pemegang tongkat kewenangan, dengan keberanian memperketat pemberlakuan aturan tentang materi siaran oleh media masa, disertai sanksi yang diberlakukan secara konsisten terhadap setiap pelanggaran.
Kebiasaan menuding serta menyalahkan tanpa mau melakukan evaluasi yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat, harus diganti dengan secara bersama membangun kesadaran akan tanggung jawab terhadap atmosfir dunia pendidikan. Semua pihak harus secara bersama menyadari, bahwa pendidikan merupakan sarana pembentukan citra diri peserta didik dengan bekal etika pendidikan dari lingkungan sekolahnya. Citra diri itu akan menjadi modal bagi mereka untuk menata bangunan moral sosialnya. Keterhubungan kedua bentuk nilai ini lah yang harus digarap secara serius oleh pendidikan.
Idealnya, etika pendidikan dibangun serta dikembangkan dari kesadaran moral seluruh elemen di lingkungan lembaga pendidikan, baik tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan juga peserta didik. Dengan berenergikan kesadaran moral, etika pendidikan yang tersimpul dalam bentuk peraturan atau tata tertib sekolah, dapat dijalankan oleh seluruh elemen lembaga pendidikan tanpa harus menggunakan bahasa keterpaksaan, karena bahasa keterpaksaan hanya akan melahirkan sikap kepura-puraan yang pasti tidak bertahan lama.
Dari kesemua elemen pendidikan, guru merupakan elemen yang memiliki peran paling besar dalam membangunkan dan membangkitkan kesadaran moral sekaligus etika peserta didiknya. Kesadaran dimaksud dibutuhkan untuk meminimalisir, bahkan menutup ruang keterjarakan antara peserta didik yang menjalani proses mengetahui dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hakikat dari ilmu pengetahuan itu bukan hanya untuk diketahui namun untuk diamalkan.
Kemenyatuan peserta didik dengan ilmu yang dipelajari, dalam bentuk pengamalan, merupakan perwujudan dari proses memanusiakan ilmu, karena Kemenyatuan peserta didik dengan ilmu yang dipelajari, dalam bentuk pengamalan, merupakan perwujudan dari proses memanusiakan ilmu, karena
Proses humanisasi ilmu pengetahuan menjadi jaminan bagi terbentuk dan terjaganya etika pendidikan. Etika pendidikan ditujukan untuk menjaga peserta didik agar tidak tersesat dalam menjalani proses aktualisasi diri. Keterjagaan etika pendidikan merupakan modal terbaik dalam merajut moral sosial yang nanti akan memantaskan kedirian peserta didik sebagai simbol kebaikan dan kebenaran bagi masyarakat.
Setelah membaca realitas dunia pendidikan di Indonesia, penulis menyimpulkan, bahwa sistem pendidikan nasional berpotensi memberangus kemaknaan manusia sebagai individu yang konkret dan orisinal. Hasil pembacaan dimaksud penulis identifikasikan bersama tawaran pemikiran dalam bentuk bagan sebagai berikut:
15) “Guru semestinya menjadi seseorang yang memanusiakan ilmu pengetahuan.” a Humanizer of knowledge merupakan istilah yang digunakan oleh Phenix dalam menjelaskan peran
guru dalam “general education.” Menurutnya, peran ini hanya dimungkinkan apabila guru tidak lagi mengedepankan otoritas dirinya sebagai orang yang lebih berilmu pengetahuan dibanding peserta didiknya. Idealnya, dengan peran sebagai “a humanizer of knowledge” guru berkemampuan membangkitkan kesadaran peserta didik dalam menata berbagai pengertian tentang eksistensi mereka dalam proses pendidikan.