Individu dan Realitas Pendidikan Nasional

A. Individu dan Realitas Pendidikan Nasional

11) Behaviorisme berasal dari Bahasa Inggris, ‘behavior’ yang berarti: tingkah laku, tabiat, tindakan, perangai. Behaviorisme merupakan salah satu aliran pemikiran dalam ruang keilmuan

psikologi yang beranggapan, bahwa untuk mengkaji prilaku individu harus dilakukan dengan mengamati aktivitas individu, dan bukan pada peristiwa hipotesis dalam diri individu. Secara tegas behaviorisme memahamkan, bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya.

12) Positivisme merupakan kristalisasi pemikiran kritis tentang tahapan proses berpikir manusia yang pernah ditawarkan oleh August Comte (1798 –1857). Menurutnya, ada tiga tahapan

berpikir manusia, yaitu: tahap teologis, dimana manusia hanya bersandar pada kekuatan absolut di luar dirinya di saat berhadapan dengan gerak dinamisnya cosmic; tahap metafisis, dimana manusia sudah mampu mengurai causalitas dari dinamisasi cosmis; dan, tahap positifis, dimana manusia sudah mampu menghadirkan data faktual tentang causalitas dari dinamisasi cosmic. Positivisme memahamkan, bahwa suatu realitas akan bernilai atau dianggap benar apabila didukung oleh data- data faktual. Dalam wilay

ah pendidikan, positivisme menjadikan ‘nilai’ dalam rentang angka, sebagai alat ukur kemampuan setiap peserta didik.

Hasrat untuk senantiasa menemukan kebenaran dalam kehidupan, merupakan naturalitas kecenderungan hidup setiap individu. Bahkan proses untuk mewujudkan hasrat ini tidak pernah berhenti dan tidak pernah menemukan titik selesai (Snijders, 2006: 4). Kehasratan individu terhadap kebenaran berisikan energi yang bersumber dari potensi kedirian individual nya.

Secara normatif, kebenaran yang dihasrati setiap individu berada di wilayah absolut. Upaya untuk sampai serta menggapai kebenaran tersebut kemudian melahirkan berbagai penafsiran yang akhirnya mengkristal dan membentuk beragam kebenaran. Kebenaran yang terlahir dari aktivitas penafsiran individu sangat bersifat relatif. Relativitas ini disebabkan oleh perbedaan standar dalam merajut simpul-simpul kebenaran yang bersumber dari sudut pandang dan latar pemahaman berbeda.

Klaim terhadap sebuah kebenaran yang terlahir dari hasil penafsiran, di satu sisi berpotensi negatif karena menegasi (menolak) kebenaran dari penafsiran lain, namun juga berpotensi positif karena dapat menjadi jalan menuju absolusitas kebenaran. Dengan demikian, kebenaran dalam ruang kehasratan individu bersifat relatif sekaligus absolut. Hal ini yang menyebabkan makna kebenaran pada setiap individu menjadi paradoks, dan oleh karenanya ia selalu on the edge of contradiction (Melsen, 1961: 149).

Dalam kehidupan yang senantiasa berubah, paradoks telah menjadi tantangan hidup bagi setiap individu. Sebagai sebuah tantangan, paradoks ternyata tidak mudah untuk diatasi, karena senyatanya ia telah bersemayam dalam ruang kebiasaan hidup individu. Namun, tuntutan hidup mengharuskan setiap individu untuk berupaya semaksimal mungkin membebaskan diri dari Dalam kehidupan yang senantiasa berubah, paradoks telah menjadi tantangan hidup bagi setiap individu. Sebagai sebuah tantangan, paradoks ternyata tidak mudah untuk diatasi, karena senyatanya ia telah bersemayam dalam ruang kebiasaan hidup individu. Namun, tuntutan hidup mengharuskan setiap individu untuk berupaya semaksimal mungkin membebaskan diri dari

Kecenderungan sikap hidup individu yang paling azali adalah, memilih segala hal yang bernuansa kebaikan dan kebenaran. Memperturutkan hasrat fisikal secara berlebihan menjadi sebab utama bagi absurd (kabur) nya kehasratan individu terhadap kebaikan dan kebenaran. Bahkan semua potensi kedirian individu yang terkandung dalam kelima dimensi kediriannya sulit untuk berkembang kearah kesejatian makhluk.

Pendidikan yang berisikan bimbingan untuk selalu berpihak kepada kebaikan dan kebenaran, dengan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sarananya, merupakan aktivitas yang dapat menyelamatkan setiap individu dari kegelapan ruang absurditas (kekaburan) diri. Citra manusia sebagai makhluk yang melebihi makhluk lain harus diselamatkan dari berbagai kemungkinan yang dapat mereduksi dan mendistorsinya.

Untuk dapat melakukan tugas sebagai penyelamat dan penjaga kesejatian diri manusia, pendidikan harus diarahkan pada upaya membimbing serta membina setiap individu ke arah pengembangan potensi kediriannya. Sebagai produk dari aktivitas kesadaran individu dalam realitas kemanusiaan, sejatinya pendidikan hadir untuk kepentingan manusia. Pendidikan diharapkan dapat menjadi sarana bagi individu dalam merealisasikan berbagai hasrat kehidupannya.

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, eksistensi individu yang hendak diselamatkan dalam proses pendidikan disebut ‘peserta didik’. Term ini mulai Dalam sistem pendidikan di Indonesia, eksistensi individu yang hendak diselamatkan dalam proses pendidikan disebut ‘peserta didik’. Term ini mulai

Penggunaan term ‘peserta didik’ dimaksudkan untuk menjelaskan anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Term ‘peserta didik’ memiliki keluasan makna dibanding term ‘warga belajar’ yang hanya ditujukan pada masyarakat yang mengikuti jalur pendidikan nonformal.

Dari aspek logika bahasa, term ‘peserta didik’ termasuk dalam kategori term majemuk sekaligus universal. Term ini digunakan untuk kepentingan universalisasi dan abstraksi terhadap term- term distributif: ‘murid’, ‘siswa’, dan ‘pelajar’. Sementara, ketiga term distributif ini berfungsi untuk memberikan batasan konkrit dari term ‘peserta didik’ yang bersifat universal dan abstrak.

Dalam proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia, ketiga term distributif tersebut biasa digunakan untuk menunjukkan jenjang pendidikan yang diikuti oleh peserta didik. Term ‘murid’ sering digunakan untuk peserta didik yang berada pad a jenjang pendidikan dasar; term ‘pelajar’ ditujukan untuk peserta didik di tingkat menengah; dan term ‘siswa’ digunakan untuk peserta didik pada tingkat SMU. Biasa juga ketiganya digunakan tanpa memperhatikan jenjang pendidikan peserta didik.

13) Dalam kajian logika bahasa, ‘term’ dimaknai sebagai: ekspresi verbal dari suatu pengertian dalam bentuk kata atau kelompok kata yang menunjukkan maksud tertentu. Term dapat

dilihat dari: jumlah kata (tunggal dan majemuk); luas makna kata (singular, partikular dan universal); sifat kata (distributif dan kolektif); dan penggunaan arti (univok, ekuivok dan analog). Term distributif dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai: pengertian yang terkandung dalam kata merupakan distribusi dari suatu anggota kelas atau kelompok.

Secara etimologis, ketiga term distributif tersebut berasal dari wilayah kebahasaan yang berbeda. Term ‘murid’ berasal dari bahasa Arab yang bermakna “orang yang menginginkan” atau “orang yang berkeinginan.” Ia merupakan bentuk isim fa’il (kata benda pelaku) dari fi’il (kata kerja) ‘arada’ yang berarti ‘ingin’ atau ‘menginginkan’. Term ‘siswa’ merupakan serapan dari bahasa Jawa ‘wasis’, yang berarti ‘pandai’ atau ‘orang pandai’. Sementara, term ‘pelajar’ merupakan bentukan bahasa Indonesia dari kata ‘ajar’, yang mengandung makna “orang yang belajar.”

Jika salah satu titik tekan keberhasilan proses pendidikan diarahkan pada nilai kehasratan peserta didik, maka term ‘murid’ lebih tepat digunakan dalam mendistribusikan eksistensi peserta didik secara konkret. Hal ini didasarkan pada pertimbangan akan pentingnya nilai kehasratan dari peserta didik untuk belajar, yang sangat mungkin termotivasi melalui penggunaan term ‘murid’. Dengan kata lain, secara filosofis term ‘murid’ lebih tepat digunakan dalam dunia pendidikan darip ada term ‘pelajar’ atau ‘siswa’.

Term ‘pelajar’, walau dalam logika bahasa tergolong term distributif, namun di dalamnya masih melekat nilai universal dan abstrak, karena ia

menggambarkan kemestian aktivitas manusia. Sementara, term ‘siswa’ cenderung bertolak belakang dengan makna aktivitas belajar dalam proses pendidikan. Makna ‘pandai’ atau ‘orang pandai’ lebih tepat ditujukan pada mereka yang telah berhasil menjalani proses belajar dan bukan yang sedang menjalaninya.