Rekonstruktivisme berasal dari Bahasa Inggris, ‘reconstruct’ yang berarti “menyusun

8) Rekonstruktivisme berasal dari Bahasa Inggris, ‘reconstruct’ yang berarti “menyusun

kembali. ” Rekonstruktivisme merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme yang dipelopori oleh John Dewey (1859-1952). Rekonstruktivisme memandang pendidikan sebagai reconstruct of experiences (pembangunan kembali pengalaman-pengalaman) yang berlangsung secara terus- menerus dalam hidup.

9) Behaviorisme berasal dari Bahasa Inggris, ‘behavior’ yang berarti: “tingkah laku.” Aliran ini memahamkan, bahwa lingkungan sangat mempengaruhi proses pembelajaran yang

bertujuan untuk merubah tingkah laku. Tingkah laku dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dalam bentuk aplikasi program pembelajaran. Tugas utama pendidik adalah, membantu seluruh aspek perkembangan peserta didik. Melalui pendidikan, perkembangan peserta didik menjadi lebih tinggi dan lebih luas.

kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi bahan ajar, yang kesemuanya dituangkan dalam silabus pembelajaran untuk kepentingan peserta didik ketika mengikuti jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Standar Isi ini menjadi pedoman dalam pengembangan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan yang berisikan:

a. Kerangka dasar beserta Struktur Kurikulum;

b. Beban Belajar peserta didik;

c. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang dijabarkan di Tingkat Satuan Pendidikan;

d. Kalender Pendidikan. Sementara, Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24, 2006, berisikan uraian tentang kompetensi untuk seluruh mata pelajaran dan rumpun mata pelajaran. SKL ini menjadi pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik pada satuan pendidikan. Kompetensi lulusan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dimaksudkan sebagai kualifikasi kemampuan lulusan pendidikan yang mencakup: pengetahuan, keterampilan dan sikap, sesuai dengan standar nasional yang telah ditetapkan.

Secara umum, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditujukan pemerintah untuk memberdayakan satuan pendidikan di daerah dengan memberikan kewenangan kepada pihak lembaga pendidikan. Pemberian kewenangan dimaksud akan memotivasi setiap sekolah di daerah untuk bersikap mandiri dalam menetapkan keputusan tentang pengembangan kurikulum secara partisipatif.

Sementara, secara khusus pemberlakuan KTSP ditujukan oleh pemerintah untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan melalui kemandirian dalam mengembangkan kurikulum serta memberdayakan sumberdaya manusia yang tersedia di daerah. Selain itu, pemberlakuan KTSP juga ditujukan untuk melibatkan kepedulian masyarakat daerah dalam mendorong peningkatan kualitas lembaga pendidikan guna menghasilkan lulusan yang siap bersaing secara sehat (Mulyasa, 2006: 22).

Secara teoretis, penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, dimana Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) ditetapkan oleh kepala sekolah, setelah mendapatkan pertimbangan dari pihak komite sekolah. Untuk kepentingan perumusan KTSP, pihak sekolah harus melibatkan berbagai elemen sekolah, seperti: guru sebagai tenaga pendidik, karyawan sebagai tenaga kependidikan, komite sekolah sebagai perwakilan orang tua dan masyarakat. Bahkan jika dibutuhkan, pihak sekolah dapat melibatkan tenaga ahli dari perguruan tinggi yang terkait dengan kebutuhan.

Pelibatan komite sekolah, sebagai perwakilan dari orang tua atau wali murid dan masyarakat, ditujukan untuk menampung serta menyerap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, muatan kompetensi yang dirumuskan oleh pihak sekolah akan sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga lulusan pendidikan berpotensi untuk memenuhi hasrat kepentingan masyarakat, sesuai dengan situasi dan kondisi, serta karakteristik sosial budaya kehidupan daerah setempat.

Dalam proses pengembangan dan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pihak sekolah harus memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22, 2006. Prinsip-prinsip dimaksud adalah:

a. Potensi peserta didik: pengembangan kurikulum harus mengacu pada kesadaran bahwa peserta didik merupakan fokus sentral dari proses pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan yang berusaha membentuk peserta didik menjadi manusia bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, dan bersikap demokratis, harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan potensi dirinya.

b. Keberagaman dan keterpaduan: pengembangan kurikulum harus memperhatikan nilai-nilai keberagaman dari peserta didik, seperti: suku, agama, budaya, adat, status ekonomi serta aspek gender. Kesemua nilai keberagaman ini harus diberdayakan secara terpadu tanpa ada unsur pembedaan.

c. Tanggap atas perkembangan ilmu pengetahuan: pengembangan kurikulum harus didasarkan pada kesadaran, bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni senantiasa bergerak dinamis serta berkembang secara cepat.

d. Relevansi kebutuhan: pengembangan kurikulum harus mengacu pada kebutuhan dan kepentingan perkembangan potensi peserta didik yang akan bersaing dalam dunia kerja, serta kepentingan kemajuan sosial budaya masyarakat daerah.

e. Kemenyeluruhan dan kesinambungan: pengembangan kurikulum harus dirancang secara menyeluruh untuk kepentingan penyajian secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.

f. Long life education: pengembangan kurikulum harus dirancang untuk kepentingan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik dalam rentang waktu sepanjang hayat.

g. Keseimbangan kepentingan: pengembangan kurikulum harus selalu memperhatikan nilai keseimbangan antara kepentingan global, nasional, dan lokal guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.

Prinsip-prinsip dasar pemberlakuan KTSP di atas berisikan paparan tentang kecenderungan paradigmatis yang menjadi kiblat kurikulum ini, yaitu perenialisme. Kecenderungan dimaksud semakin jelas ketika prinsip long life education dimaknai sebagai alur keberlangsungan proses pembudayaan sekaligus pemberdayaan ragam potensi yang bersumber dari nilai-nilai luhur kultural dalam kehidupan masyarakat bangsa. Namun di bagian lain, khususnya pada prinsip keseimbangan kepentingan, KTSP juga menggambarkan adanya pengaruh pemikiran paradigma kependidikan pragmatisme. 10)

Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak serta merta dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan, seperti: rendahnya angka kelulusan murid; lemahnya daya saing

10) Secara etimologis, pragmatisme berasal dari Bahasa Yunani, ‘pragma’ yang berarti: ‘tindakan’. Pragmatisme memahamkan, bahwa hakikat dari tujuan pendidikan adalah:

pertumbuhan, dan kondisi tertinggi dari pertumbuhan adalah kebebasan dalam mengaktualisasikan berbagai potensi untuk kepentingan pengembangan diri.

lulusan di dunia kerja; meningkatnya kenakalan dan tindak asusila serta kriminal di kalangan pelajar. Demikian pula dengan harapan masyarakat yang masih belum mampu dijawab oleh lulusan pendidikan setelah KTSP diberlakukan.

Persoalan tersebut senyatanya bukanlah potret kegagalan total dari KTSP, karena di bagian lain terbukti betapa KTSP telah berhasil memberikan ruang berekspresi bagi pihak sekolah. Ruang tersebut kemudian diisi oleh pihak sekolah dengan prestasi dan karya nyata. Hadirnya mobil listrik karya pelajar SMK di daerah Solo setidaknya menjadi salah satu bukti keberhasilan dari pihak sekolah dalam menerapkan KTSP. Demikian pula dengan berbagai prestasi yang berhasil diraih oleh para pelajar, dalam bidang science, seni dan olah raga, baik di dalam maupun di luar negeri, yang tidak terpublikasikan ke ruang publik.

Raut wajah kegagalan pendidikan dengan KTSP yang terpublikasikan secara heboh ternyata mampu menutupi wajah keberhasilannya. Rendahnya nilai kelulusan hampir di setiap tahun pelaksanaan Ujian Nasional (UN) langsung dipersangkakan oleh pemerintah sebagai akibat dari kegagalan KTSP, tanpa mengevaluasi kebijakan yang menetapkan keseragaman soal untuk pelaksanaan ujian tersebut.

Berkaca dari cermin dugaan kegagalan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan juga disertai hasrat klasik untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah kemudian merancang kembali kurikulum baru yang dinamai dengan Kurikulum Integratif atau kurikulum 2013. Rencananya kurikulum ini akan mulai diberlakukan oleh pemerintah pada awal 2013. Hingga penelitian ini penulis lakukan, rancangan kurikulum tersebut masih mendapatkan reaksi penolakan dari beberapa pihak di kalangan dunia pendidikan, baik dari pelaksana dan pelaku pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan.

Hasrat pemerintah untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada peserta didik untuk berkreasi diwujudkan dengan merubah pemaknaan tentang eksistensi guru. Jika pada kurikulum-kurikulum sebelumnya eksistensi guru masih diberikan ruang untuk berkreativitas dalam merancang program Hasrat pemerintah untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada peserta didik untuk berkreasi diwujudkan dengan merubah pemaknaan tentang eksistensi guru. Jika pada kurikulum-kurikulum sebelumnya eksistensi guru masih diberikan ruang untuk berkreativitas dalam merancang program

Rancangan kurikulum 2013 pada intinya berisikan perubahan pada elemen-elemen kurikulum, yaitu:

a. Kompetensi Lulusan: adanya peningkatan keseimbangan antara soft skill dengan hard skill yang meliputi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Rumusan ini berlaku untuk SD, SMP, SMA, dan SMK.

b. Kedudukan Mata Pelajaran: kompetensi tidak lagi diturunkan dari mata pelajaran, namun mata pelajaran yang dirancang dan dikembangkan berdasarkan kompetensi. Perubahan arah ini berlaku untuk SD, SMP, SMA, dan SMK.

c. Pendekatan: Tematik integratif untuk semua mata pelajaran pada tingkat SD; pendekatan Mata pelajaran untuk tingkat SMP dan SMA; pendekatan Vokasional untuk SMK.

d. Struktur Kurikulum yang berisikan mata pelajaran dan alokasi waktu:

1) Sekolah Dasar (SD):

a) Holistik berbasis sains (alam, sosial dan budaya);

b) Jumlah mata pelajaran berkurang, dari 10 menjadi 6;

c) Jumlah jam pelajaran bertambah 4 jam perminggu, sebagai akibat perubahan pendekatan pembelajaran.

2) Sekolah Menengah Pertama (SMP):

a) Tujuan Instruksional Khusus menjadi media bagi semua mata pelajaran;

b) Pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler;

c) Jumlah mata pelajaran berkurang, dari 12 menjadi 10;

d) Jumlah jam pelajaran bertambah 6 jam perminggu, sebagai akibat perubahan pendekatan pembelajaran.

3) Sekolah Menengah Atas (SMA):

a) Mata pelajaran dibagi menjadi: mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan, sebagai akibat dari adanya perubahan sistem; a) Mata pelajaran dibagi menjadi: mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan, sebagai akibat dari adanya perubahan sistem;

c) Jumlah jam pelajaran bertambah 1 jam perminggu, sebagai akibat perubahan pendekatan pembelajaran.

4) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK):

a) Penambahan jenis keahlian sesuai spektrum kebutuhan, dengan rincian: 6 program keahlian – 40 bidang keahlian – 12 kompetensi keahlian;

b) Pengurangan pola belajar adaptif dan normatif yang disertai dengan penambahan pola belajar produktif;

c) Produktivitas hasil disesuaikan dengan trend dunia industri.

e. Proses Pembelajaran:

1) Standar proses yang pada awalnya terfokus pada eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, dilengkapi dengan: mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, serta mencipta;

2) Belajar tidak hanya di dalam kelas, namun juga dapat dilakukan di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat;

3) Guru bukan lah satu-satunya sumber belajar;

4) Materi tentang sikap tidak disajikan secara verbal, namun melalui contoh keteladanan;

5) Untuk tingkat SD: semua mata pelajaran disajikan secara tematik dan terpadu; untuk tingkat SMP: mata pelajaran IPA dan IPS disajikan secara terpadu; untuk tingkat SMA: mata pelajaran wajib dan pilihan disesuaikan dengan bakat dan minat peserta didik; untuk SMK: kompetensi keterampilan disesuaikan dengan standar industri.

f. Penilaian Hasil Belajar:

1) Penilaian berbasis kompetensi;

2) Pergeseran dari penilaian melalui tes yang mengukur kompetensi pengetahuan berdasar pada hasil saja, kepada penilaian otentik yang mengukur semua kompetensi: sikap, keterampilan dan pengetahuan, berdasar pada proses dan hasil;

3) Memperkuat Penilaian Acuan Patokan (PAP), yaitu pencapaian hasil belajar berdasar pada posisi skor yang diperoleh peserta didik dalam posisi skor ideal atau maksimal;

4) Penilaian tidak hanya dilakukan pada tahap kompetensi dasar, namun juga pada tahap kompetensi inti sesuai Standar Kompetensi Lulusan (SKL);

5) Memotivasi pemanfaatan portofolio yang dirancang oleh siswa sebagai instrumen utama dalam penilaian;

g. Ekstrakurikuler:

1) Sekolah Dasar (SD): Pramuka (wajib diikuti oleh seluruh peserta didik); UKS; PMR; dan Bahasa Inggris.

2) Sekolah Menengah Pertama (SMP): Pramuka (wajib diikuti oleh seluruh peserta didik); OSIS; UKS; PMR; dan kegiatan lain yang dianggap perlu.

3) Sekolah Menengah Atas (SMA): Pramuka (wajib diikuti oleh seluruh peserta didik); OSIS; UKS; PMR; dan kegiatan lain yang dianggap perlu.

4) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): Pramuka (wajib diikuti oleh seluruh peserta didik); OSIS; UKS; PMR; dan kegiatan lain yang dianggap perlu.

Beberapa hal yang menjadi catatan menarik dari rancangan kurikulum 2013 adalah:

a. Tuntutan capaian kompetensi yang sedemikian besar pada peserta didik;

b. Ketersediaan semua bentuk rancangan program pembelajaran untuk guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya;

c. Penempatan mata pelajaran IPA dan IPS sebagai mata pelajaran integrative science serta integrative social studies, dan bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu pada tingkat SMP;

d. Integrasi mata pelajaran IPA / IPS ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Dasar;

e. Penambahan jam pelajaran bagi peserta didik pada tingkat SD, SMP dan SMA;

Di satu sisi, rancangan kurikulum yang sedemikian terstruktur secara sistematis dan mekanis, menggambarkan betapa kurikulum 2013 diwarnai oleh pola pikir paradigma kependidikan rekonstruksionisme. Di sisi lain, perluasan ruang belajar formal yang tidak hanya dapat dilakukan di dalam kelas, tapi juga di luar kelas, mengisyaratkan bahwa rancangan kurikulum 2013 ikut diwarnai oleh paradigma pendidikan behaviorisme. 11)

Secara keseluruhan, sulit untuk memastikan landasan filosofis dari sistem kurikulum yang pernah diberlakukan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hasil pembacaan terhadap keseluruhan kurikulum tersebut hanya akan mengidentikkannya dengan bangunan filsafat pendidikan, dan itupun hanya sebatas serpihan paradigma yang terkandung di dalamnya.

Hal tersebut di atas disebabkan oleh ketidakutuhan proses pelandasan filosofis dan berlanjut ke arah absurditas (kekaburan) warna dari sistem kurikulum yang telah dan akan diberlakukan. Landasan filosofis yang tidak utuh itu adalah: landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis.

Namun, dari realitas ketidakutuhan dan absurditas (kekaburan) itu terlihat satu warna yang jelas pada keseluruhan bangunan kurikulum di Indonesia, yaitu positivisme. 12) Warna ini tampak nyata dalam sistem evaluasi pada seluruh kurikulum yang berlaku di Indonesia.