Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Perlindungan Relawan Kemanusiaan Dalam Kasus Blokade Jalur Gaza

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, 2003.

Burton J.1990:Conflict Resolution and Prevention (Vol.1 of the Conflict series) London Macmillan

Cheever,Daniel,S dan Haviland,Jr,H.Field, dari May Rudi, Teuku, Administrasi dan Organisasi

C.R Mitchell, Interactive Conflict Resolution

James A. Schellenberg, Conflict Resolution : Theory, Research, and Practice

Galtung.J.1996:Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. London :Sage

Kiesberg, New Social Movement : From ideology to Identity

Mustafa Abd. Rahman, Jejak-Jejak Juang Palestina, Jakarta:penerbit buku kompas.1992

Mochtar Kusumaatmadja, 1976. Pengantar Hukum Internasional. Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung.

United Nations, 1980. The Palestine Questions a Brief His History. United Nations. New York.


(2)

Barry R, Charter, Professor of Law, Georgetown University Law Center,Philip R. Trimblr, Professor of Law University of California, Los Angelses. International Law. Little Brown and Company. Boston Toronto London.

INTERNET


(3)

BAB III

KONFLIK BERSENJATA DI JALUR GAZA

A. Sejarah Terjadinya Blokade Jalur Gaza Oleh Israel

Pada awal abad ke XX, daerah Palestina adalah termasuk bagian wilayah Dinasti Usmaniyah (Ottoman), Turki. Dinasti ini telah menguasai seluruh wilayah Asia Barat sejak tahun 1516. Penduduk disana menyebut daerahnya dengan Filastine atau Al- Ard al- Muqadasa (tanah yang suci). Sebutan yang terakhir ini untuk mencerminkan bahwa daerah ini sangat diagungkan oleh penganut Islam , Kristen, dan Yahudi.

Pada masa Usmaniyah, Palestina dibagi menjadi 3 propinsi yaitu : Yerussalem, Nabrus, dan Acre. Tahun 1870-an ketiga wilayah itu mempunyai wakil yang dipilih untuk parlemen Usmaniyah. Penguasa Usmaniyah menggunakan system Milliet yang memberikan otonomi luas kepada penduduk penganut Kristen dan Yahudi. Pada waktu itu terlihat masyarakat yang damai, toleransi umat beragama sangat tinggi dan timbul kerjasama untuk menyelesaikan masalah bersama. Kekuasaan Turki di Palestina berakhir pada Perang Dunia pertama, saat Turki kalah perang. Pada tahun 1918 Palestina jatuh ke tangan kekuasaan Inggris. September 1923, Liga Bangsa – Bangsa secara resmi menyerahkan mandate kepada Inggris untuk mengurusi Palestina.

Orang Palestina merupakan keturunan orang Philistine dan Kan’an. Mereka ini telah mendiami daerah Palestina selama 40 abad secara terus menerus. Keturunan ini


(4)

telah bercampur darah dengan keturunan orang Yunani, Romawi, Arab, Mongolia, dan Turki. Mereka ini sebagaian beragama Kristen dan beragama Islam.

Orang Yahudi tidak dimasukkan ke dalam golongan orang Palestina karena mereka hanya merupakan masyarakat yang berjumlah sedikit. Tercatat tahun 1170 – 1171 di Palestina ditemukan sekitar 1440 orang Yahudi. Tahun 1267 hanya terdapat dua keluarga Yahudi di Yerusallem. Mereka ini mengalami sedikit peningkatan populasi pada abad 19. Jumlah mereka 8.000 orang. Tahun 1845 berjumlah 20 orang. Jumlah ini meningkat lagi tahun 1918 yaitu sekitar 56.000 orang.

Penganut Islam dan Kristen adalah para penduduk asli Palestina, sementara 2/3 penganut Yahudi adalah Imigran. Memang banyak imigran Yahudi datang ke Palestina sebagai realisasi pelaksanaan “amanat” yang disampaikan oleh Theodore Herzl dalam tulisannya Der Judenstaat (Negara Yahudi) sejak 1896. Berbagai gelombang imigran berdatangan ke Palestina. Gelombang imigran missal berdatangan dari berbagai Negara : Russia, Rumania, Polandia, Bulgaria, Yugoslavia, Yaman, Aden, Jerman dan Negara – Negara Afrika. Dan bertambah mendapat angin setelah Mentri Luar Negri Inggris Arthur James Balfour, mengirim surat kepada Lord Rothschild, salah seorang tokoh Zionis.

Asher Arian membagi periode imigrasi antara 1882 – 1908 menjadi 4 kategori “

1. Periode (1882 – 1924) adalah masa pertumbuhan, pada periode ini jumlah

imigran tidak terlalu banyak, tetapi secara politis tidak menentukan;


(5)

Nazi,dan perjuangan kemerdekaan.

3. Periode (1948 – 1954) banyak berdatangan imigran dari Asia dan Afrika serta

Eropa;

4. Periode 1954 sekarang, pada periode ini imigran boleh diseleksi untuk

mengurangi jumlah buruh yang tidak produktif.13

Setelah Israel berdiri dengan segera para imigran berdatangan. Mereka seakan berlomba mendapatkan tanah yang dijanjikan. Yang segera tampak akibat kedatangan imigran Yahudi dari berbagai penjuru dunia adalah keseimbangan penduduk Arab dan Yahudi di Palestina

Banyak orang Yahudi yang berimigrasi ke Palestina, mengakibatkan masyarakat Arab Palestina terdesak dan akhirnya timbullah bentrokan Yahudi dan Palestina, bentrokan ini berlarut – larut dan Inggris pemegang mandat Palestina tidak bisa menyelesaikan. Selanjutnya masalah Palestina ditangani oleh PBB. Setelah mengalami proses yang panjang, akhirnya Majelis Umum PBB menyetujui rencana pembagian Palestina menjadi 3 bagian. Dalam resolusi nomor 181 (II), 29 Nopember

1947, disebutkan, bahwa Palestina akan menjadi :14

1. Negara Arab dengan wilayah Acre, Nazareth, Jenin, Nablus, Ramalah, Hebeon ;

Jalur Gaza dan Jaffah;

2. Negara Yahudi dengan wilayah : Soffad, Tiberias, Haifa, Tulkaen, Ramlet, Sahara

Negeb dan Jaffa;

13

M.Hamdan Basyar, Politik Israel Terhadap Palestina, Jurnal Ilmu Politik 12, Tahun 1993, hal 52

14


(6)

3. Yerussalem sebagai wilayah pengawasan Internasional.

Keputusan ini diterima oleh Yahudi, tapi ditolak oleh Arab Palestina. Orang Arab menganggap pembagian ini tidak adil dan melawan kehendak mayoritas penduduk asli Palestina. Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei 1948 sehari setelah mandat Inggris di Palestina berakhir. Proklamasi Israel ini menjadi pukulan berat bagi Arab Palestinda dan Negara – Negara Arab, orang Palestina banyak yang terusir dan mengungsi ke berbagai Negara tidak hanya Negara – Negara Arab tetapi juga ke Negara Eropa dan Amerika.

Penyebab timbulnya pertentangan yang menyebabkan terjadinya perang antara Negara Israel dan Negara – Negara Arab sebagai tetangganya dan juga terhadap bangsa Arab Palestina yang berada di tanah Palestina adalah dengan ditetapkannya tanah Palestina sebagai Negara Israel yang berdasarkan atas dasar dari mandat Pemerintah Inggris yang telah menduduki Palestina sebelumnya, juga berdasarkan atas resolusi 181, yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa dan berdasarkan Deklarasi Balfour yang telah membuka jalan bagi terbentuknya Negara Israel.

Negara – Negara Arab yang semula telah menolak terhadap resolusi yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa – Bangsa, telah memutuskan untuk melindungi dan merebut tanah Palestina sebagai bahagian dari tanah Arab dari tangan Israel. Karena bangsa Arab mempercayai bahwa berdasarkan sejarahnya, tanah Palestina secara geografis adalah milik bangsa Arab Palestina. Pertentangan pendapat dan pandangan ini yang menyebabkan timbulnya konflik dan melahirkan perang antara bangsa


(7)

Yahudi- Israel dan bangsa Arab – Palestina serta Negara- Negara tetangganya. Tercatat tiga kali pertempuran yang terjadi masing – masing dengan jangka waktu pendek, dan ketiga peperangan ini selalu dimenangkan oleh pihak Israel.

Situasi peperangan makin memburuk terutama dengan ikut campurnya kekuatan – kekuatan dari Negara Barat yang memiliki kekuatan super power yang mempunyai kepentingan politik di Negara Timur Tengah.

Adapun pecahnya peperangan pertama, dimulai dengan diproklamasikannya Negara Israel oleh bangsa Yahudi yang berada di tanah Palestina, dan menjadikan tanah Palestina sebagai Negara Israel yaitu :

Yang oleh bangsa Israel disebut sebagai perang kemerdekaan, karena pada tahun 1948 diproklamirkannya tanah Palestina menjadi negara Israel setelah Perserikatan Bangsa – Bangsa mengeluarkan resolusi tentang pembahagian tanah Palestina dengan bangsa Israel dan memberikan keleluasaan bagi bangsa Israel untuk menguasai sebahagian dari tanah Palestina pada tanggal 2 November 1947.

Perang Pada Tahun 1948 – 1949

Perang meletus segera setelah dikeluarkannya resolusi tersebut. Sejumlah tentara pembebasan Arab yang terdiri atas bangsa Arab Palestina dan sukarelawan yang berasal dari Negara – Negara tetangga bangsa Arab berjumlan 3.000 orang mulai melakukan serangan untuk melakukan penggagalan resolusi tersebut.


(8)

Haganah, menahan diri untuk tidak melakukan pembalasan terhadap serangan itu, disebabkan pasukan ini mengetahui bahwa mereka harus mengikuti aturan main Inggris untuk mencari simpatik Negara – Negara Barat terhadap perjuangan mereka. Dan ketika Inggris menarik pasukannya pada tanggal 14 Mei 1948, maka Haqanah

masuk ke dalam pertempuran tersebut pada akhir April.15

Sementara itu Haqanah telah melakukan pengawasan terhadap lima kota yang memiliki populasi yang mayoritas bangsa Yahudi, telah menaklukkan 100 desa – desa tempat tinggal bangsa Arab , dan mengirimkan tawanan bangsa Arab ke propinsi yang diperdebatkan yaitu propinsi Galile, membuka jalan – jalan penting termasuk

Pada waktu kelima Negara Arab secara terang – terangan menyatakan perang terhadap resolusi yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa dan terhadap perjanjian Inggris di tanah Arab, maka pada saat yang sama pada saat Arab memusatkan perhatiannya pada pengusiran tentara Inggris dari tanah Arab, Haqanah mengambil kesempatan untuk mendapatkan strategi yang menguntungkan untuk melonggarkan pengawasan Negara – Negara Arab terhadap Yerussalem.

Sementara itu kekuatan bangsa Yahudi berjumlah 3.000 tentara yang siap untuk bertempur di daerah Palmach, dan ditambah dengan lebih kurang 15.000 di daerah militer dan 14.000 di daerah pengawasan lokal. Mereka mempunyai 1.600 mortir tetapi tidak mempunyai senjata kecuali mobil patrol dan tidak mempunyai artileri maupun pesawat tempur.

15


(9)

salah satunya jalan yang menghubungkan ke gurun Negev yang terletak dekat dengan teluk Aqaba, dan meraih keuntungan bagi dibukanya jalan utama yang disediakan bagi bangsa Yahudi yang menghubungkan dengan kota Yerusallem.

Kelompok Haqanah menyadari bahwa angkatan bersenjata Israel mengalami kelemahan pada jumlah serdadunya, maka menyadari hal ini maka gerakan Haqanah melakukan persetujuan secara diam – diam dengan pasukan Israel dengan memasukkan 30.000 serdadu Israel termasuk juga kerangka – kerangka pesawat tempur yang belum dirakit.

Pada peperangan ini angkatan bersenjata kehilangan kira – kira 750 serdadu tetapi masih mempunyai beberapa senjata berat, melalui perjuangan yang keras akhirnya mereka memproklamirkan kemerdekaannya atas Negara Israel, pada saat bangsa Arab Syria, Transjordania dan (sekarang Yordania), Mesir, Libanon menyerang bangsa Israel.

Walaupun banyaknya kerugian yang diderita oleh bangsa Israel yang dinamakan Zahal tetapi bangsa Arab hanya mendapatkan kemenangan di daerah Selatan dimana tentara Mesir menyerbu sampai gurun Neqev dan menduduki Gaza dan Bersheba dan di Yerussalem dimana tentara Inggris melatih pasukan Arab Transjordania dan menahan markas Yahudi di Old City dan menutup jalan utama ke Barat. Namun demikian Israel yang menduduk i New City mengirimkan bantuan makanan bagi penduduk Israel yang tinggal di daerah mana yang ditahan oleh tentara Arab.


(10)

Perserikatan Bangsa –Bangsa mengusahakan untuk diadakannya gencatan senjata selama 4 minggu yang dimulai pada tanggal 11 Juni. Pada saat itu Israel meningkatkan kekuatan pasukannya menjadi 60.000 dan ketika perang berlangsung pada tanggal 9 Juli, tentara Israel melakukan pertahanan di front – front tertentu dan sepuluh hari sebelum gencatan senjata dilakukan yaitu pada tanggal 18 Juli, mereka telah menaklukkan Nazareth di Utara dan mengusir tentara Arab yang menduduki posisi Utara ke arah pantai.

Mesir menjadi musuh utama Israel sejak mereka memblokir jalan masuk ke Neqev. Ketika tentara Mesir menolak untuk melakukan pertukaran ketika konvoi Israel mengirimkan bantuan bagi penduduk Israel yang berada di daerah terkepung, maka Israel melakukan serangan pada tanggal 15 Oktober dengan pasukannya yang telah mendapatkan bantuan dari Negara – Negara Barat. Pada tanggal 7 Januari, Mesir setuju untuk melakukan gencatan senjata.

Walaupun perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani antara 4 negara Arab, namun masih banyak masalah yang mengganjal antara bangsa Arab dan Israel sehingga proses untuk menuju jalan damai sangat kecil kemungkinannya. Salah satu bangsa Arab tetap menolak untuk mengakui secara permanen dan de jure tentang eksistensi dari Negara Israel di tanah Palestina. Yang kedua adalah dengan adanya pengungsi – pengungsi Arab yang tidak dapat kembali ke daerahnya oleh karena daerahnya telah diduduki oleh Israel. Oleh karena alasan tersebut, maka dijadikan alasan bagi Arab untuk mengakui eksistensi Negara Israel di tanah Arab ini. Inilah


(11)

yang menjadi alasan utama bagi pemicunya perang yang kedua yang terjadi pada tahun 1956.

Setelah 7 tahun melakukan gencatan antara Israel dan Negara – Negara Arab yang walaupun demikian juga terjadi kekerasan – kekerasan di daerah perbatasan antara pasukan – pasukan berkuda Mesir dan juga pembalasan yang dilakukan oleh tentara Israel yang tidak dapat dihentikan oleh pengamat dari Perserikatan Bangsa – Bangsa.

Perang Tahun 1956

Pemerintahan Arab melakukan boikot ekonomi terhadap Israel dan tidak henti – hentinya melakukan propaganda bagi bangsa Israel. Sementara itu Mesir mendesak untuk menggunakan Terusan Suez dan Teluk Aqaba untuk melakukan penawan bagi kapal – kapal Israel. Perlengkapan senjata Negara Arab semakin kuat sejak Negara – Negara blok komunis membuka perdagangan senjata dengan Negara – Negara Arab yang menambah perbedaan yang sangat jelas antara perlengkapan senjata Negara Israel yang dibelinya dari Negara – Negara Barat yang sementara itu masih enggan untuk melakukan transaksi penjualan senjata dalam jumlah yang besar dengan Negara Israel.

Dengan bertambahnya kekuatan senjata Negara – Negara Arab, maka Mesir melakukan rencana perang di perbatasan Israel dan mengorganisir suatu kesatuan Negara Arab.


(12)

Serangan Mesir dan Negara – Negara Arab ini mengancam Israel yang akhirnya melalui gencatan rahasia yang dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 1956 telah menyerang semenanjung Sinai di Mesir dan daerah pantai Arab, serta jalur Gaza dengan kekuatan 125.000 pasukan dan mempekerjakan45.000 laki – laki dan 200 tank serta kekuatan udara yang mendukungnya.

Lewat kekuatan ini Israel dapat menguasai Terusan Suez dan menduduki daerah strategis Mitla Pass yang kemudian pasukannya behasil menguasai East Bank di Jalur Gaza dalam tempo 8 hari. 40.000 orang Mesir terbunuh dan 6.000 orang tertangkap, sementara itu di pihak Israel 181 orang terbunuh dan 1 orang pilot tertangkap. Mesir menuntut bahwa pada hari keempat Anglo – Prancis melakukan penyerangan terhadap kedudukan Mesir di Terusan Suez dan memaksa tentara Mesir untuk meninggalkan Sinai, yang mendukung kemenangan bagi Israel.

Tidak diragukan lagi bahwa kemenangan berada di tangan Israel. Setelah itu Inggris, Perancis, Israel mengizinkan kepada Perserikatan Bangsa – Bangsa untuk mengajukan gencatan senjata dan setelah membuka jalan bagi teluk Aqaba, maka Israel mulai menarik pasukannya dari sana. Sejak Mesir terus berusaha untuk merebut Terusan Suez , Israel menolak untuk melakukan senjata bagi pasukannya di perbatasn dan Israel tidak keberatan untuk pembagian daerahnya di wilayah Arab. Hal inilah yang memberikan kemungkinan kecil bagi bangsa Israel dan bangsa – bangsa Arab untuk mencapai perdamaian – perdamaian yang diharapkan oleh bangsa Israel dan yang menyebabkan timbulnya perang tahun 1967.


(13)

Setelah berakhirnya perang di Sinai, Mesir berusaha untuk melakukan usaha – usaha yang baru untuk membuat liga Arab yang mempunyai tujuan yang sangat jelas yaitu untuk menghancurkan pertahanan bangsa Israel.

Perang Tahun 1967

Tuntutan dan pemboman yang dilakukan oleh tentara Mesir di perbatasan daerah yang ditinggali oleh Tentara Mesir di perbatasan daerah yang ditinggali oleh mayoritas penduduk Israel, membuat Israel melakukan serangan melawan tentara Mesir. Serangan Israel yang dilakukan pada tanggal 5 Juni adalah usaha untuk menaklukkan Sinai dan Jalur Gaza.

Israel berhasil menjatuhkan lebih kurang 400 tentara Mesir yang membuat kemenangan pada pihak Israel.

Kekuatan angkatan bersenjata Israel telah berkembang pada perang yang ketiga ini. Israel telah memiliki 29.000 tentara ditambah dengan 2.500 tank dan kekuatan Angkatan Laut dengan 178 kapal laut dan hamper 1.000 pesawat tempur.

Yang mana kekuatan ini dikombinasikan dengan kekuatan Mesir pula yang terdiri dari gabungan dengan Negara – Negara Syria, Mesir, Yordania, dan Irak yang terdiri dari 522.000 tentara dengan 2.500 tank dan berkekuatan 178 kapal dan hampir seribu pesawat.

Israel berhasil menembus kekuatan Mesir yang telah dibentuk sejak tahun 1956. Ini dimulai pada hari ketiga, ketika kekuatan ampibi Israel mendarat di Sharm el


(14)

Sheikh, yang mendesak pasukan patrol dan membuka teluk Aqaba. Strategi Israel yang tidak diduga oleh Mesir, membuat Israel dapat menguasai Terusan Suez pada hari keempat dan membuat Mesir menerima untuk dilakukannya gencatan senjata.

Sementara itu pasukan Arab melakukan penyerangan di kota Yerusallem pada hari pertama yaitu tanggal 5 Juni, yang membuat Israel bergerak secara cepat untuk menyelamatkan strategi di Utara dan menyerang pasukan Yordania pada saat yang sama ketika Israel menyerang pasukan Mesir. Di dalam tempo 2 hari yang dimulai sejak tanggal 6 Juni, Israel memusatkan serangannya pada kekuatan yang berada di Barat dari daerah Yordania yang akhirnya membuat Israel dapat menguasai Old City dari Yerusallem pada hari keenam.

Kemenangan Israel pada ketiga periode dari perang – perang sebelumnya menyebabkan Israel mempunyai peluang yang besar untuk menguasai tanah Palestina dan tanah – tanah sekitarnya. Dan inilah merupakan kelanjutan dari konflik antara Israel dan Negara – Negara Arab yang berlanjut hingga saat ini.

Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi kedua negara dan


(15)

sebagian lagi menganjurkan mencakup wilayah Israel masa kini,

Seja resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:

• Status dan masa depan

mencakup wilayah-wilayah dari

• Keamanan Israel

• Keamanan Palestina.

• Hakikat masa depan

• Nasib par

• Kebijakan-kebijakan

pemukiman itu.

• Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait

Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari

Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat


(16)

semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan “kedua belah” pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: da yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel

Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhada atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.


(17)

Suatu hal yang sangat wajar perbuatan biadab Israel itu kemudian memancing kemarahan masyarakat Internasional. Reaksi dan kecaman datang dari berbagai belahan dunia. Di Eropa dan Timur Tengah ribuan demonstran turun ke jalan memprotes serangan Israel itu. Di Ankara, rakyat Turki meluapkan kemarahan mereka. Ribuan orang berdemonstrasi untuk protes serangan Israel. Spanyol (presiden Uni Eropa saat ini), Prancis, Swedia, Norwegia, Denmark, Austria, dan Yunani telah memanggil duta besar Israel untuk meminta penjelasan terhadap penyerangan tentaranya.

Presiden Mesir Hosni Mubarak menyebut penyerbuan itu sebagai penggunaan “kekuatan secara berlebihan dan tak dapat dibenarkan”. Sementara Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu, menyebut serangan Israel sebagai pembunuhan yang dilakukan oleh negara dan menuntut permintaan maaf Israel segera, penyelidikan yang mendesak, serta tindakan hukum Internasional terhadap otoritas dan pelaku yang bertanggung jawab, dan mengakhiri blokade Gaza. Bahkan anggota Parlemen Israel pun mengecam serangan tersebut. Di Indonesia, kecaman tersebut juga datang dari tidak hanya dari umat muslim tetapi juga dari umat non muslim, Persekutuna Gereja Indonesia (PGI) salah satunya, yang menyampaikan pernyataan bersama untuk mengutuk penembakan kapal oleh Israel.

Sebagai reaksi atas peristiwa penembakan tesebut, Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat untuk membahas penyerbuan Israel pada tanggal 31 Mei 2010. Hasilnya, PBB mengeluarkan pernyataan yang meminta segera dilakukan penyelidikan atas serangan Israel terhadap kapal yang membawa bantuan


(18)

kemanusiaan. penyelidikan itu harus “cepat dan tepat, tidak memihak, kredibel dan transparan.” Dewan Mengutuk serangan tersebut, dan turut berbela sungkawa bagi keluarga korban dan kepada Israel agar membebaskan kapal-kapal tersebut serta ratusan aktivis yang mereka tahan. Anggota Dewan Keamanan PBB juga mendesak Israel untuk mencabut blokade di Jalur Gaza. Blokade itu dinilai telah terbukti kontraproduktif dan tidak dapat diterima.

Sementara sikap mendua seperti biasa ditunjukan oleh Amerika Serikat. Melalui juru bicara Gedung Putih William Burton, mereka mengatakan “sangat menyesal” dengan hilangnya nyawa dan korban cidera dalam bentrokan, tetapi juga mengritik upaya armada bantuan kemanusiaan mencoba menerobos blokade Israel di Gaza.

Implikasinya, menurut Mahmud Zahar, pemimpin dan pendiri Hamas, penyerangan tersebut akan membuat Israel kehilangan kedibilitasnya di hadapan masyarakat Internasional. Mereka akan kehilangan kepercayaan dari sekutu mereka yaitu Amerika Serikat dan Negara – Negara Eropa. Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat hubungan internasional Nurani Candrawati, yang menilai penyerangan Israel atas kapal kemanusiaan Mavi Marmara memperlemah posisi mereka di kancah Internasional karena lima puluh negara yang warganya jadi korban di kapal itu pasti bereaksi keras.

C. Efek Blokade Israel di Jalur Gaza

pemilu parlemen pada Januari 2


(19)

tindakan Israel untuk melumpuhkan warga di kawasan.

meminta masyarakat internasional untuk

mengelola perb - tidak

dikuasai Israel, ikut melakukan "blokade" terhadap warga setempat.

berat yang membutuhkan perawatan medis yang lengkap.

arogansi I

hebat ke kawasan tersebut.


(20)

mengurangi tekad mereka untuk meneruskan muqawa

sabar, istiqamah dalam berjuang

memenjara

-

-berlanjutnya kejahatan tersebut.

Disebutkan bahwa jumlah penduduk Palestina yang berhasil keluar dari Jalur Gaza menuju Tepi Barat dan wilayah lain masih sangat terbatas. Terdapat juga sikap acuh terhadap mengalirnya barang-barang dagangan. Dan terakhir, semakin banyak persyaratan yang tambah menyempitkan ruang gerak para penduduk di Tepi Barat. Belum ada sama sekali perkembangan ekonomi yang tercipta dalam masa damai ini seperti yang diharapkan sebelumnya. Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah semakin parahnya kondisi kemanusiaan dan semakin kuatnya penindasan. Penutupan pintu


(21)

Rafah menyebabkan semakin parahnya kondisi ekonomi pada tanggal 15 November 2005 hingga 2006.

Israel sama sekali menyepelekan butir-butir hasil kesepakatan sewaktu Hamas berkuasa di Jalur Gaza pada pertengahan Juni 2007. Mereka beralasan, berkuasanya Hamas adalah sebab ditutupnya pintu-pintu masuk Palestina pada tanggal 15 Juni 2007. Hal itu membuat Israel semakin kuat dalam memblokade Jalur Gaza. Dan untuk menunjukkan rasa kemanusiaannya, Israel membuka pintu Minthar dan Shufa untuk jalan masuk barang-barang dagangan dan bantuan kemanusiaan menuju Jalur Gaza.

Pada tanggal 19 September 2007 menaikkan permusuhannya terhadap Jalur Gaza dengan mengumumkan bahwa di Jalur Gaza ada pemerintah musuh yang siap menyerang. Pengumuman itu disusul dengan menerapkan banyak sekali kebijakan yang semakin beratnya kehidupan di Jalur Gaza. Ada sebuah laporan yang dibuat oleh Bank Dunia tentang kondisi ekonomi di Jalur Gaza dan Tepi Barat pada bulan November 2007 bahwa ketidak-jelasan pembukaan pintu-pintu masuk wilayah itu menyebabkan tidak mampunya perusahan-perusahan untuk melakukan ekspor import secara terprogram dan menguntungkan. Hal itu juga menyebabkan terbengkalainya proyek-proyek ekonomi dan larinya modal investasi dan SDM keluar negeri.

Pada tanggal 18 Januari 2008, permusuhan yang dilakukan oleh Israel semakin menguat. Saat itu, perdana menteri Ehud Barak memutuskan untuk segera menutup semua pintu masuk ke Jalur Gaza. Selain itu, Israel juga memutus jalur masuknya


(22)

bantuan bahan bakar secara total. Hal terakhir ini menyebabkan Jalur Gaza hidup dalam kegelapan karena tidak ada generator pembangkit listrik yang bisa beroperasi pada tanggal 20 Januari 2008.

Sampai pertengahan bulan Oktober 2008, blokade yang sangat berat atas Jalur Gaza sudah berlangsung selama 16 bulan. Karena blokade itu dimulai pada tanggal 12 Juni 2007. Blokade ini diberlakukan bersamaan dengan semakin kuat dan gencarnya serangan yang dilakukan Israel yang bertujuan mematikan segala potensi kehidupan di Jalur Gaza. Hal ini membuat kehidupan 1.5 juta penduduk Palestina layaknya siksaan neraka Jahannam yang sangat berat.

Saat ini kerugian-kerugian yang dialami oleh beberapa sektor di atas telah membuat Jalur Gaza layaknya kota mati. Blokade telah melumpuhkan gerak penduduk dan barang-barang dagangan dari dan ke Jalur Gaza. Selain itu, segala bentuk transaksi perdagangan pun mati, sangat berbeda dengan pernyataan-pernyataan Israel kepada PBB bahwa Israel akan mempermudah segala gerakan manusia dan barang-barang dagangan di dalam dan luar wilayah Palestina sesuai dengan isi kesepakatan yang akhirnya terjadi pada bulan November 2005. Padahal pihak Palestina sendiri sangat menghormati kesepakatan itu dengan terus meredam gejolak perlawanan rakyat Palestina.

Kebijakan-kebijakan Israel ini bisa dikatakan telah membuat sirna segala harapan untuk menyegarkan kembali kondisi perekonomian di Jalur Gaza. Bahkan


(23)

juga menghabiskan sama sekali dasar-dasar perekonomian Jalur Gaza yang memang lemah.

Hampir bisa dikatakan, Jalur Gaza mengandalkan secara penuh kepada barang-barang dagangan Israel atau yang datang melewati Israel. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana jadinya ketika Israel menutup pintu-pintu masuk Jalur Gaza. Tidak akan ada barang masuk dan tidak ada juga barang keluar. Hal ini menyebabkan naiknya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan yang akhirnya mencapai 80% seperti dikatakan berbagai sumber.

Adapun perkiraan yang dikeluarkan Bank Dunia adalah angka kemiskinan yang semula sebesar 35% pada tahun 2006 naik menjadi 66% pada tahun 2007. Ditambah lagi pertambahan yang sangat mencolok dalam jumlah angka pengangguran hingga mencapai 65%. Hal ini jelas menyebabkan lemahnya kemampuan penduduk Jalur Gaza untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Pendapatan perkapita penduduk Jalur Gaza turun menjadi kurang dari 650 Dollar pertahun.

Di Palestina secara umum, dan Jalur Gaza secara khusus, sektor khusus adalah penggerak utama bagi pembangunan ekonomi. Karena sektor ini telah melahirkan 53% lapangan pekerjaan. Sepanjang masa penjajahan, sektor inilah yang menjadi sasaran utama serangan Israel sehingga menyebabkan melemahnya kemampuan sektor ini untuk berkembang dan survival.

Kemampuan produksi sektor ini turun dari 76% sebelum meletusnya Intifadhah Aqsha, menjadi 31.1% pada perempat pertama tahun 2001. Kemudian sektor ini bisa


(24)

kembali mengembalikan momentumnya hingga 46% antara tahun 2006 hingga Juni 2007.

Namun sejak diterapkannya isolasi total terhadap Jalur Gaza pada pertengahan Juni 2007, kemampuan produksi turun 11%. Sebab utama penurunan ini adalah karena Israel menghentikan pemberlakuan kode bea cukai khusus untuk Jalur Gaza. Hal ini tentu akan menyebabkan sangat kurangnya pemenuhan kebutuhan akan bahan mentah. Semua industri di Palestina hanya mendapat 10% dari yang mereka butuhkan untuk produksi.

Di sini perlu disebutkan bahwa keberhasilan menutupi kebutuhan yang hanya 10% ini menghabiskan dana yang sangat besar. Ditambah lagi, kesulitan yang dihadapi kemudian untuk memasarkan hasil produksi mereka disebabkan penutupan pintu-pintu tersebut.

Sensus menyebutkan bahwa lebih dari 43% perusahaan menghentikan produksi mereka secara total. Di waktu yang sama, lebih dari 55% perusahan tersebut menurunkan jumlah produksi mereka hingga mencapai 75%.

Sektor industri hampir sepenuhnya mengandalkan bahan mentah yang diimpor dari luar. Lebih dari 80% alat berat produksi dan suku cadang diimpor dari luar. Kemudian sebagian besar hasil industri diekspor ke luar. Pada waktu puncak produksi, kemampuan ekspor bisa mencapai 748 kontainer yang mengangkut hasil industri untuk satu bulan. Sebagian besar berupa perabot rumah tangga, produk makanan, garmen, dan produk pertanian.


(25)

Sejak dimulainya blokade, Israel menghapuskan penggunaan kode bea cukai untuk Jalur Gaza. Israel juga menghalangi masuknya bahan mentah ke dalam Jalur Gaza. Hal ini menyebabkan sektor industri macet total, karena sektor ini mengandalkan lebih dari 85% bahan mentah dari atau lewat Israel.

Sensus menyatakan bahwa lebih dari 97% perusahan industri ditutup. Jumlahnya kira-kira 3900 perusahaan. Selain itu, produk industri yang sudah siap pun tidak bisa dipasarkan ke luar. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah penganggur menjadi 35.500 orang. Sebelumnya memang jumlah pekerja pada sektor industri mencapai 35.500 orang sebelum Israel menutup pintu-pintu masuk. Dan setelah penutupan, jumlah pekerjanya hanya 1500 orang.

Hasil penghitungan yang dikeluarkan organisasi persatuan industri Palestina menunjukkan bahwa kerugian yang ditimbulkan dari blokade terhadap Jalur Gaza itun mencapai 15 juta Dollar, karena pendapatan bersih sektor industri di Jalur Gaza pada tahun 2006 mencapau 500.000 Dollar per hari. Jadi jumlahnya hingga pertengahan Oktober 2008 mencapai 97.5 juta Dollar.

Keterangan yang dikeluarkan oleh sektor-sektor ekonomi menyebutkan bahwa kerugian langsung mencapai 320 juta Dollar. Oleh karena itu, sektor-sektor yang mengalami kerugian itu sama sekali belum pernah mengekspor produk mereka.

Jumlah perusahaan industri pun mengalami penurunan. Dari yang tadinya berjumlah 600 perusahaan, berkurang menjadi 30 perusahaan. Sehingga kerugiannya


(26)

pun bisa mencapai 120 juta Dollar. Selain itu, lebih dari 6500 pekerja kehilangan pekerjaannya.

Adapun khusus berkenaan dengan produksi tekstil dan garmen, keterangan tersebut menyatakan bahwa hampir keseluruhan perusahaan, yang jumlahnya lebih dari 960 perusahaan. Perusahaan sebanyak itu setiap tahunnya bisa memproduksi sekitar 5 juta helai pakaian, yang 95% dari jumlah itu diekspor ke Israel.

Selain itu, lebih dari 2500 orang kehilangan pekerjaannya. Dan secara keseluruhan, kerugian yang ditanggung sebesar 40 juta Dollar. Perlu diketahui, jumlah kendaraan yang dibutuhkan untuk mengangkut hasil produksi itu sebanyak 245 kendaraan.

Keterangan juga menunjukkan bahwa seluruh perusahaan konstruksi ditutup. Perinciannya adalah 13 perusahaan keramik, 30 perusahan semen, dan 145 perusahaan marmer. Keseluruhan, pekerja yang kehilangan pekerjaan dalam bidang ini sejumlah 3500 orang.

Jalur Gaza memiliki lebih dari 70.000.000 meter persegi lahan pertanian. Lahan seluas itu bisa memproduksi 280.000 hingga 300.000 ton produk pertanian setiap tahunnya. Sepertiga produk tersebut diekspor.

Sektor pertanian ini membuka lapangan pekerjaan lebih dari 40.000 orang. Baik pekerja tetap ataupun sementara. Jumlah ini adalah 12.7% dari tenaga kerja yang


(27)

tersedia. Selain itu, jumlah ini juga mampu mencukupi kebutuhan makanan bagi seperempat jumlah penduduk.

Sejak pemberlakuan blokade total, Israel menghalangi ekspor produksi Jalur Gaza, termasuk di dalamnya produk pertanian. Selain itu, Israel juga menghalangi masuknya bahan-bahan seperti benih, pupuk, dan berbagai kebutuhan pertanian lainnya. Semua ini menyebabkan sektor pertanian mengalami kerugian yang sangat besar. Jumlah kerugian tersebut diperkirakan 135 juta Dollar untuk waktu antara pertengahan bulan Juni hingga pertengahan bulan Oktober 2008.

Keterangan Departemen Pertanian menyebutkan bahwa kerugian per hari yang disebabkan terhalangnya kemungkinan ekspor sebesar 150.000. Kalau dijumlah, maka kerugian selama masa blokade sebesar 67 juta Dollar. Selain itu, karena mengonggok, ada ribuan ton kentang membusuk tanpa bisa dimanfaatkan, dan lebih dari 10.000 ton produk pertanian lainnya terpaksa dijual di pasar local dengan harga jauh di bawah standar. Perlu dikatahui, harga local hanya 10%-15% dari harga ekspor.

Sebagian petani mengalami kerugian lantara produknya terpaksa dijual di pasar local, sebagian petani yang lain mengalami kerugian karena pasar local mereka dipenuhi dengan produk ekspor.

Diperkirakan penurunan jumlah produksi musim tanam ini mencapai 20%-30% dari produksi musim tanam yang lalu. Kerugian perbulan diperkirakan mencapai 10 juta Dollar.


(28)

Bisa dikatakan, blokade telah menghancurkan musim produksi pertanian, mulai dari tanggal 15 November sampai bulan Mei 2008.

Diperkirakan jumlah petani pada musim ini berjumlah 7500 orang. Keberhasilan produksi mereka yang berjumlah 14 juta Dollar mengandalkan sepenuhnya kepada ekspor. Untuk jumlah ini, lahan yang ditanami seluas 3.130.000 meter persegi. Mereka menanaminya dengan strawberry, kentang, dan lain-lain.

Di sektor perikanan, Israel juga melakukan penekanan. Sehingga diperkirakan ada sekitar 3.000 nelayan kehilangan mata pencaharian mereka. Dan kerugian mereka diperkirakan 3 juta Dollar per bulan.

Sektor kesehatan mengalami hal yang sama. Blokade Israel telah demikian menghancurkannya, sehingga dinas kesehatan tidak mampu lagi memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk, walaupun hanya pelayanan yang sangat sederhana. Hal ini menyebabkan terjadinya musibah kemanusiaan. Rumah-rumah sakit kini lumpuh dan tidak bisa memberikan pelayanan kesehatan yang layak untuk penduduk.

Laporan dari departemen kesehatan menunjukkan bahwa sebagian besar obat pokok telah habis. Sampai tanggal tulisan ini dibuat, jenis obat yang habis itu diperkirakan berjumlah 160 jenis. Sedangkan keperluan kedokteran yang lain berjumlah 130 macam. Kemudian obat yang masih ada, 120 jenis di antaranya juga diperkirakan akan habis dalam waktu dekat, dan sekitar 90 alat kedokteran sudah


(29)

tidak bisa dipakai lagi karena tidak adanya suku cadang yang diperlukan untuk memperbaikinya.

Yang membuat keadaan lebih parah, para penduduk juga tidak bisa meninggalkan Jalur Gaza untuk sekadar mendapatkan pengobatan yang layak. Catatan yang dikeluarkan WHO, ada ratusan kasus penyakit kronis yang membutuhkan operasi spesialis terutama yang berkenaan dengan otak, syaraf, dan tulang, kanker, ginjal, dan jantung, tidak bisa mendapatkan pengobatan karena jalan ke luar Jalur Gaza ditutup.

Catatan WHO menambahkan bahwa ada lebih dari 1150 orang sakit yang tidak bisa meninggalkan Jalur Gaza untuk mendapatkan pengobatan mulai dari tanggal diberlakukannya blokade hingga akhir bulan Februari. Sedangkan Departemen Kesehatan menyebutkan ada sekitar 1300 orang sakit yang membutuhkan pengobatan di luar Jalur Gaza, 210 di antaranya dalam kondisi kritis.

Departemen Kesehatan mencatat ada puluhan kasus meninggal dunia karena tidak bisa keluar dari Jalur Gaza untuk mendapatkan pengobatan. Hingga akhir bulan Oktober ada 252 orang yang meninggal disebabkan blokade.

Sejak Israel mengumumkan berhentinya penggunaan kode bea cukai untuk Jalur Gaza, dan melarang masuknya bahan mentah ke Jalur Gaza, yang di antaranya adalah bahan-bahan bangunan seperti semen, besi, dan baja, maka sektor konstruksi pun menjadi lumpuh. Dan banyak pabrik bahan bangunan tutup, di antaranya 13 pabrik


(30)

keramik, 30 pabrik semen, 145 pabrik marmer, 250 pabrik batu bata. Hal ini menyebabkan sejumlah 3.500 orang kehilangan pekerjaannya.

Selain berhentinya proyek-proyek pembangunan yang diperkirakan bernilai 350 juta Dollar, karena PBB menghentikan proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalan, saluran air, saluran pembuangan air, yang semuanya diperkirakan berjumlah 60 juta Dollar. International Relief Agency juga menghentikan program penciptaan lapangan pekerjaan yang bernilai 93 juta Dollar, yang dimanfaatkan oleh lebih dari 16.000 orang. Selain itu semua proyek pembangunan gedung-gedung perguruan tinggi, rumah sakit, lembaga-lembaga pemerintah, dan sektor investasi khusus, juga dihentikan.

Israel masih membolehkan masuknya supply bahan makanan, hanya untuk bahan pokok dan dilakukan secara terputus-putus. Namun setelah mengumumkan bahwa Jalur Gaza adalah pemerintah yang menjadi musuh, Israel membatasi jenis bahan makanan pokok yang diperbolehkan masuk dengan batas 20 jenis. Hal ini menyebabkan sangat kurangnya bahan makanan, hilangnya beberapa jenis makanan dari pasar, dan meroketnya harga barang.

Menurut catatan yang diambil dari pintu Rafah, bahan makanan yang bisa masuk hanyalah 15% dari jumlah kebutuhan penduduk Jalur Gaza. Naiknya harga bahan makanan dimulai pada bulan Juli 2007 disebabkan sangat minimnya bahan makanan yang ada karena pintu masuk yang ditutup dan produksi yang terhenti.


(31)

Sebagian besar penduduk tidak mempunyai daya beli kebutuhan pokok. Dari 62% keluarga yang ditanya, 93,5% dari mereka mengatakan telah menurunkan anggaran belanja. Hal itu bisa dilihat akibatnya, yaitu berkurangnya konsumsi daging hingga 98%, dan konsumsi produk susu hingga 86%.

Setelah peristiwa bulan Juni 2007 di Jalur Gaza, Israel mengeluarkan berbagai kebijakan dan birokrasi, di antaranya:

1. Menurunkan suply bahan bakar yang biasa digunakan untuk mengoperasikan

stasiun pembangkit listrik. Hal ini menyebabkan terputusnya aliran listrik dan lemahnya tegangan.

2. Menurunkan supply bahan bakar yang biasa digunakan untuk mengoperasikan

generator pengganti pembangkit listrik.

3. Menutup pintu-pintu masuk, dan menghalangi masuknya berbagai bahan,

peralatan, dan suku cadang, yang biasa digunakan untuk mengoperasikan dan memperbaiki saluran perairan dan saluran pembuangan. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan Dinas Perairan untuk terus menyediakan kebutuhan minimah akan air.

Permasalahan juga dihadapi oleh sektor yang bertugas mengumpulkan sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah yang berjumlah tiga tempat, yaitu Gaza, Dier Balah, dan Rafah. Sampah rumah tangga yang dihasilkan Jalur Gaza diperkirakan berjumlah 400.000 ton pertahun


(32)

Proses pembuangan sampah juga sering macet untuk waktu yang panjang. Sebab utama hal ini adalah tidak tersedianya bahan bakar dan suku cadang kendaraan pengangkut sampah tersebut.

Sekitar 50% kendaraan milik pemerintah kota Gaza tidak bisa dioperasikan. Selebihnya terancam rusak beberapa hari ke depan dikarenakan blokade, penutupan pintu masuk, dan kekurangan bahan bakar. Ditambah lagi, kenyataan bahwa sebenarnya daya kemampuan kendaraan yang tersedia hanya 40%.


(33)

BAB IV

PERLINDUNGAN TERHADAP RELAWAN KEMANUSIAAN DAN FAKTA – FAKTA DALAM KONFLIK PERANG GAZA

A. Perlakuan Terhadap Relawan Kemanusiaan Perang Gaza

Pada tanggal 31 Mei 2010 Kapal Mavi Marmara yang jelas-jelas membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, diserang tentara Israel. Kapal Mavi Marmara yang berbendera Turki yang ditembaki oleh tentara Israel, membawa sekitar 563 relawan dari 31 negara. Kapal tersebut merupakan salah satu dari 6 kapal yang tergabung dalam armada The Freedom Flotilla. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan serta membebaskan Gaza dari Blokade yang diterapkan Israel sejak Hamas berkuasa pada tahun 2007. Misi tersebut diikuti oleh berbagai aktivis pro palestina dari berbagai belahan dunia, beberapa diantaranya bahkan adalah nama yang terkenal seperti peraih nobel perdamaian, sastrawan, sutradara film, politisi, dan wartawan. Di dalam kapal tersebut juga terdapat terdapat 12 WNI yang berasal dari 3 organisasi, yaitu Sahabat Al Aqsha bekerja sama dengan Hidayatullah, Relawan Mer-C, dan KISPA.

Kapal tersebut ditembaki di perairan internasional di Laut Tengah dalam pelayaran dari Cyprus di wilayah perairan internasional, 65 kilometer dari perairan Gaza. Wartawan asal Skotlandia, Hassan Ghani dalam laporannya untuk Press TV


(34)

mengatakan bahwa mereka dilempari gas air mata dan granat kejut oleh Pasukan Isreal. Selain itu mereka juga dikelilingi kapal-kapal perang (Israel) dan diserang dari segala penjuru. Sebuah kapal Yunani, Sfendoni, yang turut dalam rombongan kapal bantuan kemanusiaan itu juga ditembaki baik dari perahu-perahu maupun helikopter-helikopter Israel.

Beberapa relawan tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Israel dengan pasti mengetahui kapal itu hanya membawa misi kemanusiaan dan tanpa persenjataan militer. Israel juga sadar aksi brutalnya akan menuai protes keras dunia internasional. Kapal itu membawa aktivis perdamaian dari sekurangnya perwakilan lima puluh negara.

Alasan – alasan Israel melakukan penyerangan terhadap Kapal Mavi Marmara adalah sebagai berikut :

1. Israel ingin menunjukkan supremasinya pada dunia Internasional bahwa blokade

yang dilakukannya di Jalur Gaza tidak boleh dan tidak bisa ditembus pihak mana pun, sekalipun itu untuk misi kemanusiaan. Kalau saja bantuan itu berhasil menembus blokade Israel, tandanya pemblokadean itu kedodoran dan ada celah untuk keluar masuk Hamas. Dengan kata lain, Israel ingin menebarkan trauma psikologis kepada siapa pun, yang mencoba menerobos blokade di Gaza.

2. Israel tidak ingin misinya melumpuhkan Hamas di Jalur Gaza, yang sudah

berjalan tiga tahun lebih, gagal. Masuknya bantuan kemanusiaan dapat memperpanjang napas hidup Hamas dan memperkuat pengaruhnya terhadap


(35)

penduduk Gaza. Bagi Israel, bantuan itu dikhawatirkan menguntungkan Hamas dan semakin menarik simpati penduduk Gaza untuk mendukung Hamas.

3. Israel tidak ingin nasib dan penderitaan penduduk Gaza, saat ini diketahui publik

internasional. Masuknya misi kemanusiaan dari berbagai negara yang turut membawa wartawan dan jurnalis berbagai media, dikhawatirkan membuat laporan yang dapat meningkatkan tekanan dunia internasional pada Israel. Berbagai media itu juga dapat dijadikan “corong” Hamas untuk memperoleh dukungan dunia.

Oleh karena itu, Israel pun berencana memulangkan semua relawan kemanusiaan tersebut ke negaranya masing-masing. Sementara bantuan kemanusian itu boleh masuk, hanya jika melalui otoritas pemerintahan Israel sendiri yang membawa dan menyalurkannya..

Terlepas dari motif tersebut, tindakan penyerangan terhadap relawan kemanusiaan dan jurnalis dalam kondisi apa pun adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi, kapal Mavi Marmara yang diserang Israel masih berada dalam perairan internasional dan bukan dalam kondisi perang. Dalam Hukum Internasional, Statuta Roma Pasal tujuh disebutkan, “kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.” Kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah salah satu dari empat pelanggaran HAM berat, yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court.


(36)

Israel melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan bukan kali ini saja, melainkan telah berulang kali. Lembaga Amnesti Internasional dan Human Rights Watch telah dua kali melakukan gugatan pada Israel; pada perang Israel-Hezbollah 2006 dan pascaagresi militer Israel ke Gaza 2009.

PBB sebagai lembaga internasional yang memiliki kewenangan mengadili setiap pelanggaran hukum internasional. Aksi brutal Israel ini tidak saja melukai rasa kemanusiaan, melainkan akan menguatkan kembali sentimen anti-Israel dan berkembang menjadi sentimen anti-Amerika Serikat. Terutama jika AS tetap menunjukkan keberpihakannya kepada Israel. Sentimen inilah, yang akan menyemai teroris-teroris baru.

Israel melabeli Hamas sebagai organisasi teroris, predikat yang sama juga layak disandang Israel. Atau sekurangnya Israel dapat disebut terrorist in reverse (al-irhab al-ma`kus), yaitu, perilaku teror yang dilakukan dengan dalih memerangi teroris. Keduanya sama-sama menjadikan rakyat sipil sebagai sasaran.

B. Peranan PBB Dalam Mengatasi Kasus Blokade Jalur Gaza

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) berdasarkan Piagam (Charter) diharapkan mampu menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina tersebut, akan tetapi peran DK PBB ternyata masih bergantung dengan Amerika Serikat (AS). Dominansi Amerika Serikat membuat efektifitas DK PBB tidak maksimal. Segala bentuk resolusi yang berkaitan tentang Israel, AS lebih memilih abstain atau mem-veto hasil perundingan DK PBB dengan beberapa anggota


(37)

lainnya. Resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB tidak berarti bagi Israel, sehingga perbuatan Israel yang membabi buta menghancurkan wilayah jalur Gaza.

Penduduk Palestina sudah puluhan tahun hidup dalam perjungan untuk membela kedaulatannya, dan membela keadilan serta hak asasinya. Serangan israel yang dinilai memiliki senjata yang lebih cangi dan mendapat dukungan Amerika tidaklah membuat takut atau mundur perjuangan rakyat palestina, justru melahirkan semangat juang baru untuk membela negara dan keadilan. Konflik yang berkepanjangan ini tidaklah mudah di selasaikan, sebab hal ini persoalan yang harus di tangani dan di selesaikan secara internasional.

Negara yahudi Israel telah membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa dengan serangan rudalnya ke Gaza, Palestina. Israel telah menutup tahun 2008 dengan kejahatannya serta mengangkangi seruan masyarakat internasional untuk menghentikan serangannya ke Palestina. Kebiadabanya lagi Marinir dan pasukan komando marinir negara tersebut menyerbu dan menyerang armada enam kapal yang membawa bantuan kemanusiaan bag i warga Palestina di Jalur Gaza (31/5/2010).Serangan atas rombongan kapal yang tergabung dalam Freedom Fotilla itu terjadi di wilayah perairan internasional dekat Jalur Gaza sebelum subuh. Dalam serangan tersebut, sedikitnya 19 penumpang kapal bantuan tewas dan 36 lainnya luka-luka.

Tindakan brutal dan mengejutkan dari aparat keamanan Israel ini juga akan memperumit upaya inisiatif damai yang diperjuangkan oleh berbagai


(38)

pihak, khususnya inisiatif komunitas internasional. Jatuh korban jiwa hingga 16 orang pekerja bantuan kemanusiaan dan juga puluhan korban luka-luka yang datang dengan upaya damai jelas merupakan serangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Hukum internasional, baik hukum HAM maupun hukum humaniter jelas mengharamkan tindakan yang diambil oleh aparat keamanan Israel. Tidak ada dalih apa pun yang bisa dipertanggungjawabkan untuk membenarkan tindakan tersebut.

Tindakan Israel jelas pantas untuk disebut sebagai pembantaian karena merupakan serangan terhadap wilayah perairan internasional yang jelas menunjukkan bahwa Kekuatan Pertahanan Israel (Israel Defense Force-IDF) terlalu berlebihan. IDF telah secara sepihak mengklaim adanya penyusupan teroris dalam kapal yang berisi. Klaim itu tidak berdasar dan malah menunjukkan bahwa IDF gagal membuktikan kecermatan intelijennya.

Pespon PBB Pada 2 Juni 2010, Dewan HAM PBB telah memutuskan resolusi No. A/HRC/RES/14/1, menanggapi dan mengutuk penyerangan angkatan bersenjata Israel terhadap flotilla kapal bantuan kemanusiaan tanggal 31 Me i 2010, yang mengakibatkan terbunuh dan tercederainya banyak warga sipil yang tidak bersalah dari berbagai negeri. Berdasarkan resolusi ini, Dewan HAM akan mengutus misi pencarian fakta untuk menyelidiki pelanggaran hukum HAM dan humaniter internasional terkait peristiwa tersebut.

Dalam menganalisis peran PBB dalam penyelesaian konflik maka sebelumnya penulis memaparkan terlebih dahulu Tahapan Resolusi Konflik. Burton menyatakan


(39)

bahwa konflik tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan bersenjata dan juga dengan negosiasi antarpihak yang bertikai. Resolusi konflik tidak berakhir di meja perundingan namun merupakan suatu proses untuk menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Adalah penting untuk melakukan perubahan struktural sebagai langkah awal resolusi konflik dengan mengidentifikasi potensi kekerasan struktural (structural violence) yang terdapat dalam konflik dan kemudian merancang solusi-solusi yang mungkin diterapkan untuk menghilangkannya.

Adalah perlu untuk mengeksplorasi cara-cara non-kekerasan untuk menyelesaikan sengketa dan menempatkan instrumen perang sebagai alternatif terakhir. Tahap – tahap yang perlu ditempuh dalam penyelesaian konflik antara lain :

1. Tahap De-eskalasi Konflik

Pada tahap ini konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga harus ditemukan waktu yang tepat untuk memulai proses resolusi konflik yang dengan terpaksa akan diwarnai oleh orientasi militer untuk menurunkan tingkat eskalasi konflik pihak-pihak yang bertikai. Dalam konflik Palestina-Israel di atas yang perlu dilakukan sebagai tahap paling awal untuk memulai proses resolusi konflik adalah menghentikan kekerasan yang terjadi. Hal ini tidak dapat dilakukan hanya dengan “menyuruh” Arafat menghentikan aksi-aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh warganya saja tetapi harus secara simultan diiringi dengan penarikan kembali tank-tank dan kapabilitas militer Israel lainnya dari


(40)

perbatasan Jalur Gaza dan Tepi Barat sehingga akan tercipta “negative peace” yang akan menjadi pintu gerbang menuju langkah panjang mencapai “positive peace”.

Tahap de-eskalasi konflik ini bisa dilakukan dengan menerapkan konsep “peace-making” yang bisa melibatkan aktor PBB melalui pengiriman pasukan perdamaian untuk menghentikan kekerasan yang terjadi dan memaksakan perdamaian dalam artian penghentian kekerasan (peace enforcement).

Perundingan telah beberapa kali dilakukan pihak Palestina dan Israel dengan mediasi AS, PBB ataupun negara-negara Eropa namun tidak membawa perubahan dalam artian membawa perdamaian yang positif yang berarti. Kesepakatan yang cukup maju adalah ketika diselenggarakan perundingan Camp David II tahun 2000 di AS dengan mediator Presiden AS Bill Clinton. Pada kesepakatan tersebut Ehud Barak memberikan penawaran pada Arafat, berupa penerimaan atas sebuah negara Palestina yang merdeka, ditariknya pasukan Israel sebanyak lebih dari 97 persen dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, pembongkaran pemukiman Yahudi sebanyak 25 unit di wilayah Palestina, pembagian Jerusalem atas wilayah Arab yang akan berada di bawah kontrol Palestina dan pembagian kekuasaan atas wilayah Temple Mount serta penerimaan sejumlah pengungsi Palestina yang meninggalkan rumahnya sejak Perang Kemerdekaan Israel tahun 1948 (Avinery, Foreign Policy 2002).

“Konsesi” yang terdengar cukup adil ini ternyata ditolak mentah-mentah oleh Arafat dan kegagalan Camp David ini menimbulkan pemahaman pada pihak Israel dan Barat bahwa Palestina tidak mau menerima apapun selain perginya Israel dari


(41)

wilayah mereka. Lingkaran kekerasan yang tiada pernah berhenti antarkedua pihak pun semakin mambuat kesepahaman sulit diraih. Selama salah satu pihak, dalam hal ini Palestina, masih memainkan kartu “unilateral disengagement” yang berarti memveto hasil perundingan, selama itu pula sulit dicapai kata sepakat.

2. Tahap Negosiasi

Pada tahap ini perlu dijalin pemahaman antar aktor yang bernegosiasi melalui teknik-teknik negosiasi lintas-budaya untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman antarkedua kelompok dengan latar budaya dan nilai yang berbeda. Dalam hal ini, perlu diusahakan agar setiap butir negosiasi dimengerti, dipahami dan dapat diterima oleh kedua belah pihak sehingga memudahkan proses perundingan yang akan dilakukan. Perlu juga dilakukan pelatihan negosiasi bagi para mediator sehingga mereka dapat memahami sensitivitas budaya yang ada.

Dari penjabaran pembahasan sebenarnya kita dapat melihat bahwa resolusi konflik dengan memakai bentuk negosiasi dan konsensi seringkali memberikan celah bagi adanya penolakan dan pada akhirnya menciptakan kondisi “stalemate”. Di masa depan, konsesi-konsesi yang dirancang haruslah bersifat “mutual concession” yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum dibahas dalam forum perundingan.

3. Tahap Problem-Solving Approach

Pada tahap ini perlu dibangun pemahaman timbal balik tentang cara untuk mengeksplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif tersebut akan mudah digali


(42)

bilamana ada upaya untuk mengkaji sebab-sebab fundamental dari konflik tersebut yang harus dianalisa dalam konteks yang menyeluruh. Pemahaman antara Palestina dan Israel dapat dimulai dengan memberikan informasi yang benar tentang kompleksitas konfli yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, kendala-kendala struktural yang menghambat proses resolusi konflik, dn sebagainya. Dalam hal ini harus dimulai sikap keterbukaan antara Palestina dan Israel dan dibangun situasi saling mempercayai.

4. Tahap Peace Building

Misperception antarkedua pihak yang bertikai haruslah diatasi dengan men-dekonstruksi secara sosial penyebab terindoktrinasinya persepsi dan stereotip-stereotip yang bisa jadi salah mengenai lawan mereka. Pihak Palestina haruslah berupaya sungguh-sungguh untuk menghentikan aksi-aksi bom bunuh diri dengan memutus mata rantai konstruksinya. Di sekolah-sekolah, baik di Palestina maupun di Israel, harus ditanamkan nilai-nilai universal yang menghormati hak-hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup dan oleh karenanya membunuh adalah sesuatu yang dilarang dan dibenci. Hamas harus dapat dirangkul baik oleh pihak Palestina sendiri maupun oleh Israel melalui dijalinnya komunikasi yang sehat yang tidak dilandasi oleh sikap saling curiga. Namun hal ini sulit berhasil bila di sisi lain Israel masih terus melakukan aksi perluasan okupasinya yang terus menyulut kemarahan organisasi-organisasi kelompok Islam militan yang tidak akan tinggal diam melihat tanah airnya dirampas.


(43)

Palestina dan Israel sama-sama berkewajiban membangun civil society dan melakukan rekonsiliasi. Hal ini dapat dimulai dengan mengembangkan dan menyebarkan sikap memaafkan (forgiveness) dari kedua belah pihak sehingga tidak ada lagi dendam akibat trauma kekerasan di masa lampau. Untuk itu diperlukan keterlibatan beragam aktor resolusi konflik yang tentu saja non-militer, seperti LSM, mediator internasional dan institusi-institusi keagamaan. Dalam konflik Palestina-Israel perlu dibangun suatu dialog informal yang melibatkan banyak tokoh keagamaan, tokoh dari kedua belah pihak dan masyarakat umum untuk secara kontinu membangun kesadaran bersama akan pentingnya menciptakan perdamaian untuk kelangsungan hidup bersama.

Perdamaian antara Palestina dan Israel bukanlah hal yang mustahil tercapai namun membutuhkan kesadaran politik yang kuat dan keyakinan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan. Dan setiap penyelesaiannya yang terbaik adalah dengan memperhatikan seluruh aspek kebutuhan pihak-pihak yang bertikai dan secara simultan membangun nilai-nilai universal yang dilandasi oleh prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia, kemerdekaan dan keadilan.

Untuk meminimalisasi bersemainya teroris baru, dunia harus menunjukkan komitmennya menentang setiap aksi kekerasan Israel. Kasus penyerangan Israel ini harus diajukan ke Mahkamah Internasional. Negara-negara yang memiliki perwakilan relawan dalam kapal Mavi Marmara, mesti satu suara menekan PBB agar menjatuhkan sanksi tegas terhadap Israel.


(44)

Tentu saja sikap tegas PBB ini akan efektif, jika mendapat dukungan anggota Dewan Keamanaan PBB, terutama AS dan negara-negara besar lainnya. Tanpa itu, bisa dipastikan upaya PBB akan kembali kandas di tengah jalan. Sama seperti tidak efektifnya Resolusi DK PBB, karena abstainnya AS.

Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel yaitu :

1. Resolusi tentang Ham Resolusi A/55/133 isinya mengenai tindakan –tindakan Israel yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Palestina. (mengenai pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi dan Penutupan daerah)

Dalam resolusi ini, Majelis Umum menitik beratkan pada perlunya menjaga integritas territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina, termasuk menghilangkan pembatasan yang dilakukan oleh Israel.

2. Resolusi A/55/128 mengenai tanah kepemilikian Palestina sesuai dengan prinsip – prnsip kebenaran dan keadilan.

Adapun prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yaitu:

1. Resolusi A/56/142 hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri.

2. Upaya pembentukan road map yang disepakati oleh komite Kwartet, yaitu As,

Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB

3. Resolusi PBB No.181 tahun 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa


(45)

4. Pembentukan komis I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi Palestina, yaitu UN Conciliation Commission For Palestine ( UNCCP) yang kemudian pada tahun 1950 juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina dengan nama UN Relief and Works Ageny (UNRWA)

5. Resolusi No. 194 yang berbunyi :

Majelis umum menegaskan bahwa harus di izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali kerumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalka, dan mendapat ganti rugi dari kerugia atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum Internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.

6. Resolusi No. 338 penyeruan mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai

dan mengakhiri aksi bersenjata kedua pihak.

7. Resolusi No. 1276 yang meminta kedua pihak serius untuk mengentikan

gencatan senjata.

8. Pada tanggal 7 oktober 2000 DK menyetujui resolusi yang mengecam

penggunaan kekuatan berlebihan, yaitu no. 1322 dimana Dk PBB menyatakan sangat Prihatin dalam peristiwa tragis yang membawa banyak kematian dan kerugian dan kebanyakan orang-orang Palestina. ( dibawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel justru menunjukan eskalasi militer dan Politik. Israel mengerahkan pasuka bersenjatanya ke tepi barat dan membantai orang2 palestina di kamp


(46)

pengungsi di jenin, Balata, Rammalah, Aida, dir balah dan Deheish sejak awal hingga pertengahan Juni 2002.

9. Resolusi no. 1937 12 maret 2002, yang meminta dengan segera penghentian

semua tindakan kekerasan termasuk tindakan meneror, penghasutan dan pengrusakan. Tanggapan dari Resolusi ini yaitu, pada tanggal 20 maret pejuang palestina melakuk an aksi bom bunuh diri di dekat kota Umm Al-Fahm, Israel Utara dan juga dekat kota Yerusalem hingga sebagai balasannya PM Ariel Sharon mengumumkan deklarasi perang serta mengerahkan pasukannya lengkap dengan persenjataan dan alat-alat berat ke kota Ramallah, untuk mengepung Yasser Arafat.

10. Resolusi No 1402 pada tangga 30 Maret 2002, secara aklamasi meminta kedua

pihak yang bertikai untuk melakukan gencata senjata, serta agar Israel menarik pasukannya dari kota Palestina, termasuk wilayah Istana pemimpin palestina Yaseer Arafat. Kenyataannya Israel tetap tidak menarik pasukannya, aksi penyanderaan Yaser Arafat diiringi dengan penghancuran hampir seluruh bangunan Istana Kepresidenan dengan penghancuran Bom.

11. Resolusi PBB N0. 1403 4 april 2002 membawa mereka ke meja perundinga

untuk membicarakan kesepakatan perdamaian dan menghasilkan Peta perdamaian 16 juli 2002 di New YORK.


(47)

12. Pada tanggal 20 juli 2004 resolusi ES-10 yang secara resmi mendesak Israel untuk mengehentikan dengan segera pembangunan tembok pemish antara Israel dan Palestina.


(48)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang diawali dari perebutan wilayah namun meluas hingga menimbulkan sentimen-sentimen yang berwarna “rasisme” antara Arab dan Yahudi.

Sebab-sebab konflik dapat disimpulkan meluas, dari “sekadar” perebutan wilayah kekuasaan antara Palestina dan Israel hingga akhirnya menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena masalahnya bukan lagi sekadar perebutan wilayah tetapi pertahanan atas apa yang telah direbut dengan berbagai cara sehingga pihak Israel terus melakukan aksi perluasan okupasi dengan alasan melindungi diri dari serangan Palestina sementara pihak Palestina sulit menghentikan aksi-aksi bom bunuh diri yang destruktif yang dilakukan oleh warga negaranya.

Resolusi konflik berupaya mencari penyelesaian masalah yang jauh dari penggunaan kekerasan, walaupun pada akhirnya tetap membutuhkan aksi militer untuk menurunkan eskalasi konflik pada awal tahapan resolusi konflik. Setelah tercapainya keadaan ketiadaan kekerasan barulah dapat dimulai proses panjang menuju rekonsiliasi antarpihak yang bertikai. Upaya tersebut memiliki tujuan jangka panjang yang bukan sekadar menciptakan keadaan tanpa perang tetapi menciptakan perdamaian yang positif yaitu perdamaian di mana tercipta suatu sistem nilai


(49)

bersama, norma-norma universal dan kesadaran dan kemauan untuk memahami pihak lawan dan memaafkannya sehingga menghilangkan trauma, ketakutan dan kebencian, yang membuat proses rekonsiliasi akan sulit berlangsung.

Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB sebagai Organisasi yang diharapkan dan dilegitimasikan sebagai hukum Internasional tidak pernah memberikan sanksi terhadap Israel yang sudah terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan.selain itu kontribusi yang diberikan PBB dalam penyelesaian konflik Palestina Israel terkesan memihak pada Israel sehingga kerangka penyelesaian yang diajukan sulit sesuai dengan pihak yang lain yaitu Palestina. PBB sebagai organisasi Penjaga Perdamaian dunia telah gagal melaksanakan perannya dalam konflik Internasional dalam kasus Ini Konflik Palestina-Israel.

B. Saran

Rasanya pandangan yang salah apabila penyerangan Israel, baik terhadap Kapal Mavi Marmara, maupun Agresi terhadap Palestina yang telah terjadi sekian lama, selalu dikaitkan konflik agama. Tindakan Israel melakukan blokade terhadap jalur Gaza dan penyerangan atas kapal Mavi Marmara, tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun. Lantas menjadi hal yang sangat aneh apabila kemudian hal tersebut dikait-kaitkan dengan konflik agama tertentu. Kejadian tersebut lebih jauh lagi adalah konflik kemanusiaan karena jatuh korban juga datang tidak hanya dari satu agama tertentu saja.


(50)

Sikap PBB yang tidak kunjung mengambil tindakan tegas atas perbuatan-perbuatan Israel dan Amerika Serikat yang selalu memiliki standar ganda dalam menilai sebuah kejahatan Internasional patut untuk sangat disesalkan. Sudah bukan sekali dua kali ini Israel berulah, sudah bukan sekali dua kali juga negara-negara muslim menyerukan untuk mengadili Israel sebagai penjahat perang. Namun usaha-usaha tersebut selalu kandas di tengah jalan karena Amerika selalu menjadi sekutu sekaligus pelindung utama Israel. Padahal kejahatan sudah jelas-jelas nampak di pandangan mata kita semua.

Dengan terjadinya peristiwa penyerangan tersebut, kita semua tentu berharap bahwa mata dunia akan semakin terbuka dalam menilai tindakan-tindakan Israel selama ini. Yang akhirnya dapat kita lakukan adalah mendesak pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dalam menyikapi hal ini. Tidak dengan sekedar mengatakan keprihatinan atau kecaman, tetapi juga dengan tindakan nyata dengan mengirimkan surat resmi kepada PBB yang mendorong pada penegakan hukum internasional tanpa pandang bulu. Selain itu, Gerakan rakyat damai untuk solidaritas Palestina harus terus berlanjut. Sebagai bentuk solidaritas terkecil, marilah kita semua turut berdoa semoga bangsa Palestina di sana segera lepas dari belenggu penjajahan Zionis Israel.


(51)

BAB II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN

A. Pengertian Relawan Kemanusiaan

Realitas menunjukkan bahwa hampir di semua komunitas masyarakat, aktivitas tolong-menolong sudah sejak lama sering kita jumpai. Salah satu yang kita kenal adalah “Gotong-royong” yang dalam kerelawanan merupakan suatu bentuk tipikal modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta, dsb) kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier.

Adapun kriteria kerelawanan antara lain Memiliki kepedulian penuh keikhlasan untuk mem-perjuangkan nasib kaum miskin berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip kemasyarakatan sebagai bentuk pengabdian dan perjuangan hidupnya.

Semua warga yang secara ikhlas tanpa membeda-bedakan derajat, jenis kelamin dan status sosial bersedia mengabdikan dirinya tanpa meng-harapkan pamrih (baik


(52)

berupa imbalan maupun karier) dapat menjadi relawan. Siapapun dapat menjadi relawan, selama memiliki semangat dan jiwa kerelawanan. Relawan tidak tergantung dari asal kelompok masyarakat maupun wilayah tertentu karena relawan tidak memperjuangkan kepentingan kelompok, agama, maupun wilayah tertentu.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan adalah organisasi massa yang berbasiskan pada relawan di Indonesia yang bekerja dalam gerakan kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat korban kekerasan politik negara.

B. Kedudukan Relawan Kemanusiaan

Salah satu prinsip yang menjadi landasan utama hukum perang adalah pembagian penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata ( armed conflict) dalam dua kategori, yaitu kombat dan pendudukan sipil (civilans). Golongan kombat inilah yang secara aktif turut serta dalam permusuhan ( hostilities). Prinsip membagi penduduk dalam dua golongan ini

lazim disebut distinction principle.

Tulisan ini akan membahas secara umum, mengenai distinctition principle ini.

Ketentuan – ketentuan tersebut dalam tulisan ini tidak diberikan. Tulisan ini akan ditutup dengan suatu uraian singkat mengenai perkembangan pengaturan kombat. Adanya prinsip pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat / boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan sehingga dijadikan objek kekerasan ( dibunuh), dan siapa


(53)

yang harus dilindungi karena tidak turut dalam permusuhan. Mengenai masalah ini

Manual of Military Law dari Kerajaan Inggris yang dikutip Draper, mengatakan bahwa kedua golongan itu, yaitu kombat dan non kombtaan, masing – masing

mempunyai privileges-duties-disabilities. Selanjutnya dalam manual tersebut

dikatakan bahwa seorang harus memilih di dalam golongan mana ia masuk, dan ia

tidak dibenarkan menikmati privileges dua golongan sekaligus. Di dalam cetakan

tahun 1958, manual tersebut menambahkan bahaw pembedaan antara kombat dan

non kombat sekarang menjadi tidak jelas (blured). Pada masa itu yaitu dekade

terakhir abad ke- 19 tidaklah sulit untuk menentukan siapa yang turut dalam permusuhan dan siapa golongan sipil, karena angkatan bersenjata atau kombat memakai seragam yang jelas berbeda dari pakaian penduduk sipil.

Hukum Internasional juga membenarkan dilakukannya kegiatan kemanusiaan

oleh organisasi humaniter yang tidak berpihak6. Yang dimaksud dengan organisasi

humaniter itu ialah bahwa organisasi itu must be concerned with the condition of

man, considered solely as human being, regardless of his value as a military, political, professional or other unit. Organisasi ini tidak harus bersifat internasional7. Di samping itu hukum internasional juga membenarkan kegiatan organisasi – organisasi penolong korban perang, seperti misalnya organisasi keagamaan, Palang

Merah Nasional dan perhimpunan penolong sukarela lain8

6

M. Bothe dkk., op.cit.,p. 304.

7

Pasal 9 KJ I, II, III Tahun 1949; Pasal 10 KJ IV Tahun 1949.

Kegiatan yang dapat

8


(54)

dilakukan oleh organisasi itu sangat luas, karena empat konvensi itu sendiri menetapkan bahwa ketentuan – ketentuannya tidak dapat dibenarkan menjadi penghalang pelaksanaan tugas kemanusiaan organisasi tersebut, walaupun kegiatan

itu perlu mendapatkan persetujuan dari pihak yang bersengketa9

1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;

.

Pada tahun 1899 di den Haag atas prakarsa Rusia dilangsungkan apa yang disebut

First Hague Peace Confrence. Salah satu tujuan konvensi yang sudah disetujui du Brussels pada tahun 1874. Ternyata bahwa konfrensi ini berhasil untuk menerima

konvensi tersebut di atas beserta annex-nya. Konvensi 1899 ini kemudian direvisi lagi

dalam Second Peace Confrence, yang diadakan di den Haag pada tahun 1907.

Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dari Konvensi 1899. Dapat ditambahkan bahwa

Second Peace Confrence ini menghasilkan banyak konvensi, satu diantaranya adalah

konvensi IV, yang berjudul Convention respecting the laws and customs of war on

land. Konvensi ini hanya terdiri dari sembilan artikel, tetapi dilampiri sebuah annex

yang berjudul Regulation respecting the laws and customs of war on land, yang

terdiri dari 5 artikel. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations, atau

disingkat HR.

Hukum, hak dan kewajiban perang tidak hanya berlaku bagi tentara (Armies) saja,

tetapi juga bagi milisi dan korps sukarela (volunteer corps) yang memenuhi syarat

berikut:

9


(55)

2. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh;

3. Membawa senjata secara terbuka;

4. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

Di dalam negara – negara dimana milisi atau korps sukarela itu merupakan (constiute) tentara atau menjadi bagian daripadanya, mereka dimasukkan dalam sebutan tentara (army).

Berdasarkan hal – hal yang tercantum dalam HR, golongan yang secara aktif dapat turut serta dalam permusuhan adalah :

1. Tentara (armies);

2. Milisi dan volunteer corps ( apabila memenuhi persyaratan);

3. Levee en masse ( dengan memenuhi persyaratan tertentu.

Prinsip pembedaan atau distinction principle untuk pertama kali secara konvensional diatur dalam Hague Convention IV tahun 1907, atau lebih tepat dalam Hague Regulations yang menjadi annex dari Hage Convention tersebut.

Untuk mencegah kekacauan, maka disarankan untuk menggunakan istilah kombat dalam arti luas bagi golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, dan dibedakan dari non kombat yang diidentikan dengan penduduk sipil, sedangkan kombat – kombat tersebut diberi nama ”kombat dalam arti sempit”.


(56)

Yang mempunyai hak untuk melakukan permusuhan, selain angkatan bersenjata milisi dan korps sukarela, apabila mereka memnuhi persyaratan tertentu, dan pula ada yang sudah ditentukan.

C. Pengaturan tentang Perlindungan Relawan Kemanusiaan

Hukum Internasional dalam berbagai bentuknya khususnya yang berbentuk perjanjian internasional wajib menciptakan sebuah tata keseimbangan dalam pergaulan masyarakat Internasional. PBB sebagai sebuah organ yang mengayomi masyarakat Internasional sudah selayaknya melihat pada anggota non pemegang hak veto. Dalam dunia yang lebih seimbang, tampaknya tak perlu lagi ada veto dalam tubuh PBB, khususnya Dewan keamanan PBB. Veto adalah bentuk dari ketidakadanya pengakuan suara negara-negara mayoritas. Dukungan atas sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB sangat bergantung pada Negara pemegang hak veto.

PBB dalam sejarahnya dibentuk oleh negara pemenang Perang Dunia II, sebagai negara pemenang perang ia memiliki hak eksklusif berupa hak veto. Dalam perjalanan selanjutnya hukum internasional yang hendak dilaksanakan dengan menjatuhkan sanksi internasional seringkali gagal dilaksanakan karena munculnya hak veto. Negara lain yang tak memegang hak veto tak memiliki suara dalam tubuh DK PBB. Inilah sesunggunhnya awal dari ketiadaan ruang keadilan dalam PBB. Sanki hukum tak dapat dijatuhkan ketika muncul veto. Tak ada lagi adagium hukum bahwa suara tertinggi adalah hukum, semuanya tergantung pada lobi-lobi internasional yang mampu menggerakkan negara pemegang veto untuk berpihak kepadanya.


(57)

Masyarakatpun kemudian menyaksikan bagaimana dengan mudah sebuah negara menyerang negara lain dengan alasan penegakan hukum. Kekuatan politik internasional menjadi sangat kuat dalam penjatuhan sanksi internasional. Israel yang secara nyata dilindungi oleh Amerika Serikat dan Inggeris, berhadapan dengan Iran yang mendapat dukungan Rusia dan Cina. Ini semua berada dalam ruang-ruang politik internasional yang begitu kuat.

Kasus Marvi Marvara yang telah menimbulkan korban jiwa memerlukan hukum Internasional untuk melindungi warga internasional. Amerika Serikat dan Inggeris tentu akan melindungi kepentingan Israel. Arah Hukum Internasional saat ini adalah membentuk sebuah tatanan yang lebih adil. Penciptaan ruang keadilan akan terbentuk

ketika tak ada lagi hak veto. Solus populli suprema lex, suara terbanyak adalah

hukum tertinggi, dalam tubuh PBB selayaknya dimunculkan dengan tak memandang hak veto. Hukum Internasional harus digerakkan oleh sebuah kekuatan masyarakat Internasional secara bersama-sama, tidak lagi dikendalikan oleh segelintir negara pemegang veto.

Dalam kesempatan ini, Indonesia mempunyai kekuatan secara Internasional dengan mencoba menggerakkan kekuatan internasional untuk menegakkkan hukum internasional melalui kerjasama dengan negara-negara Konferensi Asia Afrika, serta Negara Organisasi Konferensi Islam. Indonesia mampu berperan secara aktif melakukan lobi-lobi internasional untuk menciptakan sebuah kekuatan internasional baru yang mengedepankan perdamaian bukan kekerasan yang selama ini ada.


(58)

Perilaku yang ditunjukkan oleh Israel dengan mengirimkan senjata untuk menghadang misi kemanusiaan sesungguhnya adalah bentuk nyata dari masyarakat yang tak beradab. Dalam konteks masyarakat beradab, sebuah bangsa akan mengedepankan upaya-upaya dialog dan bukannya kekerasan bersenjata. Dialog antar masyarakat sebagai warga internasional adalah bentuk pencerminan masyarakat yang beradab. Dialog untuk mencapai sebuah titik temu lebih mengedepankan logika dibanding kekerasan. Hukum Internasional muncul dalam proses-proses dialog antar negara. Kasus Marvi Marvara merupakan bentuk dan contoh nyata dikesampingkannya upaya dialog. Dialog sehingga menemukan sebuah titik temu dan dituangkan dalam sebuah perjanjian internasional adalah bentuk nyata keberadaan sebuah masyarakat internasional.

Hukum Internasional sampai saat ini menjadi pilihan rasional, walaupun upya menggerakkannya membutuhkan lobi-lobi internasional. Hukum Internasional adalah pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang ada. Ketika hukum internasional tak berjalan, maka pilihan lainnya adalah perang. Perang hanya akan merugikan semuanya, ia adalah bentuk dari keberingasan masyarakat yang tak beradab. Ketika kita mengedepankan perang maka yang terjadi hanyalah kepedihan umat manusia. Ketika perang adalah pilihan terakhir, maka pelaksanaan perangpun harus berada dalam ruang atau koridor hukum Internasional. Perang tidak boleh dilaksanakan ketika dilandasi oleh semangat untuk menguasai kekayaan. Perang hanya boleh dilakukan sebagai upaya paling akhir. Kasus Marvi Marvara sekali lagi menyadarkan pada kita bahwa ketidakadilan internasional secara nyata telah terjadi, dan


(59)

ketidakadilan tersebut hanya tercipta ketika keseimbangan internasional tercapai melalui penghilangan veto dalam tubuh PBB. Harapan akhirnya adalah ketika veto telah hilang, maka hukum internasional yang lebih adil akan tercipta.

Indonesia memang tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk melaporkan kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara lain. Alasannya, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan ICC (International Criminal Court). Pasal 15 Statuta Roma sangat memungkinkan lembaga non-pemerintah memberikan informasi kepada jaksa penuntut mengenai tindak pidana di bawah yurisdiksi Mahkamah Internasional.

Perikemanusiaan sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya

yang modern, untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau 10. Dalam

merumuskan pengertian perang, Rousseau11

10

Ibid., p.10.

11

Op.cit., p.22

menyatakan teori pembatasan tentang siapa yang merupakan musuh dalam perang. Berpangkal pada pengertian perang sebagai suatu hubungan antarnegara diutarakan bahwa orang perorangan, pada prinsipnya, tidaklah merupakan musuh di dalam perang, baik selaku manusia maupun selaku warganegara negara yang berperang, kecuali bila ia adalah tentara. Dengan menetapkan siapa siapa yang merupakan musuh dan siapa yang bukan musuh, Rousseau menetapkan asas pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan di dalam perang. Berdasarkan pembedaan itu kemudian dikembangkan pula pembatasan


(60)

sasaran perang, yakni bahwa yang menjadi sasaran sah perbuatan perang hanyalah

angkatan bersenjata musuh saja 12

Kapal yang diserang oleh Israel tersebut juga mengangkut wartawan dari berbagai belahan dunia, padahal wartawan yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata, berada di bawah perlindungan Konvensi Jenewa 1949. Pasal 79 Protokol I

. Pembatasan sasaran perang itu berarti perlindungan penduduk sipil dari serangan musuh. Dengan demikian tampak pembedeaan antara penduduk sipil dan kombatan merupakan dasar bagi perlindungan penduduk sipil di masa perang.

Relawan kemanusiaan dalam perspektif Hukum Internasional tergolong dalam golongan non kombatan yang merupakan organisasi penolong lain selain kegiatan kepalangmerahan. Organisasi penolong yang lain ialah perhimpunan penolong nasional yang bukan Palang Merah yang kegiatannya bertujuan membantu orang yang dilindungi, khususnya penduduk sipil warganegaranya, yang ditahan atau ditawan. Bantuan yang diberikan itu termasuk bantuan spiritual. Bantuan yang dapat diberikan kepada tahanan dan tawanan perang di wilayah yang diduduk i itu terinci dalam tiga macam kegiatan, yakni pemberian sumbangan kegiatan keagamaan dan bantuan memanfaatkan waktu senggang. Di samping itu Pasal 63 par. 2 KJ IV Tahun 1949 juga melindungi organisasi khusus yang bersifat non – militer yang bertujuan menolong kehidupan penduduk sipil. Perhimpunan ini dalam PTKJ I Tahun 1977 dikembangkan menjadi organisasi pertahanan sipil.

12

E. Rosenblad, op.cit., p.54, mengutarakan bahwa pembatasan itu ditetapkan dalam Preambul Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868.


(61)

Konperensi tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional pada 1977 menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya dianggap sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya.

Di dalam kapal tersebut juga terdapat para aktivis perempuan dan petugas kesehatan yang mendapatkan perlindungan khusus menurut Konvensi Jenewa. Perlakuan khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan.

Ditinjau dari perspektif hukum Internasional, penyerangan Israel atas kapal kemanusiaan tersebut tidak dapat dibenarkan, bahkan jelas bertentangan dengan hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip HAM dan Kemanusiaan. Pertama, serangan dilakukan di wilayah perairan internasional. Kedua kapal sedang membawa bantuan dan mengangkut warga sipil yang tidak bersenjata. Tidak ada satu pun konvensi internasional tidak melarang bantuan kemanusiaan semacam itu. Bahkan, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada penduduk sipil yang berada dalam peperangan sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan instrumen hak asasi manusia internasional lainnya.

Masyarakat Internasional mengecam aksi brutal pasukan negara Zionis itu karena berlangsung di wilayah laut lepas (perairan internasional) dan bukan di wilayah perairan Israel. Dalam perspektif hukum Internasional, Filosofi mare libelum (free sea) berlaku bagi semua kawasan samudra/laut lepas. Bahwa menurut Konvensi PBB


(1)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN DALAM KASUS BLOKADE JALUR GAZA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

NAMA : PATRICIA HALIM

NIM : 070200183

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui oleh,

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP. 195610101986031003 Sutiarnoto MS, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum. Abdul Rahman, S.H., M.H.

NIP 196207131988031003 NIP 195710301984031002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Penulisan skripsi ini adalah tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judu l “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN DALAM KASUS BLOKADE JALUR GAZA”

Seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak-Tiada manusia yang dapat lepas dari kesilapan dan kesalahan”. Skripsi yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan disadari akan adanya kekurangan-kekurangan dalam penyajian maupun dalam materi pembahasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan diterima dengan baik demi kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, DFM, MH., selaku Pembantu Dekan


(3)

II, Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Sutiarnoto MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum. , selaku Dosen Pembimbing I. 5. Bapak Abdul Rahman, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing II.

6. Bapak Arif, S.H., M.Hum , Sekertaris Jurusan Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Seluruh staff Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan pengetahuan hukum kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan banyak dorongan moril.

9. Ayah dan ibu tercinta, Husin dan Nuraini Kamil yang telah membesarkan dan menyayangi serta abang, kakak dan saudara-saudara yang amat mendukung dalam penulisan skripsi.

Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan mengkaji skripsi ini. Semoga dapat bermanfat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bagi ilmu hukum.

Medan, November 2010 Hormat Penulis,

Patricia Halim NIM 070200183


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

ABSTRAKSI...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...7

C. Tujuan Pembahasan...8

D. Keaslian Penulisan...8

E. Tinjauan Kepustakaan...9

F. Metode Penulisan...10

G. Sistematika Penulisan...12

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN A. Pengertian Relawan Kemanusiaan...14

B. Kedudukan Relawan Kemanusiaan...15

C. Pengaturan tentang Perlindungan Relawan Kemanusiaan...19

BAB III KONFLIK BERSENJATA DI JALUR GAZA A. Sejarah Terjadinya Blokade Jalur Gaza Oleh Israel...30

B. Reaksi Masyarakat Internasional..........46

C. Efek Blokade Israel di Jalur Gaza...48


(5)

BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP RELAWAN KEMANUSIAAN DAN FAKTA – FAKTA DALAM KONFLIK PERANG GAZA A. Perlakuan Terhadap Relawan Kemanusiaan Perang

Gaza...66 B. Peranan PBB Dalam Mengatasi Kasus Blokade Jalur

Gaza...70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...82 B. Saran...83 DAFTAR PUSTAKA...86


(6)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN DALAM KASUS BLOKADE JALUR GAZA

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum*) Abdul Rahman, S.H., M.H**)

Patricia Halim***)

ABSTRAKSI

Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta, dsb) kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa

mengharapkan pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier.

Kapal Mavi Marmara membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, diserang tentara Israel. Kapal Mavi Marmara yang berbendera Turki yang ditembaki oleh tentara Israel, membawa sekitar 563 relawan dari 31 negara. Kapal tersebut merupakan salah satu dari 6 kapal yang ptergabung dalam armada The Freedom Flotilla. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan serta

membebaskan Gaza dari Blokade yang diterapkan Israel sejak Hamas berkuasa pada tahun 2007. Misi tersebut diikuti oleh berbagai aktivis pro palestina dari berbagai belahan dunia, beberapa diantaranya bahkan adalah nama yang terkenal seperti peraih nobel perdamaian, sastrawan, sutradara film, politisi, dan wartawan.

Adapun metode yang dipakai untuk pengumpulan data dalam skripsi ini

menggunakan metode penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data melalui studi pustaka yaitu dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku karya ilmiah dan data-data dari internet yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Dari hasil skripsi ini dapat disimpulkan bahwa konflik disebabkan karena hal perebutan wilayah kekuasaan antara Palestina dan Israel dan meluas hingga

menimbulkan sentimen-sentimen yang berwarna “rasisme” antara Arab dan Yahudi.

*)Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing I **)Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing II ***)Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara