Hakikat Manusia dalam Sistem Pendidikan

Sistem Pendidikan Nasional dan Kebermaknaan Manusia

(Kajian Kritis tentang Mindset Kurikulum Nasional *)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Oleh: Firdaus Achmad **)

Eksistensi Individu dalam Sistem Pendidikan Nasional Azalinya, pendidikan merupakan aktivitas manusia untuk kepentingan

manusia. Oleh karena itu, segala bentuk usaha dalam wilayah kependidikan semestinya diarahkan dan ditujukan untuk pemenuhan kepentingan manusia. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh pendidikan adalah membangun kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari kesemestaan jagad raya. Kesadaran ini dibutuhkan untuk menata komunikasi harmonis antara manusia dengan alam.

Komunikasi harmonis tersebut dimaksudkan sebagai kedekatan serta kemenyatuan manusia dengan alam, yang diniscayakan penciptaannya oleh Tuhan guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidup manusia. Untuk itu, pendidikan harus dapat membantu manusia dalam proses mendekatkan dan menyatukan dirinya dengan alam: Education must teach us to live close nature (Brumbaugh, 1963: 5).

Secara natural, harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam telah terjalin sejak manusia menjadi bagian dari kesemestaan jagad raya. Hubungan tersebut kemudian membidani lahirnya pengalaman, yang dalam proses perlintasan waktu, menjadi embrio bagi terbentuknya pengetahuan manusia. Dengan kata lain, pengetahuan terlahir dari pengalaman manusia yang berulang-ulang dalam proses kehidupan.

Pemaknaan tentang pengetahuan seperti tersebut di atas terungkap dalam kajian filsafat pendidikan yang memahamkan, bahwa: All knowledge is recollection (Brumbaugh, 1963: 5). Bangunan pemaknaan ini berlandaskan pada

*) Tulisan Disajikan dalam Kegiatan Bimbingan Teknis bagi Guru Madrasah Se-Kota Pontianak pada 2 Desember 2013.

**) Penulis adalah Dosen Filsafat pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.

kesadaran, bahwa pengetahuan merupakan kesejatian instrumental diri manusia yang berada dalam ruang potensi.

Untuk dapat merekoleksi pengalaman dalam bentuk eksplorasi potensi pengetahuan tersebut, dibutuhkan sebuah upaya yang sistematis sekaligus sistemik. Upaya dimaksud adalah pendidikan, karena didalamnya berisikan aktivitas membimbing serta membantu manusia untuk mengembangkan segala bentuk potensi yang dimilikinya (Salahudin, 2011: 19). Pada bagian lain, pendidikan juga berisikan aktivitas kreatif yang mampu menumbuhsuburkan nilai-nilai kreativitas manusia (Alwasilah, 2008: 18). Potensi nilai-nilai kreatif ini terkandung dalam rahim kebiasaan merekoleksi pengalaman saat manusia harus bereaksi terhadap alam guna mempertahankan hidupnya.

Sebagai negara berkembang yang sedang disibukkan dengan aktivitas pembangunan di segala sektor kehidupan, bangsa Indonesia menyadari akan besarnya peran pendidikan dalam memadati ruang kehasratan untuk menjadi bangsa berperadaban maju dan modern. Pendidikan terbukti telah berjasa dalam ikut serta mempertahankan dan memperkokoh eksistensi Indonesia sebagai negara kesatuan republik (Kartodirdjo, 1994: 47).

Berdasarkan pada realitas tersebut, pemerintah berupaya memberikan perhatian cukup terhadap pendidikan. Hal ini terbukti dengan dialokasikannya 20% dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kepentingan dunia pendidikan, sebagaimana yang tertuang dalam Undang- undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 31 tentang Pendidikan, ayat (4) tentang anggaran pendidikan. Ayat (4) ini merupakan tambahan setelah UUD 1945 mengalami perubahan IV pada 2002, yang sekaligus menjadi bukti adanya perhatian serta tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan pendidikan.

Dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 sebelum diamandemen, pendidikan yang dimaknai pemerintah sebagai aktivitas pengajaran, hanya

diposisikan pada wilayah ‘hak’ bagi setiap warga negara, sebagaimana tersebut pada Bab XIII, pasal 31 ayat (1). Sementara, dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 hasil dari amandemen 2002, pendidikan tidak hanya ditetapkan sebagai

‘hak’ namun juga sebagai ‘kewajiban’, walau kewajiban itu baru sampai pada tingkat pendidikan dasar, sebagaimana tersebut dalam ayat (2).

Secara formal, pendidikan merupakan salah bentuk program kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karenanya tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan berada di pundak pemerintah sebagai pelaksana program kebangsaan dan kenegaraan. Tanggung jawab ini ditegaskan dalam Undang-Undang RI 1945 dalam BAB XIII, pasal 31 ayat (3) tentang tanggung jawab penyelenggaraan, (4) tanggung jawab pendanaan, dan (5) tanggung jawab peningkatan mutu keilmuan.

Kesemua bentuk tanggung jawab, yang berimplikasi pada berbagai kebijakan kependidikan ini, ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan ummat manusia dalam era peradaban yang berkualitas, sebagaimana tercantum pada ayat (5). Dengan demikian, segala bentuk kehendak dalam wadah kebijakan, yang potensial mereduksi atau bahkan menegasi kepentingan menyejahterakan manusia, secara esensial telah melanggar Undang-Undang Dasar RI 1945.

Eksistensi manusia dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, khususnya pada Bab XIII, Pasal 31, disimbolkan dengan term warga negara, yakni sekelompok individu yang menghuni suatu negara. Sebagai bagian dari negara, manusia terikat oleh aturan-aturan kenegaraan dan kebangsaan. Aturan di sini lebih ditujukan pada aturan kependidikan.

Keterikatan tersebut ditandai dengan keharusan bagi penyelenggara negara atau pemerintah untuk mendanai pelaksanaan program kependidikan bagi warga negaranya. Keharusan ini sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan pendidikan manusia yang berada dalam wilayah kewenangannya.

Bentuk lain dari tanggung jawab pemerintah terhadap manusia Indonesia dalam dunia pendidikan adalah, keharusan untuk merancang program kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan manusia Indonesia. Tanggung jawab ini direalisasikan oleh pemerintah dengan menerbitkan undang-undang yang berisikan tentang Sistem Pendidikan Nasional dan kurikulum yang menjadi sumber bagi pelaksanaan pendidikan secara nasional.

Hingga 2013 pemerintah telah menerbitkan 4 undang-undang yang mengatur Pendidikan Nasional, yaitu: UU nomor 4, 1950, tentang Pokok-pokok Pengajaran dan Pendidikan; UU nomor 12, 1954, tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah; UU nomor 2, 1989; dan UU nomor 20, 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sementara hingga awal 2013, kurikulum yang pernah diberlakukan oleh pemerintah sebanyak 11 kurikulum, yaitu: Kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran), Kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai), Kurikulum 1964 (Rencana Pendidikan), Kurikulum 1968 (Sekolah Dasar), Kurikulum 1973 (Perintis Sekolah Pembangunan), Kurikulum 1975 (Pengembangan Sistem Instruksional), Kurikulum 1984 (Cara Belajar Siswa Aktif), Kurikulum 1994 (Sistem Caturwulan), Kurikulum 1997 (Revisi 94), Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP). Pemerintah juga telah mempersiapkan rancangan kurikulum baru yang akan diberlakukan di pertengahan 2013, kurikulum Integratif atau kurikulum 2013.

Dilihat dari tahun terbit dan pemberlakuannya, kurikulum 1947 diberlakukan sebelum diterbitkannya Undang-Undang nomor 4, 1950, tentang Pokok-pokok Pengajaran dan Pendidikan. Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran) tersebut merupakan implementasi langsung dari Undang-Undang Dasar RI 1945, Bab XIII Pasal 31 ayat (2).

Berbeda dengan kurikulum 1947, masing-masing kurikulum dari sebelas kurikulum yang telah diterbitkan dan diberlakukan oleh pemerintah, memiliki payung legalitas berupa undang-undang dan/atau TAP MPR yang secara khusus mengatur sistem pendidikan nasional. Kurikulum 1952 dipayungi oleh UU nomor 4, 1950. Kurikulum 1964 berada dibawah legalitas payung UU nomor

12, 1954, dan juga TAP MPR nomor II, 1960. Kurikulum 1968 dipayungi oleh Penetapan Presiden nomor 9, 1965, dan TAP MPRS nomor XXVII, 1966. Kurikulum 1973 dan 1975 berada dibawah payung legalitas TAP MPR nomor IV, 1973 tentang GBHN. Kurikulum 1984 dipayungi oleh TAP MPR nomor IV, 1978. Kurikulum 1994 dan kurikulum 1997 berada di bawah payung UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 2, 1989. Kurikulum 2004 dan kurikulum 2006, 12, 1954, dan juga TAP MPR nomor II, 1960. Kurikulum 1968 dipayungi oleh Penetapan Presiden nomor 9, 1965, dan TAP MPRS nomor XXVII, 1966. Kurikulum 1973 dan 1975 berada dibawah payung legalitas TAP MPR nomor IV, 1973 tentang GBHN. Kurikulum 1984 dipayungi oleh TAP MPR nomor IV, 1978. Kurikulum 1994 dan kurikulum 1997 berada di bawah payung UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 2, 1989. Kurikulum 2004 dan kurikulum 2006,

Bagan 12.4 LEGALITAS FORMAL KURIKULUM PANCASILA

UUD RI 1945

Bab XIII, Pasal 31

KURIKULUM 1947

UU No. 4

UU No. 12 Th. 1954 UU RI

UU RI

Th. 1950 Bab XIII, Pasal 31

No. 20 Th. 2003 Bab XIII,

No. 2 Th. 1989

TAP MPR RI SISDIKNAS

SISDIKNAS

No. II Th. 1960

Pasal 31

KURIKULUM KURIKULUM KURIKULUM KURIKULUM

Penetapan Presiden

No. 9 Th. 1965

TAP MPRS RI No. XXVII Th. 1966

KURIKULUM 1968

TAP MPR RI (GBHN)

No. IV Th. 1973

KURIKULUM TAP MPR RI

No. IV Th. 1978

KURIKULUM

Landasan legalitas formal dalam bentuk undang-undang sangat penting bagi proses pemberlakuan kurikulum. Keberadaan undang-undang dimaksud tidak hanya untuk kepentingan pelandasan formal bagi pencapaian tujuan dari pelaksanaan kurikulum, namun juga untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap manusia yang terlibat di dalamnya. Perlindungan tersebut dibutuhkan demi rasa aman bagi manusia dalam menjalankan proses kegiatan pendidikan.

Pada bagian lain, keberadaan undang-undang juga dibutuhkan untuk memberikan kepastian arah bagi pelaksanaan proses pendidikan. Kepastian dimaksud berbentuk rumusan tujuan yang menjadi orientasi dalam mewujudkan hasrat capaian pendidikan nasional. Hingga terbitnya UU SISDIKNAS nomor 20, 2003, negara Indonesia telah melahirkan 7 rumusan tujuan pendidikan nasional.

Rumusan tujuan pendidikan nasional pertama kali termuat dalam UU nomor 4, 1950, tentang Pokok-pokok Pengajaran dan Pendidikan, bab II pasal 3. Dalam UU tersebut dinyatakan, bahwa: “Tujuan pendidikan dan pengajaran membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. ” Rumusan tujuan pendidikan tersebut kemudian dituangkan kembali oleh para perancang undang-undang dalam UU nomor 12, 1954, tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. UU ini sesungguhnya merupakan pemberlakuan kembali UU nomor 4, 1950 untuk seluruh wilayah RI.

Formulasi hasrat capaian dalam rumusan tujuan tersebut sungguh menunjukkan betapa pendidikan Indonesia ketika itu telah beradaptasi dengan pemikiran demokrasi yang sedang berkembang di kalangan masyarakat dunia. Pemikiran demokrasi dimaksud jelas terlihat pada karakteristik ‘manusia’ yang hendak dibidani kelahirannya melalui proses pendidikan, yaitu: warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Pada 1960 rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut dirancang ulang dan disesuaikan dengan kondisi kehidupan bangsa Indonesia saat itu. Rumusan tujuan pendidikan nasional pengganti dimaksud tertuang di dalam TAP MPR RI Pada 1960 rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut dirancang ulang dan disesuaikan dengan kondisi kehidupan bangsa Indonesia saat itu. Rumusan tujuan pendidikan nasional pengganti dimaksud tertuang di dalam TAP MPR RI

Rumusan tujuan pendidikan tersebut kemudian direvisi sesuai dengan pengaruh suasana sosial politik bangsa Indonesia melalui penetapan presiden nomor 19, 1965. Dalam penetapan presiden ini, sistem pendidikan dinamai dengan: “Sistem Pendidikan Nasional dan Pancasila.” Rumusan revisi tujuan pendidikan yang termuat di dalamnya berbunyi: “Tujuan pendidikan nasional kita, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, dari pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertaggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material yang berjiwa pancasila, yaitu: Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa; Perikemanusiaan yang adil dan beradab; Kebangsaan; Kerakyatan; Keadilan s osial, seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek.”

Rumusan tujuan pendidikan nasional dan Pancasila tersebut senyatanya tidak bertahan lama, karena letupan peristiwa G.30 S/PKI 1965 telah menyadarkan dan membuka mata rakyat Indonesia untuk membaca akan adanya motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan itu. Melalui TAP MPRS RI nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah orde baru menetapkan, bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.”

Sejalan dengan perkembangan peradaban pemikiran bangsa Indonesia, rumusan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan di awal pemerintahan orde baru tersebut digantikan kembali dengan rumusan yang baru melalui TAP MPR RI No. IV/MPR/1973, yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Di dalamnya terpaparkan secara singkat tentang pengertian dari Sejalan dengan perkembangan peradaban pemikiran bangsa Indonesia, rumusan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan di awal pemerintahan orde baru tersebut digantikan kembali dengan rumusan yang baru melalui TAP MPR RI No. IV/MPR/1973, yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Di dalamnya terpaparkan secara singkat tentang pengertian dari

Setelah berlaku selama lima tahun, rumusan tujuan pendidikan itu direformulasikan kembali oleh para perancang undang-undang melalui TAP MPR No. IV/MPR/1978. Di dalamnya dinyatakan, bahwa: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.” Rumusan tujuan pendidikan ini menggambarkan adanya pola pikir klasifikatif tentang karakteristik manusia yang dihasratkan melalui proses pendidikan, walau pola pikir dimaksud tidak berkesesuaian dengan aturan logika bahasa.

Ketidaksesuaian pertautan bahasa dalam rumusan tujuan pendidikan dengan aturan logika bahasa juga terulang kembali dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yang termuat dalam undang-undang nomor 20, 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika ditilik secara cermat dapat disimpulkan, bahwa rumusan tujuan pendidikan nasional yang kelahirannya ikut dibidani oleh tuntutan realitas kehidupan bangsa ini, merupakan rancang ulang dari rumusan tujuan pendidikan sebelumnya.

Undang-Undang SISDIKNAS nomor 2, 1989, pasal 3 menjelaskan tentang fungsi dari keberadaan pendidikan nasional, yaitu: “Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. ” Sementara pasal 4 dari undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ini memaparkan tujuan pendidikan nasional dalam uraian kalimat: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman Undang-Undang SISDIKNAS nomor 2, 1989, pasal 3 menjelaskan tentang fungsi dari keberadaan pendidikan nasional, yaitu: “Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. ” Sementara pasal 4 dari undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ini memaparkan tujuan pendidikan nasional dalam uraian kalimat: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman

Paparan tentang perubahan tujuan pendidikan dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia di atas dapat dipahami sebagai bentuk dinamika yang terjadi di dunia pendidikan nasional. Dinamika perubahan tersebut sangat erat kaitannya dengan dinamika realitas politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia yang disibukkan oleh hasrat kemajuan peradaban, pendidikan senyatanya telah menjadi wahana pencerdasan dan pembudayaan masyarakat. Namun bagaimanapun juga, di samping faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tendensi politis dan ekonomis senantiasa ikut serta dalam berbagai pertimbangan kebijakan yang mewarnai corak perkembangan pendidikan nasional.

Hasrat Capaian dalam Mindset Fenomena Perubahan Kurikulum Secara umum, kurikulum merupakan sumber dan landasan operasional

bagi pelaksanaan pendidikan di suatu negara bangsa. Sebagai sumber sekaligus landasan, kurikulum harus dapat mencerminkan wajah falsafah bangsa. Di samping itu, kurikulum juga harus berisikan realitas kehidupan bangsa beserta gambaran tentang orientasi kehasratan yang ingin dicapai melalui pendidikan.

Gerak perubahan realitas kehidupan bangsa tentunya akan berpengaruh pada arah orientasi kehasratan yang dikehendaki. Tidak hanya untuk kepentingan hasrat capaian ilmu pengetahuan dan teknologi, namun faktor lain, seperti: realitas sosial budaya, politik dan kepentingan ekonomi, juga menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan perubahan kurikulum. Realitas ini yang seringkali dirasionalisasikan oleh pemerintah untuk kepentingan penguatan argumentasi logis dalam menetapkan kebijakan pendidikan, khususnya dalam melakukan pembaharuan atau perubahan kurikulum.

Menyimak realitas kehidupan bangsa Indonesia yang berada dalam lingkaran perubahan, upaya pembaharuan dan perubahan kurikulum menjadi sebuah kemestian bagi pemerintah. Pembaharuan dan perubahan ini lebih ditujukan untuk membekali manusia dengan pengetahuan dan keterampilan dalam menjalani kehidupan yang senantiasa berubah. Di sinilah letak elastisitas sebuah kurikulum yang dirancang sebagai sumber, dasar, dan sekaligus alat untuk memenuhi hasrat capaian pendidikan yang telah diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Bab XIII pasal 31, serta Undang-Undang RI nomor 20, 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sebagai negara berkembang, sejak kemerdekaan di 1945 hingga saat ini, pemerintah Indonesia telah melahirkan dan memberlakukan 11 kurikulum pendidikan. Bahkan, di 2013 ini pemerintah sudah siap memberlakukan lagi kurikulum baru, yang rancangannya telah dirampungkan di akhir 2012. Hal ini sekaligus menjadi gambaran betapa gerak perubahan kehidupan bangsa Indonesia sangat dinamis, sehingga pemerintah memandang perlu untuk melakukan pembaharuan serta perubahan kurikulum guna mengimbangi dinamisasi perubahan tersebut.

Dua tahun setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia menerbitkan dan memberlakukan kurikulum pendidikan, yaitu kurikulum 1947, yang secara legal formal merupakan implementasi dari amanah Undang-Undang Dasar 1945, Bab

XIII Pasal 31. Kurikulum ini lahir dalam suasana peralihan sistem pendidikan, dari sistem pendidikan Belanda ke sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, wacana yang terkandung di dalamnya masih kental dengan hasrat politik- patriotik.

Kurikulum 1947 pada saat itu lebih dikenal dengan istilah leer plan, sebuah istilah dalam bahasa Belanda yang berarti ‘rencana pelajaran’. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan bagi penyebutan kurikulum 1947 dengan nama ‘Kurikulum Rencana Pelajaran’.

Dikarenakan oleh kondisi peralihan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan, keberadaan kurikulum 1947 masih terasa kental dengan pengaruh sistem pendidikan serta pengajaran kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan hampir Dikarenakan oleh kondisi peralihan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan, keberadaan kurikulum 1947 masih terasa kental dengan pengaruh sistem pendidikan serta pengajaran kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan hampir

Titik tekan orientasi pendidikan dan pengajaran dalam kurikulum 1947 diarahkan pada upaya pembentukan karakter manusia Indonesia yang bebas merdeka dan berkedaulatan. Kecintaan terhadap tanah air dan disertai kesediaan berkorban, mewarnai hampir setiap materi pelajaran yang senantiasa dikaitkan dengan peristiwa hidup keseharian masyarakat Indonesia saat itu. Oleh karenanya, kurikulum 1947 lebih mengedepankan orientasi capaian hasil pada aspek psikomotorik dan attitude melalui pembentukan watak serta prilaku, dan tidak terlalu fokus pada orientasi capaian aspek kognitif.

Secara sistematik dan sistemik, kurikulum ini hanya berisikan dua komponen pokok, yaitu: Daftar mata pelajaran beserta jam pengajaran; dan Garis-Garis Besar Pengajaran (GBP). Sementara, materi pelajaran yang disuguhkan kepada murid berisikan tiga hal, yaitu:

a. Kesadaran bernegara dan bermasyarakat;

b. Problem kehidupan keseharian masyarakat;

c. Kesenian dan pendidikan jasmani. Realitas kehidupan bangsa Indonesia yang dipadati oleh ketegangan dan

ketidakmenentuan akibat perang, memungkinkan para perancang kurikulum 1947 menggunakan paradigma pendidikan perenialisme. 1) Kondisi tersebut merupakan salah satu aspek realistis yang menjadi argumentasi logis dalam pemberlakuan paradigma pendidikan perenialisme (Kneller, 1971: 42). Dalam paradigma ini, pembinaan mental yang mengacu pada keluhuran nilai-nilai masa lalu, dijadikan sebagai target utama bagi aktivitas pendidikan (Gandhi, 2011: 171).

Penggunaan paradigma pendidikan perenialisme dalam kurikulum 1947 juga tampak pada tujuan pendidikan yang menitikberatkan pembentukan

1) Secara etimologi, perenialisme berasal dari Bahasa Latin: ‘perenis’ yang berarti ‘abadi’ atau ‘perenial’ yang bermakna “tumbuh terus menerus melalui waktu.” Perenialisme merupakan

aliran pemikiran kependidikan yang memahamkan pentingnya nilai-nilai luhur di masa lalu untuk dijadikan sebagai landasan sekaligus orientasi sebuah program pendidikan. Keyakinan dasar dalam aliran ini adalah rasionalitas Aristoteles yang memahamkan, bahwa semua manusia memiliki esensialitas sebagai makhluk rasional.

karakter manusia Indonesia bebas merdeka dan berkedaulatan. Hal ini sesuai dengan orientasi pendidikan dalam perenialisme yang menekankan pentingnya membantu peserta didik menjadi dirinya sendiri sebagai manusia merdeka. Untuk kepentingan ini, pendidikan harus diarahkan pada upaya meningkatkan otoritas kemampuan berpikir agar peserta didik memiliki kesiapan dalam menghadapi dan menjalani kehidupan (Gandhi, 2011: 180).

Kesederhanaan kurikulum 1947 dirasakan oleh pemerintah kurang mampu mewadahi kepentingan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat Indonesia. Untuk menutupi kekurangan itu, pemerintah kemudian merancang kurikulum baru yang mulai diberlakukan pada 1952. Segala aspek yang belum termuat dalam kurikulum Rencana Pelajaran 1947, dilengkapi, disempurnakan dan diurai dalam kurikulum 1952. Oleh karenanya, kurikulum 1952 ini disebut juga dengan Kurikulum Rencana Pelajaran Terurai.

Jika pada kurikulum Rencana Pelajaran 1947 fokus pendidikan dan pengajaran hanya ditujukan pada pembentukan watak dan prilaku, maka pada kurikulum Rencana Pelajaran Terurai 1952 fokus tersebut diurai ke dalam pengembangan pancawardhana: a. Karsa; b. Rasa; c. Cipta; d. Karya; e. Moral. Kelima nilai ini disajikan kepada murid ke dalam mata pelajaran yang diklasifikasikan menjadi lima kelompok: a. Moral; b. Kecerdasan; c. Emosional;

d. Keterampilan; e. Kesehatan Jasmani. Untuk sementara waktu, muatan dalam kurikulum Rencana Pelajaran Terurai ini dianggap telah mampu mewadahi kebutuhan pendidikan bangsa Indonesia, sehingga pemberlakuannya bisa bertahan hingga duabelas tahun.

Pengaruh paradigma perenialisme masih tampak dalam pemberlakuan kurikulum 1952 yang mempertahankan pentingnya pembentukan watak dan prilaku manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Namun konstruksi materi yang mengarah pada penyiapan murid untuk dapat memperbaiki kondisi kehidupan diri dan lingkungannya, melalui penguatan moral dan emosional, menunjukkan bahwa kurikulum 1952 juga dipengaruhi oleh paradigma Pengaruh paradigma perenialisme masih tampak dalam pemberlakuan kurikulum 1952 yang mempertahankan pentingnya pembentukan watak dan prilaku manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Namun konstruksi materi yang mengarah pada penyiapan murid untuk dapat memperbaiki kondisi kehidupan diri dan lingkungannya, melalui penguatan moral dan emosional, menunjukkan bahwa kurikulum 1952 juga dipengaruhi oleh paradigma

Pada 1964, di akhir masa pemerintahan orde lama, pemerintah kembali menerbitkan dan memberlakukan kurikulum baru yang disebut Kurikulum ‘Rencana Pendidikan’. Ide utama dari kurikulum 1964 ini adalah pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Kemampuan siswa atau murid memikirkan problem solving (pemecahan masalah) terhadap persoalan yang mereka hadapi, merupakan kewajiban yang diamanahkan oleh kurikulum 1964 kepada para guru.

Kurikulum 1964 dirancang dengan titik berat perhatian pada kepentingan pembelajaran dibanding pengajaran yang terkandung dalam dua kurikulum sebelumnya. Kehadiran kurikulum 1964 ditujukan untuk lebih melengkapi muatan materi yang terkandung dalam kurikulum 1952 secara sistematis dan sistemik. Materi pelajaran yang dirancang dalam kurikulum 1964 merupakan kelanjutan dan perincian dari materi pelajaran dalam kurikulum 1952. Perincian dimaksud dapat dilihat dari rancangan pendidikan dalam kurikulum 1964 sebagai berikut:

a. Pengembangan Moral, berisikan:

1) Pendidikan Budi Pekerti (agama);

2) Pendidikan Kemasyarakatan;

b. Pengembangan Emosional, berisikan: Pendidikan Kesenian.

c. Pengembangan Kecerdasan, berisikan:

1) Pendidikan Bahasa Daerah;

2) Secara etimologis, rekonstruksionisme berasal dari istilah dalam bahasa Inggris, ‘reconstruct’ yang berarti: “menyusun kembali.” Rekonstruksionisme merupakan aliran pemikiran

kependidikan yang berusaha melakukan perombakan tatanan kebudayaan lama dengan menawarkan tata bangunan budaya berorientasi modern. Pada dasarnya, aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme tentang adanya kebutuhan mendesak untuk memberikan kejelasan dan kepastian pada kebudayaan modern yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemencahan yang ditempuh oleh perenialisme. Perenialisme memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan, sementara rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.

2) Pendidikan Bahasa Indonesia;

3) Pendidikan Berhitung;

4) Pendidikan Pengetahuan Alam;

d. Pengembangan Kesehatan dan Jasmani, berisikan: Pendidikan Olah raga dan Kesehatan.

e. Pengembangan Kepribadian, berisikan: Pendidikan Keterampilan.

Dikarenakan kelahirannya sebagai pelengkap bagi kurikulum 1952, maka nuansa paradigma pendidikan perenialisme dan rekonstruksionisme masih tampak dalam kurikulum 1964. Namun, jika ditilik dari perluasan materi pembelajaran, pengaruh paradigma pendidikan idealisme 3) sudah mulai tampak.

Perluasan materi pembelajaran dimaksud mengarah pada prinsip dasar paradigma pendidikan idealisme. Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, idealisme memahamkan, bahwa pendidikan merupakan sebuah realitas yang berkeharusan memadukan nilai-nilai pengalaman, aktivitas sosial, kedisiplinan intelektual, dan pandangan tentang idealitas moral (Brumbaugh, 1963: 26).

Pemberlakuan kurikulum Rencana Pendidikan 1964 hanya berusia empat tahun, karena peristiwa gestapu PKI 30 September 1965 telah menggugah pemerintah era orde baru untuk melakukan revisi terhadap kurikulum yang ada saat itu. Revisi dilakukan guna menyesuaikan kondisi dan kebutuhan mental kebangsaan rakyat Indonesia. Pada 1968 pemerintah menetapkan pemberlakuan kurikulum baru yang biasa juga disebut kurikulum Sekolah Dasar atau kurikulum 1968.

Sesuai dengan latar sejarah kelahirannya sebagai pengganti kurikulum 1964, yang diidentikkan dengan orde lama, keberadaan Kurikulum Sekolah Dasar 1968 cenderung bersifat politis –ideologis. Jika pendidikan dalam kurikulum 1964 bertujuan untuk menciptakan masyarakat sosialis Indonesia, maka dalam kurikulum 1968 pendidikan diarahkan pada upaya membentuk

3) Secara etimologis, idealisme berasal dari istilah dalam Bahasa Latin, ‘idea’ yang berarti ‘ide’ atau ‘alam idea (alam roh).’ Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang

berpaham, bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realitas adalah manifestasi alam ide. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sekaligus menjadi pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual.

manusia Indonesia menjadi pancasilais sejati. Manusia pancasilais dimaknai sebagai manusia Indonesia yang memiliki karakter: sehat jasmani ruhani, cerdas, terampil, bermoral, berbudi pekerti luhur, berkeyakinan atau beragama.

Kurikulum Sekolah Dasar 1968 merupakan pembaharuan terhadap kurikulum Rencana Pendidikan 1964. Pembaharuan dimaksud tampak pada perubahan struktur materi pendidikan, dari penanaman dan pengembangan nilai-nilai pancawardhana berubah kepada pembinaan dan penguatan nilai-nilai luhur Pancasila. Perubahan ini sesuai dengan orientasi kurikulum 1968 yang diarahkan pada penghayatan dan pengamalan UUD 1945 secara konsekwen.

Dilihat dari isi materi pendidikan, kurikulum 1968 lebih menekankan pada materi pelajaran yang bersifat teoritik, dan hampir tidak mengaitkannya dengan fakta keseharian hidup siswa atau murid. Hanya saja, struktur materi pendidikan dalam kurikulum ini bersifat correlated subject curriculum, dimana materi pelajaran pada pendidikan tingkat bawah berkorelasi dengan materi pelajaran pada pendidikan tingkat lanjutan.

Struktur pendidikan pada kurikulum 1968 berisikan tiga kelompok besar bidang studi dengan 10 mata pelajaran, yaitu:

a. Bidang studi Pembinaan Jiwa Pancasila, yang terdiri dari:

1) Mata pelajaran Pendidikan Agama;

2) Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan;

3) Mata pelajaran Bahasa Indonesia;

4) Mata pelajaran Bahasa Daerah;

5) Mata pelajaran Olah raga.

b. Bidang studi Pengembangan Pengetahuan Dasar, yang terdiri dari:

1) Mata pelajaran Berhitung;

2) Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam;

3) Mata pelajaran Pendidikan Kesenian;

4) Mata pelajaran Pendidikan Kesejahteraan keluarga.

c. Bidang studi Pembinaan Kecakapan Khusus, yang berisikan: Mata pelajaran Pendidikan Kejuruan.

Aura politis yang ikut membidani kelahiran kurikulum 1968, sebagai konsekuensi dari perpindahan tampuk pimpinan pemerintahan, memestikan adanya penguatan nilai-nilai luhur yang dinilai mampu menjadi temali pengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Hasrat penguatan yang dititipkan dalam program pendidikan, tampak pada muatan kurikulum 1968. Kehasratan ini sekaligus menjelaskan, bahwa kurikulum 1968 diwarnai oleh paradigma pendidikan esensialisme 4) yang menekankan pentingnya nilai-nilai luhur sebagai pijakan pendidikan (Gandhi, 2011: 159).

Setelah lima tahun masa pemberlakuan kurikulum Sekolah Dasar 1968, pemerintah Indonesia menerbitkan dan memberlakukan kembali kurikulum baru yang dikenal dengan Kurikulum Perintis Sekolah Pembangunan di 1973. Keberadaan kurikulum 1973 ini hanyalah sebuah program tambahan bagi kurikulum 1968, dalam bentuk proyek perintisan sekolah pembangunan.

Penyediaan fasilitas pendidikan dalam bentuk pendirian sekolah-sekolah INPRES, merupakan wujud dari keberadaan kurikulum 1973. Sementara, sistem dan struktur pendidikan yang terkait dengan materi pembelajaran, masih menggunakan kerangka pikir yang termuat di dalam kurikulum 1968.

Keberadaan kurikulum 1973 tidak berumur panjang, karena setelah dua tahun pemberlakuannya, pemerintah kembali menetapkan kurikulum baru, yakni kurikulum 1975 yang dikenal dengan pola pikir Pengembangan Sistem Instruksionalnya. Pemberlakuan kurikulum ini dilatarbelakangi oleh hasrat pemerintah untuk mengisi ruang ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui program percepatan pembangunan yang rancangannya dititipkan dalam hasrat capaian kurikulum 1975.

Dari beberapa kurikulum yang telah diterbitkan dan diberlakukan oleh pemerintah, baru pada kurikulum 1975 lah pemerintah menetapkan tujuan-

4) Secara etimologis, esensialisme berasal dari Bahasa Latin, ‘esse’ yang berarti: ‘menjadi’. Kata ini terambil dari kata ‘est’ dengan arti: ‘ada’. Dalam dunia pendidikan,

esensialisme biasa juga diistilahkan dengan “Education as Cultural Conservation” karena kaum esensialis dianggap sebagai kelompok penjaga kebudayaan lama melalui program-program pendidikan. Esensialisme merupakan aliran pendidikan yang berlandas pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, khususnya zaman Renaissance. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan mampu bertahan lama guna menjaga stabilitas nilai-nilai luhur yang terpilih.

tujuan pendidikan yang harus dikuasai oleh murid. Karena sifatnya yang hirarkis, tujuan- tujuan itu disebut “Hirarki Tujuan Pendidikan”. Rumusan tujuan dimaksud bermula dari Tujuan Pendidikan Nasional, yakni rumusan tujuan berskala nasional yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945.

Tujuan pendidikan nasional tersebut kemudian diturunkan menjadi Tujuan Institusional, yakni rumusan tujuan yang penetapannya berdasarkan pada visi dan misi institusi penyelenggara pendidikan, sesuai dengan hasrat capaian institusi tersebut. Selanjutnya, tujuan institusional diturunkan dalam Tujuan Kurikuler, yaitu rumusan tujuan dalam bangunan kurikulum pendidikan yang digunakan sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan kependidikan. Rumusan tujuan ini menjadi gambaran tentang hasrat capaian setelah murid mengikuti program pendidikan.

Implementasi dari tujuan kurikuler dirancang dalam bentuk Tujuan Instruksional Umum yang perumusannya didasarkan pada hasrat capaian setiap mata pelajaran. Dari tujuan ini lah kemudian guru menetapkan hasrat capaian untuk materi pelajaran yang disajikan pada setiap pelaksanaan proses pembelajaran dalam bentuk rumusan Tujuan Instruksional Khusus.

Kelebihan kurikulum 1975 dibanding kurikulum-kurikulum sebelumnya tampak pada sistematika komponen yang terkandung di dalamnya. Komponen dimaksud terdiri dari:

a. Tujuan Institusional yang dirumuskan berdasar pada hasrat capaian lembaga pelaksana proses kependidikan.

b. Struktur Program Kurikulum, merupakan kerangka umum tentang program pendidikan dan pengajaran yang menjadi keharusan lembaga sekolah untuk melaksanakannya.

c. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), berisikan:

1) Tujuan Kurikuler;

2) Tujuan Instruksional Umum;

3) Pokok Bahasan;

4) Sistematika Bahan Ajar.

d. Prosedur Pengembangan Sistem instruksional, berisikan komponen:

1) Pedoman perumusan tujuan;

2) Pedoman prosedur pengembangan alat penilaian;

3) Pedoman proses belajar murid;

4) Pedoman pelaksanaan kegiatan guru;

5) Pedoman pelaksanaan program;

6) Pedoman perbaikan atau revisi.

e. Sistem Penilaian, dilakukan pada setiap berakhirnya pelaksanaan satuan pelajaran

f. Sistem Bimbingan dan Penyuluhan, dibutuhkan untuk mengimbangi ketidaksamaan kemampuan belajar di antara murid.

g. Supervisi dan Administrasi, memberikan peluang bagi guru untuk

memainkan perannya sebagai seorang supervisor dan administrator. Sistematika komponen tersebut di atas terjabarkan dalam tebaran mata

pelajaran yang menjadi muatan inti kurikulum 1975, yaitu:

a. Pendidikan Agama;

f. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA);

b. Pendidikan Moral Pancasila (PMP); g. Olahraga dan Kesehatan;

c. Bahasa Indonesia;

h. Kesenian;

d. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS);

i. Keterampilan Khusus.

e. Matematika; Sementara, untuk tingkatan SMA diberikan mata pelajaran pilihan, dimana

murid dikelompokkan ke dalam tiga rombongan belajar, yaitu: kelas IPA, kelas IPS dan kelas Bahasa.

Kehadiran kurikulum 1975 dalam bangunan sistem pendidikan nasional menjadi gambaran tentang gerak modernisasi pembangunan bidang pendidikan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan struktur materi pembelajaran di dalamnya yang tersusun secara sistematis dan sistemik. Sistemisasi materi itu dirancang berdasarkan rumusan tujuan pendidikan yang juga sistematis.

Keteraturan program, dari rumusan tujuan hingga rancangan materi pembelajaran yang bersifat mekanistis, seakan menjelaskan kiblat sistem Keteraturan program, dari rumusan tujuan hingga rancangan materi pembelajaran yang bersifat mekanistis, seakan menjelaskan kiblat sistem

Tepat di tahun kesembilan pemberlakuan kurikulum 1975, pemerintah mulai merasakan kekurangmampuan kurikulum yang ada dalam memfasilitasi kebutuhan pendidikan bangsa Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh realitas pendidikan yang belum mampu membekali murid dengan ilmu pengetahuan dan teknologi praktis –aplikatif. Salah satu sebab dari persoalan kependidikan ini adalah, padatnya materi pelajaran teoretis yang harus ditampung oleh murid selama mengikuti program pendidikan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, melalui keputusan politis sidang MPR yang dituangkan dalam GBHN 1983, pemerintah memutuskan mengganti kurikulum 1975 dengan kurikulum baru, yakni kurikulum 1984. Kehadiran kurikulum baru ini tidak hanya sekedar menggantikan peran kurikulum 1975, namun juga sekaligus melakukan perombakan terhadap sistem kurikulum tersebut.

Keberadaan kurikulum 1984 ditandai dengan karakteristik yang sekaligus membedakannya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Karakteristik dimaksud adalah:

a. Pertimbangan pentingnya pemberian pengalaman pengetahuan secara fungsional dan efektif kepada murid menjadi dasar dalam menetapkan tujuan instruksional sebagai orientasi pembelajaran.

b. Pelaksanaan proses pembelajaran menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yakni pendekatan yang memberikan keleluasaan kepada murid untuk aktif secara fisikal, mental, intelektual, dan emosional terlibat dalam proses pembelajaran guna memperoleh pengalaman pengetahuan maksimal, baik pada wilayah afektif, kognitif, maupun psikomotorik.

5) Secara etimologis, realisme berasal dari Bahasa Latin, ‘real’ yang berarti: ‘nyata’ atau ‘sebenarnya’. Dalam Bahasa Inggris kata ini berarti: ‘konkret’ atau ‘riil’. Sebagai paradigma

kpendidikan, realisme menekankan pentingnya menyiapkan bahan pelajaran yang dapat memenuhi minat murid. Tugas memilih serta mempersiapkan bahan dan materi pelajaran merupakan bagian terpenting dari peran guru, dan bukan sebagai konsekwensi dari adanya minat murid.

c. Pendekatan spiral digunakan dalam mengemas materi pelajaran dengan berdasar pada tingkat kedalaman dan keluasan materi.

d. Pembentukan konsep pengetahuan murid dilakukan melalui penanaman pengertian dan dilanjutkan dengan pemberian latihan. Untuk membantu memudahkan murid menangkap pengertian tentang pengetahuan dalam proses belajarnya, penggunaan alat peraga sebagai media pembelajaran menjadi penting.

e. Tingkat kesiapan dan kematangan mental murid menjadi pertimbangan dalam menentukan materi yang disajikan dengan menggunakan pola pikir induktif, dari mudah ke sukar, dari sederhana ke kompleks.

f. Keterampilan Proses menjadi pendekatan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Struktur mata pelajaran dalam kurikulum 1984 dipilah menjadi mata pelajaran inti dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran inti berisikan 16 mata pelajaran, yaitu:

a. Agama;

i. Fisika;

b. Pendidikan Moral Pancasila (PMP); j. Biologi;

c. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB); k. Matematika;

d. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia; l. Bahasa Inggris;

e. Geografi Indonesia; m. Kesenian;

f. Geografi Dunia;

n. Keterampilan;

g. Ekonomi; o. Pendidikan Jasmani dan Olahraga;

h. Kimia; p. Sejarah Dunia dan Nasional. Pada bagian mata pelajaran tambahan disesuaikan dengan jurusan

masing-masing. Jika dalam kurikulum 1975, program pendidikan tingkat SMA dikelompokkan ke dalam tiga jurusan: IPA, IPS dan Bahasa, maka di dalam kurikulum 1984, jurusan tersebut diganti dengan Program A dan Program B. Program A terdiri dari:

a. A 1 , menitikberatkan pada mata pelajaran Fisika;

b. A 2 , menitikberatkan pada mata pelajaran Biologi; b. A 2 , menitikberatkan pada mata pelajaran Biologi;

d. A 4 , menitikberatkan pada mata pelajaran Bahasa dan budaya. Sementara, program B belum dapat diterapkan, karena ia berisikan

aktivitas keterampilan yang memberikan peluang kepada murid untuk terjun langsung dalam lingkungan masyarakat. Kegiatan ini membutuhkan sarana dan fasilitas sekolah yang cukup besar, sehingga sangat sulit untuk dilaksanakan.

Secara teoretis, kurikulum 1984 merupakan kurikulum yang fasilitatif terhadap aktivitas murid dalam belajar. Penyediaan ruang bagi murid untuk bisa belajar secara aktif merupakan perwujudan dari hasrat membekali mereka dengan pengalaman pengetahuan secara fungsional dan efektif.

Hasrat tersebut sejalan dengan prinsip dasar yang dipahamkan oleh paradigma pendidikan progresivisme. Paradigma ini memahamkan, bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Karenanya, cara terbaik mempersiapkan para murid untuk suatu masa depan yang tidak diketahui adalah, membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi tantangan-tantangan baru dalam kehidupan (Kneller, 1971: 48).

Kurikulum 1984 yang sarat dengan prinsip-prinsip pemikiran kependidikan progresivisme 6) ini merupakan kurikulum terlama kedua masa pemberlakuannya, yakni selama sepuluh tahun, setelah kurikulum 1947 yang diberlakukan selama duabelas tahun. Setelah sepuluh tahun pemberlakuan kurikulum 1984, pemerintah baru menyadari pentingnya payung hukum, dalam bentuk undang-undang, yang secara khusus mengatur sistem pendidikan nasional, sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945.

Kesadaran tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dengan menerbitkan Undang-Undang RI nomor 2, 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Setelah lima tahun usia undang-undang ini pemerintah

6) Secara etimologis, progresivisme berasal dari Bahasa Inggris, ‘progress’ yang berarti: ‘kemajuan’ atau ‘perkembangan’. Nama lain dari aliran progresivisme adalah intrumentalisme,

karena aliran ini beranggapan, bahwa kemampuan intelgensi manusia sebagai alat untuk menjalani kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai kesejahteraan melalui pengembangan kepribadian manusia.

kemudian menetapkan perubahan atau penggantian kurikulum, karena di dalam kurikulum 1984 terdapat bagian yang belum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang RI nomor 2, 1989.

Tepat pada 1994 pemerintah memberlakukan kurikulum baru, yakni kurikulum 1994. Kurikulum ini merupakan bentuk penyempurnaan dari kurikulum 1984, namun ia memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:

a. Pelaksanaan proses pembelajaran berorientasi pada muatan atau isi pelajaran (content oriented).

b. Bersifat populis dengan memberlakukan satu sistem kurikulum inti untuk seluruh murid di Indonesia, dan memberikan kesempatan bagi daerah khusus untuk mengembangkan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakatnya.

c. Pemilihan strategi pembelajaran harus mempertimbangkan keterlibatan murid secara aktif.

d. Penyajian materi pengajaran harus memperhatikan perkembangan berpikir murid guna menghasilkan keserasian antara pemahaman akan konsep pengetahuan dengan keterampilan.

e. Pengulangan sajian materi dianggap penting untuk dilakukan guru apabila ditemukan materi pelajaran yang sulit untuk dipahami murid.

f. Tahapan pembelajaran di sekolah diatur dengan menggunakan sistem caturwulan.

Setelah tiga tahun kurikulum 1994 diberlakukan, para pelaksana dan pengelola pendidikan menemukan beberapa persoalan yang dinilai dapat mengurangi sekaligus mengganggu pelaksanaan proses pendidikan secara nasional. Persoalan ini merupakan akibat dari pendekatan content oriented yang digunakan dalam kurikulum 1994. Persoalan dimaksud adalah, kepadatan beban materi pelajaran disertai tingkat kesukaran yang tidak sebanding dengan tingkat perkembangan berpikir murid. Hal ini menjadikan proses pembelajaran sebagai beban bagi murid sehingga kurang efektif dan aplikatif untuk kehidupan.

Persoalan tersebut direspon oleh pemerintah dengan melakukan revisi terhadap kurikulum 1994. Hasil revisi dimaksud kemudian diberlakukan pada

1997 sebagai kurikulum baru. Pada dasarnya keberadaan kurikulum 1997 hanya untuk kepentingan mengatasi persoalan yang ada di dalam kurikulum 1994, dengan hanya melakukan perbaikan di beberapa bagian, dan tidak tampak adanya perombakan total, sehingga dapat dikatakan, bahwa kurikulum 1997 bukanlah bentuk kurikulum baru.

Orientasi penguasaan materi pembelajaran yang cenderung teoretis merupakan salah satu karakter dari kurikulum 1994. Walau ruang untuk belajar secara aktif bagi murid masih tersedia, namun ruang tersebut dipadati oleh program teorisasi dalam proses pembelajaran. Kepadatan beban materi pembelajaran seakan menjelaskan landasan paradigma pendidikan yang dianut oleh kurikulum 1994, yaitu idealisme. Namun sistemisasi akademis yang dirancang dalam struktur mekanik pada kurikulum ini mengisyaratkan adanya pengaruh paradigma pendidikan realisme.

Setelah sepuluh tahun usia pemberlakuan kurikulum 1994 berikut revisinya di 1997, muncul sebuah persoalan urgen yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai pengguna lulusan pendidikan formal. Persoalan dimaksud terkait dengan mutu lulusan yang dirasakan kurang memiliki kemampuan aplikatif. Kekurangmampuan tersebut tentunya berdampak pada lemahnya daya saing lulusan pendidikan formal dalam memperoleh dan mengisi peluang kerja yang tersedia. Kondisi ini senyatanya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang sudah memasuki arena persaingan dunia global.

Munculnya persoalan tersebut disebabkan oleh orientasi kurikulum yang dominan mengarah pada capaian tujuan, sehingga mengabaikan kepentingan penguasaan keterampilan aplikatif (skill). Adanya kesenjangan antara lulusan pendidikan formal dengan tuntutan kebutuhan bangsa Indonesia yang terlibat dalam pertarungan dunia global, menjadi argumen realistis bagi pemerintah untuk melakukan perubahan sekaligus penggantian kurikulum.

Pada 2004 pemerintah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan kurikulum 1994, termasuk revisinya kurikulum 1997. Keputusan ini dilanjutkan oleh pemerintah dengan menggantikan kurikulum 1994/1997 dengan kurikulum Pada 2004 pemerintah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan kurikulum 1994, termasuk revisinya kurikulum 1997. Keputusan ini dilanjutkan oleh pemerintah dengan menggantikan kurikulum 1994/1997 dengan kurikulum