Dari Partikularitas ke Universalitas

VII. Dari Partikularitas ke Universalitas

Berikut adalah beberapa temuan lain berdasarkan data- data lapangan yang dapat menjadi perhatian menarik: Umumnya, penyandang disabilitas tunanetra berkarya di seni musik, sedangkan disabilitas tuli berkarya di seni tari dan tuna daksa hampir kesemuanya berkarya di seni lukis.

Kesenian di Bali sudah sangat membudaya dan mempunyai tradisi lama. Hal yang demikian menjadikan penyandang disabilitas terlibat dalam kesenian baik musik, tari, gamelan dan seterunya. Akan tetapi aksesibilitas yang sangat minim dan pergaulan dengan seniman dan penyandang disabilitas yang rendah, menjadikan seni bagi penyandang disabilitas berkembang secara monoton.

Beberapa di antara mereka menjadikan kesenian sebagai pembuktian eksistensi bahwa penyandang Beberapa di antara mereka menjadikan kesenian sebagai pembuktian eksistensi bahwa penyandang

aktivitas berkesenian mempengaruhi eksistensinya.

Menjadi penyandang disabilitas merupakan suatu keunikan yang membuat mereka dapat tampil menonjol. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ketut (Three Brothers Plus One). Menurutnya kadang suatu karya dari seorang seniman disabilitas dapat pula dihasilkan oleh orang non disabilitas, namun latar belakang penciptanya yang disabilitas akan menarik minat orang, baik untuk mengapresiasi atau membeli karya tersebut. Beberapa karya seni yang ditampilkan dalam bentuk charity juga seringkali memiliki nuansa yang serupa. Para penari, pemain teater, atau pemain musiknya dalam kegiatan sosial umumnya memiliki ketrampilan seni yang tidak menonjol namun akan mendapatkan apresiasi karena disabilitasnya. Oleh karena itu aktivitas seni yang dijalankan oleh penyandang disabilitas memiliki “nilai jual” tersendiri.

Disabilitas yang melekat dalam seni menjadikan karya mereka “luar-biasa”. Cara pandang Supercrip menjadi sangat umum, dan penyandang disabilitas menikmati akan hal ini.

Beberapa seniman disabilitas menciptakan alat-alat tertentu untuk membantu mengatasi keterbatasannya dalam beraktivitas seni. Ini merupakan usaha-usaha mandiri yang belum terfasilitasi oleh assistive technologi modern. Misalnya I Komang Soma (tunanetra-Rwa Bhineda) yang menulis sendiri teks braille tembang-tembang tradisional Bali. Hal ini karena tidak ada buku braille khusus untuk tembang-tembang tradisional Bali sehingga Ia membuat catatan sendiri yang dapat digunakannya atau tunanetra lainnya. Tono yang membuat alat bantu melukis dengan kayu sehingga memudahkannya untuk membuat karya lukis. Yang demikian merupakan intelektual organik dan “cultural broker” yang menjembatani penyandang disabilitas dengan dunia kesenian.

Identitas disabilitas sering terselip dari karya-karya seniman disabilitas. Dayu Wid mengangkat pengalaman pribadi sebagai seorang disabilitas (puisi: Mereka Bilang

Aku Cacat). Tono pernah memproduksi lukisan tentang aksesibilitas pura, berdasarkan perenungannya bahwa selama ini tunadaksa kesulitan untuk beribadah di pura karena kebanyakan pura memiliki anak tangga yang curam. Asroel pernah menghasilkan karya berjudul Footprint sebagai perlambang kakinya yang menjadi penopang hidupnya untuk melukis. Cahaya Mutiara Ubud dan Senang Hati pernah mementaskan teater berteman perlakuan diskriminatif kepada penyandang disabilitas. Begitu pula Rwa Bhineda kadang menyelipkan pesan-pesan berkaitan dengan perlakuan diskriminatif terhadap disabilitas dalam bebondresannya.

Menurut para penyandang disabilitas maupun seniman pro disabilitas, pesan-pesan tersebut tidak dapat menjadi “jualan” utama para seniman disabilitas karena tidak akan menarik. Namun pesan-pesan tersebut dapat dibawa tersirat. Tema-tema spesifik untuk mengusung pesan-pesan terkait dengan perlakuan ramah disabilitas biasanya hanya ditampilkan untuk kalangan tertentu dan event tertentu saja. Dengan demikian seni bagi penyandang disabilitas juga menjadi tempat untuk menyuarakan hak-hak mereka, menjadi bagian dari perjuangan gerakan disabilitas.

Dukungan orangtua merupakan aspek penting dalam pengembangan bakat dan ketrampilan seni bagi penyandang disabilitas muda. Dukungan yayasan atau komunitas seni menjadi pendukung lebih lanjut dari berkembangnya ketrampilan seni, untuk pengembangan networking dan mempopulerkan karya-karya itu. Tentu saja harus disertai dengan kemauan kuat dari penyandang disabilitas itu sendiri.

Walaupun tidak semua seniman Bali menggeluti seni- seni tradisional namun karya-karya mereka tampak memiliki nuansa tradisional yang kental. Misalnya Jasmine Okubo yang membuat karya Kukusan Paon yang terinspirasi dari kisah sukses wanita Bali dan menampilkan kehidupan sehari-hari wanita Bali dalam seni kontemporer. Lukisan-lukisan yang ditampilkan oleh pelukis Bali juga kebanyakan menggambarkan keseharian atau keindahan Bali. Ketut, Jasmine Okubo, dan seniman non difabel yang peduli difabel dan menjadi hembatan yang menghantarkan para penyandang disabilitas dalam dunia seni.