Yang mempunyai hak untuk melakukan permusuhan, selain angkatan bersenjata milisi dan korps sukarela, apabila mereka memnuhi persyaratan
tertentu, dan pula ada yang sudah ditentukan.
C. Pengaturan tentang Perlindungan Relawan Kemanusiaan
Hukum Internasional dalam berbagai bentuknya khususnya yang berbentuk perjanjian internasional wajib menciptakan sebuah tata keseimbangan dalam
pergaulan masyarakat Internasional. PBB sebagai sebuah organ yang mengayomi masyarakat Internasional sudah selayaknya melihat pada anggota non pemegang hak
veto. Dalam dunia yang lebih seimbang, tampaknya tak perlu lagi ada veto dalam tubuh PBB, khususnya Dewan keamanan PBB. Veto adalah bentuk dari
ketidakadanya pengakuan suara negara-negara mayoritas. Dukungan atas sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB sangat bergantung pada Negara pemegang hak veto.
PBB dalam sejarahnya dibentuk oleh negara pemenang Perang Dunia II, sebagai negara pemenang perang ia memiliki hak eksklusif berupa hak veto. Dalam
perjalanan selanjutnya hukum internasional yang hendak dilaksanakan dengan menjatuhkan sanksi internasional seringkali gagal dilaksanakan karena munculnya
hak veto. Negara lain yang tak memegang hak veto tak memiliki suara dalam tubuh DK PBB. Inilah sesunggunhnya awal dari ketiadaan ruang keadilan dalam PBB.
Sanki hukum tak dapat dijatuhkan ketika muncul veto. Tak ada lagi adagium hukum bahwa suara tertinggi adalah hukum, semuanya tergantung pada lobi-lobi
internasional yang mampu menggerakkan negara pemegang veto untuk berpihak kepadanya.
Masyarakatpun kemudian menyaksikan bagaimana dengan mudah sebuah negara menyerang negara lain dengan alasan penegakan hukum. Kekuatan politik
internasional menjadi sangat kuat dalam penjatuhan sanksi internasional. Israel yang secara nyata dilindungi oleh Amerika Serikat dan Inggeris, berhadapan dengan Iran
yang mendapat dukungan Rusia dan Cina. Ini semua berada dalam ruang-ruang politik internasional yang begitu kuat.
Kasus Marvi Marvara yang telah menimbulkan korban jiwa memerlukan hukum Internasional untuk melindungi warga internasional. Amerika Serikat dan Inggeris
tentu akan melindungi kepentingan Israel. Arah Hukum Internasional saat ini adalah membentuk sebuah tatanan yang lebih adil. Penciptaan ruang keadilan akan terbentuk
ketika tak ada lagi hak veto. Solus populli suprema lex, suara terbanyak adalah hukum tertinggi, dalam tubuh PBB selayaknya dimunculkan dengan tak memandang
hak veto. Hukum Internasional harus digerakkan oleh sebuah kekuatan masyarakat Internasional secara bersama-sama, tidak lagi dikendalikan oleh segelintir negara
pemegang veto. Dalam kesempatan ini, Indonesia mempunyai kekuatan secara Internasional
dengan mencoba menggerakkan kekuatan internasional untuk menegakkkan hukum internasional melalui kerjasama dengan negara-negara Konferensi Asia Afrika, serta
Negara Organisasi Konferensi Islam. Indonesia mampu berperan secara aktif melakukan lobi-lobi internasional untuk menciptakan sebuah kekuatan internasional
baru yang mengedepankan perdamaian bukan kekerasan yang selama ini ada.
Perilaku yang ditunjukkan oleh Israel dengan mengirimkan senjata untuk menghadang misi kemanusiaan sesungguhnya adalah bentuk nyata dari masyarakat
yang tak beradab. Dalam konteks masyarakat beradab, sebuah bangsa akan mengedepankan upaya-upaya dialog dan bukannya kekerasan bersenjata. Dialog antar
masyarakat sebagai warga internasional adalah bentuk pencerminan masyarakat yang beradab. Dialog untuk mencapai sebuah titik temu lebih mengedepankan logika
dibanding kekerasan. Hukum Internasional muncul dalam proses-proses dialog antar negara. Kasus Marvi Marvara merupakan bentuk dan contoh nyata
dikesampingkannya upaya dialog. Dialog sehingga menemukan sebuah titik temu dan dituangkan dalam sebuah perjanjian internasional adalah bentuk nyata keberadaan
sebuah masyarakat internasional. Hukum Internasional sampai saat ini menjadi pilihan rasional, walaupun upya
menggerakkannya membutuhkan lobi-lobi internasional. Hukum Internasional adalah pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang ada. Ketika hukum internasional tak
berjalan, maka pilihan lainnya adalah perang. Perang hanya akan merugikan semuanya, ia adalah bentuk dari keberingasan masyarakat yang tak beradab. Ketika
kita mengedepankan perang maka yang terjadi hanyalah kepedihan umat manusia. Ketika perang adalah pilihan terakhir, maka pelaksanaan perangpun harus berada
dalam ruang atau koridor hukum Internasional. Perang tidak boleh dilaksanakan ketika dilandasi oleh semangat untuk menguasai kekayaan. Perang hanya boleh
dilakukan sebagai upaya paling akhir. Kasus Marvi Marvara sekali lagi menyadarkan pada kita bahwa ketidakadilan internasional secara nyata telah terjadi, dan
ketidakadilan tersebut hanya tercipta ketika keseimbangan internasional tercapai melalui penghilangan veto dalam tubuh PBB. Harapan akhirnya adalah ketika veto
telah hilang, maka hukum internasional yang lebih adil akan tercipta. Indonesia memang tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk
melaporkan kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara lain. Alasannya, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan
ICC International Criminal Court. Pasal 15 Statuta Roma sangat memungkinkan lembaga non-pemerintah memberikan informasi kepada jaksa penuntut mengenai
tindak pidana di bawah yurisdiksi Mahkamah Internasional.
Perikemanusiaan sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya yang modern, untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau
10
. Dalam merumuskan pengertian perang, Rousseau
11
10
Ibid., p.10.
11
Op.cit., p.22
menyatakan teori pembatasan tentang siapa yang merupakan musuh dalam perang. Berpangkal pada pengertian perang
sebagai suatu hubungan antarnegara diutarakan bahwa orang perorangan, pada prinsipnya, tidaklah merupakan musuh di dalam perang, baik selaku manusia maupun
selaku warganegara negara yang berperang, kecuali bila ia adalah tentara. Dengan menetapkan siapa siapa yang merupakan musuh dan siapa yang bukan musuh,
Rousseau menetapkan asas pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan di dalam perang. Berdasarkan pembedaan itu kemudian dikembangkan pula pembatasan
sasaran perang, yakni bahwa yang menjadi sasaran sah perbuatan perang hanyalah angkatan bersenjata musuh saja
12
Kapal yang diserang oleh Israel tersebut juga mengangkut wartawan dari berbagai belahan dunia, padahal wartawan yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata,
berada di bawah perlindungan Konvensi Jenewa 1949. Pasal 79 Protokol I . Pembatasan sasaran perang itu berarti
perlindungan penduduk sipil dari serangan musuh. Dengan demikian tampak pembedeaan antara penduduk sipil dan kombatan merupakan dasar bagi perlindungan
penduduk sipil di masa perang.
Relawan kemanusiaan dalam perspektif Hukum Internasional tergolong dalam golongan non kombatan yang merupakan organisasi penolong lain selain
kegiatan kepalangmerahan. Organisasi penolong yang lain ialah perhimpunan penolong nasional yang bukan Palang Merah yang kegiatannya bertujuan membantu
orang yang dilindungi, khususnya penduduk sipil warganegaranya, yang ditahan atau ditawan. Bantuan yang diberikan itu termasuk bantuan spiritual. Bantuan yang dapat
diberikan kepada tahanan dan tawanan perang di wilayah yang diduduk i itu terinci dalam tiga macam kegiatan, yakni pemberian sumbangan kegiatan keagamaan dan
bantuan memanfaatkan waktu senggang. Di samping itu Pasal 63 par. 2 KJ IV Tahun 1949 juga melindungi organisasi khusus yang bersifat non – militer yang bertujuan
menolong kehidupan penduduk sipil. Perhimpunan ini dalam PTKJ I Tahun 1977 dikembangkan menjadi organisasi pertahanan sipil.
12
E. Rosenblad, op.cit., p.54, mengutarakan bahwa pembatasan itu ditetapkan dalam Preambul Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868.
Konperensi tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional pada 1977 menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya
dianggap sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya.
Di dalam kapal tersebut juga terdapat para aktivis perempuan dan petugas kesehatan yang mendapatkan perlindungan khusus menurut Konvensi Jenewa.
Perlakuan khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan.
Ditinjau dari perspektif hukum Internasional, penyerangan Israel atas kapal kemanusiaan tersebut tidak dapat dibenarkan, bahkan jelas bertentangan dengan
hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip HAM dan Kemanusiaan. Pertama, serangan dilakukan di wilayah perairan internasional. Kedua kapal sedang membawa bantuan
dan mengangkut warga sipil yang tidak bersenjata. Tidak ada satu pun konvensi internasional tidak melarang bantuan kemanusiaan semacam itu. Bahkan, Majelis
Umum PBB menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada penduduk sipil yang berada dalam peperangan sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan
instrumen hak asasi manusia internasional lainnya.
Masyarakat Internasional mengecam aksi brutal pasukan negara Zionis itu karena berlangsung di wilayah laut lepas perairan internasional dan bukan di wilayah
perairan Israel. Dalam perspektif hukum Internasional, Filosofi mare libelum free sea berlaku bagi semua kawasan samudralaut lepas. Bahwa menurut Konvensi PBB
tentang Hukum Laut United Nations Convention on The Law of The SeaUNCLOS tahun 1982, laut lepas tidak berada berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi
negara manapun. Di laut lepas, yang berlaku adalah kemerdekaan navigasi dan pelayaran. Setiap negara dapat menikmati kebebasan-kebebasan di laut lepas,
diantaranya adalah kebebasan untuk berlayar. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS.
Pasal 6 dari Konvensi jenewa tahun 1958 menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan
demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Artinya, sebuah kapal yang
berbendera suatu negara dianggap sebagai bagian wilayah territorial negara tersebut. Wilayah territorial ini akan berkaitan kedaulatan bagi negara tersebut, termasuk untuk
memberlakukan hukum negara tersebut. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS. Oleh karena itu, penyerangan terhadap kapal Mavi Marmara yang
berbendera Turki tidak dapat dibenarkan dan dapat tergolong sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Turki.
Hal ini juga berkaitan dengan keamanan laut. Bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap
aktifitas pemanfaatan laut. Diantaranya adalah laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan kekuatan bersenjata ancaman tersebut dapat berupa,
pembajakan perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. dan bebas dari dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional.
Israel berdalih bahwa penembakan yang dilakukan pasukan Komando Israel terhadap para penumpang Mavi Marmara adalah untuk membela diri. Logika
semacam itu tentu saja tidak dapat diterima akal sehat karena berbagai video yang beredar jelas-jelas menunjukkan bahwa pasukan Israel lah yang menyerbu kapal
tersebut. Selain itu, dengan latar belakang penumpang kapal seperti itu, masuk akal tidak mereka menyerang pasukan khusus Israel.
Penggunaan senjata oleh Pasukan Israel dengan alasan untuk membela diri haruslah sesuai dengan prinsip dasar “Proporsionalitas” dan “Prinsip Diskriminasi”
sesuai dengan hukum humaniter Internasional. Prinsip Proposionalis ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan
penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer. Artinya, apakah langkah atau serangan tersebut sebanding dengan perlawanan yang
mereka terima dan berkaitan dengan tujuan militer? Prinsip ini tentu harus dihormati oleh Israel, karena tercantum dalam pasal 35 ayat 2 Protokol Tambahan I.
Adapun prinsip diskriminasi, adalah prinsip untuk membedakan sasaran militer combatants dan sipil non-combatants. Bahwa terdapat larangan untuk menyerang
penduduk sipil dan objek-objek sipil yang lain, bahkan jika target militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap dilarang jika hal tersebut membuka kemungkinan untuk
melukai warga sipil.
Perbuatan Israel dengan menembaki warga Sipil yang tidak bersenjata adalah sebuah kejahatan kemanusiaan sesuai dengan pasal 7 Statuta Roma. Bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atas sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan terhadap penduduk sipil. Dalam perspektif Hukum HAM Internasional, jenis kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah bagian dari jenis
kejahatan-kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian komunitas Internasional pasal 5 Statuta Roma.
Penyerangan terhadap warga sipil termasuk ke dalam jenis pelanggaran berat menurut Protokol I Konvensi Jenewa 1977. Dan termasuk ke dalam kejahatan
kemanusiaan menurut Statuta Roma tahun 1998. Juga bertentangan dengan berbagai instrument HAM internasional seperti DUHAM 1948, Konvensi Eropa tentang Hak
Asasi Manusia 1950 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966 yang menggariskan sebuah prinsip bahwa semua orang berhak menikmati hak
asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.
Resolusi Majelis Umum 2444 juga menyetujui resolusi dari Konperensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang Ke-12 Wina, 1965 yang
mencantumkan tiga prinsip dasar tentang kegiatan dalam pertikaian bersenjata, salah satunya adalah dilarang melakukan penyerangan terhadap permukiman sipil, dan
harus selalu dibedakan antara orang yang ikut serta dalam pertempuran dengan penduduk sipil sehingga sebanyak mungkin penduduk sipil tidak terlibat.
Majelis Umum menegaskan bahwa tempat tinggal, tempat perlindungan, wilayah rumah sakit serta instalasi lain yang digunakan penduduk sipil tidak boleh dijadikan
sasaran operasi militer. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan korban akibat pembalasan, pemindahan secara paksa atau “serangan lain terhadap integritas
mereka.” Berkaitan dengan pelanggaran HAM, pasal 5 Universal Declaration of Human Right juga menegaskan bahwa, no one shall be subjected to tourture or to
cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan kejam dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya. Oleh
karena itu, penyerangan terhadap Kapal tersebut adalah hal yang dilarang menurut hukum Internasional.
BAB I PENDAHULUAN