TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN.

(1)

(2)

i

SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN

MADE PANJI WILIMANTARA NIM. 1116051261

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

ii

PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (

ICONOCLAST)

SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN

Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Udayana

MADE PANJI WILIMANTARA NIM. 1116051261

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

(6)

v Om Swastiastu

Puja dan puji syukur Angayubagya penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Paramawisesa/ Tuhan Yang Mahakuasa, atas berkat, karunia, dan Waranugraha-Nya skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Penghancuran Benda Budaya (Iconoclast) Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dapat penulis selesaikan. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus penulis tempuh untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana, sebagai bagian dari syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1).

Penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan yang penulis miliki dalam menyusun tugas ini. Karya tulis ini tidak akan terwujud tanpa sumbangsih dari berbagai pihak baik berupa materi maupun moral spiritual. Penulis bersyukur atas Anugrah Tuhan melalui bantuan, dukungan, dan motivasi dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak atas kemurahan hatinya membantu penulis, sehingga skripsi ini rampung tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H, M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H, M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayan;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H, M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(7)

vi

Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana;

7. Bapak Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S., selaku Pembimbing I atas arahan, bimbingan, waktu, tenaga, motivasi, dan masukannya yang sangat berarti bagi penulis dalam mengoreksi tulisan pada skripsi ini sehingga skripsi ini dapat penulis susun dengan baik.

8. Bapak I Made Budi Arsika, S.H., LLM., selaku Pembimbing II atas bimbingan, motivasi, tuntunan, waktu, tenaga, dukungan moral, dan masukan membangun yang sangat berarti bagi penulis dalam mengoreksi tulisan pada skripsi ini dengan cermat sehingga skripsi ini dapat penulis susun dengan baik.

9. Bapak Nyoman A. Martana, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akedemik atas perhatian, motivasi, dan dukungan moril kepada penulis dalam memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini;

10.Bapak dan Ibu para Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana atas jasa-jasa dan perkenannya mengajar kami semua, memberikan ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan inspiratif, bimbingan, pengalaman, motivasi, bantuan, dan arahan yang sangat berarti kepada penulis selama menempuh perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

11.Seluruh Staf Pegawai di Fakukltas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan bantuan, semangat, dan arahan kepada penulis dalam perkuliahan dan urusan administrasi kemahasiswaan.

12.Saudara seperjuangan teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Reguler Sore angkatan 2011 terutama di kelas Z, teman-teman HMPE/BEM FH Udayana, serta teman-teman UKM Kesenian FH Udayana atas inspirasi, motivasi, bantuan, semangat,


(8)

vii

Denpasar atas motivasi semangat dan dorongan spiritual yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di FSP ISI Denpasar dan di FH Universitas Udayana hingga selesainya skirpsi ini.

14.Ibunda tercinta Ni Nyoman Yuliartini, ayahanda terkasih I Nyoman Wirdana, serta kakak dan adikku tersayang Ni Luh Gina Wiyandari dan Ni Nyoman Kharismadiani atas pengorbanan, keikhlasan, pengertian, kasih sayang, bantuan materi dan dukungan moral yang tulus kepada penulis selama masa perkuliahan hingga dalam proses penyusunan karya tulis ini rampung.

Beserta seluruh pihak yang berkontribusi dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikah hati dan bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan limpahan waranugraha serta phala karma yang baik dari Tuhan Yang Mahakasih. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatian yang diberikan, dan besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan demi pengembangan ilmu pengetahuan Hukum ke depannya.

Om Shanti Shanti Shanti Om

Denpasar, 20 Mei 2016


(9)

(10)

ix

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK (BAHASA INDONESIA) ... xii

ABSTRACT (BAHASA INGGRIS) ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Originalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan Umum ... 13

1.5.2 Tujuan Khusus ... 13

1.6 Manfaat Penelitian ... 14

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.6.2 Manfaat Praktis ... 14

1.7 Kerangka Teori ... 15

1.7.1 Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory) ... 15

1.7.2 Teori Prinsip Pembedaan (Distinction Principle Theory) ... 17

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 20

1.8.3 Sifat Penelitian ... 21

1.8.4 Sumber Bahan Hukum ... 21

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 23

1.8.6 Teknik Analis ... 23

BAB II TINJAUAN UMUM BENDA BUDAYA WARISAN DUNIA, ICONOCLAST, DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN ... 24

2.1 Tinjauan Umum Kebudayaan dan Benda Budaya Warisan Dunia ... 24

2.1.1 Definisi Budaya dan Wujud Kebudayaan ... 24

2.1.2 Pengertian Benda Budaya dalam Perjanjian Internasional ... 26


(11)

x

2.2.3 Kejahatan Terhadap Benda Budaya Iconoclast

dalam Hukum Internasional ... 39 2.3 Tinjauan Umum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ... 42 2.3.1 Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ... 42 2.3.2 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ... 44 2.3.2.1International Criminal Tribunal for

Former Yugoslavia (ICTY) ... 46 2.3.2.2International Criminal Tribunal for

Rwanda (ICTR) ... 47 2.3.2.3Rome Statute of The International

Criminal Court (ICC) ... 48 2.3.3 Penghancuran Properti Budaya (Iconoclast)

sebagai Tindak kejahatan Terhadap Kemanusiaan 51

BAB III PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL

TERHADAP KEJAHATAN PENGHANCURAN BENDA

BUDAYA (ICONOCLAST) ... 55 3.1Iconoclast Sebagai Pelanggaran Hukum Hak Asasi

Manusia Internasional ... 55 3.1.1 Iconoclast Melanggar Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan... 58 3.1.2 Iconoclast Melanggar Kebebasan serta Hak-Hak

Masyarakat Adat ... 65 3.1.3 Iconoclast Melanggar Hak-Hak Ekspresi Budaya

dan Kreativitas Seni Masyarakat ... 67 3.2Iconoclast Sebagai Kejahatan Terhadap Kekayaan

Properti Budaya Dunia Berdasarkan Hukum Humaniter

Internasional ... 70 3.2.1 Larangan Tindakan Iconoclast dalam Convention

IV Respecting the Laws and Customs of War on

Land (1907) ... 73 3.2.2 Larangan Tindakan Iconoclast dalam Convention

IV Relative to Civilian Persons in Time of War

(1949) ... 75 3.2.3 Larangan Tindakan Iconoclast dalam Convention

for the Protection of Cultural Property in the

Event of Armed Conflict (1954) ... 76 3.2.4 Larangan Tindakan Iconoclast dalam Protokol

Tambahan I dan II Geneva Convention (1977) ... 82 3.2.5 Larangan Tindakan Iconoclast dalam Customary


(12)

xi

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN

ICONOCLAST DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA INTERNASIONAL ... 96

4.1Iconoclast Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional ... 96

4.1.1 Pengertian Hukum Pidana Internasional ... 96

4.1.2 Berlakunya Hukum Pidana Internasional Terhadap Kejahatan Iconoclast ... 100

4.2Upaya Pemidanaan Iconoclast pada ICTY ... 108

4.2.1 Penerapan Statuta ICTY dalam Kasus Penghancuran Kota Tua Dubrovnik ... 108

4.2.2 Penilaian ICTY dalam kasus Iconoclast Penghancuran Kota Tua Dubrovnik ... 111

4.3Pemidanaan Kejahatan Iconoclast pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ... 118

4.3.1 Kewenangan ICC dalam Mengadili Kejahatan Iconoclast dalam Rome Statute ... 118

4.3.2 Prosedur Pengajuan Perkara Kejahatan Iconoclast pada ICC ... 121

4.4Tinjauan Komprehensif ... 128

BAB V PENUTUP ... 131

5.1 Kesimpulan ... 131

5.2 Saran-Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135 LAMPIRAN

Penghancuran Benda Budaya (Iconoclast) Sebagai Kejahatan Pidana Internasional Terhadap Kemanusiaan (E-Journal)


(13)

xii

mengkaji tindakan agresi, vandalisme/ mutilasi terhadap gambar, patung, dan benda budaya lainnya (sebagai icon) atas alasan penegakan prinsip agama oleh kelompok-kelompok tertentu. Tindakan ini tidak semata-mata sebagai sentimen agama, melainkan merambah pada sentimen gagasan ideologi, politik, ekonomi, dan lainnya yang didorong oleh kemarahan-kemarahan ambisius dengan alasan penegakan hukum Tuhan. Tindakan ini melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan hukum yang berlaku dalam skala internasional. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya: (1) Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya (Iconoclast)?; dan (2) Bagaimanakah pertanggungjawaban kejahatan Iconoclast dalam perspektif Hukum Pidana Internasional?.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang meneliti bahan pustaka dan data sekunder dengan mengkaji peraturan-peraturan tertulis dan bahan hukum lainnya diantaranya dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam analisisnya, penelitian ini menggunakan Teori Relativisme Budaya dan Teori Prinsip Pembedaan. Penelitian ini menggunakan beberapa jenis pendekatan untuk mengkaji setiap permasalahan yakni melalui Pendekatan Undang-undang, Pendekatan Konseptual, dan Pendekatan Studi Kasus.

Dalam Kajian ini ditemukan bahwa, dari perspektif HAM tindakan iconoclast telah mengekang hak-hak masyarakat di antaranya dalam kebebasan berkeyakinan dan beragama, kehidupan masyarakat adat, serta ekspresi budaya dan kreativitas seni. Sedangkan dari perspektif HHI, tindakan iconoclast digolongkan kedalam kejahatan perang/War Crime seperti dalam Protokol II Konvensi Hague 1954 (1999), Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 1949 (1977). Kehancuran diskriminatif yang dilakukan pada benda-benda budaya secara luas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan/ Crime Against Humanity. Untuk memberikan upaya penghukuman pada tindakan iconoclast, terdakwa harus dibuktikan bahwa tindakannya dilakukan untuk menghancurkan atau telah mengabaikan kemungkinan dari kerusakan atau kehancuran benda budaya tersebut. ICC hanya dapat menjalankan yurisdiksinya mengadili pelaku iconoclast apabila ada Negara pihak (Rome Statute) mengajukan sebuah situasi kepada mereka. Bila kejahatan iconoclast itu terjadi dan/atau dilakukan oleh terdakwa dari Negara Non-Pihak, maka dalam hal ini Dewan Keamanan PBB memiliki kewenangan untuk mengajukan kasus ini kepada Mahkamah melalui Resolusi Dewan Keaman PBB. Tanggung jawab pidana dapat dikenakan pada perorangan ataupun tanggung jawab komando sebagai atasan yang menyuruh untuk melakukan tindakan itu.

Kata kunci : Benda Budaya, Penghancuran, Tanggung Jawab, Hukum Internasional


(14)

xiii

mutilation of pictures, sculptures and other cultural property (as an icon) based on religious principles that upheld by certain groups. This action is not solely a religious sentiment, but it propagates to the sentiment of ideology, politics, economics, and more that driven by ambitious angers from the reasons to enforce the God's law. This action violates the basic principles of humanity and law on an international scale. The issues that raised in this study include: (1) How are the international law regulate against the destruction crimes of cultural property (iconoclast)?; and (2) How are the responsibility of the iconoclast crimes in the International Criminal Law perspective ?.

This research is a normative law study, that examines from the library materials and secondary data by reviewing the written rules and other legal materials among the primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In the analysis, this study using the Cultural Relativist Theory and Distinction Principle Theory. This study also uses several types of approaches to reviewing any issues that concerned specifically through Law Approach, Conceptual Approach and Case Study Approach.

In this reasearch it is found that, from the Human Rights perspective, this crime has restrain the rights of peoples including the freedom of belief and religion, the life of indigenous peoples, as well as cultural expression and artistic creativity. Meanwhile, from the perspective of International Humanitarian law, iconoclast crime is classified into War Crime as in the Protocol II Hague Conventions of 1954 (1999), Additional Protocol I and II of Geneva Conventions 1949 (1977). Discriminatife destruction that done to the cultural property widely is classified as a Crime Against Humanity. To give an adjudgment attempts on the iconoclast act, the defendant must be proven that their action were undertaken to destroy or damage extensively or wantonly ignore the possibility of damage to/ or destruction of the cultural property. The ICC can only run the jurisdiction to prosecute the iconoclast actors if there is a Member State (of Rome Statute) filed the situation to ICC. In the case when the iconoclast crime happened and/or committed by the defendant from the Non-Member State, it can be filed by the UN Security Council as the authority that they have to submit the case to the ICC by settings the Resolution of UN Security Council about this case. Criminal liability may be imposed on an individual or commander responsibility as the leader who ordered to perform that action.


(15)

1

1.1Latar Belakang

Pluralisme budaya masyarakat dunia terusik ketika semangat propaganda dan militansi terhadap paham radikal agama memusnahkan banyak situs dan artefak bersejarah yang menjadi saksi dari kayanya sejarah peradaban Dunia. Pada tanggal 26 Februari 2001, Mullah Mohammed Omar, pimpinan Taliban yang merupakan Rezim berkuasa di Afganistan pada waktu itu memutuskan untuk menghancurkan semua patung di Afganistan karena telah atau dapat menjadi berhala.1 Puncaknya, dua patung Buddha terbesar di dunia yang dipahat di atas dinding berbatu di Lembah Bamiyan berukuran 55 dan 37 meter, secara membabi buta dibombardir dan dihancurkan setelah satu bulan lamanya upaya tersebut dilakukan oleh Taliban yang dimulai pada tanggal 1 Maret 2001. Patung itu merupakan peninggalan Agama Buddha yang pernah berkembang di Afganisthan dari era kerajaan Gandhara pada abad ke-tiga dan ke-lima yang terletak sekitar 90 mil sebelah barat kota Kabul.2

Penghancuran terhadap patung Buddha Bamiyan Afganistan tersebut membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan keberlangsungan objek benda

1

Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, 2003, "The Destruction of the Buddhas of Bamiyan and International Law" dalam European Journal of International Law, Oxford University Press, London, h. 626.

2

Artikel Berita berjudul "Giant Afghan Buddhas destroyed, Taleban says" diposting pada tanggal 11 Maret 2001, diakses dalam laman web: http://www.edition.cnn.com/2001/WORLD/asiapcf/central/03/11/afghanistan.buddhas.03/index.ht ml pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul 22.45 WITA.


(16)

budaya dunia yang juga bisa terancam oleh rezim atau penguasa yang sewenang-wenang. Kasus ini menyita perhatian masyarakat dunia dan mencetuskan adanya istilah “crimes against cultural heritage of mankind” (kejahatan terhadap kekayaan budaya umat manusia), seperti yang diungkapkan oleh Koichiro Matsura, Direktur Jenderal UNESCO yang ketika itu menyatakan: “one of the things we should look into in the future is how to set up a new legal framework with credible punishment for crimes against culture”. 3

Penghancuran dengan kekerasan terhadap patung Buddha Bamiyan oleh pasukan militer dan pemerintah Taliban Afghanistan bisa dilihat sebagai contoh nyata dalam sejarah dari keterpurukan pelestarian benda budaya.4 Berbeda halnya dengan kerusakan perang konvensional terhadap warisan budaya yang mempengaruhi properti musuh, penghancuran patung Buddha Bamiyan menyangkut warisan budaya bangsa Afghanistan. Patung-patung itu berada di wilayahnya dan menjadi milik masa lalu peradaban pra-Islam kuno masyarakat Afghanistan.5

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Taliban di tahun 2001, dunia juga dikejutkan dengan tindakan vandalisme brutal yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sejak pertengahan tahun 2014 hingga Maret 2015 lalu ISIS melakukan tindakan penghancuran terhadap tempat-tempat

3

Artikel Berita berjudul "UNESCO Demands New Laws After Taliban Destruction", yang ditulis oleh Bureau, diposting pada tanggal 14 Maret 2001, dalam laman web: http://zeenews.india.com/news/south/asia/unesco-demands-new-laws-after-taliban-destruction_98 30.html, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul 00.14 WITA

4

Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Loc.Cit

5


(17)

bersejarah serta benda-benda arkeologis lainnya di Irak dan Suriah. Pada tanggal 6 Maret 2015 ISIS telah menghancurkan situs arkeologi kuno Nimrud di kota Mosul yang merupakan kota kedua terbesar di Irak. ISIS juga meratakan beberapa situs yang terletak di sebelah utara Irak tersebut. Pada tanggal 23 Juni 2014 Kelompok militan ISIS menghancurkan museum arkeologi di Kota Mosul yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah berusia 2.000 tahun.6

ISIS juga menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi saksi kejayaan perkembangan Islam di Suriah. Pada tanggal 19 Agustus 2014 ISIS menghancurkan Kompleks Masjid Jirjis yang dibangun di atas pemakaman Quraisy di Mosul pada akhir abad ke-14, termasuk biara kecil yang didedikasikan untuk Nabi Jerjis, atau disebut juga Nabi George.7 Tidak hanya itu, mereka juga menghancurkan Makam Nabi Yunus dan Masjid Nabi Daniel dari abad ke-11 di Kota Mosul pada tanggal 24 Juli 2014. ISIS menganggap bahwa selama ini ritual dan doa yang dilakukan di sekitar makam sebagai perbuatan dosa sehingga mereka merusak tempat itu. ISIS juga telah merusak sebuah Masjid Al-Askari yang terletak di Kota Samara, Irak pada tanggal 30 Juni 2014.8

Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO telah mengeluarkan pernyataan mengecam aksi brutal ISIS yang sengaja menghancurkan kota kuno Nimrud seraya menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan perang. UNESCO kemudian membicarakan hal tersebut dengan Ketua Dewan Keamanan

6

Akses Internet dalam artikel berita berjudul “UNESCO Kecam Penghancuran Kota Kuno

di Irak oleh ISIS” dalam website : http://www.satuharapan.com/, diakses pada tanggal 07 April 2015.

7

Akses Internet dalam artikel berita berjudul “Situs-situs Bersejarah yang Dihancurkan

oleh ISIS” dalam website : http://news.okezone.com/read/2015/03/13/18/1118392/situs-situs-bersejarah-yang-dihancurkan-isis, diakses pada tanggal 07 April 2015, Pukul 16.45 WITA.

8


(18)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).9 Tindakan-tindakan tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai iconoclast yang mengancam pluralitas masyarakat serta hilangnya identitas budaya dan sejarah masyarakat.

Tindakan iconoclast dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk agresi terhadap gambar, patung, ataupun benda budaya lainnya yang merefleksikan ikon atau simbol tertentu. Di dalamnya terdapat tindakan vandalisme (termasuk tindakan agresi perang, kekerasan patologis atau psikologis, dan perusakan atau mutilasi benda budaya karena alasan prinsip politik atau agama); tetapi dalam prakteknya, motif dilakukannya perbuatan ini jauh lebih jelas dan lebih sulit terurai. Dalam beberapa kasus terjadi akumulasi antara banyak tindakan tersebut yang dilakukan secara spontan dalam bentuk kekerasan individu dan atau secara bersama-sama dengan terorganisir di antara kelompok yang bermusuhan.10 Dalam motif umum atau teologis yang dikemukakan untuk menentukan alasan dilakukannya kejahatan iconoclastic, motif psikologis individu mungkin muncul untuk menerima semacam legitimasi dalam domain sosial, hukum, teologi atau filsafat merujuk pada tindakan kekerasan fisik terhadap gambar/ikon, baik yang bersifat dua atau tiga dimensi, dan kadang-kadang juga mengincar bangunan-bangunan.11

Di Indonesia, tindakan iconoclast terhadap benda budaya bersejarah pernah menimpa peninggalan Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 21

9

Ibid

10

David Freedberg, 1985, Iconoclasts and Their Motives, Masrssen, Schwartz, h.10

11


(19)

Januari 1985.12 Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan tujuh stupa pada candi (tujuh stupa yang rusak terkena ledakan terletak di sisi timur, tiga stupa di lantai 8, dua stupa di lantai 9, dan empat stupa di lantai 10). Otak peristiwa pemboman ini diketahui sebagai "Ibrahim" alias Mohammad Jawad alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pemboman ini disebut sebagai dalang pengeboman.13 Walaupun begitu, sosok Mohammad Jawad, otak peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini. Setelah penyelidikan, Polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini. 14

Dalam contoh kasus kejadian iconoclast yang dilakukan oleh Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast dilakukan secara sewenang-wenang oleh kelompok militan atau rezim otoriter yang berkuasa secara terorganisir. Tujuan penghancuran itu tidak terkait dengan cara apapun untuk tujuan militer, tetapi terinspirasi oleh kehendak belaka untuk memberantas setiap manifestasi budaya kreatif dengan didasari oleh paham radikal bahwa kepercayaan suatu komunitas masyarakat yang berkembang pada zaman dahulu maupun yang masih berkembang pada zaman kini bertentangan dengan pemahaman religius, sosial, dan budaya yang mereka yakini.15

12

Akses Internet dalam artikel berjudul “Pengeboman Borobudur, Ikhwanul Muslimin dan PKS" dalam website : http://www.muslimedianews.com/2014/11/pengeboman-borobudur-ikhwanul-muslimin.html, diakses pada tanggal 07 April 2015.

13

Ibid

14

Ibid

15


(20)

Upaya tersebut dilakukan sebagai sebuah aksi kekerasan dan teror untuk menciptakan masyarakat yang monoculture (penyeragaman budaya), serta pengekangan hak-hak asasi manusia salah satunya hak-hak sosial budaya masyarakat dengan tindakan-tindakan intoleran. Pendapat Meskel seperti yang dikutip oleh Silverman dan Ruggles, dengan tegas menyatakan bahwa, hilangnya kebudayaan dapat secara mudah diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak pada banyak generasi, menghapus ingatan budaya, dan menghilangkan jejak dengan kehidupan masyarakat di masa lalu yang terjalin dalam membentuk dan menjaga identitas kekinian masyarakat dunia. Tindakan ini dapat merujuk pada genosida, sejak tindakan yang dilakukan itu tidak dalam batas kewajaran.16

Piagam Venice 1964 dalam pembukaannya, menyebutkan properti budaya milik masyarakat merupakan harta budaya umat manusia, karena setiap masyarakat memberi kontribusi pada kebudayaan di seluruh dunia.17 Monumen bersejarah dari beberapa generasi masyarakat mengingatkan pada kehidupan masa kini sebagai saksi hidup dari tradisi kuno mereka. Orang-orang menjadi lebih sadar akan kesatuan nilai-nilai kemanusiaan dan menganggap monumen kuno sebagai warisan bersama. Hal ini merupakan tanggung jawab masyarakat untuk melindungi mereka bagi generasi masa depan. Ini adalah tugas kita secara penuh untuk menjaga mereka dalam bentuk keasliannya.18

Padahal kebebasan dalam mengekspresikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya telah dijamin melalui ketentuan yang fundamental di dalam

16

Helaine Silverman dan D. Fairchild Ruggles, 2007, Cultural Heritage and Human Rights, Spinger, New York, h.5

17

The Venice Charter: International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. ICOMOS and UNESCO, May 1964, Preamble.

18


(21)

sejumlah instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR),19 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), serta Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD)20 yang dikeluarkan oleh PBB melalui UNESCO. Setiap masyarakat dan individu memiliki hak-hak sosial dan budaya untuk hidup dalam keberagaman.

Menurut Jean-Marie Henckaerts, terdapat dua aliran Hukum Humaniter Internasional/ International Humanitarian Law (HHI) menyangkut perlindungan benda budaya. Aliran yang pertama berasal dari Regulasi Den Haag. Aliran ini menyatakan bahwa diharuskannya sifat kehati-hatian yang khusus dalam pelaksanaan operasi militer juga larangan melakukan perampasan, penghancuran, atau perusakan dengan sengaja terhadap gedung-gedung dan bangunan-bangunan semacam itu.21 Aliran yang kedua yaitu berasal dari beberapa aturan spesifik dalam Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya, yang melindungi "benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa" dan memberlakukan sebuah tanda pembeda spesifik untuk mengenali benda-benda semacam itu. Hal ini agar benda-benda budaya tersebut tidak diserang atau ada pada resiko kehancuran atau kerusakan. HI Kebiasaan juga melarang setiap bentuk pencurian, penjarahan, atau penyalahgunaan dan setiap tindakan vandalisme yang diarahkan terhadap benda-benda semacam itu. 22

19

Pasal27 ayat (1) dan (2) Universal Declaration of Human Rights

20

Pasal 1 Universal Declaration on Cultural Diversity

21

Jean-Marie Henckaerts dalam artikel berjudul "Study on Customary International Humanitarian Law," dalam International Review of Red Cross, Volume 87. No. 857, Maret 2005. h.20

22


(22)

Protokol II Konvensi Den Haag 1954 tahun 1999 mengenalkan sistem perlindungan baru: “enhanced protection (peningkatan perlindungan)”.23 Dalam Pasal 28 Second Protocol 1999, dikatakan bahwa negara anggota harus mengambil semua langkah penting untuk memastikan adanya sanksi pada orang yang melakukan pelanggaran ketentuan Protokol II tahun 1999 dan Konvensi Den Haag 1954. Pasal 15 Second Protocol 1999, memberi pengaturan bahwa setiap negara anggota harus mempunyai peraturan dalam yurisdiksi negerinya sendiri untuk memberi hukuman pada pelaku perusakan benda budaya yang telah didaftarkan dalam teritorial negara tersebut.

Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai perlindungan terhadap Benda Budaya telah diundangkan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Poin menimbang pada undang-undang ini, huruf (b) menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Serta tindakan-tindakan pengrusakan benda budaya/ cagar budaya tersebut diatur secara khusus dalam Bab XI mengenai Ketentuan Pidana yang didalamnya terdapat aturan pemidanaan terhadap tindakan-tindakan yang mengancam

23

Terdapat tiga syarat properti budaya yang layak dimasukan dalam kategori “enhanced protection”, yakni:

a. Benda cagar budaya tersebut merupakan benda warisan budaya yang memiliki nilai yang sangat penting bagi umat manusia

b. Benda cagar budaya tersebut memperoleh tindakan hukum dan administrasi yang mengakui nilai sejarah dan budaya dan mendapatkan tingkat perlindungan yang paling tinggi

c. Benda cagar budaya tersebut tidak digunakan untuk kepentingan militer atau perlindungan militer yang harus dideklarasikan oleh para negara peserta


(23)

keselamatan benda cagar budaya, salah satunya tindakan pengrusakan (Pasal 105)24 dan pencurian (Pasal 106).25

Dalam contoh kasus Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast tersebut justru dilakukan oleh negara atau pihak rezim penguasa yang semestinya bertanggung jawab terhadap benda-benda budaya yang ada di wilayahnya sesuai dengan Pasal 28, Second Protocol 1999. Tindakan-tindakan iconoclast yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis Taliban dan ISIS tersebut jauh dari upaya perlindungan benda budaya dan telah mengancam hak-hak hidup, hak-hak sosial, hak-hak ekonomi, serta hak-hak budaya masyarakat.

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menjadi lembaga yang memiliki potensi kekuatan hukum untuk mengadili kasus tersebut. Pasal 8 Statuta ICC memungkinkan pengadilan atas kejahatan hukum perang, penyerangan secara sengaja institusi agama dan budaya, dan juga rumah sakit.26 Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut maka sangat menarik

24

"Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)." Pasal 105, UU No.11 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Cagar Budaya.

25

Ayat (1) :

"Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Ayat (2):

"Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)." Pasal 106, ibid

26

Intentionally directing attacks against buildings dedicated to religion, education, art, science or charitable purposes, historic monuments, hospitals and places where the sick and wounded are collected, provided they are not military objectives (Terjemahan penulis: Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan


(24)

dikaji secara lebih mendalam dan dituangkan dalam sebuah penulisan karya ilmiah yang berjudul: “Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Penghancuran Benda Budaya (Iconoclast) Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dikemukakan dua rumusan masalah yang penting untuk dikaji, yaitu :

1) Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya (Iconoclast)?

2) Bagaimanakah upaya pertanggungjawaban kejahatan Iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Agar penulisan karya ilmiah ini tidak jauh menyimpang dari pokok permasalahan maka perlu pembatasan ruang lingkup dalam pembahasannya. Dalam skripsi ini akan ditinjau mengenai pengaturan hukum internasional tindakan penghancuran benda budaya Iconoclast terhadap objek sipil yang memiliki nilai budaya dan historis bagi umat manusia.

Dalam pokok pembahasan pertama akan dibatasi pada pengaturan HAM dan Hukum Humaniter terhadap pelanggaran Iconoclast dalam norma-norma tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka tidak menjadi target tujuan militer)

Rome Statute of International Criminal Court yang diadopsi di Roma, 17 Juli 1998, Pasal 8 Ayat (2) Huruf (e) Point (iv).


(25)

hukum tertulis Internasional yang terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi masyarakat dan pelanggaran terhadap upaya perlindungan/ pelestarian benda-benda budaya baik dalam masa damai maupun dalam masa konflik bersenjata.

Dalam pokok bahasan kedua selanjutnya akan dibahas mengenai upaya penegakan hukum internasional yang dapat dilakukan untuk mengadili kejahatan Iconoclast dalam norma-norma hukum internasional. Selanjutnya diuraikan upaya-upaya yang bisa dilakukan dari segi hukum untuk menegakkan hukum internasional berkaitan dengan tindakan Iconoclast tersebut.

1.4Originalitas Penelitian

Untuk memperhatikan originalitas skripsi ini maka dalam penelitian ini digunakan berbagai sumber pustaka/ literatur seperti jurnal, skripsi, maupun karya ilmiah hukum lainnya serta berbagai sumber peraturan perundang-undangan, konvensi, perjanjian, maupun deklarasi Internasional. Sumber pustaka tersebut digunakan sebagai sumber pendukung, pedoman, dan acuan dalam menjawab masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu literatur ini juga digunakan untuk memperkaya wawasan yang dipetik secara selektif yang berhubungan langsung dengan kajian mengenai iconoclast sebagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari pengamatan penulis, dalam perpustakaan skripsi yang ada di Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di universitas lain yang penulis lacak melalui media internet, belum ada penelitian skripsi yang sama dengan tulisan ini, namun terdapat beberapa skripsi yang terkait dengan tulisan ini. Berikut adalah


(26)

judul skripsi, identitas penulis, serta rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1. Perlindungan Terhadap Benda Budaya Pada Masa Konflik Bersenjata

Menurut Hukum

Humaniter Internasional: Penerapannya oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia Dalam Kasus-Kasus Dubrovnik.

Sasha Izni Shadrina,

Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Depok, 2012

1. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep perlindungan terhadap benda budaya pada

masa konflik

bersenjata?

2. Bagaimanakah Hukum Humaniter

Internasional mengatur perihal perlindungan benda budaya pada

masa konflik

bersenjata? 3. Bagaimanakah

penerapan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional terkait perlindungan terhadap benda budaya oleh International Criminal Tribunal for

The Former

Yugoslavia dalam kasus-kasus

Dubrovnik? 2. Eksistensi Convention on

the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property (1970) Terhadap Perlindungan Benda-Benda Cagar

Budaya Dalam

Menangani Perdagangan

Fenni Pratama Bassi, Fakultas Hukum

Universitas Hasanudin, Makasar, 2014

1. Bagaimanakah peng-aturan perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya menurut Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of


(27)

Ilegal di Tingkat Internasional.

Ownership of Cultural Property 1970?

2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan benda-benda cagar budaya menurut Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970?

1.5Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengkaji, menelusuri dan menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Dari rumusan masalah tersebut dapat dibagi dalam dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.5.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berhubungan dengan tindakan Iconoclast sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap tindak kejahatan ini.

1.5.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk menganalisa pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya iconoclast.


(28)

2. Untuk menganalisa upaya pertanggungjawaban dalam menindak kejahatan iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional.

1.6Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum mengenai ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tindakan iconoclast sebagai kejahtan terhadap kemanusiaan.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada berbagai pihak terkait dengan perlindungan benda budaya, khususnya di Indonesia, yaitu:

1. Bagi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yakni dapat menjadi rujukan untuk menyusun peraturan dan kebijakan dalam mengantisipasi tindakan-tindakan Iconoclast dan vandalisme benda-benda arkeologis yang ada di Indonesia dalam situasi damai maupun dalam keadaan konflik bersenjata.

2. Bagi Tentara Nasional Indonesia, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aturan hukum humaniter dalam upaya


(29)

perlindungan benda-benda budaya baik dalam situasi damai maupun dalam konflik bersenjata.

3. Bagi Arkeolog, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai dukungan hukum internasional dalam upaya perlindungan benda-benda budaya bernilai sejarah yang ada di Indonesia agar tidak terjadi kejadian serupa serta membantu para arkeolog dalam menelaah dasar hukum yang dapat digunakan apabila di kemudian hari ditemukan kejadian semacam ini.

1.7Kerangka Teori

Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat besar adalah teori. Menurut Neumen, seperti yang dikutip oleh Sugiono, teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.27 Dalam membahas permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan Teori Relativisme Budaya dan Teori Prinsip Pembedaan.

1.7.1 Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)

Relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Relativisme dapat dibahas dalam berbagai bidang. Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk atau sub-bentuk relativisme adalah keyakinan bahwa sesuatu bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan

27

Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kwalitatif Dan R & D, Cv. Alfa Beta, Bandung, h.52


(30)

penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling sahih.28 Perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang.29 Sehingga perbedaan yang terbentuk diantara budaya-budaya yang ada terjadi akibat adanya bentuk perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusia, dan kondisi lingkungan fisiknya.

Teori relativisme budaya (cultural relativist theory) memandang teori hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).30 Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya serta tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).31 Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya,

28

Mohammad A. Shomali, 2005, Relativisme Etika, Serambi, Jakarta, h.31

29

Koentjara Ningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. h.56

30

Todung Mulya Lubis,1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of

Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, h.19

31


(31)

karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Relativisme budaya menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya.32

1.7.2 Teori Prinsip Pembedaan (Distinction Principle Theory)

Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) terdapat beberapa prinsip. Salah satu prinsip yang penting dalam Hukum Humaniter Internasional adalah pembagian penduduk (warga negara) yang sedang berperang maupun yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata (armed conflict). Kombatan adalah golongan orang yang turut serta secara aktif dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak turut serta dalam permusuhan.33 Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives).34

Dalam Daftar Aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan,35 bagian pertama menjelaskan mengenai Pembedaan antara Objek Sipil dan Sasaran Militer. Pada Aturan 7 disebutkan: "Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap

32

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1998, Komunikasi Antarbudaya. Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 78

33

Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, h.73

34

Ibid

35

Mengenai Daftar Aturan-Aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan ini, penulis kutip dalam bagian Lampiran tulisan Jean-Marie Henckaerts, Op.Cit., h.26-44


(32)

saat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. Penyerangan hanya boleh diarahkan kepada sasaran militer. Penyerangan tidak boleh diarahkan kepada objek sipil".

Dalam situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk membedakan antara objek-objek militer yang boleh diserang dan objek-objek sipil yang harus dilindungi. Mengenai pengertian tentang Objek Sipil dijelaskan dalam Aturan 9 yang menyebutkan: "Objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer". Sehingga objek sipil tersebut sama sekali tidak terkait dengan militer termasuk Benda Budaya. Penghormatan terhadap Benda Budaya sebagai objek sipil yang harus dilindungi ditegaskan juga dalam Aturan 38 yang terdiri dari poin (A) dan (B) yang menyebutkan:

"Masing-masing pihak yang terlibat konflik harus menghormati benda-benda budaya:

A. Dalam pelaksanaan operasi militer, kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk menghindari timbulnya kerusakan terhadap bangunan-bangunan yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap monumen-monumen bersejarah, kecuali jika bangunan-bangunan tersebut merupakan sasaran militer.

B. Benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa tidak boleh dijadikan objek penyerangan, kecuali jika penyerangannya harus dilakukan demi kepentingan militer yang imperatif.

Sebagai Objek Sipil, para pihak yang berkonflik diwajibkan untuk melindunginya dari penghancuran, pencurian, penjarahan, dan setiap tindakan perusakan pada benda-benda budaya dan lembaga-lembaga lainnya yang didedikasikan untuk kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dijelaskan dalam Aturan 40 yang berbunyi:


(33)

Masing-masing pihak yang berkonflik harus melindungi benda-benda budaya:

A.Merebut, menghancurkan, atau dengan sengaja merusak lembaga-lembaga yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, amal, pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen-monumen bersejarah, karya-karya seni, dan karya-karya ilmu pengetahuan adalah dilarang

B. Setiap tindakan pencurian, penjarahan, atau perebutan dan setiap tindakan perusakan yang diarahkan kepada benda-benda yang mempunyai nilai penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa adalah dilarang.

1.8Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.36 Penelitian ini ditujukan pada penelitian yang mengkaji peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Untuk lebih lanjut, yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian jenis ini adalah:37

1. Bahan Hukum Primer yang merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma-norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan-bahan hukum lainnya yang hingga kini masih berlaku;

36

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, h. 13-14.

37


(34)

2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum;

3. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum Primer maupun Sekunder. Contohnya: kamus, ensiklopedia, artikel berita, dan sebagainya.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk mengkaji setiap permasalahan. Jenis-jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua instrumen hukum internasional yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani;38

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang tertulis dalam sumber-sumber literatur yang dikutip. Doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.39 Ada beberapa konsep yang penting dan relevan dengan persoalan dalam penelitian ini, antara lain konsep relativisme budaya (Cultural Relativist) dan konsep prinsip pembedaan (Distinction Principle);

38

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Kencana, Jakarta, h.93

39


(35)

3. Pendekatan Studi Kasus (Case Study Aproach), Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan mengenai kejahatan Iconoclastyang telah memiliki kekuatan hukum tetap.40

1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif normatif. Penelitian deskriptif normatif ini memaparkan mengenai aspek-aspek yang diteliti yakni bagaimana hukum internasional mengatur mengenai perlindungan benda budaya terhadap tindakan iconoclast dalam perspektif HAM dan Hukum Humaniter serta upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kasus-kasus iconoclast yang menghancurkan banyak situs-situs bersejarah serta benda-benda arkeologis dalam perspektif hukum pidana internasional.

1.8.4 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga data-data yang digunakan sebagai sumber data adalah bahan-bahan hukum primer (bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer) dan bahan hukum tersier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).41 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari:

1. Bahan-bahan hukum primer didapatkan dari peraturan-peraturan deklarasi, konvensi-konvensi internasional. Pengaturan mengenai HAM yang dikaji meliputi: Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International

40

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93

41


(36)

Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD), Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief (DEDR), serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Adapun pangaturan mengenai HHI dalam peraturan hukum internasional yang dikaji meliputi: Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land (1907), Convention IV Relative to Civilian Persons in Time of War (1949), Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954), Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 (1977), Rekomendasi pada Meeting of the Intergovernmental Group of Experts for the Protection of War Victims Geneva (1995), UNESCO Declaration Concerning The Intentional Destruction of Cultural Heritage (2003).

2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.42 Antara lain yang diperoleh dari hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum mengenai perlindungan benda-benda budaya pada masa konflik bersenjata. 3. Bahan hukum tersier yang menunjang penelitian ini seperti kamus hukum dan

ensiklopedia, dan sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian guna memperluas wawasan/ memperkaya sudut pandang didalam melakukan penelitian.

42


(37)

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini metode pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi pada buku-buku, literatur, atau kepustakaan lainnya sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakuan untuk memperoleh data skunder dengan cara membaca literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal dan dokumen yang relevan dengan topik penelitian.

1.8.6 Teknik Analisis

Teknik analisis data adalah suatu metode pengolahan data (bahan hukum) dengan jalan menganalisa untuk memperoleh kesimpulan umum, setelah memperoleh data.43 Dalam studi terhadap kasus hukum, metode analisis yang banyak digunakan adalah content analysis method yang menguraikan materi peristiwa hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan.44 Hasil penelitian kemudian dipaparkan dengan menggunakan metode deskriptif argumentatif yaitu dengan cara memberikan gambaran terhadap permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dengan mengedepankan pemikiran yang logis dan sistematis.

43

Riduan, 2004, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Alfabeta Cataka Pratama, Bandung. h.32

44

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.42


(38)

24

2.1 Tinjauan Umum Kebudayaan dan Benda Budaya Warisan Dunia 2.1.1 Definisi Budaya dan Wujud Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai definisi yang sangat luas dan begitu kompleks. E.B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan- kebiasaan lain.45 Definisi lain dikemukakan oleh Marvin Harris, yang menjabarkan kebudayaan sebagai seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.46 Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti 'akal'. Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan lebih diartikan sebagai culture, yang berasal dari kata "cultura" Bahasa Latin (colo, colere:), yang berarti bercocok tanam.47

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu: 48

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini merupakan wujud ide

45

E.B. Tylor dalam Nyoman Kutha Ratna, 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.5

46

Harris, Marvin, 1999, Theories of Culture in Postmodern Times. Altamira Press, New York, h.19

47

Koentjaraningrat,1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cet. 7, PT.Gramedia, Jakarta, h. 80

48


(39)

dari kebudayaan yang bersifat abstrak, yang bentuknya berada dalam pemikiran, suatu adat istiadat. Berperan sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia ke masyarakat. Wujud ini sering disebut sebagai sistem sosial, mengendalikan tata kelakuan hidup yang memiliki pola dari masyarakat itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi berdasar adat istiadat serta bersifat kongkrit.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik yang diaplikasikan dalam seluruh aktivitas fisik, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Wujud ini yang bersifat paling kongkrit, karena dapat disentuh dan dilihat bentuknya.

Wujud-wujud kebudayaan ini hidup dan berkembang di masyarakat sebagai sebuah warisan budaya (Cultural Heritage) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi maupun warisan benda berwujud yang masih dapat dilihat keberadaannya hingga saat ini. Identitas masyarakat (pribadi dan komunitas) terbentuk melalui benda-benda budaya yang bersifat nyata dan budaya yang bersifat tak-benda, serta pembentukan identitas yang kuat tampaknya akan menjadi hal fundamental yang baik. Tapi heritage juga terkait dengan identitas dan wilayah.49 Cultural Heritage dapat menjadi potensi untuk mengembangkan interaksi antar masyarakat dunia serta membina hubungan yang baik dengan dasar

49


(40)

persaudaraan dan kedamaian untuk menciptakan stabilitas dunia yang harmonis dan meminimalisir terjadinya konflik-konflik antar negara.

2.1.2 Pengertian Benda Budaya dalam Perjanjian Internasional

Tangible Heritage merupakan warisan budaya dunia yang berwujud benda sehingga sering diidentikkan dengan benda budaya yang dalam hukum Internasional sering diistilahkan dengan 'cultural property'. Secara umum cultural property merujuk pada obyek-obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas yang dapat dibedakan dari obyek biasa karena signifikasi budaya yang dimiliki benda tersebut dan atau karena kelangkaannya.50 Segala upaya untuk mendefinisikannya akan menunjukkan sifat heterogen dari benda budaya.51 Oleh karena itu, pengkategorian terhadap benda budaya sangatlah tidak terbatas.52 Dibandingkan dengan intangible heritage, kekayaan budaya dunia berupa benda (tangible heritage) sifatnya lebih nyata dan jelas keberadaannya karena ia dapat diamati secara objektif melalui pengamatan indra sehingga lebih mudah untuk dilindungi oleh hukum internasional.

Properti Budaya merupakan wujud budaya yang sangat kongkrit, yaitu merupakan buah hasil karya seni masyarakat tertentu, berbentuk, berupa benda, dapat disentuh dan dilihat. Definisi mengenai benda budaya dapat ditemukan dalam berbagai konvensi internasional. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (Hague Convention of 1954) dalam Pasal 1, menyatakan definisi benda/properti budaya :

50

John Henry Merryman, 2005, “Cultural Property Internationalism”, International Journal of Cultural Property 12, h.11. Jurnal dapat diakses pada web: http://biblio.juridicas.unam.mx/libros/2/642/32.pdf

51

Ibid., h.11.

52


(41)

a. benda bergerak atau tidak bergerak yang bernilai sangat penting bagi warisan budaya setiap orang, seperti monumen arsitektur, seni atau sejarah, baik yang bersifat keagamaan atau sekuler; situs arkeologi; kelompok bangunan yang, secara keseluruhan, bersifat penting bagi sejarah atau seni; karya seni; manuskrip, buku dan benda-benda lain yang bernilai seni, sejarah atau kepentingan arkeologis; serta koleksi ilmiah dan koleksi penting dari buku atau arsip atau reproduksi dari properti yang didefinisikan di atas

b. bangunan dengan tujuan utama dan efektifitasnya adalah untuk melestarikan atau memamerkan properti budaya bergerak seperti yang didefinisikan dalam sub-ayat (a) seperti museum, perpustakaan besar dan deposit arsip, dan perlindungan juga dimaksudkan untuk tempat-tempat yang menaunginya, dalam hal terjadi konflik bersenjata, properti budaya bergerak yang didefinisikan dalam sub ayat (a)

c. pusat-pusat/sentra yang mengandung sejumlah besar properti budaya sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b), dikenal sebagai "sentra-sentra mengandung monumen/ centers containing monuments". (Terjemahan Penulis)

Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property yang dikeluarkan 1970 juga memberikan definisi tentang benda/properti budaya. Definisi properti budaya dalam Konvensi ini diuraikan secara rinci dalam Pasal 1 yang berbunyi:

"Untuk tujuan Konvensi ini, istilah 'kekayaan budaya' berarti properti yang, dalam khasanah agama atau sekuler, yang secara khusus ditunjuk oleh masing-masing Negara untuk dijadikan sebagai benda bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah, sastra, seni atau ilmu pengetahuan dan yang milik kategori berikut:

(a) Koleksi dan spesimen fauna dan flora langka, mineral dan anatomi, dan obyek paleontologi;

(b) Properti sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, teknologi, militer, dan sejarah sosial, mengenai sejarah perjalanan hidup pemimpin bangsa, pemikir, peneliti, dan seniman dan juga (yang terkait) pada kepentingan event nasional;

(c) Produk penggalian arkeologi (termasuk penemuan yang bersifat umum dan rahasia) atau dari penemuan arkeologi;

(d) Bagian dari monumen bersejarah atau artistik atau situs arkeologis yang telah patah;

(e) Benda antik yang berusia lebih dari seratus tahun seperti artefak, koin, atau stempel;

(f) Obyek yang terkait kepentingan etnologi (entitas etnik); (g) Properti yang memiliki nilai seni, seperti:


(42)

i. Gambar, lukisan, dan gambar yang dibuat seluruhnya dengan tangan dalam berbagai metode dan berbagai material (tidak termasuk desain industri dan benda pabrik yang dihias dengan tangan);

ii. Karya asli seni patung dan pahatan di bahan apapun; iii. Ukiran asli, cetakan, dan litograf (tulisan-tulisan);

iv. Kumpulan seni asli assemblages (sejenis mozaik) dan montage (komposisi benda berbentuk gambar) di bahan apapun;

(h) Manuskrip langka dan incunabula (buku-buku cetakan awal ditahun 1500-an), buku-buku lama, dokumen dan publikasi minat khusus (sejarah, seni, ilmu pengetahuan, sastra, dll) secara tunggal atau koleksi;

(i) Prangko/benda pos, pendapatan dan sejenis perangko, tunggal atau koleksi;

(j) Benda-benda furnitur yang berusia lebih dari seratus tahun dan alat musik tua". (Terjemahan Penulis)

Selain definisi dari benda budaya tersebut, dalam Pasal 4 Konvensi 1970 juga membatasi kategori dari benda yang dilindungi.

"Negara anggota yang pada Konvensi ini mengakui bahwa untuk tujuan Konvensi Properti yang termasuk kategori berikut merupakan bagian dari warisan budaya masing-masing Negara:

(a) Benda budaya yang diciptakan oleh kecerdasan individu atau kolektif warga negara dari Negara yang bersangkutan, dan benda budaya yang penting bagi Negara yang bersangkutan yang diciptakan dalam wilayah Negara, atau yang diciptakan oleh warga negara asing atau orang tanpa kewarganegaraan penduduk dalam wilayah tersebut; (b) Benda budaya yang ditemukan didalam teritori negara tersebut; (c) Benda budaya yang dikuasai untuk kepentingan misi penelitian

arkeologi, etnologis atau ilmu alam, dengan persetujuan dari pihak yang berwenang dari negara asal harta tersebut;

(d) Benda budaya yang telah menjadi subyek dari pertukaran bebas dalam kesepakatan;

(e) Kekayaan budaya yang diterima sebagai hadiah atau dibeli secara legal dengan persetujuan dari pihak yang berwenang dari negara asal harta tersebut" (Terjemahan Penulis)

Dalam World Heritage Convention 1972 (Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972) tentang Perlindungan atas Kekayaan Budaya dan Kekayaan Alam Dunia, mengenalkan konsep “World Cultural Heritage” sebagai bagian dari kekayaan


(43)

warisan dunia.53 Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional yang mengenalkan konsep modern tentang kekayaan budaya dunia. Pengertian world heritage dalam Konvensi ini menekankan pada kekayaan budaya seluruh umat manusia (world heritage of mankind as a whole), kekayaan seluruh bangsa dunia (heritage of all the nations of the world), dan kekayaan budaya tersebut „unik dan tak tergantikan‟ (this unique and irreplaceable property) yang dimiliki tidak hanya oleh orang-orang tertentu.54

Definisi tentang “Cultural Heritage” yang merujuk pada 'Cultural Property' dinyatakan dalam Pasal 1 World Heritage Convention 1972 merujuk pada benda-benda/ objek-objek yang tampak secara fisik misalnya seperti: a).

Monumen (karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu); b). Kelompok bangunan (kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam lanskap, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; dan c). Situs (karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan wilayah geografis termasuk situs arkeologis yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, ethnologi atau sudut pandang antropologi).

53

Dalam pembukaan World Heritage Convention 1972, dinyatakan bahwa bagian dari warisan budaya atau alam yang luar biasa menarik dan karena itu perlu dipertahankan sebagai bagian dari warisan dunia umat manusia secara keseluruhan; “Considering that parts of the cultural or natural heritage are of outstanding interest and therefore need to be preserved as part

of the world heritage of mankind as a whole”

54

To whatever people it may belong’. Seventeenth Session of the General Conference of UNESCO, Paris 1972


(44)

2.2Tinjauan Umum Kejahatan Terhadap Benda Budaya Warisan Dunia (Iconoclast)

Pentingnya nilai-nilai historis, budaya, seni, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan yang terdapat dalam kebudayaan dunia menjadikannya sebagai aset penting yang dapat memberikan rekam jejak kepada kita akan perkembangan peradaban manusia. Faktanya keberadaan benda-benda budaya kerapkali terancam berbagai tindakan kriminal yang bisa merusak bahkan menghilangkan keberadaannya. Berbagai macam motif tindak kejahatan dapat menimpa benda-benda budaya ini, mulai dari pencurian, target operasi militer, vandalisme/pengrusakan, hingga pemusnahan secara total. Motif-motif kejahatan tersebut muncul dari berbagai aspek, mulai dari ekonomi, politik, kepentingan militer, hingga sentimen agama.

Dari sudut pandang selisih paham ideologi yang saat ini menjadi sorotan dunia ialah tindakan Iconoclast yang dilakukan oleh Taliban pada 2001 dan ISIS pada tahun 2014 hingga kini (2015). Tindakan Iconoclast bukan hanya dilakukan oleh Taliban dan ISIS saja namun hal tersebut telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah perkembangan agama-agama dan politik di dunia. Dimana penghancuran terhadap simbol-simbol berupa bangunan monumental, benda-benda seni, dan benda-benda-benda-benda bersejarah yang merujuk pada suatu golongan tertentu di rusak dan/atau dihancurkan atas dasar kesewenang-wenangan penegakan hukum golongan pribadi yang menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan


(45)

dan hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang terhadap budaya dan kepercayaannya.

2.2.1 Pengertian Iconoclast

Iconoclast adalah contoh yang lazim terjadi sebagai sebuah pelanggaran dalam terjadinya konflik yang dapat menjadikan hal itu sulit bagi ahli hukum merancang sebuah peraturan hukum yang dibuat untuk melindungi kekayaan budaya dalam hal terjadinya konflik.55 Iconoclast berasal dari bahasa Yunani: eikonomakhia, yang berarti tindakan memerangi atau menghancurkan gambar/ikon. Iconoclast adalah suatu tindakan menghancurkan gambar-gambar, ikon-ikon, atau patung-patung, atau simbol-simbol dan monumen-monumen lain, baik yang bermakna religius maupun yang bermakna politis.56

Beberapa literatur menunjukkan perspektif yang berbeda mengenai istilah iconoclast-me. Sarah Brook seperti yang dikutip oleh Joris D.Kila dan Marc Balcells, tindakan itu bisa berarti "penghancuran gambar/simbol" dan mengacu pada dorongan yang berulang terjadi akibat latar belakang sejarah yang pernah terjadi sebelumnya yang menggerakan mereka untuk merusak atau menghancurkan gambar/ikon demi alasan agama atau politik.57 Deskripsi lain menganggap iconoclast sebagai tindakan yang sangat menentang keyakinan yang

55

Joris D.Kila dan Marc Balcells, 2015, Cultural Property Crime: An Overview and analyis of Contemporary Perspectives and trends, Koninlijke Brill, Leiden., h.168. Fersi Dokumen dapat diakses dalam web: http://traffickingculture.org/wp-content/uploads/2015/06/2015-Crime-and-conflict-in-Kila-and-Balcells.unlocked.pdf

56

Adolf Heuken, 1991, Ensiklopedi gereja, Volume 1, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, h.71

57


(46)

berlaku dalam adat istiadat kebiasaan masyarakat umum dan tradisi lain yang berkembang.58

Iconoclast dalam sebuah konflik adalah contoh kejahatan yang tidak memiliki ukuran kepastian. Tindakan iconoclast menjadi sulit untuk diatur di bawah undang-undang yang dirancang melindungi kekayaan budaya dalam situasi konflik. Iconoclast-me kontemporer, bagaimanapun juga, saat ini masih terjadi di dunia yang semakin sekuler. Oleh karena itu lebih baik untuk mendefinisikan kembali atau menyempurnakan istilah ini sebagai tindakan menyerang manifestasi materi ide dan keyakinan yang tidak terbatas pada representasi agama tertentu.59

Menjadi penting untuk menetapkan apa yang menyebabkan tindakan iconoclast tersebut dilakukan. Joris D.Kila dan Marc Balcells mengutip pendapat Morgan yang juga mengutip pendapat Freedberg, berpendapat bahwa "kekuatan pendorong di belakang reaksi destruktif gambar-gambar/icon biasanya muncul akibat adanya rasa takut akan munculnya penyembahan terhadap gambar tersebut, kebangkitan emosi masa yang di dorong rasa penghormatan terhadap gambar-gambar tersebut secara sosial, politik, dan lain-lain yang menimbulkan haluan baru golongan orang-orang yang mendukung ikon/ gambar tersebut".60 Freedberg berpendapat berdasarkan konteks sejarah dan agama, tindakan ini menunjukkan bahwa orang-orang di zaman itu mengetahui bahwa resiko yang muncul akibat rasa takut tersebut akan berubah menjadi pengabdian yang membabi buta terhadap paham keyakinan pemujaan terhadap gambar/ objek citra. Pengabdian, ibadah, atau penyembahan terhadap benda-benda yang dianggap sebagai berhala (oleh

58

Ibid

59

Ibid

60


(47)

kaum iconoclastic), hanya dapat dicegah dengan menghancurkan citra (objek) yang hampir secara mandiri menjadi satu-satunya pemicu dilakukannya tindakan iconoclast.61

Dari perspektif ini, orang-orang yang menghancurkan gambar/ikon simbol-simbol tertentu untuk motif agama hanyalah membela iman mereka. Hal ini secara tidak langsung membuka gerbang diskusi antar masyarakat dan komunitas dunia mengenai hukum dan pertimbangan kemanusiaan yang akan mencakup didalamnya kebebasan beragama.62 Sentimen Agama merupakan salah satu faktor yang mendorong kuat terjadinya tindakan Iconoclast. Penghancuran ikon berwujud benda budaya seperti patung dan citra lain sejenisnya tidak semata-mata sebagai akibat dari sentimen agama. Hal ini menjadi berkembang sebagai sebuah kejahatan yang menyerang simbol-simbol ide/ gagasan lain yang tidak hanya murni sebagai ekspresi keagamaan, melainkan merambah pada sentimen gagasan ideologi, rezim politik, ekonomi, dan lainnya.

2.2.2 Perkembangan Kejahatan Iconoclast

Dari sentimen agama, ketakutan terhadap penyimpangan pemujaan terhadap benda-benda iconic atau pengidolaan itulah yang berperan dalam kasus terjadinya tindakan iconoclast. Hal itu tampaknya datang dari berbagai motivasi, dari alasan agama seperti paham ideologi yang seharusnya penyembah berhala (patung) takut kepada Tuhan, bukan kepada ikon itu,63 didorong kepentingan politik untuk mebinasakan identitas atau upaya penyeragaman, dan aksi perusakan

61

Ibid

62

Ibid

63


(48)

itu didorong oleh kemarahan-kemarahan ambisius dengan alasan penegakan hukum Tuhan.64

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kehancuran dan hilangnya warisan budaya telah terus-menerus terjadi sebagai konsekuensi dari tindakan iconoclast fanatik atau sebagai efek 'pasti' dari konflik bersenjata.65 Sejak awal masehi sekitar tahun 391, Kaisar Romawi Theodosius memerintahkan untuk melakukan pembongkaran Kuil Serapis di Alexandria, untuk melenyapkan benteng terakhir basis pertahanan dari orang-orang yang masih memeluk Agama Paganisme/non-Kristen.66 Pada tahun 630 Masehi, setelah Nabi Muhammad menguasai Mekah, ia bersama pengikutnya menghancurkan 360 patung-patung Bani Quraisy yang ada di dalam dan di sekitar area Ka'bah untuk menegakkan Islam dan hukum Allah.67

Selanjutnya adalah peristiwa terkenal wabah iconoclastic Bizantium. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 726-730 Masehi, dimana Kaisar Bizantium Leo III, yang menentang penyembahan gambar/ ikon, mulai melakukan kampanye Iconoclast dengan memerintahkan penghapusan gambar Yesus yang terpampang mencolok ditempatkan di atas pintu masuk utama ke istana besar Konstantinopel yang juga dikenal sebagai Chalk Gate. Di Belanda, wabah iconoclast juga terjadi pada tahun 1566 yang dikenal sebagai "Beeldenstorm" dan hal itu disebabkan oleh konflik agama antara Calvinis dan Katolik yang mengakibatkan skala besar kerusakan interior Gereja dan asrama biarawan.68 Kerusakan dan penjarahan

64

Ibid

65

Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit., h. 619-620

66

Ibid

67

Oliver Leaman, 2004, Islamic Aestethics: An Introduction, Eddin Burgh University Press, Eddin Burgh, h.5

68


(1)

(c) Perbudakan;

(d) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;

(e) Pemenjaraan atau perampasan berat kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional;

(f) Penyiksaan;

(g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki titik berat sebanding;

(h) Persekusi (Persecution) terhadap kelompok yang diidentifikasi atau secara kolektiv merujuk pada politik, rasial, nasional, etnis, budaya, agama, jenis kelamin sebagaimana didefinisikan dalam Ayat 3, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, sehubungan dengan tindakan apapun yang disebut dalam Ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan;100

(i) Penghilangan paksa orang; (j) Kejahatan apartheid;

(k) Perbuatan tak manusiawi lainnya dengan sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. (Terjemahan Penulis)

Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute adalah kontribusi yang signifikan terhadap perbaikan hukum pidana internasional, karena hal itu merupakan contoh pertama dari definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikembangkan oleh negosiasi multilateral antara 160 negara.101 Dimasukkannya tindakan penghilangan paksa dan kejahatan apartheid secara eksplisit mengakui dua jenis tindakan tidak manusiawi yang menjadi perhatian khusus pada masyarakat internasional. Istilah ini relatif jelas seperti "penganiayaan" dan "tindakan tidak manusiawi lainnya" yang dipertahankan dengan memperjelas dan mempertegas ruang lingkup mereka dalam Ayat (2) dan (3).102

100

Persekusi (Persecution) dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2), point (g) bahwa: "Persekusi" berarti perampasan secara intentional dan keras dari hak-hak fundamental yang bertentangan dengan Hukum Internasional dengan alasan dari identitas dan kolektivitas kelompok tertentu.

101

Darryl Robinson, Op.Cit. h.45 102


(2)

Statuta Roma 1998 memiliki syarat yang lebih lengkap dan rinci dibanding kedua Statuta sebelumnya (ICTY dan ICTR). Syarat tersebut diantaranya:

1. Luas dan sistematis.

Chesterman seperti yang dikutip oleh Tolib, berpendapat bahwa istilah luas (widespread) merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan istilah sistematis (systematiche) merujuk pada adanya kebijakan atau rencan untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

2. Sebagai bagian dari serangan yang luas dan sistematis.

Perbuatan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 harus merupakan bagian dari serangan yang luas dan sistematis.

3. Dengan pengetahuan terhadap adanya serangan.

Istilah “with knowledge of the attack” dalam kalimat “…acts committed…with knowledge of the attack” mensyaratkan bahwa upaya dikatakan ada terhadap kejahatan kemanusiaan apabila, pelaku yang melakukan tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan haruslah mengetahui bahwa di lingkungannya sedang terjadi serangan yang luas dan sistematis terhadap target kejahatan.103

Dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute di atas dapat dilihat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi dalam masa perang atau pada

103


(3)

saat konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai. Pertangggung jawab terhadap kejahatan ini tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor), melainkan juga pada pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors).

2.3.3 Penghancuran Properti Budaya (Iconoclast) sebagai Tindak Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Tindakan penghancuran benda budaya secara membabibuta dalam bentuk perbuatan iconoclast merupakan perbuatan yang tidak hanya menimbulkan kerugian secara materiil namun juga memiliki efek moral terhadap korban yang memiliki hubungan batin secara emosional terhadap benda-benda ataupun objek-objek budaya tersebut. Kejahatan iconoclast dapat dikategorikan tidak hanya hanya sebagai kejahatan perang/War Crime saja namun secara luas ia juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan/ Crime Against Humanity, faktanya terkadang tindak kejahatan itu dapat juga terjadi dalam situasi keadaan tanpa perang (masa damai). Seperti dalam kejadian tindak penghancuran Masjid Babri di India dimana negara tidak dalam situasi perang baik dengan pemberontak maupun dengan negara lain.104

Menurut Richard Vernon seperti yang dikutip oleh David Luban, ungkapan "kejahatan terhadap kemanusiaan" telah mengakuisisi gaung luar biasa dalam pemikiran hukum dan moral dunia pasca-Perang Dunia II. Ini menunjukkan, setidaknya dalam dua cara yang berbeda betapa besarnya pelanggaran ini. Pertama, frase "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan pelanggaran yang menimbulkan kesedihan hati tidak hanya bagi korban dan

104


(4)

komunitas mereka sendiri, tetapi juga semua umat manusia, tanpa memandang asal komunitas mereka. Kedua, ungkapan itu menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut memangkas secara dalam pelanggaran terhadap kemanusiaan yang pokok dimana kita semua sebagai manusia menyebarkannya kepada sesama manusia dan hal ini yang membedakan kita dari makhluk alam lainnya.105 Kejahatan terhadap kemanusian merupakan sebuah penyangkalan kepada nilai-nilai humanis yang kita miliki sebagai manusia untuk hidup saling menghargai, bertoleransi, menyayangi, dan bersama-sama menghargai hidup dan kehidupan ini sebagai makhluk yang berkembang dan diciptakan dari bumi yang sama-sama kita nikmati.

Para sarjana mengatakan bahwa kehancuran benda budaya secara disengaja dan membabibuta begitu merugikan dibandingkan dengan kehancuran yang disebabkan akibat konflik. Roger O‟keefe, terkait dengan penghancuran properti budaya dan kejahatan terhadap kemanusiaan merujuk pada International Military Tribunal (IMT) di Nuremberg yang menghakimi kasus penganiayaan dengan 'alasan politik, ras dan agama' masyarakat Muslim Bosnia menyatakan bahwa penghancuran yang melanggar hukum dan penjarahan kekayaan budaya di wilayah-wilayah pendudukan seperti di Timur Yugoslavia tidak hanya untuk kejahatan perang pada skala yang luas tetapi juga untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.106 IMT menyatakan bahwa penghancuran yang melanggar hukum

105

Richard Vernon, 2002, What Is a Crime Against Humanity?, 10 J. POL. PHIL. h.231, 242-45, dikutip dari David Luban, 2004, Dalam The Yale Journal of International Law Vol 29:85,

" A Theory of Crime Against Humanity",Gorgetown, Gorgetown Law Faculty Publication. h.86 106

Nuremberg Judgment (1947) 41 American Journal of International Law 172, 249, Roger

O‟keefe, 2011, "Protection Of Cultural Property Under International Criminal Law", dalam


(5)

dan penjarahan kekayaan budaya tidak hanya dinilai sebagai kejahatan perang pada skala yang luas tetapi juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.107 Kejahatan tertentu terhadap kemanusiaan dari 'penganiayaan atas dasar politik, rasial dan agama' yang terwujud dalam Pasal yang dijelaskan dalam Statuta ICTY, Pasal 5 huruf (h).108 Dalam sidang pengadilan Blaškić Trial, Pasal 5 ICTY ini dijabarkan dalam Paragraf 233:

"Meliputi tidak hanya kerugian fisik dan mental dan juga pelanggaran pada kebebasan individu tetapi juga bertindak ... seperti menargetkan properti, asalkan orang yang menjadi korban secara khusus dipilih atas dasar benda tersebut terkait dengan milik komunitas tertentu" (Terjemahan Penulis)109

Majelis menerima pendapat penuntut bahwa kategori penganiayaan yang dilakukan dapat mengambil bentuk tindakan penyitaan diskriminatif atau penghancuran bangunan simbolik milik penduduk Muslim Bosnia Herzegovina.110

Syarat mens rea/ keadaan mental untuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah niat untuk melakukan pelanggaran yang mendasari tindakan tersebut kemudian dikombinasikan dengan pengetahuan tentang bagaimana tindakan tersebut meluas atau dilakukan secara sistematis melalui serangan terhadap penduduk sipil.111 Adapun tindakan penganiayaan khusus dalam bentuk penghancuran diskriminatif benda budaya, terdakwa harus dibuktikan bahwa tindakannya dilakukan untuk menghancurkan atau merusak properti secara

http://www.austlii.edu.au/au/journals/MelbJIL/2010/13.html. (Selanjutnya disebut dengan Roger O' keefe 2)

107

Ibid

108

Ibid. h.43 109

Ibid

110 Blaškić Trial (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Trial

Chamber, Case No IT-95-14-T, 3 March 2000) para.227 111

Kunarac Appeal (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Appeals Chamber, Case No IT-96-23 & IT-96-23/1-A, 12 June 2002) para.102.


(6)

ekstensif atau telah bertindak secara membabibuta mengabaikan kemungkinan dari kerusakan atau kehancuran benda budaya tersebut.112

112 Milutinović Trial (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Trial Chamber,Case No IT-05-87-T, 26 February 2009) para.206 dan para.210.