kenapa nasib saya begitu jelek.. saya
kan
harus hidup demi keluarga saya, mereka juga butuh ibu seperti saya, yang setiap hari menguru
s mereka.“ R1B0951-R1B0961Hlm 25
4. Analisa Data Responden I
Pikiran bunuh diri mulai terbentuk pada responden I ketika dia dibebani oleh utang-utang dan tidak mempunyai uang sedikitpun untuk memberi makan
anaknya. Terlebih lagi karena responden I menanggung semua beban sendirian karena suaminya yang kurang bertanggung jawab dan kurangnya dukungan dari
keluarga. Karena putus asa dengan keadaannya, responden I sering memikirkan apakah lebih baik jika dia mati dan meninggalkan semua masalahnya. Berkali-kali
anak menjadi alasannya untuk tetap hidup dan berjuang. Jika memikirkan nasib anaknya yang lebih mengenaskan jika dia mati, responden I selalu mengurungkan
niatnya untuk bunuh diri. Faktor resiko berupa kondisi keuangan yang memburuk dan
ketidakberfungsian keluarga tidak begitu saja mengakibatkan munculnya keinginan bunuh diri pada responden I. Karakteristik kognitif responden I sangat
menentukan bagaimana dia memandang semua masalah yang menimpanya hingga muncul pikiran bunuh diri. Responden I mempunyai pandangan yang cenderung
terbagi menjadi dua kutub seperti yang dipercayainya bahwa semua orang di dunia ini terdiri dari orang yang baik dan jahat, dan juga bahwa jika dia tidak mati
maka dia akan terus merasakan penderitaan yang tidak kunjung habis. Dia juga memandang bahwa orang yang pendidikannya rendah sepertinya pasti tidak akan
mendapatkan pekerjaan yang bagus dan putus asa untuk mencari lebih banyak pekerjaan. Di samping itu, responden I juga sering berpikir bahwa memang telah
menjadi nasibnya untuk dilahirkan miskin dan itu adalah suatu hal yang tidak bisa diubah. Oleh karena karakteristik kognitif yang dimilikinya, responden I
cenderung kurang berusaha memikirkan penyelesaian atas masalah yang sedang dihadapinya. Setiap dia mendapat masalah , responden I cenderung putus asa dan
memilih antara mati atau hidup dengan menyedihkan. Di samping karakteristik kognitif yang menjembatani faktor resiko dan
terjadinya percobaan bunuh diri pada responden I, perasaan diremehkanlah yang sebenarnya menjadi pemicu langsung. Sejak kecil, kebutuhan fisiologis responden
I bisa dikatakan terpenuhi meskipun dia hidup dengan sederhana. Kebutuhan akan rasa aman juga terpenuhi dari rumah warisan kakek yang ditinggalinya hingga
sekarang. Begitu pula dengan kebutuhan akan cinta dan kepunyaan, dia memiliki anak-anak yang dapat memenuhinya. Kebutuhan akan rasa hormat dari orang lain
menjadi penting ketika semua kebutuhan tersebut telah dipenuhi. Ketika mengalami kesulitan keuangan hingga kebutuhan fisiologisnya terancam,
bukannya mendapatkan dukungan sosial, responden I malah mendapat remehan dari beberapa anggota keluarga dan tetangga. Akibat dari kebutuhan harga diri
yang tidak terpenuhi
unmet esteem need
, responden I merasa inferior, lemah, dan tidak berdaya
helplessness
dalam menghadapi masalahnya seperti yang dikemukakan oleh Maslow.
Meskipun kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendasar telah terancam, responden I mengharapkan setidaknya kebutuhan akan harga diri bisa terpenuhi.
Tetapi kenyataannya dia malah diremehkan. Merasa tidak dihormati oleh orang lain, dia membenarkan perkataan orang mengenai dirinya dan perlahan-lahan
merasa dirinya tidak lagi bermakna dan berguna. Dia telah kehilangan makna atau alasan untuk hidup lebih lama lagi
reasons for living
yang merupakan salah satu karakteristik pikiran bunuh diri. Hal ini sekaligus menggambarkan keadaaan
orang yang berada dalam kondisi putus asa
despair
atau termasuk kelompok
people in despair
seperti yang dikemukakan oleh Frankl. Dengan memiliki karakteristik putus asa
hopelessness
, sangatlah gampang terbentuk pikiran untuk bunuh diri pada responden I yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk percobaan
bunuh diri.
Tabel I Gambaran Pikiran Bunuh Diri
Lina Metode percobaan bunuh
diri Meminum obat serangga
Jumlah percobaan bunuh diri
1 kali
Faktor resiko Kondisi keuangan yang buruk dikarenakan suami
Lina tidak mempunyai pekerjaan
unemployment
, Lina yang kurang berpendidikan, dan kurangnya
dukungan sosial dari orang di sekitar
Faktor pencetus pikiran bunuh diri
Kebutuhan untuk dihargai yang tidak terpenuhi
unmet esteem need
karena sering diremehkan Intensi untuk mati
Berintensi untuk
mati beberapa
kali tetapi
mengurungkan niat ketika memikirkan nasib anaknya Respon
setelah melakukan
percobaan bunuh diri
Lina menyesal telah mencoba bunuh diri karena 3 bulan setelahnya ibunya mati dengan cara bunuh diri
juga. Lina berpikir jika dia tidak melakukan bunuh diri, mungkin ibunya tidak akan mati. Beberapa kali
dia berpikir untuk mati dan mencoba bunuh diri lagi,
tetapi anak kelima dalam kandungannya membuatnya bertekad untuk hidup. Sekarang, jika menghadapi
masalah Lina tidak berpikir tentang bunuh diri lagi. Dia tidak ingin memikirkan apapun tentang bunuh
diri.
Sumber ide bunuh diri Lina tidak berada dalam keadaan dimana ada orang
lain di sekitarnya yang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri
Karakteristik pikiran
bunuh diri
Executive Functioning:
cognitive rigidity,
dichotomous thinking,
deficient problem solving
Lina mempunyai pandangan yang cenderung
dikotomi, misalnya bahwa orang di dunia ini terbagi atas orang yang baik dan jahat dengannya, bahwa
jika dia tidak mati maka dia akan hidup dalam penderitaan. Dia juga berpikir secara kaku, misalnya
bahwa miskin telah menjadi nasibnya yang tidak bisa diubah
Hopelessness
Lina putus asa karena usahanya yang sedikit tidak merubah keadaaan yang ada. Dia tetap kesulitan
memberi makan anaknya dan dijerat hutang sana-sini meski telah bekerja
Alasan untuk hidup Awalnya Lina sempat bertahan hidup demi keempat anaknya, tetapi setelah tidak tahan lagi diremehkan,
dia merasa tidak ada artinya lagi jika terus hidup di bawah remehan orang
Perfeksionisme Tidak ada harapan tinggi yang spesifik baik dari
dirinya, lingkungan, ataupun yang diharapkannya dari orang lain. Lina cuma berharap orang-orang bisa
membantunya tetapi dia sendiri kurang berusaha
Konsep diri Konsep diri Lina berubah menjadi negatif ketika dia
sering diremehkan. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh orang lain bahwa dirinya tidak
berguna
Ruminative response style
Lina sering bercerita tentang bagaimana susahnya kehidupannya sejak kecil yang terus bekerja hingga
sekarang, bagaimana sedihnya dia diremehkan, dan bagaimana kesalnya dia terhadap perilaku suaminya
yang kurang bertanggung jawab. Hingga sekarang, Lina
mengatakan bahwa
dia masih
sering memikirkan bagaimana susahnya keadaannya dulu.
Jika terpikir, dia sering menangis. Dia juga mengatakan bahwa kehidupannya belum mencapai
“bahagia” sebagaimana yang diharapkannya
brooding Autobiographical
memory
Lina sanggup mengingat dengan baik masalah yang terjadi meskipun telah lewat 20 tahun. Dia sering
memikirkan kejadian masa dulu dan bersedih karenanya.
B. Responden II 1. Gambaran Umum Responden II