HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN UMUM INSTALASI GIZI RSUP.DR.SARDJITO Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito dipimpin oleh seorang Kepala Instalasi Gizi yang bertanggung jawab kepada Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia. Tugas pokok dan fungsi instalasi ialah menyediakan sumber daya,
fasilitas, dan kompetensi untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan pelayanan, pendidikan dan penelitian gizi di RSUP. Dr. Sardjito (S.K Direktur Utama RS. Dr. Sardjito No.OT.01.01.5.1.2341.2004)
Hubungan tata kerja Instalasi Gizi dapat dilihat pada struktur organisasi yang ada pada lampiran. Dalam menjalankan kegiatan Instalasi Gizi mempunyai visi ”Menjadi Instalasi Gizi unggulan dalam bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian di kawasan Indonesia tahun 2010, yang bertumpu pada kemandirian”.
Sedangkan misinya adalah : 1. Memberikan pelayanan gizi yang paripurna, bermutu dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, 2. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan di bidang gizi untuk menghasilkan SDM yang berkualitas, 3. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan gizi terapan yang berwawasan global, 4. Meningkatkan kesejahteraan karyawan, 5. Meningkatkan pendapatan untuk menunjang kemandirian Instalasi Gizi.
Untuk dapat mewujudkan Misi dari pelayanan tersebut, maka Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito mempunyai 3 satuan kerja penunjang yang disebut pelayanan setingkat dibawah Kepala Instalasi Gizi yaitu : Pelayanan Administrasi Logistik, Pelayanan Produksi dan Distribusi, serta Pelayanan Gizi dan Pendidikan Latihan Penelitian Pengembangan
Pelayanan produksi dan distribusi adalah kegiatan penyelenggaraan makan yang merupakan bagian dari kegiatan Instalasi Gizi, termasuk di dalamnya adalah rangkaian dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen yang dilayani. Sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan oleh RSUP. Dr. Sardjito dilakukan secara penuh atau disebut swakelola.
Pada penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr Sardjito, terdapat 6 jenis dapur, yaitu dapur persiapan, dapur snack, dapur pasien, Pada penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr Sardjito, terdapat 6 jenis dapur, yaitu dapur persiapan, dapur snack, dapur pasien,
Dalam menjalankan kegiatan di Instalasi Gizi melibatkan 158 orang pegawai untuk melancarkan kegiatan operasionalnya, ketenagaan ini terdiri dari 78 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 80 orang pegawai swadana/kontrak. Perincian ketenagaan di Instalasi Gizi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 7. Jumlah Tenaga Berdasarkan Jenis Tenaga Dan Status Kepegawaian Di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito. No Jenis Tenaga
Status Kepegawaian
Jumlah
PNS Honorer/kontrak
(orang)
1 Ahli Gizi/Penata Gizi
4 Pelaksana Gudang
3- 3 Kebersihan TOTAL 158 Sumber : Data Sekunder Instalasi Gizi, 2004
6 Pelaksana
B. GAMBARAN KEGIATAN KESELAMATAN KESEHATAN KERJA(K3) INSTALASI GIZI RSUP.DR.SARDJITO
Gugus Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito bertanggung jawab penuh kepada kepala Instalasi Gizi, dalam pelaksanaannya terdapat penanggung jawab teknis, sekretaris, regu kebakaran dan bencana serta regu proteksi. Pelatihan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) terakhir dilaksanakan pada tahun 2001 yang dilaksanakan oleh panitia keselamatan dan kesehatan rumah sakit (PK3RS).
Uraian tugas gugus Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito adalah sebagai berikut. Tabel 8. Uraian Tugas Gugus Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito Penanggung
1. Memberikan arah kebijakan K3 pada gugusnya jawab umum
2. Mengkoordinasikan pelaksanaan program-program K3 pada anggota gugus dan mengevaluasi segenap program yang telah dilaksanakan dengan berbagai aspek positif dan negatifnya dalam operasional
3. Melakukan koordinasi dan melaporkan secara berkala semua kegiatan K3 kepada ketua PK3RS, berkonsultasi dengan Bidang I,II, dan III mengenai masalah penerapan K3 di tempat kerja
Penanggung
1. Mempelajari seluruh dokumen tentang K3 yang jawab tenis berada di instalasinya gugus K3
2. Menjalankan program-program K3 di instalasinya yang meliputi penggunaan aspek-aspek peralatan, perlengkapan, bahan, lingkungan, metode kerja dan tata cara kerja yang sesuai dengan standar K3
3. memimpin anggota gugus dan sebagai inspirator dalam program-program PK3RS di instalasinya
4. Membuat laporan semua pelaksanaan program dan kegiatan K3 kepada Kepala Instalasi
5. Bertanggung jawab atas keberadaan dan penggunaan segala fasilitas K3 yang ada di unit kerjanya
1. melakukan kegiatan administrasi gugus yang gugus
Sekretaris
berkaitan dengan K3
2. menggunakan dan merawat seluruh dokumen tentang K3 yang berada di instalasinya
3. menyusun kerangka laporan pelaksanaan program dan kegiatan K3 termasuk di dalamnya laporan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
4. Mendokumentasikan data kesehatan seluruh
pekerja di instalasinya
Regu
1. menginventarisasi, mengawasi, mengamankan dan kebakaran
mengecek alat-alat yang berkaitan dengan pencegahan dan penaggulangan kebakaran dan bencana
2. Mengelola alat pemadam kebakaran yang ada, mengusulkan pengadaan, penambahan maupun perbaikan
3. Mengawasi perilaku dan pekerjaan sehari-hari petugas dalam penggunaan alat-alat/bahan yang dapat mencetus terjadinya kebakaran
4. mensosialisasikan protap dan SOP yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kejadian kebakaran dan bencana
5. Berkoordinasi dengan gugus lain dalam hal pengawasan, pencegahan dan penaggulangan kejadian kebakaran/bencana untuk menagkal meluasnya kejadian kebakaran dan bencana
6. Bertanggung jawab kepada penganggung jawab umum gugus K3 dalam segala tugasnya dan memberikan laporan kegiatannya
Regu proteksi
1. Melakukan penyediaan dan penyaluran sarana P3K
2. Menginventarisasi, mengawasi, mengamankan dan mengecek pada alat-alat pelindung diri yang berkaitan dengan pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
3. Menyiapkan sarana dan alat pelindung diri untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja
4. Melakukan pemantauan tentang infeksi nosokomial dan cara penganggulangannya yang dilakukan secara periodik
5. Melakukan pemantauan kualitas lingkungan kerja yang berhubungan dengan K3 (seperti kebisingan dan tegangan panas) dan cara penanggulangannya yang dilakukan secara periodik.
6. Melakukan pemantauan kesehatan pekerja dengan pemeriksaan kesehatan secara periodik
7. mencatat dan melaporkan semua kegiatan yang dilaksanakan kepada penganggungjawab gugus K3
8. mencatat dan melaporkan kepada sekretaris gugus sekali segala insiden kecelakaan kerja secara rinci
9. Mensosialisasikan protap dan SOP yang berkaitan dengan pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Sumber : Data Sekunder Instalasi Gizi, 2004
C. GAMBARAN UMUM RESPONDEN Pada tabel 7 dari 47 petugas pemasak maka yang termasuk dalam penelitian ini adalah petugas yang berhubungan langsung dengan persiapan hingga pengolahan makanan yaitu sebanyak 33 responden dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 9. Jumlah Tenaga Kerja Pengolah Makanan No
Dapur Pengolahan
Jumlah Tenaga Kerja
1 Dapur Snack
2 Dapur Cair
3 Dapur Pasien
4 Dapur Petugas Jaga
5 Dapur VIP
Total 33
Dari 33 orang responden 2 orang dinyatakan keluar dari penelitian yaitu dari dapur snack disebabkan karena 1 orang pensiun dan 1 orang cuti kerja. Jadi total jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 31 orang dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Umur Gambaran umur penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito sebagian besar berumur diatas 40 tahun yaitu 83,9% dan yang kurang dari 40 tahun sebesar 16,1%. Umur penjamah makanan yang termuda berumur 37 tahun dan yang tertua 53 tahun (lampiran 12 data dasar keselamatan kerja). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Umur Penjamah Makanan Kategori Umur
Jumlah N%
2. Pendidikan Gambaran umum pendidikan penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito adalah sebagian besar berpendidikan akhir SMA yaitu 74,2%, dimana pendidikan penjamah makanan yang paling tinggi adalah S1 yaitu 6,5% dan yang terendah adalah SD 3,2 % dan sisanya berpendidikan akhir SMP yaitu 16,1%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Pendidikan Penjamah Makanan Kategori Pendidikan
Jumlah n%
Tidak Sekolah
SD 1 3.2 SMP 5 16.1 SMA 23 74.2 D1 0 0 D3 0 0 S1 2 6.5
3. Pelatihan Keselamatan Kerja Kegiatan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja pada penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito didapatkan bahwa sebagain besar penjamah makanan belum mendapatkan pelatihan yaitu sebesar 67,7% dan yang sudah pernah mendapatkan pelatihan sebesar 32,3 %. Hal ini lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12. Pelatihan Keselamatan Kerja Penjamah Makanan Kategori Pelatihan
Jumlah N% Pernah 10 32.3 Tidak Pernah
Total 31 100
4. Jenis Kelamin Hasil gambaran umum berdasarkan jenis kelamin pada penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito didapatkan hasil bahwa 64,5% penjamah makanan berjenis kelamin perempuan dan 35,5% berjenis kelamin laki-laki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Jenis Kelamin Penjamah Makanan Kategori Jenis Kelamin
Jumlah N%
Laki-Laki 11 35.5 Perempuan 20 64.5
Total 31 100
5. Lama Kerja Pengalaman kerja yang dimiliki oleh penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito keseluruhannya memiliki lama kerja diatas
8 tahun (100%), dan tidak ada penjamah yang kurang masa kerjanya dari
8 tahun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 12 data dasar keselamatan kerja .
D. STRES KERJA Pengukuran stres kerja tenaga penjamah makanan dilakukan dengan cara pengisian kuisioner yang telah dibuat oleh peneliti. Pengukuran stres kerja ini dilakukan ketika peneliti telah selesai melakukan pengukuran keselamatan kerja pada masing-masing responden. Hasil pengukuran stres kerja tenaga penjamah makanan adalah sebagai gambaran stres kerja yang dialami penjamah makanan di tempat kerja Instalasi Gizi. Berdasarkan rekapan kuesioner yang telah diisi, didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 14. Gambaran Stres Kerja Penjamah Makanan Kategori Penilaian
Jumlah n% Stres Kerja Ringan
Stres Kerja Sedang
31 100
Stres Kerja Tinggi
Total 31 100 Dari tabel 14 dapat diketahui bahwa tingkat stres para penjamah makanan di Instalasi Gizi keseluruhannya berada pada kategori stres sedang (100%) hal ini disebabkan karena keragu-raguan responden untuk menjawab pertanyaan yang menurut Notoatmojo (2002) bisa dikarenakan penggunaan bahasa dalam kuesioner tidak jelas sehingga membuat responden tidak memahami kuesioner yang diberikan, selain itu juga jawaban-jawaban yang diberikan sangat dipengaruhi oleh harapan-harapan pribadi, latar belakang sosial dan pendidikan sehingga hasil yang diberikan bersifat subjektif oleh karena itu untuk mengantisipasi dilakukan cara pendampingan sekaligus bertanya langsung kepada responden. Keadaan stres kerja sedang yang dialami penjamah makanan dapat juga berhubungan dengan umur dan lama kerja, dimana umur responden keseluruhannya diatas 30 tahun dengan masa kerja lebih dari 8 tahun, dinyatakan oleh Selye (1976) bahwa pada umur diatas 30 tahun seorang pekerja akan mendapatkan pengalaman hidup yang lebih banyak, dengan bertambahnya pengalaman hidup maka akan berpengaruh pada keadaan stresnya, individu akan mudah mengendalikan tekanan dalam hidupnya yang dipelajarinya dari pengalaman, hal ini sejalan dengan penelitian Singarimbun (2004) yang mengatakan bahwa bobot stres yang dialami oleh seseorang paling besar disebabkan karena umur, kejadian ini juga dapat dihubungkan dengan pendidikan penjamah makanan yang
cukup tinggi dimana sebagian besar penjamah makanan berpendidikan akhir SMA 74,2% dan SMP 16,1%, menurut McFarlene dalam Soewandi (1987) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang lebih mudah stres, hal ini dikarenakan dengan semakin tingginya pendidikan seseorang maka daya pikir dan inisiatif serta menentukan cara-cara yang efisien dalam menyelesaikan pekerjaannya lebih baik. Kurangnya pelatihan juga menurut teori prespektif umum stres dapat menyebabkan stres karena pelatihan merupakan salah satu cara untuk pencegahan stres yang berasal dari manusia berinteraksi dengan lingkungan kerjanya. Selain itu juga dikarenakan penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUP. Dr. Sardjito sebagain besar adalah perempuan maka kemungkinan kejadian stres lebih besar hal ini dikarenakan menurut Kasandrawati (2005) yang menyatakan bahwa wanita karir adalah kelompok orang yang mempunyai kapasitas stres kerja lebih tinggi, hal ini disebabkan karena wanita memiliki beban baik di rumah maupun di kantor, beban yang ada akan berpengaruh pada konsentrasi dalam pekerjaan dan keadaan fisik pekerja yang nantinya akan mempengaruhi produktifitas kerja yang berakibat pada kejadian kecelakaan di tempat kerja.
Dari hasil observasi kejadian stres yang ada pada penjamah makanan di Instalasi Gizi disebabkan karena ketidakpuasan penjamah dengan kondisi kerja yang ada hal ini didapatkan dari hasil observasi dan wawancara dimana salah seorang responden menyatakan merasakan stres karena kondisi lingkungan yang kurang bersih yang menyebabkan mereka harus selalu bekerja dengan perlahan untuk menghindari terpeleset dan terjatuh padahal mereka dituntut untuk bekerja secara cepat dalam waktu yang singkat. Selain itu juga keadaan stres kerja ini juga dapat dikaitkan dengan beban kerja yang ada, dari hasil perhitungan beban kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja secara ekonomi didapatkan hasil, jumlah tenaga kerja yang ada di Instalasi Gizi belum memadai sebagai contoh adalah tenaga kerja untuk dapur pasien. Dapur pasien setiap harinya melayani penyelenggaraan makanan untuk rata-rata 433 pasien per shift dan harus diproduksi dalam waktu 6 jam, jika dalam 1 bulan seorang penjamah makanan bekerja 26 hari kerja maka didapatkan hasil ( 6jam x 433 pasien : 26 hari kerja/bln x 12 bulan) yaitu minimal 9 orang tenaga kerja per setiap kali shift kerja. Sedangkan dari hasil pengamatan didapatkan bahwa untuk setiap shift kerja di dapur pasien Dari hasil observasi kejadian stres yang ada pada penjamah makanan di Instalasi Gizi disebabkan karena ketidakpuasan penjamah dengan kondisi kerja yang ada hal ini didapatkan dari hasil observasi dan wawancara dimana salah seorang responden menyatakan merasakan stres karena kondisi lingkungan yang kurang bersih yang menyebabkan mereka harus selalu bekerja dengan perlahan untuk menghindari terpeleset dan terjatuh padahal mereka dituntut untuk bekerja secara cepat dalam waktu yang singkat. Selain itu juga keadaan stres kerja ini juga dapat dikaitkan dengan beban kerja yang ada, dari hasil perhitungan beban kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja secara ekonomi didapatkan hasil, jumlah tenaga kerja yang ada di Instalasi Gizi belum memadai sebagai contoh adalah tenaga kerja untuk dapur pasien. Dapur pasien setiap harinya melayani penyelenggaraan makanan untuk rata-rata 433 pasien per shift dan harus diproduksi dalam waktu 6 jam, jika dalam 1 bulan seorang penjamah makanan bekerja 26 hari kerja maka didapatkan hasil ( 6jam x 433 pasien : 26 hari kerja/bln x 12 bulan) yaitu minimal 9 orang tenaga kerja per setiap kali shift kerja. Sedangkan dari hasil pengamatan didapatkan bahwa untuk setiap shift kerja di dapur pasien
E. KESELAMATAN KERJA Pengukuran keselamatan kerja pada penjamah makanan dilakukan dengan cara pengisian kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti sebanyak 4 kali pengukuran yang diberikan setiap minggunya kepada responden. Hasil
keselamatan kerja penjamah makanan adalah sebagai gambaran keadaan kerja yang mereka lakukan dikaitkan dengan jumlah kecelakaan yang terjadi.
Berdasarkan rekapan kuesioner yang telah diisi, didapatkan hasil sebagai berikut. Tabel 15. Hasil Penilaian Keselamatan Kerja Penjamah Makanan Kategori Penilaian
Jumlah N% Keselamatan kerja rendah
Keselamatan kerja sedang
Keselamatan kerja tinggi
Total 31 100 Pada tabel 15 dapat diketahui bahwa kondisi keselamatan kerja penjamah makanan di instalasi gizi berada pada keselamatan kerja tinggi yaitu 93,5%, dan 6,5 % pada keselamatan kerja sedang dan tidak ada yang berada pada keselamatan kerja rendah. Hal ini dapat disebabkan karena responden merasa diamati sehingga bersikap diluar kebiasaan sebenarnya, keadaan ini juga dibenarkan oleh Notoatmojo (2002) yang menyatakan bahwa pada pengumpulan data dengan cara observasi biasanya ditemukan bias yang disebabkan karena responden merasa diamati sehingga tingkah laku mereka akan dibuat-buat, kepercayaan kepada pengamat akan hilang yang akhirnya reponden akan menutup diri dan selalu berprasangka, keadaan ini akan menimbulkan ancaman kepada responden terutama karena mengganggu situasi dan relasi pribadi, untuk mengantisipasi hal ini maka Total 31 100 Pada tabel 15 dapat diketahui bahwa kondisi keselamatan kerja penjamah makanan di instalasi gizi berada pada keselamatan kerja tinggi yaitu 93,5%, dan 6,5 % pada keselamatan kerja sedang dan tidak ada yang berada pada keselamatan kerja rendah. Hal ini dapat disebabkan karena responden merasa diamati sehingga bersikap diluar kebiasaan sebenarnya, keadaan ini juga dibenarkan oleh Notoatmojo (2002) yang menyatakan bahwa pada pengumpulan data dengan cara observasi biasanya ditemukan bias yang disebabkan karena responden merasa diamati sehingga tingkah laku mereka akan dibuat-buat, kepercayaan kepada pengamat akan hilang yang akhirnya reponden akan menutup diri dan selalu berprasangka, keadaan ini akan menimbulkan ancaman kepada responden terutama karena mengganggu situasi dan relasi pribadi, untuk mengantisipasi hal ini maka
Dari hasil observasi kejadian kecelakaan yang paling sering terjadi adalah terciprat air panas atau minyak panas, tersenggol panas dari alat kerja, terkena uap panas pada saat memasak dan terpeleset pada saat bekerja. Kondisi lingkungan yang kurang bersih juga merupakan salah satu penyebab yang cukup berpotensi untuk terjadinya kecelakaan kerja di Instalasi Gizi. Hal ini juga diakui oleh salah seorang penjamah yang menyatakan bahwa ruang kerja dapur yang kurang bersih dan licin menyebabkan kerja menjadi lebih lambat dan sering terpeleset. Selain itu juga dari hasil wawancara terbuka didapatkan pernyataan salah satu penjamah makanan yang pernah mengalami kecelakaan kerja yaitu terjatuh karena terpeleset, tindakan yang dilakukan institusi pada saat kejadian tidak ada, 2 hari setelah kecelakaan tersebut penjamah merasakan pusing dan demam. Pada saat observasi juga ditemukan kejadian kecelakaan, yaitu tumpahnya bubur nasi pada seorang penjamah makanan yang menyebabkan luka bakar pada kaki dan paha, saat kejadian berlangsung pertolongan pertama yang dilakukan tidak ada, melainkan penjamah langsung dibawa ke UGD RSUP. Dr. Sardjito untuk mendapatkan perawatan, dari keadaan ini terlihat bahwa kerja gugus K3 Instalasi Gizi belum terorganisasi baik, berdasarkan prosedur pertolongan pertama pada luka bakar seharusnya diberikan kompres air atau pemberian putih telur terlebih dahulu sebelum dibawa ke UGD. Berdasarkan hasil wawancara kepada salah seorang penjamah makanan menyatakan bahwa prosedur pertolongan pertama pada luka bakar sudah diajarkan tetapi karena kurangnya koordinasi antar penjamah dan gugus K3 Instalasi menyebabkan belum pernah dilakukan simulasi pertolongan pertama di instalasi, hal ini menyebabkan mereka kurang sigap apabila ada kejadian kecelakaan di tempat kerja selain itu juga kelengkapan alat-alat di kotak P3K kurang, hal ini diakui juga oleh salah satu penjamah makanan yang mengatakan bahwa isi kotak P3K yang ada saat ini hanya berupa kapas, dan mereka tidak mengetahui siapa pemegang kunci kotak tersebut. Kondisi kerja yang terlihat pada saat observasi yang juga cukup menimbulkan resiko terjadinya kecelakaan adalah tidak adanya alat pengaman kerja yaitu cempal atau serbet, hal ini menyebabkan penjamah Dari hasil observasi kejadian kecelakaan yang paling sering terjadi adalah terciprat air panas atau minyak panas, tersenggol panas dari alat kerja, terkena uap panas pada saat memasak dan terpeleset pada saat bekerja. Kondisi lingkungan yang kurang bersih juga merupakan salah satu penyebab yang cukup berpotensi untuk terjadinya kecelakaan kerja di Instalasi Gizi. Hal ini juga diakui oleh salah seorang penjamah yang menyatakan bahwa ruang kerja dapur yang kurang bersih dan licin menyebabkan kerja menjadi lebih lambat dan sering terpeleset. Selain itu juga dari hasil wawancara terbuka didapatkan pernyataan salah satu penjamah makanan yang pernah mengalami kecelakaan kerja yaitu terjatuh karena terpeleset, tindakan yang dilakukan institusi pada saat kejadian tidak ada, 2 hari setelah kecelakaan tersebut penjamah merasakan pusing dan demam. Pada saat observasi juga ditemukan kejadian kecelakaan, yaitu tumpahnya bubur nasi pada seorang penjamah makanan yang menyebabkan luka bakar pada kaki dan paha, saat kejadian berlangsung pertolongan pertama yang dilakukan tidak ada, melainkan penjamah langsung dibawa ke UGD RSUP. Dr. Sardjito untuk mendapatkan perawatan, dari keadaan ini terlihat bahwa kerja gugus K3 Instalasi Gizi belum terorganisasi baik, berdasarkan prosedur pertolongan pertama pada luka bakar seharusnya diberikan kompres air atau pemberian putih telur terlebih dahulu sebelum dibawa ke UGD. Berdasarkan hasil wawancara kepada salah seorang penjamah makanan menyatakan bahwa prosedur pertolongan pertama pada luka bakar sudah diajarkan tetapi karena kurangnya koordinasi antar penjamah dan gugus K3 Instalasi menyebabkan belum pernah dilakukan simulasi pertolongan pertama di instalasi, hal ini menyebabkan mereka kurang sigap apabila ada kejadian kecelakaan di tempat kerja selain itu juga kelengkapan alat-alat di kotak P3K kurang, hal ini diakui juga oleh salah satu penjamah makanan yang mengatakan bahwa isi kotak P3K yang ada saat ini hanya berupa kapas, dan mereka tidak mengetahui siapa pemegang kunci kotak tersebut. Kondisi kerja yang terlihat pada saat observasi yang juga cukup menimbulkan resiko terjadinya kecelakaan adalah tidak adanya alat pengaman kerja yaitu cempal atau serbet, hal ini menyebabkan penjamah
F. Hubungan Antara Stres Kerja dengan Keselamatan Kerja Hasil hubungan silang antara stres kerja dengan keselamatan kerja
dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 16. Hubungan Antara Stres Kerja Dengan Keselamatan Kerja Stres Kerja
Keselamatan Kerja
TOTAL
Rendah Sedang
Tinggi
n % n Stres Kerja Ringan
n% n % %
0 0 0 0 0 0 0 0 Stres Kerja Sedang
0 0 2 6.45 29 93.55 31 100 Stres Kerja Berat
0 0 0 0 0 0 0 0 Pada tabel 16 terlihat bahwa hubungan antara stres kerja dengan
keselamatan kerja didapatkan hasil dari 31 responden, sebagian besar memiliki keselamatan kerja tinggi dengan stres kerja sedang yaitu sebesar 93,55% atau 29 responden, sedangkan yang memiliki keselamatan kerja sedang dengan stres kerja sedang sebesar 6,45% atau 2 responden
Dari hasil analisa data menggunakan spearman dengan alpha ( α) 0,05 didapatkan hasil r = 0,135 dimana nilai r lebih kecil daripada nilai tabel rho = 0.364 atau nilai signifikan/probabilitas 0.468 lebih besar dari pada nilai alpha 0.05, artinya tidak ada hubungan antara stres kerja dengan keselamatan kerja.
Hal ini disebabkan karena dari hasil data yang didapatkan tidak terdistribusi secara normal dimana ada kategori penilaian yang tidak memiliki angka, menurut Danapriatna dan Setiawan (2005) jika dalam pengolahan data ada kategori yang tidak terdistribusi maka dalam penilaian secara statistik dapat menimbulkan tidak adanya hubungan antar variabel uji. Selain itu juga keadaan keselamatan kerja sedang dengan stres kerja sedang yang dialami oleh responden dapat berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengurangi dan menghindari beban akibat kerja, menurut Kasandrawati (2005) seseorang yang memiliki kemampuan kurang dalam menangani beban kerja yang ada baik beban yang ada di rumah maupun di kantor dapat mengalami stres. Kemampuan seseorang untuk menghindari stres kerja yang ada dapat dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman hidup
seseorang dan pelatihan yang pernah didapatkan. Hal ini juga didukung oleh Looker dan Gregson (2005), yang menyatakan bahwa stres kerja yang dialami seseorang kasitasnya berbeda-beda, perkembangan dan kepribadian sebagian besar menentukan sikap dan pengharapan kita terhadap pekerjaan tersebut. Selain itu juga beban kerja yang dialami seorang pekerja selain disebabkan karena pekerjaan tersebut juga disebabkan oleh lingkungan di luar pekerjaan seperti di rumah dengan keluarga maupun dengan lingkungan sosial disekitarnya. Beban dalam keluarga juga menjadi salah satu pemicu seseorang menjadi stres, karena beban yang ada dan tidak terselesaikan dibawa sampai ke tempat pekerjaan, sehingga nantinya akan mempengaruhi kondisi kerja seseorang yang berpengaruh pada produktifitas kerjanya. Hasil penelitian ini tidak senada dengan hasil penelitian Schuller (1980) dalam Rini (2002) yang menyatakan bahwa stres yang dialami oleh seorang pekerja berkorelasi dengan produktifitas kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelakaan.
Dari hasil pengamatan penjamah dengan stres kerja sedang dengan keselamatan kerja sedang berada pada satu unit kerja yang mana unit tersebut melakukan kegiatan persiapan bahan makanan hingga pengolahan bahan makanan, dengan jenis masakan yang berbeda-beda berdasarkan pesanan pasien, hal ini berpengaruh pada beban kerja yang diterima penjamah karena menurut Selye dalam towseri (1996) salah satu respon tubuh terhadap stres yang diakibatkan oleh beban kerja dan tututan kerja yang ada adalah kelelahan. Kondisi kelelahan ini dianggap dapat menurunkan produktifitas dan meningkatkan kejadian kecelakaan dengan menurunnya kondisi fisik dan mental penjamah makanan. Dari hasil perhitungan beban kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja secara ekonomi didapatkan hasil bahwa jumlah tenaga pada unit kerja dapur tersebut belum memadai, dari hasil perhitungan didapatkan jumlah minimal tenaga kerja adalah 2, dari hasil observasi ditemukan bahwa unit tersebut khususnya untuk shift siang jumlah tenaga yang ada hanya 1 orang. Dari hasil wawancara pada salah seorang penjamah makanan di unit tersebut dikatakan keadaan ini menyebabkan mereka harus bekerja lebih banyak, hal ini disebabkan karena jumlah pesanan makanan harus mereka perhitungkan sendiri, mereka juga harus dapat menentukan pekerjaan mana yang harus didahulukan dengan waktu kerja yang singkat dan pesanan yang banyak dan Dari hasil pengamatan penjamah dengan stres kerja sedang dengan keselamatan kerja sedang berada pada satu unit kerja yang mana unit tersebut melakukan kegiatan persiapan bahan makanan hingga pengolahan bahan makanan, dengan jenis masakan yang berbeda-beda berdasarkan pesanan pasien, hal ini berpengaruh pada beban kerja yang diterima penjamah karena menurut Selye dalam towseri (1996) salah satu respon tubuh terhadap stres yang diakibatkan oleh beban kerja dan tututan kerja yang ada adalah kelelahan. Kondisi kelelahan ini dianggap dapat menurunkan produktifitas dan meningkatkan kejadian kecelakaan dengan menurunnya kondisi fisik dan mental penjamah makanan. Dari hasil perhitungan beban kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja secara ekonomi didapatkan hasil bahwa jumlah tenaga pada unit kerja dapur tersebut belum memadai, dari hasil perhitungan didapatkan jumlah minimal tenaga kerja adalah 2, dari hasil observasi ditemukan bahwa unit tersebut khususnya untuk shift siang jumlah tenaga yang ada hanya 1 orang. Dari hasil wawancara pada salah seorang penjamah makanan di unit tersebut dikatakan keadaan ini menyebabkan mereka harus bekerja lebih banyak, hal ini disebabkan karena jumlah pesanan makanan harus mereka perhitungkan sendiri, mereka juga harus dapat menentukan pekerjaan mana yang harus didahulukan dengan waktu kerja yang singkat dan pesanan yang banyak dan