Jenis Kesenian dan Para Pelakunya

i. Think.Web

Karya seni tidak hanya berhubungan dengan bagaimana karya dibuat, tapi juga bagaimana karya seni tersebut ditampilkan dan dinikmati. Think.Web, sebuah agensi digital di Jakarta, membuat terobosan dengan menggerakkan Bioskop Bisik. Dengan Bioskop Bisik, Karya seni tidak hanya berhubungan dengan bagaimana karya dibuat, tapi juga bagaimana karya seni tersebut ditampilkan dan dinikmati. Think.Web, sebuah agensi digital di Jakarta, membuat terobosan dengan menggerakkan Bioskop Bisik. Dengan Bioskop Bisik,

Bioskop Bisik bisa diakses di bioskopbisik.com yang menampilkan berbagai judul film dan genrenya. Dengan tagline “Beda Mata, Sama Rasa”, Bioskop Bisik juga menyediakan pendaftaran untuk menjadi relawan atau volunteer pembisik. Relawan pembisik tidak hanya bertugas memberikan penjelasan mengenai adegan yang tampil secara visual, tapi juga menjelaskan dengan lengkap alur cerita dan emosi yang tertuang dalam film. Tunanetra yang ingin menonton film bisa mendaftarkan diri, lalu dihubungkan dengan relawan tersebut. Dengan demikian, di bioskop yang digagas oleh Ramya Prajna ini sesama penyandang disabilitas juga dapat berjumpa satu sama lain.

Pada 15 Maret 2015 lalu, Think.Web bersama dengan Yayasan

meluncurkan YouTubeForTheBlind.com. Situs ini bertujuan sama dengan Bioskop Bisik yaitu untuk menyediakan akses bagi

Mitra

Netra Netra

j. Difabel Aktivis Melihat Kesenian dan Disabilitas

dengan nama belakangnya, Fuad. Aktivis penyandang disabilitas yang sedang menjalani program doktor di Sosiologi Universitas Indonesia (UI) ini juga aktif di berbagai organisasi penyandang disabilitas seperti Advokasi Inklusi Disabilitas sebagai co-founder dan Center for Child Protection UI. Gelar masternya ia dapatkan dari European Master Program in Humanitarian Assistance Universitas Groningen, Belanda. Tulisan-tulisannya, baik ilmiah maupun populer, terbit berbagai media. Selain itu, ia memiliki riwayat aktivitas yang sangat luas baik nasional maupun internasional.

Orang-orang

memanggilnya

Fuad memiliki pandangan yang sangat luas disabilitas, ada pula yang bersentuhan dengan seni dan pertunjukan. Ia mengkritik beberapa praktik penampilan di televisi swasta nasional yang sangat bias normal dan menurutnya tidak merepresentasikan kebutuhan dan keadaan penyandang disabilitas sama sekali . “Media TV sering kali memunculkan difabel sebagai lelucon atau ajang tangis, ditampakkan sebagai kondisi yang lemah dan mengharu biru. Difabel tidak ditampakan sebagai manusia sebagai manusia sewajarnya. Acara Kick Andy menampilkan sebagai extraordinary , sebagai individu yang hebat.

“Padahal kami sebagai orang difabel mengusahakan penyetaraan dengan masyarakat umumnya. Pencapaian- pencapaian itu merupakan suatu hal yang biasa saja. Kondisi seperti ini di-blow-up oleh menjadi sesuatu yang inspiratif. Mereka tidak sadar bahawa setiap difabel memiliki sosial kapital yang berbeda-beda. Ada difabel yang dari keluarga mempunyai kesempatan beberapa yang muncul tetapi bagaimnaa difabel yang tidak memiliki akses seperti di desa. Mungkin bagi teman-teman yang bukan difabel itu sebagai inspiratif tapi bagi teman-teman yang difabel itu sebagai menjadi kecemburuan. Hal tersebut akan “Padahal kami sebagai orang difabel mengusahakan penyetaraan dengan masyarakat umumnya. Pencapaian- pencapaian itu merupakan suatu hal yang biasa saja. Kondisi seperti ini di-blow-up oleh menjadi sesuatu yang inspiratif. Mereka tidak sadar bahawa setiap difabel memiliki sosial kapital yang berbeda-beda. Ada difabel yang dari keluarga mempunyai kesempatan beberapa yang muncul tetapi bagaimnaa difabel yang tidak memiliki akses seperti di desa. Mungkin bagi teman-teman yang bukan difabel itu sebagai inspiratif tapi bagi teman-teman yang difabel itu sebagai menjadi kecemburuan. Hal tersebut akan

Fuad menilai, dalam bidang difabel sering diangkat sebagai inspirator, tapi dalam kebijakan yang sifatnya struktural tidak tampak sama sekali. “Ketika kami tampil di depan orang, karena kami sukses dalam pendidikan misalnya, tidak ada perubahan kebijaka dalam pendidikan yang bisa menerima difabel. Jika difabel hanya dipertontonkan di televisi, selama ini itu hanya selesai sekedar hiburan,” ucap Fuad. Di bidang pertunjukan secara lebih khusus, difabel hanya sebagai lelucon. “Eksplotasi diri sebagai lelucon dilakukan oleh orang difabel sendiri tidak menjadi masalah tetapi jika yang memerankan orang normal bersikap sebagai difabel itu tidak humanis,” jelasnya.

Kritik Fuad ini didasarkan pada pengalamannya sebagai tunadaksa. Ia merasa selama ini representasi dalam dunia kesenian tersebut hanya ada dua kemungkinan, antara difabel sebagai hiburan atau lelucon dan dan sebagai Kritik Fuad ini didasarkan pada pengalamannya sebagai tunadaksa. Ia merasa selama ini representasi dalam dunia kesenian tersebut hanya ada dua kemungkinan, antara difabel sebagai hiburan atau lelucon dan dan sebagai

Dalam konteks luar Indonesia, Fuad menambahkan, “Di luar negeri sudah ada fashion difabel yang menunjukkan bahwa cantik tidak harus sempurna. Difabel menjadi cantik sesuai ukuran mereka. Contoh, beberapa film difabel sebagai gambaran dari penderitaan yang tujuannya mengharubirukan, menjadi espresi ordinary. Tapi belum pernah membuat film yang meujukkan difabel yang lumrah hidup di masyarakat bukan suatu hal yang luar biasa. Seni harus ditampilkan tidak haru biru agar masyarakat sadar bahwa difabel itu suatu hal yang menderita tapi sebuah kondisi real yang bisa melakukan kondisi yang wajar jika fasilitasnya aksesibel oleh difabel,” ucapnya menjelaskan.

Di samping itu, Fuad memberikan sedikit otokritik dari gerakan difabel, “Saya melihat bahwa gerakan difabel Di samping itu, Fuad memberikan sedikit otokritik dari gerakan difabel, “Saya melihat bahwa gerakan difabel

menggambarkan kewajaran difabel, tidak memunculkan difabel super dan tidak dikasihani. Ini permasalahan ideologi dan paradigma. Orang yang bukan difabel akan melihat difabel menjadi yang wah. Orang difabel dapat mencapai titik yang berhasil karena 3 hal, yaitu percaya diri, meyakinkan keluarganya bahwa bisa mandiri, dan dapat menyelesaikan persoalan stigma, fasilitas dan lain sebagainya,” jelas Fuad.