melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
4.
Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari
anomic suicide
, dimana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika
seseorang dipenjara atau menjadi budak.
B. Pikiran Bunuh Diri
Suicidal Ideation
1. Definisi Pikiran Bunuh Diri
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit.
Sedangkan
suicide ideators
adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi
derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri Maris dkk.,2000. Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang
non- spesifik “Hidup ini tidak berarti”, yang spesifik “Saya berharap saya
mati”, pikiran dengan intensi “Saya akan membunuh diri saya”, sampai pikiran yang berisi rencana “Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”.
Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi Maris dkk., 2000. De Catanzaro dalam Maris dkk., 2000 menemukan bahwa
antara 67 hingga 84 pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan
dengan
loneliness
dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari
masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain Maris, dalam Maris dkk., 2000
Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur Maris
dkk., 2000. Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan
verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati,
hopelessness
, dan lain sebagainya dalam Maris dkk., 2000.
2.Karakteristik Pikiran Bunuh Diri
Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan
masa depan menjadi susah diubah Weishaar, dalam Salkovskis, 1998. Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah
persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah. Menurut Ellis dan Rutherford 2008, beberapa karakteristik pikiran bunuh
diri antara lain: 1.
Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving
Cognitive rigidity
adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau
kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki
pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra dalam Ellis Rutherford,
2008, menyatakan bahwa
cognitive rigidity
merupakan karakteristik yang mendasari
dichotomous thinking
dan
problem-solving deficit
. Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah
dichotomous black or
white thinking
, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.
Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah
problem-solving deficit
diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan
masalah impersonal atau masalah interpersonal Levenson Neuringer, dalam Ellis Rutherford, 2008. Schotte, Cools, dan Pyvar dalam Ellis Rutherford,
2008 menambahkan
bahwa ketidakmampuan
menyelesaikan masalah
interpersonal merupakan penghubung antara depresi,
hopelessness
, dan intensi bunuh diri. Penyebab
problem-solving deficit
belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah
overgeneral autobiographical memory
Pollock Williams, dalam Ellis Rutherford, 2008 dan saraf yang terdapat di otak.
Overgeneral autobiographical memory
berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp dalam Ellis Rutherford,
2008, menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini
lebih besar pada pelaku percobaan yang
high-lethality
.
2. Hopelessness
Hopelessness
didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck dalam Ellis Rutherford, 2008 menyatakan
hopelessness
merupakan penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri.
Hopelessness
juga berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi Steer, Kumar, Beck, dalam
Ellis Rutherford, 2008. Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi munculnya
hopelessness
Yang Clum, dalam Ellis Rutherford, 2008.
3. Alasan untuk hidup Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk
menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL
Reasons for Living
yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal
dan
non-suicidal
yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri Linehan, Goodstein,
Nielsen, dalam Ellis Rutherford, 2008. 4.
Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini
mengakibatkan
self-criticism
. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya
self-oriented
menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri
sendiri,
other-oriented
menuntut kesempurnaan dari orang lain, dan
socially prescribed
mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna. Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis
socially prescribed
dan
self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri. 5. Konsep diri
Markus dalam Weiten Lloyd, 2006 menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini
terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan
trait
kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial Campbell,
Assanand, DiPaula, dalam Weiten Lloyd, 2006. Di samping itu, Swann mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu
mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut
self-verification
dalam Pervine, Cervone, John, 2005. Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri
self-esteem
. Harga diri merupakan penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang
manusia Weiten Lloyd, 2006. Jika seseorang memandang dirinya secara positif konsep diri positif, maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu
juga sebaliknya Weiten Lloyd, 2006. Di samping itu, pola asuh orang tua berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh
authoritative
diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh
neglected
diasosiasikan dengan harga diri yang rendah Furnham Cheng, dalam Weiten Lloyd, 2006.
Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
6.
Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri Tanney, dalam Ellis
Rutherford, 2008.
Ruminative response style
adalah gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini
terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif
brooding
dan bentuk aktif
reflection
Chan, Miranda, Surrence, 2009.
Brooding
merupakan sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan
reflection
merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi.
Brooding
dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan,
reflection
hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri.
7.
Autobiographical Memory Autobiographical memory
merupakan memori mengenai pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi,
posttraumatic stress disorder
, dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan
menghasilkan
autobiographical memory
yang tidak jelas dan umum William Broadbent, dalam Ellis Rutherford, 2008. Memori ini berkaitan dengan bunuh
diri dalam 3 hal berikut:
autobiographical memory
yang terlalu umum
menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan
sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal
tersebut dapat meningkatkan tingkat
hopelessness
dan kecenderungan bunuh diri pada individu.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Kualitatif