Evaluasi Penggunaan Lemak Terproteksi Dalam Ransum Sapi Laktasi Terhadap Proporsi Asam Lemak Tidak Jenuh Susu Sapi Perah

Penelitian III. Evaluasi Penggunaan Lemak Terproteksi Dalam Ransum Sapi Laktasi Terhadap Proporsi Asam Lemak Tidak Jenuh Susu Sapi Perah

Konsumsi nutrien

Rerata konsumsi nutrien sapi perah percobaan dapat dilihat pada Tabel

13. Dari Tabel 13 terlihat bahwa pemberian lemak terproteksi tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering pakan, bahan organik pakan, serat kasar pakan dan ekstrak tanpa N pakan, tetapi meningkatkan konsumsi protein kasar (15,9 vs 14,1) ( P<0,05 ) dan lemak kasar (7,4 vs 2,6) ( P <0,01). Hal ini menunjukkan bahwa lemak terproteksi yang diberikan cukup dapat diterima oleh

Peningkatan konsumsi lemak kasar dan protein kasar yang signifikan pada sapi perlakuan disebabkan jumlah lemak dan protein yang diberikan ke sapi perlakuan lebih tinggi dibandingkan sapi kontrol karena adanya penambahan lemak terproteksi, walaupun jumlah konsumsi bahan kering dan bahan organik yang tidak berbeda nyata.

Tabel 13. Rerata konsumsi nutrien sapi perah yang diberi suplemen lemak terproteksi (perlakuan) dan tidak diberi suplemen lemak terproteksi (kontrol) (g/kg BB 0,75 /hari)

Konsumsi

Kontrol (g/kg BB 0,75 /hari)

Perlakuan

192,9±61 BO ns

BK ns 196±56,2

166,8±43,3 PK 15,9±4,3 a 14,1±4,4 b LK 7,4±2,4 c 2,6±0,3 d SK ns

52,7±16,5 ETN ns

89,9±23,3 93,6±26,2 Keterangan: ab Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan

perbedaan P<0,05

cd Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan P<0,01 ns non signifikan

BK= bahan kering, BO= bahan organik, PK= protein kasar, LK= lemak kasar, SK= serat kasar, ETN= ekstrak tanpa Nitrogen

Penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan dasar lemak terproteksi menjadi salah satu faktor tidak terjadinya penurunan konsumsi nutrien pada ternak, karena bau dari minyak sawit mentah yang tidak menyengat seperti minyak ikan. Penggunaan minyak ikan menurunkan konsumsi bahan kering karena berkaitan dengan palatabilitasnya pada ternak (Vafa et al ., 2012). Hasil

Hasil penelitian Kargar et al . (2010) yang menggunakan hydrogenated palm oil dan yellow grease pada sapi perah tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Penelitian suplementasi lemak menggunakan lemak hewan cair oleh Drackley et al . (1998) tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penambahan bijian yang kaya minyak tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering (Chichlowski et al ., 2005; Liu et al ., 2008; Cortes et al ., 2010). Penambahan CLA terproteksi (de Veth et al ., 2005, Suksombat dan Chullanandana, 2008), sabun asam lemak rantai panjang (Cervantes et al .,1996; Naik et al ., 2009), tallow dan bungkil kedelai (Weigel et al . (1997) tidak mempengaruhi konsumsi pakan.

Hasil penelitian yang berbeda telah dilaporkan pula oleh Lohrenz et al. (2010) yang menggunakan lemak terproteksi, Chilliard et al . (2009), Lee et al . (2011) dan Hristov et al . (2011) bahwa penggunaan minyak dan bijian kaya minyak dalam ransum menekan konsumsi pakan. Abu-Ghazaleh et al . (2002a) melaporkan bahwa penggunaan minyak ikan dan minyak kedelai dalam ransum menurunkan konsumsi pakan.

Kecernaan nutrien

Kecernaan nutrien sapi percobaan yang diberi lemak terproteksi dan tidak diberi lemak terproteksi dapat dilihat pada Tabel 14. Pemberian lemak terproteksi tidak memberikan pengaruh terhadap kecernaan nutrien pakan kecuali pada kecernaan lemak kasar (90,2% vs 81,3%) ( P <0,01). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lemak terproteksi pada pakan tidak mempengaruhi aktivitas mikrobia di dalam rumen sehingga

Tabel 14. Rerata kecernaan pakan sapi perah yang diberi ransum lemak terproteksi (perlakuan) dan tidak diberi ransum lemak terproteksi (kontrol) (%)

64,5±3,6 BO ns

BK ns 68,9±7,4

66±3,8 PK ns

74,3±11,9 LK 90,2±4 a 81,3±6 b SK ns

62,6±5,3 ETN ns

64,5±10 58,1±7 Keterangan: ab Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan (P<0,01) ns non signifikan

tidak terjadi, hal ini sesuai dengan review Scroeder et al . (2004) bahwa suplementasi lemak tidak mempengaruhi kecernaan serat dalam rumen. Lemak yang lolos dari proteksi dalam rumen kemungkinan masih mampu didegradasi dengan baik oleh mikrobia lipolitik dalam rumen sehingga tidak menempel pada serat pakan yang dapat menyebabkan kecernaan serat dalam rumen terganggu. Konsumsi lemak yang tinggi pada sapi perlakuan (Tabel 13) masih mampu dimanfaatkan dengan baik oleh ternak sehingga kecernaannya lebih tinggi pada perlakuan dibanding pada kontrol .

Pemakaian formaldehid sebagai agen proteksi mempengaruhi populasi protozoa (Tiven, 2011), tetapi penurunan populasi protozoa biasanya akan membuat proliferasi mikrobia rumen meningkat (Jouany 1996 dalam Kim et al , 2007) sehingga degradasi pakan dalam rumen tidak terpengaruh dengan

Hal ini juga sesuai dengan penelitian Cortes et al . (2010) yang menggunakan sabun kalsium dari flaxseed oil , Kalscheur et al. (1997) yang menggunakan minyak bunga matahari, juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata, serta pada penelitian Haddad dan Younis (2004) yang mengaplikasikan lemak terproteksi pada anak domba dan hanya berbeda pada kecernaan lemaknya. Penelitian Kim et al. (2007) yang menggunakan asam lemak n-6 dan n-3 juga tidak memberikan perubahan kecernaan bahan kering dengan makin meningkatnya rasio n-6:n-3, demikian juga penelitian Pantoja et al . (1996) yang menggunakan tallow dalam ransum sapi perah tidak mempengaruhi kecernaan bahan organik. Penelitian Lee et al . (2011) melaporkan bahwa penggunaan minyak kelapa sebanyak 500 g/ekor/hari dalam ransum sapi perah menyebabkan penurunan kecernaan serat kasar dan juga penelitian Mohamed et al . (1988) yang menggunakan minyak kedelai menurunkan kecernaan pakan. Doreau et al . (1991) yang menggunakan rapeseed dan tallow serta Naik et al . (2009) yang menggunakan sabun kalsium asam lemak rantai panjang tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Castro et al . (2009) yang menggunakan minyak bunga matahari dan minyak sawit terhidrogenasi pada ransum domba bahwa penggunaan minyak dalam ransum menaikkan kecernaan bahan kering,

Pengaruh suplementasi lemak terproteksi pada kecernaan nutrien bervariasi tergantung pada level suplementasi, rasio hijauan:konsentrat dan tipe hijauan dalam pakan (Naik et al ., 2009). Doreau dan Chilliard (1997) menyatakan bahwa kecernaan pakan yang ditambah lemak pada ruminansia tergantung jenis lemak dan jumlah lemak yang digunakan dalam ransum. Penambahan lemak protein terproteksi pada ternak sebaiknya diberikan pada pakan dengan kombinasi konsentrat dan hijauan terutama di negara berkembang yang hijauannya terbatas dan kebanyakan petani menggunakan tanaman limbah dengan kualitas yang rendah sebagai hijauan utamanya (Naik et al ., 2009). Peningkatan kecernaan lemak terjadi pada penelitian Sampelayo et al. , (2002a) yang menggunakan lemak terproteksi kaya akan pufa pada kambing walaupun pengaruh tersebut tergantung dari jumlah lemak yang ditambahkan selain itu juga terjadinya peningkatan ketersediaan lemak bagi ternak, dari lemak yang ditambahkan tersebut (Grummer, 1988 dalam Sampelayo et al ., 2002a). Peningkatan kecernaan lemak juga terjadi pada penelitian Cruywagen et al . (2003) yang menggunakan lemak terproteksi komersial dan pada penelitian Bhatt et al . (2011) yang menggunakan minyak kelapa, tetapi hasil penelitian Bhatt et al . (2011) penggunaan minyak kelapa tersebut menyebabkan penurunan kecernaan bahan organik.

Profil asam lemak plasma darah

Profil asam lemak plasma darah 1 jam sebelum makan dan 4 jam sesudah makan pada ternak yang mendapat suplementasi lemak terproteksi

( (Perlakuan) dan tidak mendapat suplementa asi (Kontro l) dapat di lihat pada Gambar 12 G dan 13. Dari gambar 12 terlihat bah hwa profil as sam lemak plasma dar rah pada 1 j jam sebelum m makan tid dak ada pe erbedaan an ntara sapi p perlakuan da an kontrol. T Total asam m lemak tid ak jenuh p pada sapi y yang diberi suplement tasi lemak terproteksi t 12,19 mg/m ml sedangka an pada sap pi yang tida ak diberi su plementasi l lemak terpr oteksi adala ah 11,71 m mg/ml. Untuk k data leng kapnya bisa a dilihat di Lampiran 31 L 1.

kadar asam lemak (mg/ml)

kontrol 0.000 00

asam lemak a k

Gambar 12 2. Profil asam m lemak pla asma darah 1 1 jam sebelu um makan p pada sapi yang d diberi suplem mentasi lema ak terprotek si (perlakua n) dan sapi yang

tidak diberi suplementa asi (kontrol)

Dar ri Gambar 1 3 terlihat ba ahwa profil a asam lemak k plasma dar rah pada 4 j jam sesuda ah makan j uga tidak a ada perbed aan yang s signifikan a antara sapi perlakuan d p dan kontrol. Kemamp uan homeo ostasis dari ternak men nyebabkan kadar asam k m lemak plas sma darah t tidak ada pe erbedaan ya ang nyata a antara sapi p perlakuan da an sapi kont trol.

12.0 000 )

10.0 /ml 000 (mg 8.0 000

k 6.0 000 ma

le 4.0 000 m

perla akuan sa 2.0 000

kontr a rol

d 0.0 000

8 :0 0 :0 :0 2 :0 2 :0 4 :0 6 :1 6 8 :0 ka ;1 C 1 1 1 1 1 1 1 1 8 :2 8 1 8 :3 0 :0 0 :1 0 :5 2 :0 2 :1 :6 2 C C C C C C C C C C 1 C 2 C 2 C 2 2 C C 2 C 2

asa am lemak

Gambar 13 3. Profil asam m lemak pla asma darah 4 4 jam sesud ah makan p pada sapi

yang d diberi suplem mentasi lema ak terprotek si (perlakua n) dan sapi yang tidak diberi suplementa asi (kontrol)

Tota l asam lema ak tidak jenu uh pada sap pi yang dibe eri suplemen ntasi lemak t terproteksi 12,48 mg/m ml sedangka an pada sap pi yang tida ak diberi su plementasi lemak terp l proteksi ada alah 12,72 2 mg/ml. A Asam lema ak yang m mengalami

kecenderung k gan berbed a adalah as sam lemak C 8:0 ,C 10:0 , C C 14:0 ,C 16:1, semua C s 20

d dan semua C 22 , sedang gkan asam lemak C 12:0 ,C 16:0 dan s semua C 18 mempunyai m k kadar yang sama. Untu k data lengk kapnya bisa dilihat di La ampiran 32. Hasil yang berbeda ditu b unjukkan da ari penelitian n Febel et al l. (2002) ya ng melapork kan bahwa s suplementas si sabun ka lsium minya ak sawit pad da domba m menaikkan ka adar asam p palmitat plas sma darah d dan penelitia an Lake et a al . (2007) ya ang melapork kan bahwa plasma dara p ah sapi yan g diberi sup plemen biji s safflower me empunyai ka adar asam l lemak oleat dan linoleat t lebih besar r dibandingka an kontrol.

P Produksi da an kompos isi susu

Prod duksi dan ko mposisi sus u sapi perla kuan dan sa api kontrol da apat dilihat pada Tabel p 15.

77

Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa pemberian lemak terproteksi tidak meningkatkan produksi susu sapi percobaan kg per ekor perharinya, tetapi meningkatkan secara nyata (P<0,05 ) produksi susu pada 4% fat corrected milk (FCM). Produksi susu ini juga lebih rendah dibandingkan pada saat sebelum penelitian karena pada saat pengambilan data produksi, bulan laktasinya sudah semakin lama, produksi susu sudah mengalami penurunan. Produksi susu sangat ditentukan dari laju sel sekretori mengubah nutrien dari darah menjadi komponen susu, dan komposisi susu sangat dipengaruhi oleh produksi susu dalam pemerahan. Faktor nutrisi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi produksi dan komposisi susu (Bath et al ., 1985; Soeharsono, 2008). Tingkat produksi susu sangat berhubungan erat dengan ketersediaan prekursor pembentuk susu dan energi (Owen, 1987). Energi yang lebih banyak tersedia karena adanya penambahan lemak terproteksi (Lohrenz et al ., 2010) akan menyebabkan produksinya lebih tinggi.

Tabel 15. Produksi dan komposisi susu sapi yang diberi suplemen lemak terproteksi (perlakuan) dan tidak diberi suplemen lemak terproteksi

(kontrol)

Perlakuan Kontrol Produksi (kg/ekor/hari) ns

Produksi 4% FCM (kg/ekor/hari)

9,4±2,1 a 8,0±0,8 b

BK Susu (%) ns

Laktosa susu (%) ns

Lemak susu (%) ns

Produksi lemak susu (g/ekor/hari)

353± 86,6 a 297±31,2 b

Protein susu (g/100 ml) ns

Keterangan: ab Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan P<0,05 ns non signifikan

Pada penelitian ini, produksi susu terlihat nyata peningkatannya ketika dikonversikan ke produksi 4% FCM walaupun peningkatan kadar lemak dan produksi susunya tidak signifikan secara statistik. Hal ini kemungkinan karena sudah adanya kecenderungan produksi susu dan kadar lemak yang lebih tinggi pada sapi yang mendapat suplementasi lemak terproteksi sehingga ketika produksi dikonversikan ke 4% FCM secara statistik terlihat nyata.

Konsumsi lemak serta kecernaan lemak yang lebih tinggi pada sapi yang diberi suplementasi lemak terproteksi (Tabel 13 dan 14) ternyata tidak menyebabkan produksi susu pada sapi yang mendapat suplementasi lemak terproteksi lebih tinggi dibanding sapi yang tidak mendapat suplementasi lemak terproteksi. Dengan lebih tingginya lemak yang dikonsumsi pada sapi yang diberi suplementasi lemak terproteksi, tentunya energi yang tersedia untuk proses sintesis susu lebih tinggi karena lemak mempunyai densitas energi yang lebih tinggi dibanding karbohidrat dan protein, tetapi dari hasil penelitian ini peningkatan konsumsi lemak tidak menyebabkan peningkatan produksi susu.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian lain yang terjadi peningkatan produksi susu pada sapi yang mendapat suplementasi lemak terproteksi antara lain pada penelitian penelitian Schroeder et al . (2004), penelitian Leonardi et al . (2005), Purushothaman et al . (2008), Zachut et al . (2010), Lohrenz et al . (2010) dan Husveth et al . (2010). Hasil penelitian Pantoja et al . (1996) melaporkan bahwa pemberian tallow dalam ransum meningkatkan produksi susu walaupun produksi untuk 4% FCM tidak terpengaruh dengan adanya panambahan lemak tersebut. Penelitian suplementasi lemak dan protein terproteksi pada kerbau Murrah menaikkan produksi susu sebesar 19% dibanding yang tanpa suplementasi (Shelke et al ., 2012).

Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Bailoni et al . (2004), Chichlowski et al . (2005), Oguz et al . (2006), Liu et al . (2008), Cortes et al . (2010) dan Hristov et al . (2011), yang menggunakan bijian kaya minyak sebagai sumber lemaknya dalam pakan, Vafa et al . (2012) yang menggunakan minyak ikan dan minyak canola dalam pakan, Drackley et al . (1998) yang menggunakan lemak hewan dan de Veth et al . (2005) yang menggunakan CLA terproteksi, bahwa penambahan lemak dalam pakan tidak mempengaruhi produksi susu.

Hasil yang berbeda ditunjukkan dari hasil penelitian Lee et al . (2011) yang menggunakan minyak kelapa, penelitian Kalscheur et al . (1997) yang menggunakan minyak biji bunga matahari, penelitian Gonthler et al . (2005), dan Chilliard et al . (2009) yang menggunakan flaxseed dalam penelitiannya, penambahan lemak menyebabkan penurunan produksi susu.

Dari Tabel 15 terlihat bahwa kadar lemak susu pada sapi perlakuan dan kontrol masih dalam kisaran yang normal dan tidak berbeda nyata. Suplementasi lemak terproteksi pada penelitian ini tidak menyebabkan penurunan kadar lemak susu walaupun terjadi peningkatan produksi susu yang signifikan, hal ini mungkin dikarenakan prekursor untuk sintesis lemak susu juga lebih tinggi dibanding sapi yang tidak mendapat suplementasi lemak protein terproteksi sehingga peningkatan produksi susu tidak menyebabkan penurunan kadar lemak seperti yang biasa terjadi. Tidak adanya perbedaan kadar lemak susu pada penelitian ini mungkin juga dikarenakan karena tidak adanya perbedaan kadar asam lemak dalam plasma darah (Gambar 13), sehingga sintesis lemak dalam susu menjadi tidak berbeda nyata.

Kadar lemak susu sapi berkisar antara 3,3 – 4,7%. Penambahan lemak dalam pakan biasanya menyebabkan peningkatan pada produksi susu dan

Lemak susu merupakan faktor penting untuk menentukan harga susu sapi. Lemak susu juga merupakan komponen susu yang mempunyai variasi paling besar (Soeharsono, 2008). Variasi berasal dari beberapa faktor yaitu bangsa, tingkat laktasi, musim, status nutrisi, tipe pakan, kesehatan dan umur ternak serta interval pemerahan (Fox dan McSweeney, 1998). Asam lemak dalam susu berasal dari dua sumber yaitu sintesis

de novo dalam kelenjar mamae dan dari plasma yang berasal dari pakan (MacGibbon dan Taylor, 2006). Prekursor untuk sintesis lemak susu adalah asam lemak yang berasal dari fermentasi rumen, mobilisasi lemak tubuh dan lemak pakan. Peningkatan ketersediaan asam lemak dalam pakan akan meningkatkan laju sintesis asam lemak susu dengan catatan energi juga tercukupi. Asam lemak pakan menyediakan setengah dari asam lemak yang ditemukan dalam susu (Bath et al , 1985).

Kadar lemak susu tidak mengalami perbedaan antara sapi perlakuan dan kontrol, hal ini sesuai dengan penelitian AbuGhazaleh et al . (2002a), Kitessa et al. (2004) dan Pantoja et al . (1996), tetapi penelitian Rodriquez et al . (1997), penelitian Kalscheur et al . (1997), penelitian Zachut et al . (2010) yang menggunakan asam lemak C 18:3 , penelitian Troegeler-Meynadier et al . (2007)

yang menggunakan asam lemak dari ekstraksi kedelai, penelitian Mohamed et al . (1988) yang menambahkan minyak bijian pada pakan sapi perah, penelitian Vafa et al . (2012) yang menggunakan minyak ikan dan minyak kanola, penelitian Husveth et al . (2010) dan penelitian Suksombat dan Chullanandana (2008) yang menggunakan CLA terproteksi, menyebabkan penurunan kadar lemak pada

Produksi lemak susu pada sapi perlakuan (0,349 kg/ekor/hari) memberikan hasil yang lebih tinggi ( P<0,05 ) dibanding dengan sapi kontrol (0,291 kg/ekor/hari). Walaupun sapi perlakuan mempunyai tingkat produksi susu dan kadar lemak susu yang tidak berbeda nyata dengan sapi kontrol, ketika dilakukan perhitungan produksi lemak susu ternyata sapi perlakuan mempunyai produksi susu yang secara nyata lebih tinggi dibanding sapi kontrol. Hal ini kemungkinan karena adanya kecenderungan produksi susu dan kadar lemak susu yang lebih tinggi pada sapi perlakuan dibandingkan sapi kontrol. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Christensen et al . (1994), Grum et al . (1996), Mattos dan Palmquist (1974) dan Rodriquez et al . (1997). Penelitian Leonardi et al. (2005) yang menggunakan minyak jagung dalam ransum melaporkan adanya peningkatan produksi lemak susu dengan adanya penambahan minyak tersebut, tetapi pada penelitian Vafa et al . (2012) melaporkan hal yang berbeda bahwa suplementasi minyak menurunkan produksi lemak susu. Penelitian dari Cervantes et al . (1996) melaporkan bahwa pemberian sabun kalsium asam lemak tidak mempengaruhi produksi lemak susu.

Bahan kering (BK) susu tidak berbeda nyata antara susu dari sapi perlakuan (10,97%) dan susu dari sapi kontrol (10,93%). Bahan kering susu merupakan cerminan dari total kandungan lemak, laktosa, senyawa mengandung N, mineral dan zat lainnya misalnya vitamin. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada kadar lemak, kadar laktosa, BJ dan protein susu menyebabkan bahan kering susu tidak ada perbedaan yang nyata pula. Kandungan bahan kering susu

Kadar laktosa dari kedua kelompok sapi percobaan tidak ada perbedaan yang nyata. Kadar laktosa susu sapi perlakuan 3,60% sedangkan pada susu sapi kontrol 3,66%. Laktosa susu pada kedua kelompok sapi percobaan termasuk rendah karena kadar laktosa susu biasanya berada pada kisaran 4,4 – 5,2%. Laktosa merupakan gula yang hanya terdapat didalam susu sehingga disebut gula susu dan biasanya 50 – 52% dari total bahan kering pada susu skim. Perbedaan bangsa sapi perah, umur, tingkat laktasi, ketersediaan protein dan energi dapat menyebabkan perbedaan pada kadar laktosa susu. Kadar laktosa akan menurun secara progresif selama laktasi. Mastitis bisa menyebabkan kenaikan level NaCl dalam susu dan akan menekan sekresi laktosa (Fox dan McSweeney, 1998). Infus propionat intravena akan meningkatkan kadar laktosa, sedangkan penambahan lemak dalam ransum terutama asam lemak jenuh rantai panjang akan menurunkan kadar laktosa susu (Kaufmann dan Hagemeister, 1987). Penambahan lemak dalam penelitian ini tidak menurunkan kadar laktosa susu sapi percobaan. Hal ini mungkin dikarenakan lemak yang ditambahkan lebih banyak digunakan untuk sintesis lemak susu dan energi untuk produksi susu, gliserol yang merupakan substrat untuk sintesis glukosa dalam glukoneogenesis (Hames dan Hooper, 2005) lebih dimanfaatkan untuk energi, tidak digunakan sebagai prekursor laktosa susu, sehingga tidak terdapat

Kadar protein dari kedua kelompok sapi percobaan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Suplementasi lemak terproteksi tidak menyebabkan peningkatan kadar protein susu, mungkin dikarenakan laju sintesis yang sama antara kedua kelompok sapi percobaan karena menurut Bath et al . (1985) setiap sapi menghasilkan protein susu yang sama. Protein susu disintesis dari asam amino pakan, dengan energi dari ATP, yang diambil dari pool asam amino. Asam amino esensial akan diambil dari darah, melebihi yang ada di dalam susu, kelebihan asam amino ini akan digunakan untuk energi dan sintesis asam amino non esensial. Sintesis protein susu tidak akan optimal bila energi tidak tercukupi (Bath et al ., 1985). Tidak adanya perubahan kadar protein susu dilaporkan dari penelitian Pantoja et al . (1996) yang menggunakan tallow , penelitian Sampelayo et al ., (2002b) yang menggunakan sabun kalsium asam lemak pada domba, penelitian de Veth et al . (2005) yang menggunakan CLA terproteksi yang dimasukkan dalam rumen sapi laktasi, penelitian Kitessa et al . (2004) yang menggunakan minyak tuna terproteksi dan penelitian Chouinard et al . (1999) yang menggunakan CLA yang dimasukkan ke dalam abomasum sapi laktasi. Hasil yang berbeda dilaporkan dari penelitian Cervantes et al . (1996) dan Lohrenz et al . (2010) yang menggunakan lemak terproteksi, penelitian Grum et al . (1996) dan McNamara et al . (2003) yang mengggunakan asam lemak komersial, penelitian Petit et al . (2002) yang menggunakan minyak ikan, serta

Berat jenis (BJ) susu sapi tidak ada perbedaan antara sapi perlakuan (1,027) dan sapi kontrol (1,027). Tidak adanya perbedaan yang nyata pada kadar lemak, bahan kering dan kadar air dari kedua kelompok sapi percobaan menyebabkan berat jenis susu dari kedua kelompok sapi percobaan tidak ada perbedaan. Variasi individu berat jenis susu berkisar 1,0135 – 1,0397. Fluktuasi berat jenis ditentukan oleh fluktuasi kadar air, kadar lemak dan kadar bahan kering tanpa lemak. Variasi lebih banyak ditentukan oleh kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak (Soeharsono, 2008). Berat jenis susu tersebut masih dalam kisaran yang normal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sampelayo et al ., (2002b).

Profil asam lemak susu

Profil asam lemak susu sapi perlakuan dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 14 terlihat bahwa pada sapi-sapi yang mendapat suplemen lemak terproteksi cenderung mengalami peningkatan asam lemak tidak jenuh pada susu dibanding sapi-sapi yang tidak mendapat suplemen lemak terproteksi. Perubahan kadar asam lemak tidak berbeda nyata kecuali pada asam lemak kaprat, asam lemak laurat dan asam lemak oleat ( P<0,05 ). Dengan adanya penambahan lemak terproteksi dalam ransum, kadar asam lemak kaprat mengalami penurunan sebesar 26,16%, asam laurat menurun 29,2% dan asam lemak oleat mengalami kenaikan sebesar 27,1%. Asam lemak tidak jenuh lainnya cenderung mengalami kenaikan, yaitu asam lemak palmitoleat (16,9%), linoleat (13,1%), linolenat (28,5%), arakidonat (18,8%), eurat (12,9%) dan

g/ml)

as 10.0 Perlakuan

dar 3.7 5.0 3.5 3 3.3 4.2 2.9 3.6 6 2.5 a Kontrol 0.9 0.7 2.2 5 2.8 k

asa am lemak

Gambar r 14. Profil a asam lemak susu sapi ya ang diberi su uplementasi lemak terproteks si (Perlakuan n) dan tidak diberi suple ementasi lemak te erproteksi (K Kontrol)

Para a peneliti tel lah mengide entifikasi ad da hampir 4 400 asam le emak yang

d dikandung dalam lema ak susu, te etapi hanya a sekitar 1 5 asam le mak yang keberadaan k ya dengan kadar diat tas 1% d dan disebut asam lem mak mayor ( (MacGibbon n dan Taylor r, 2006). Fa aktor yang m mempengaru uhi variasi ka adar asam lemak susu l antara lain pakan, mus im, umur, tin ngkat laktas i dan hari pe engamatan ( (Fuente et a al ., 2009). Ka adar asam l emak susu secara indiv vidual dipeng garuhi oleh pakan dan p ternak, den ngan tingka at yang berb beda-beda. Kadar indiv vidu asam lemak-asam l m lemak

novo de n berkor relasi satu s sama lain da an berkorela asi dengan konsentrasi k total dari as sam lemak d de novo . Ha al ini menun njukkan bahw wa sebuah persamaan p prediksi da pat menjela askan banya aknya varias si dalam me emproduksi asam lemak a k tersebut (M Moate et al ., 2007). Prop porsi asam lemak tidak k jenuh sus su (oleat, li inoleat, lino olenat) dari penelitian M p Madison-And erson et al . (1997) men ngalami pen ingkatan se ecara nyata

Pada sapi perlakuan mengalami total kenaikan asam lemak tidak jenuh sebesar 11,9%, lebih rendah dibanding hasil penelitian Ashes et al . (1992) yang mengalami peningkatan 54% ketika menggunakan biji canola dalam ransum sapi perah. Hasil ini juga lebih rendah dibanding hasil penelitian Shelke et al . (2012) yang menggunakan lemak dan protein terproteksi pada kerbau, asam lemak tidak jenuh mengalami kenaikan sebesar 36% dan mengalami penurunan asam lemak jenuh sebesar 19%.

Kenaikan monounsaturated fatty acid (MUFA) pada susu sapi perah yang mendapat suplementasi lemak terproteksi sebanyak 20,9%. Diprediksi sekitar 52% dari total asam lemak oleat pada susu berasal dari desaturasi asam stearat di dalam glandula mamae (enjalbert et al . dalam Bailoni et al ., 2004). Dari penelitian Soyeurt et al . (2008) melaporkan bahwa persen MUFA berkaitan dengan aktivitas Δ-9 desaturase. Tingginya kadar asam lemak palmitat dan stearat pada sapi-sapi yang mendapat ransum lemak terproteksi dikarenakan adanya suplementasi minyak pada pakannya, karena untuk sintesis palmitat setengahnya berasal dari pakan sedangkan untuk stearat hampir semuanya berasal dari pakan yang ditransfer ke glandula mamae melalui darah dan limfe (Walstra dan Jennes dalam Lin et al ., 1996). MacGibbon dan Taylor (2006)

de novo hampir 45% (b/b) dari total asam lemak dalam lemak susu. Terjadi penurunan total dari asam lemak C 10 –C 14 sebesar 22,28% pada sapi perlakuan dibandingkan kontrol. Penurunan terbesar dari ketiga asam lemak tersebut terjadi pada asam lemak laurat/C 12 (29,2%) diikuti kaprat/C 10 (26,2%) dan miristat/C 14 (19,4%). Pada penelitian Duske et al. (2009) melaporkan adanya penurunan pada asam lemak C 14 , penelitian Wrenn et al . (1975) melaporkan adanya penurunan asam lemak miristat (C 14 ) dan asam lemak palmitat (C 16 ) dan peningkatan asam lemak linoleat (C 18:2 ) hingga 20%, demikian juga Weigel et al . (1997) melaporkan bahwa penggunaan tallow dalam ransum menurunkan

persentase asam lemak rantai pendek dan medium (C 6 –C 16 ) dan meningkatkan persentase asam lemak rantai panjang (C 18:0 dan C 18:1 ). Penurunan proporsi asam lemak medium ini menjadi nilai positif (Glasser et al ., 2008) semenjak dinyatakan bahwa asam lemak jenuh rantai menengah diindikasikan sebagai asam lemak utama yang paling responsif terhadap peningkatan kolesterol ( low density lipoprotein / LDL) (Antongiovanni et al ., 2003) dan menyebabkan peningkatan resiko penyakit jantung koroner (Ashes et al ., 1997).

Penurunan asam lemak rantai medium dan peningkatan asam lemak tidak jenuh rantai panjang terjadi pada penelitian, Chichlowski et al . (2005), Leonardi et al . (2005), Gonthler et al . (2005), Liu et al. (2008), Chilliard et al . (2009), Hristov et al . (2011) dan Vafa et al . (2012). Sintesis asam lemak rantai pendek dan asam lemak rantai menengah di glandula mamae berasal dari asam

Penurunan proporsi asam lemak rantai yang lebih pendek dan peningkatan proporsi asam lemak rantai yang lebih panjang menunjukkan terjadi penghambatan sintesis

de novo asam lemak di dalam glandula mamae karena meningkatnya asam lemak rantai panjang yang berasal dari pakan (Leonardi et al ., 2005, Lake et al ., 2007; Liu et al ., 2008) dan menghambat sintesis asetil KoA karboksilase (Palmquist dan Beaulieu, 1993 dalam Castro et al , 2009). Perubahan komposisi asam lemak susu mengindikasikan adanya efek primer sintesis asam lemak

de novo dan proses desaturasi (Chouinard et al ., 1999). Dari berbagai penelitian dengan hasil yang bervariasi dapat ditarik garis besarnya bahwa modifikasi komposisi asam lemak susu tergantung pada jenis lemak yang disuplementasikan.