Absurditas Hasrat Capaian dalam Perubahan Kebijakan

1. Absurditas Hasrat Capaian dalam Perubahan Kebijakan

Secara umum pemahaman tentang pendidikan diarahkan pada aktivitas bimbingan dan arahan yang dilakukan manusia kepada manusia untuk kepentingan manusia. Dalam pemahaman ini tidak tampak adanya sistemisasi dari aktivitas yang dilakukan manusia. Oleh karenanya, pendidikan dalam pemahaman umum dapat dilebelkan pada setiap aktivitas yang dilakukan manusia, selama aktivitas itu berisikan bimbingan dan arahan untuk kepentingan pendewasaan diri manusia, tanpa adanya simpul-simpul aturan formal.

Pemahaman umum tersebut terinspirasi dari makna yang terkandung dalam istilah Latin, ‘pedagogi’, atau istilah Yunani ‘pedagogia’. Kedua istilah ini mengandung makna pendidikan yang dikaitkan dengan aktivitas ‘membimbing’ atau ‘menuntun’, sesuai dengan makna kata yang terkandung di dalamnya, ‘paedos’ berarti ‘anak’ dan ‘agoge’ berarti ‘membimbing’ atau ‘menuntun’. Term ‘pedagogia’ identik dengan istilah ‘paedagogos’, sebutan yang digunakan di zaman Yunani untuk seorang pemuda yang bekerja sebagai pengantar jemput anak- anak sekolah.

Secara khusus, pendidikan selalu diasumsikan sebagai sebuah aktivitas yang dirancang secara sistematis dan sistemik dengan tujuan untuk membantu setiap individu menjalani proses pendewasaan dirinya. Sistemisasi dimaksud berwujud sebuah program yang dirancang berdasarkan aturan mengikat, oleh pemerintah, atas kepentingan pendidikan individu dalam komunitas manusia.

Di Indonesia, secara yuridis formal tanggung jawab kepentingan pendidikan bangsa diaplikasikan oleh pemerintah dengan menyusun dan menetapkan sebuah undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Undang-undang ini disusun dengan berlandas pada amanah Undang- Undang Negara Republik Indonesia 1945, pasal 31.

Dalam sistem pendidikan nasional ditetapkan sebuah pemahaman tentang pendidikan yang dimaknai sebagai usaha secara sadar dan terencana dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan tujuan untuk membantu manusia Indonesia mengembangkan potensi dirinya. Dalam sistem pendidikan nasional juga ditetapkan tujuan dari pendidikan, yaitu: untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mereka menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta dapat menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk kepentingan pencapaian tujuan ini, pemerintah kemudian merancang dan memberlakukan sebuah program berbentuk kurikulum yang berisikan seperangkat rancangan pelaksanaan pembelajaran.

Argumentasi yang senantiasa dikedepankan oleh pemerintah dalam setiap merancang kemudian menetapkan pemberlakuan kurikulum adalah, kepentingan menyesuaikan program pendidikan dengan perubahan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan pertimbangan tersebut, sejak ditetapkannya kurikulum 2006 (KTSP) hingga saat ini, pendidikan diarahkan pada usaha pemberdayaan manusia.

Peserta didik dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui pengembangan potensi dirinya, guna melahirkan manusia Indonesia yang cakap, terampil, bertanggung jawab dan demokratis dalam menata, mengolah serta memberdayakan segala sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Peserta didik dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui pengembangan potensi dirinya, guna melahirkan manusia Indonesia yang cakap, terampil, bertanggung jawab dan demokratis dalam menata, mengolah serta memberdayakan segala sumber daya yang dimiliki oleh bangsa

Persoalannya adalah, mampukah pendidikan kita menggarap proyek besar itu? Mungkinkah pendidikan, yang rumusan tentang hasrat capaiannya tidak didasarkan pada hasil kajian serius terhadap kedirian individu, mampu memfasilitasi peserta didik mengembangkan potensi dirinya? Mungkinkah pendidikan, yang masih mengedepankan pemahaman general tentang manusia, mampu meningkatkan sumber daya manusia? Mungkinkah pendidikan, yang masih mempertahankan sistem evaluasi positivistik dalam mengukur capaian prestasi peserta didik dengan rumusan angka-angka, melahirkan manusia Indonesia yang terampil atas dasar keutuhan dirinya?

Berdasarkan pada realitas yang tampak dalam dunia pendidikan nasional, maka jawaban untuk semua pertanyaan tersebut adalah, ‘tidak.’ Hal ini

telah dibuktikan dengan banyaknya output pendidikan yang memiliki tingkat rasionalitas tanggung, cerdas namun kurang terampil atau sebaliknya terampil tetapi tidak cerdas. Wajar saja jika banyak output pendidikan di Indonesia kalah bersaing dengan bangsa lain, atau setidaknya tidak siap untuk bertarung dalam arena persaingan kerja.

Pendidikan yang merumuskan dan menetapkan tujuan dengan tanpa didasarkan pada hasil kajian serius terhadap apa yang dihasrati, hanya akan menggambarkan disorientasi pelaksanaan dan akhirnya menghasilkan absurditas (kekaburan). Hal ini terjadi di Indonesia, dimana sistem pendidikan nasional rancangan pemerintah, menetapkan tujuan pendidikan yang tidak didasarkan pada kajian serius tentang apa, siapa dan akan kemana manusia.

Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab II pasal 3 dituliskan, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan ini senyatanya tidak memenuhi, atau bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan aturan logika. Selain itu, hasrat capaian yang diinginkan sebagai tujuan dari pelaksanaan pendidikan, tidak memiliki dasar filosofis –antropologis.

Pelanggaran terhadap aturan logika dalam rumusan tujuan pendidikan nasional terdapat pada logika klasifikasi yang menggunakan kata penghubung ‘dan’. Kata ini digunakan untuk menghubungkan kalimat tentang potensi diri peserta didik dengan kalimat tentang gambaran warga negara yang diharapkan. Dalam aturan logika, klasifikasi harus dilakukan dengan menggunakan standar yang sama. 14) Sementara, kedua kalimat tersebut memaparkan dua hal dengan standar yang berbeda. Kalimat sebelum kata sambung ‘dan’, berisikan tentang beberapa nilai yang dipahami sebagai potensi diri peserta didik. Kalimat setelah kata sambung ‘dan’ menjelaskan tentang karakteristik warga negara.

Pada bagian isi, khususnya tentang term yang dipahamkan sebagai potensi diri peserta didik: iman dan takwa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, tampak betapa rumusan tujuan pendidikan nasional tidak

14) Dalam aturan logika, khususnya tentang klasifikasi, memestikan lima kaidah atau ketentuan klasifikasi, yaitu: 1. Menggunakan standard yang sama dan jelas; 2. Sungguh-sungguh

memisahkan; 3. Menyebutkan subklas secara lengkap; 4. Mengurutkan secara rapih; dan 5. Sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat klasifikasi.

memiliki landasan aksiologis maupun epistemologis tentang pemaknaan manusia. Kesemua term yang disebutkan itu tidak termasuk dalam makna potensi, namun lebih merupakan abstraksi tentang nilai-nilai yang melekat pada individu secara natural.

Isi dari karakteristik warga negara yang disebutkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional, demokratis dan bertanggung jawab, senyatanya hanya merupakan aplikasi dari nilai ‘akhlak mulia’. Kedua bentuk karakteristik itu sangat tidak tepat dikategorikan sebagai potensi diri, sama hal nya dengan term ‘berakhlak mulia’ dan ‘berilmu’, karena sama-sama menjelaskan tentang aplikasi nilai.

Rumusan tujuan pendidikan nasional, yang terbukti bertentangan dengan aturan logika serta rapuh pada landasan aksiologis dan epistemologis, berpotensi mengabsurdkan citra individu dalam ruang pemaknaan manusia. Absurditas dimaksud sudah tentu berkonsekuensi pada terciptanya disorientasi arah bagi capaian hasrat pendidikan. Hampir dapat dipastikan, jika program kegiatan dilaksanakan dengan menggunakan rumusan tujuan yang absurd (kabur), maka aplikasi dari program tersebut akan diwarnai dengan ketidakpastian dan ketidakberarahan.

Dengan menggunakan rumusan tujuan yang absurd (kabur) itu lah kemudian pemerintah menyusun rancangan dan memberlakukan kurikulum pendidikan. Ketidakpastian, sebagai kondisi yang terlahir dari rahim absurditas (kekaburan) hasrat capaian dalam rumusan tujuan pendidikan nasional, tergambar dari perubahan kurikulum yang senyatanya tidak didasarkan pada perencanaan logis-realistis berskala waktu. Kondisi ini memberikan peluang Dengan menggunakan rumusan tujuan yang absurd (kabur) itu lah kemudian pemerintah menyusun rancangan dan memberlakukan kurikulum pendidikan. Ketidakpastian, sebagai kondisi yang terlahir dari rahim absurditas (kekaburan) hasrat capaian dalam rumusan tujuan pendidikan nasional, tergambar dari perubahan kurikulum yang senyatanya tidak didasarkan pada perencanaan logis-realistis berskala waktu. Kondisi ini memberikan peluang

Tendensi politis terlahir dari pengaruh aura prestise (gengsi) para pemegang kebijakan, dalam hal ini pemerintah. Hasrat untuk membuktikan, bahwa ada pekerjaan yang telah dilakukan, merupakan alasan paling memungkinkan disembunyikan oleh penentu kebijakan di balik setiap menetapkan kebijakan perubahan kurikulum.

Kemungkinan tersebut tampak pada beberapa kurikulum yang kehadirannya menyertai perubahan pimpinan departemen atau kementerian yang memegang tongkat kewenangan di dunia pendidikan. Keberadaan kurikulum seakan menjadi prasasti yang membuktikan eksistensi pemerintah. Fenomena yang diilustrasikan dalam jargon “ganti menteri ganti kurikulum” cenderung mewarnai atmosfir dunia pendidikan di Indonesia.

Adanya tendensi politis yang secara tidak langsung ditandai dengan kebijakan perubahan kurikulum, senyatanya berdampak pada kesiapan para pelaksana pendidikan di lapangan. Apa lagi jika perubahan itu dilakukan oleh pemerintah dalam waktu yang singkat.

Lihat saja jarak waktu perubahan kurikulum 1945 ke kurikulum 1947, kurikulum 1964 ke kurikulum 1968, kurikulum 1973 ke kurikulum 1975, kurikulum 1994 ke kurikulum 1997, dan kurikulum 2004 ke kurikulum 2006. Ketersediaan waktu yang singkat hanya akan menciptakan pola pelaksanaan pendidikan yang instan. Ketergesa-gesaan pastinya akan berakibat pada pengabaian kualitas dari setiap pelaksanaan pendidikan di lapangan.

Dinamisasi perubahan kurikulum yang terjadi dalam waktu singkat melahirkan kebingungan hasrat capaian pendidikan. Proses capaian hasrat pendidikan pada setiap kurikulum yang diberlakukan cenderung tidak menemukan tapal batas bagi ketercapaian hasrat dalam bentuk rumusan tujuan pembelajaran.

Proses pergantian kurikulum dengan muatan hasrat capaian yang terkandung di dalamnya, berlangsung terus menerus dalam dunia pendidikan di Indonesia, Standar idealitas dari rumusan tujuan pembelajaran pada setiap kurikulum seakan tidak berukur. Kondisi ini tentunya berpotensi memberangus nilai-nilai ideal yang termuat dalam rumusan tujuan pembelajaran pada setiap kurikulum.

Kondisi tersebut dapat dipastikan akan mengabsurdkan (mengaburkan) makna eksistensi manusia dalam kapasitasnya sebagai peserta didik. Sejak pemberlakuan kurikulum 1947 hingga kurikulum 1975, peserta didik diposisikan sebagai objek pendidikan. Peserta didik diibaratkan seperti bejana kosong yang harus selalu diisi. Beberapa kurikulum selama rentang waktu tersebut kemudian digantikan oleh kurikulum 1984 dengan sistem pembelajarannya yang disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Awalnya, kurikulum 1984 memberikan harapan besar bagi ketersediaan ruang kebebasan bereksistensi untuk peserta didik. Namun dalam pelaksanaannya, harapan itu pudar seiring dengan kesenangan sebagian guru yang memanfaatkan sistem CBSA untuk menyembunyikan keengganannya menjalankan tugas pengajaran.

Nilai efektivitas dan efisiensi yang kurang terungkap dalam penggunaan kurikulum 1984 kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan melakukan revisi kurikulum secara beruntun di 1994 dan 1997. Namun revisi tersebut tidak juga memberikan nilai tambah bagi efektivitas dan efisiensi program pembelajaran. Oleh karenanya, di 2004 pemerintah memberlakukan kurikulum baru yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Hadirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memberikan peluang bagi hasrat mengeksplorasi potensi kedirian individu sebagai peserta didik. Program pendidikan yang dirancang untuk kepentingan pelaksanaan proses pembelajaran mengacu pada kepentingan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik. Namun sayangnya, rumusan kompetensi yang ingin dibina serta dikembangkan bukan terlahir dari hasil pembacaan terhadap realitas kedirian individu sebagai peserta didik. Rumusan itu justru dirancang di tingkat pemegang kewenangan dengan berdasar pada hasrat capaian kompetensi yang dikehendaki oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan pembangunan bangsa.

Aroma prestise (gengsi) yang berkekuatan politis, tercium kuat ketika pemerintah menetapkan kebijakan tentang sentralisasi penyusunan soal untuk Ujian Nasional saat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan. Senyatanya kebijakan ini bertentangan dengan wacana keterarahan yang diharapkan dari KTSP. Otoritas kewenangan dalam merancang program pembelajaran yang diberikan pemerintah kepada masing-masing daerah kemudian dirampas hanya dengan menetapkan kebijakan tentang Ujian Negara.

Upaya menghindari dominasi capaian kognitif, sebagaimana terjadi pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, menjadi sia-sia, karena muatan evaluasi Upaya menghindari dominasi capaian kognitif, sebagaimana terjadi pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, menjadi sia-sia, karena muatan evaluasi

Disadari atau tidak, program pendidikan yang masih menggunakan sistem evaluasi generalistik –positifistik, berpotensi mereduksi dan mendistorsi potensi besar yang yang dimiliki oleh setiap individu sebagai peserta didik. Hal tersebut akan berpengaruh pada penetapan kebijakan dalam penyajian materi, dimana kemampuan rerata kelompok selalu dijadikan sebagai landasan. Dengan demikian kebebasan individu untuk mengembangkan potensi kediriannya secara utuh menjadi terhambat oleh eksistensi individu lain.

Kebijakan pemerintah, dari mengganti KBK 2004 dengan KTSP 2006 hingga penetapan ujian nasional, telah menciptakan peluang bagi tumbuh suburnya tendensi ekonomis dalam dunia pendidikan. Adanya politisasi ekonomis dalam dunia pendidikan dapat dibaca dari kebijakan tentang pihak- pihak yang bertanggung jawab untuk menjalankan proyek pengadaan buku ajar dan pencetakan soal ujian nasional. Ibaratkan gula yang selalu dikerubuti semut, pengadaan buku ajar dan pencetakan soal ujian nasional menjadi proyek yang sangat banyak diincar oleh banyak pihak.

Ketatnya persaingan dalam memperebutkan proyek penyediaan perangkat instrumen pendidikan memastikan masing-masing pihak untuk merendahkan harga penawaran. Ketika hal itu dilakukan, maka kualitas buku serta lembar soal dan jawaban ujian yang diadakan hampir sulit untuk dijamin.

Fenomena seperti tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan, akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menitipkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Beberapa kasus pengadaan buku ajar untuk SD dan SMP, yang di dalamnya termuat bacaan tak pantas, merupakan realitas faktual dari adanya tendensi politis –ekonomis.

Keterlambatan distribusi berkas soal ujian nasional ke beberapa daerah dan disertai pula dengan kualitas lembar jawaban ujian nasional yang rendah pada 2012 dan 2013, semakin membenarkan adanya realitas tendensi politis- ekonomis dalam dunia pendidikan. Realitas ini jelas telah menciderai dunia pendidikan yang pada akhirnya semakin mengabsurdkan (mengaburkan) arah hasrat capaian dari tujuan pendidikan nasional.

Di awal 2013, pemerintah berupaya meminimalisir berbagai persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan dengan melahirkan rancangan kurikulum baru, yakni kurikulum integratif. Dalam rancangan itu tergambar hasrat menghargai aktivitas eksistensial peserta didik, dimana sistem evaluasi tidak lagi diarahkan hanya pada hasil namun lebih pada proses pembelajaran.

Prinsip “guru bukan satu-satunya sumber belajar,” yang menjadi sistem pembelajaran, menggambarkan betapa kurikulum baru ini memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengeksplor potensi kediriannya. Sebagai bukti keseriusan dalam menggunakan prinsip tersebut, guru dimanjakan dengan berbagai kelengkapan pengajaran, dari rancangan program pengajaran, pedoman pelaksanaan pengajaran, hingga bahan-bahan pengajaran.

Prinsip pembelajaran: “guru bukan satu-satunya sumber belajar,” menjadi indikator bagi tergantikannya kreativitas guru oleh berbagai Prinsip pembelajaran: “guru bukan satu-satunya sumber belajar,” menjadi indikator bagi tergantikannya kreativitas guru oleh berbagai

Sisi lain dari rancangan kurikulum integratif 2013 yang patut dipertanyakan adalah, tawaran penggabungan mata pelajaran, IPS atau IPA dalam Bahasa Indonesia, beserta penambahan jam belajar bagi peserta didik. Tawaran ini telah meruntuhkan bangunan paradigma keilmuan, dimana masing- masing ilmu memiliki karakter, landasan ontologis dan aksiologis, serta sistem kerja metodologis yang berbeda.

Untuk kepentingan penghargaan terhadap kebebasan bereksistensi bagi peserta didik, keberadaan kurikulum integratif 2013 benar-benar menjanjikan. Namun jika tidak dapat diaplikasikan secara tepat, ia akan menjadi kotak pandora bagi dunia pendidikan di Indonesia.