5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dari tabel 5.1. sampai tabel 5.5. tampak gambaran karakteristik penduduk sampel sampel dari wilayah penelitian.
Distribusi umur dan jenis kelamin pada tabel 5.1. dan 5.2. menunjukkan lebih banyak penduduk dalam usia produktif atau usia muda dan jenis kelamin yang terbanyak adalah
perempuan. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran kependudukan di Indonesia umumnya. Umumnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Burma, India, dan
Indonesia dikatakan berstruktur muda.. Secara garis besar struktur penduduk di sepuluh kecamatan yang diteliti, penduduk yang berusia 66 tahun keatas sekitar 33,9 dan
kelompok umur 65 tahun ke bawah hampir mencapai 66,1. Dari tabel 5.3. terlihat bahwa, sebagian besar penduduk berpendidikan hanya
sampai pada bangku Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya Sumber Daya Manusia.
Dari tabel 5.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 204 orang atau 52,71 dan disusul dengan Ibu Rumah Tangga sebanyak 89
orang 23,00 . Dari tabel 5.5., Suku terbanyak yang diperiksa adalah suku Jawa diikuti suku
Melayu dan suku lainnya. Dari table 5.6. tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan
akibat kelainan refraksi berkisar 6-70 tahun, dimana terbanyak pada usia 16-50 tahun. Ini sesuai dengan penelitian di luar negeri Pakistan, India yang menyebutkan bahwa
kebutaan akibat kelainan refraksi biasanya mengenai usia produktif.
Universitas Sumatera Utara
Dari table 5.7., penyebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut jenis kelamin terdapat 29 orang wanita dan 26 orang laki-laki. Menurut referensi prevalensi kebutaan
akibat kelainan refraksi pada wanita dan laki-laki adalah sama, tetapi dalam hal ini responden yang datang pada umumnya adalah wanita, jadi pada hasil penelitian ini
prevalensi kebutaan refraksi pada wanita lebih tinggi hanyalah merupakan faktor kebetulan saja.
Dari tabel 5.8., sebagian besar penderita hanya menamatkan pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang
memahami penyakitnya, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan kebutaan akibat kelainan refraksi.
Pada tabel 5.9., prevalensi kebutaan akibat refraksi tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
Dari tabel 5.10., telah ditelusuri dari hasil anamnesa prevalensi kebutaan akibat refraksi lebih banyak yang tidak ada riwayat keluarga berkacamata, ini disebabkan oleh
tingkat sosioekonomi yang rendah sehingga tidak mampu membeli kacamata dan juga karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang memahami penyakitnya.
Dari tabel 5.11., sebagian besar penderita berobat ke puskesmas, Rumah Sakit Umum, Tradisional, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga medis yang mengerti tentang
penyakit kelainan refraksi dan alat yang tidak mendukung, maka penderita kurang memahami penyakitnya.
Dari tabel 5.13., angka kebutaan refraksi mengenai satu dan kedua mata hampir sama, tetapi kebutaan refraksi pada kedua mata sedikit lebih banyak, hal ini sesuai dengan
referensi bahwa kebutaan refraksi pada umumnya mengenai kedua mata.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan geografi dengan kebutaan refraksi
Pada penelitian ini, geografis dari kabupaten Langkat dapat dikategorikan daerah dataran rendah dengan ketinggian 4 sampai 105 m diatas permukaan laut. Prasarana jalan
dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama kesehatan mata masih terjangkau oleh kendaraan roda dua dan roda empat dan faktor geografi tidak menjadi halangan bagi
penderita kelainan refraksi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Hubungan Sosio-Ekonomi dengan kebutaan refraksi
Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak penduduk berpenghasilan rendah. Ini mungkin diakibatkan oleh pendidikan dan pekerjaan
yang tersedia didaerah tersebut. Oleh sebab itu untuk keberhasilan program kebutaan perlu pemberian pelayanan pemeriksaan dan pengobatan mata gratis terhadap orang-orang yang
tidak mampu, bila memungkinkan pemberian kacamata gratis bagi penderita kebutaan refraksi, karena beberapa penderita kebutaan refraksi disebabkan oleh ketidakmampuan
memperoleh kacamata.
Hubungan Budaya Tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan refraksi
Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel maka sebagian memeriksakan diri ke Rumah Sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, puskesmas,
bahkan sebagian pernah mendapatkan kacamata dari optik tetapi penderita tidak memakai kacamata lebih lanjut oleh karena merasa tidak nyaman dan semakin pusing, sebagian
merasa nyaman dipakai tapi hanya waktu belajar saja, sementara sebagian penderita yang lain merasa malu memakai kacamata atau merasa harga kacamatanya mahal.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan Sumber Daya Manusia dengan kebutaan refraksi
Sumber daya manusia di kabupaten Langkat terutama petugas kesehatan sudah memadai. Semua kelurahan mempunyai bidan desa dan sudah ada petugas kesehatan mata
di seluruh puskesmas dan pelayanan kesehatan mata sudah mulai terlaksana sehingga dapat membantu tenaga ahli seperti dokter spesialis mata yang ada di RSU pemerintah.
Hubungan Sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan refraksi
Sarana dan prasarana kesehatan di kabupaten Langkat dimana terdapat satu RSU pemerintah tersedia alat pemeriksaan refraksi, serta beberapa puskesmas telah tersedia alat
trial lens tetapi masyarakat itu sendiri kurang memahamimenyadari bahwa penyakit kelainan refraksi sangat mudah terdeteksi dan bisa diobati dengan ukuran kacamata yang
tepat.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN