bahwa konflik tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan bersenjata dan juga dengan negosiasi antarpihak yang bertikai. Resolusi konflik tidak berakhir di meja
perundingan namun merupakan suatu proses untuk menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Adalah penting untuk
melakukan perubahan struktural sebagai langkah awal resolusi konflik dengan mengidentifikasi potensi kekerasan struktural structural violence yang terdapat
dalam konflik dan kemudian merancang solusi-solusi yang mungkin diterapkan untuk menghilangkannya.
Adalah perlu untuk mengeksplorasi cara-cara non-kekerasan untuk menyelesaikan sengketa dan menempatkan instrumen perang sebagai alternatif terakhir. Tahap –
tahap yang perlu ditempuh dalam penyelesaian konflik antara lain :
1. Tahap De-eskalasi Konflik
Pada tahap ini konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga harus ditemukan waktu yang tepat untuk
memulai proses resolusi konflik yang dengan terpaksa akan diwarnai oleh orientasi militer untuk menurunkan tingkat eskalasi konflik pihak-pihak yang bertikai. Dalam
konflik Palestina-Israel di atas yang perlu dilakukan sebagai tahap paling awal untuk memulai proses resolusi konflik adalah menghentikan kekerasan yang terjadi. Hal ini
tidak dapat dilakukan hanya dengan “menyuruh” Arafat menghentikan aksi-aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh warganya saja tetapi harus secara simultan diiringi
dengan penarikan kembali tank-tank dan kapabilitas militer Israel lainnya dari
perbatasan Jalur Gaza dan Tepi Barat sehingga akan tercipta “negative peace” yang akan menjadi pintu gerbang menuju langkah panjang mencapai “positive peace”.
Tahap de-eskalasi konflik ini bisa dilakukan dengan menerapkan konsep “peace-making” yang bisa melibatkan aktor PBB melalui pengiriman pasukan
perdamaian untuk menghentikan kekerasan yang terjadi dan memaksakan perdamaian dalam artian penghentian kekerasan peace enforcement.
Perundingan telah beberapa kali dilakukan pihak Palestina dan Israel dengan mediasi AS, PBB ataupun negara-negara Eropa namun tidak membawa perubahan
dalam artian membawa perdamaian yang positif yang berarti. Kesepakatan yang cukup maju adalah ketika diselenggarakan perundingan Camp David II tahun 2000 di
AS dengan mediator Presiden AS Bill Clinton. Pada kesepakatan tersebut Ehud Barak memberikan penawaran pada Arafat, berupa penerimaan atas sebuah negara Palestina
yang merdeka, ditariknya pasukan Israel sebanyak lebih dari 97 persen dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, pembongkaran pemukiman Yahudi sebanyak 25 unit di wilayah
Palestina, pembagian Jerusalem atas wilayah Arab yang akan berada di bawah kontrol Palestina dan pembagian kekuasaan atas wilayah Temple Mount serta
penerimaan sejumlah pengungsi Palestina yang meninggalkan rumahnya sejak Perang Kemerdekaan Israel tahun 1948 Avinery, Foreign Policy 2002.
“Konsesi” yang terdengar cukup adil ini ternyata ditolak mentah-mentah oleh Arafat dan kegagalan Camp David ini menimbulkan pemahaman pada pihak Israel
dan Barat bahwa Palestina tidak mau menerima apapun selain perginya Israel dari
wilayah mereka. Lingkaran kekerasan yang tiada pernah berhenti antarkedua pihak pun semakin mambuat kesepahaman sulit diraih. Selama salah satu pihak, dalam hal
ini Palestina, masih memainkan kartu “unilateral disengagement” yang berarti memveto hasil perundingan, selama itu pula sulit dicapai kata sepakat.
2. Tahap Negosiasi Pada tahap ini perlu dijalin pemahaman antar aktor yang bernegosiasi melalui
teknik-teknik negosiasi lintas-budaya untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman antarkedua kelompok dengan latar budaya dan nilai yang berbeda.
Dalam hal ini, perlu diusahakan agar setiap butir negosiasi dimengerti, dipahami dan dapat diterima oleh kedua belah pihak sehingga memudahkan proses perundingan
yang akan dilakukan. Perlu juga dilakukan pelatihan negosiasi bagi para mediator sehingga mereka dapat memahami sensitivitas budaya yang ada.
Dari penjabaran pembahasan sebenarnya kita dapat melihat bahwa resolusi konflik dengan memakai bentuk negosiasi dan konsensi seringkali memberikan celah
bagi adanya penolakan dan pada akhirnya menciptakan kondisi “stalemate”. Di masa depan, konsesi-konsesi yang dirancang haruslah bersifat “mutual concession” yang
disepakati oleh kedua belah pihak sebelum dibahas dalam forum perundingan. 3. Tahap Problem-Solving Approach
Pada tahap ini perlu dibangun pemahaman timbal balik tentang cara untuk mengeksplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung
dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif tersebut akan mudah digali
bilamana ada upaya untuk mengkaji sebab-sebab fundamental dari konflik tersebut yang harus dianalisa dalam konteks yang menyeluruh. Pemahaman antara Palestina
dan Israel dapat dimulai dengan memberikan informasi yang benar tentang kompleksitas konfli yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul
selama konflik, kendala-kendala struktural yang menghambat proses resolusi konflik, dn sebagainya. Dalam hal ini harus dimulai sikap keterbukaan antara Palestina dan
Israel dan dibangun situasi saling mempercayai. 4.
Tahap Peace Building Misperception antarkedua pihak yang bertikai haruslah diatasi dengan
men-dekonstruksi secara sosial penyebab terindoktrinasinya persepsi dan stereotip-stereotip yang bisa jadi salah mengenai lawan mereka. Pihak Palestina
haruslah berupaya sungguh-sungguh untuk menghentikan aksi-aksi bom bunuh diri dengan memutus mata rantai konstruksinya. Di sekolah-sekolah, baik di Palestina
maupun di Israel, harus ditanamkan nilai-nilai universal yang menghormati hak-hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup dan oleh karenanya membunuh adalah
sesuatu yang dilarang dan dibenci. Hamas harus dapat dirangkul baik oleh pihak Palestina sendiri maupun oleh Israel melalui dijalinnya komunikasi yang sehat yang
tidak dilandasi oleh sikap saling curiga. Namun hal ini sulit berhasil bila di sisi lain Israel masih terus melakukan aksi perluasan okupasinya yang terus menyulut
kemarahan organisasi-organisasi kelompok Islam militan yang tidak akan tinggal diam melihat tanah airnya dirampas.
Palestina dan Israel sama-sama berkewajiban membangun civil society dan melakukan rekonsiliasi. Hal ini dapat dimulai dengan mengembangkan dan
menyebarkan sikap memaafkan forgiveness dari kedua belah pihak sehingga tidak ada lagi dendam akibat trauma kekerasan di masa lampau. Untuk itu diperlukan
keterlibatan beragam aktor resolusi konflik yang tentu saja non-militer, seperti LSM, mediator internasional dan institusi-institusi keagamaan. Dalam konflik
Palestina-Israel perlu dibangun suatu dialog informal yang melibatkan banyak tokoh keagamaan, tokoh dari kedua belah pihak dan masyarakat umum untuk secara
kontinu membangun kesadaran bersama akan pentingnya menciptakan perdamaian untuk kelangsungan hidup bersama.
Perdamaian antara Palestina dan Israel bukanlah hal yang mustahil tercapai namun membutuhkan kesadaran politik yang kuat dan keyakinan bahwa setiap
masalah dapat diselesaikan. Dan setiap penyelesaiannya yang terbaik adalah dengan memperhatikan seluruh aspek kebutuhan pihak-pihak yang bertikai dan secara
simultan membangun nilai-nilai universal yang dilandasi oleh prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia, kemerdekaan dan keadilan.
Untuk meminimalisasi bersemainya teroris baru, dunia harus menunjukkan komitmennya menentang setiap aksi kekerasan Israel. Kasus penyerangan Israel ini
harus diajukan ke Mahkamah Internasional. Negara-negara yang memiliki perwakilan relawan dalam kapal Mavi Marmara, mesti satu suara menekan PBB agar
menjatuhkan sanksi tegas terhadap Israel.
Tentu saja sikap tegas PBB ini akan efektif, jika mendapat dukungan anggota Dewan Keamanaan PBB, terutama AS dan negara-negara besar lainnya. Tanpa itu,
bisa dipastikan upaya PBB akan kembali kandas di tengah jalan. Sama seperti tidak efektifnya Resolusi DK PBB, karena abstainnya AS.
Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel yaitu :
1. Resolusi tentang Ham Resolusi A55133 isinya mengenai tindakan –tindakan Israel yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Palestina. mengenai
pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi dan Penutupan daerah Dalam resolusi ini, Majelis Umum menitik beratkan pada perlunya menjaga integritas
territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina, termasuk menghilangkan pembatasan yang dilakukan oleh Israel.
2. Resolusi A55128 mengenai tanah kepemilikian Palestina sesuai dengan prinsip – prnsip kebenaran dan keadilan.
Adapun prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yaitu: 1.
Resolusi A56142 hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri.
2. Upaya pembentukan road map yang disepakati oleh komite Kwartet, yaitu As,
Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB 3.
Resolusi PBB No.181 tahun 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa Palestina dan Yahudi
4. Pembentukan komis I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi
Palestina, yaitu UN Conciliation Commission For Palestine UNCCP yang kemudian pada tahun 1950 juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina
dengan nama UN Relief and Works Ageny UNRWA 5.
Resolusi No. 194 yang berbunyi :
Majelis umum menegaskan bahwa harus di izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali kerumah mereka dan hidup damai dengan
tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalka, dan mendapat ganti rugi dari kerugia atau kerusakan harta benda
sesuai dengan hukum Internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.
6. Resolusi No. 338 penyeruan mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai
dan mengakhiri aksi bersenjata kedua pihak. 7.
Resolusi No. 1276 yang meminta kedua pihak serius untuk mengentikan gencatan senjata.
8. Pada tanggal 7 oktober 2000 DK menyetujui resolusi yang mengecam
penggunaan kekuatan berlebihan, yaitu no. 1322 dimana Dk PBB menyatakan sangat Prihatin dalam peristiwa tragis yang membawa banyak kematian dan
kerugian dan kebanyakan orang-orang Palestina. dibawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel justru menunjukan eskalasi militer dan Politik. Israel mengerahkan
pasuka bersenjatanya ke tepi barat dan membantai orang2 palestina di kamp
pengungsi di jenin, Balata, Rammalah, Aida, dir balah dan Deheish sejak awal hingga pertengahan Juni 2002.
9. Resolusi no. 1937 12 maret 2002, yang meminta dengan segera penghentian
semua tindakan kekerasan termasuk tindakan meneror, penghasutan dan pengrusakan. Tanggapan dari Resolusi ini yaitu, pada tanggal 20 maret pejuang
palestina melakuk an aksi bom bunuh diri di dekat kota Umm Al-Fahm, Israel Utara dan juga dekat kota Yerusalem hingga sebagai balasannya PM Ariel
Sharon mengumumkan deklarasi perang serta mengerahkan pasukannya lengkap dengan persenjataan dan alat-alat berat ke kota Ramallah, untuk mengepung
Yasser Arafat. 10.
Resolusi No 1402 pada tangga 30 Maret 2002, secara aklamasi meminta kedua pihak yang bertikai untuk melakukan gencata senjata, serta agar Israel menarik
pasukannya dari kota Palestina, termasuk wilayah Istana pemimpin palestina Yaseer Arafat. Kenyataannya Israel tetap tidak menarik pasukannya, aksi
penyanderaan Yaser Arafat diiringi dengan penghancuran hampir seluruh bangunan Istana Kepresidenan dengan penghancuran Bom.
11. Resolusi PBB N0. 1403 4 april 2002 membawa mereka ke meja perundinga
untuk membicarakan kesepakatan perdamaian dan menghasilkan Peta perdamaian 16 juli 2002 di New YORK.
12. Pada tanggal 20 juli 2004 resolusi ES-10 yang secara resmi mendesak Israel
untuk mengehentikan dengan segera pembangunan tembok pemish antara Israel dan Palestina.
BAB V PENUTUP