Gambaran Makna Hidup Pada Pelaku Percobaan Bunuh Diri

(1)

GAMBARAN MAKNA HIDUP

PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI

Skripsi

Oleh:

YOLANDA 041301037

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... viii

BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Identifikasi Masalah ... 10

I.C. Tujuan Penelitian ... 10

I.D. Manfaat Penelitian ... 10

I.D.1. Manfaat teoritis ... 10

I.D.2. Manfaat praktis ... 11

I.E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup ... 13

II.A.1.Pengertian makna hidup ... 13

II.A.2. Sumber makna hidup ... 15

II.A.3.Orientasi nilai ... 21


(3)

II.B. Bunuh Diri

II.B.1. Pengertian bunuh diri... 24

II. B. 2. kondisi Psikologis ... 27

II. B. 3. Commonalities of suicide... 31

II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri ... 34

II.C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri ... 37

II.D. Paradigma Penelitian ... 41

BAB III. METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif ... 42

III.B. Partisipan ... 43

III.B.1. Karakteristik partisipan ... 44

III.B.2. Jumlah partisipan ... 44

III.B.3. Lokasi penelitian ... 44

III.B.4. Teknik sampling ... 45

III.C. Metode Pengumpulan Data ... 45

III.C.1. Wawancara mendalam ... 45

III.C.2. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 46

III.D.Prosedur Penelitian ... 47

III.D.1. Tahap persiapan ... 48

III.D.2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 50

III.D.3. Tahap pencatatan data ... 50


(4)

Tema-Tema Pedoman Wawancara ... 53

BAB IV. ANALISIS DATA DANPEMBAHASAN IV.A. Partisipan 1 ... 54

IV.A.1.Observasi ... 55

IV.A.2. Latar belakang ... 57

IV.A.3.Data Wawancara ... 58

IV.A.4. Rangkuman ... 78

IV. A.5. Diagram partisipan ... 91

II.B. Partisipan II IV.B.1. Observasi ... 92

IV.B.2. Latar belakang ... 95

IV.B.3. Data Wawancara ... 97

IV. B. 4. Rangkuman ... 117

IV. B. 5. Diagram Partisipan ... 125

IV.C. Analisis Antar Partisipan ... 126

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V.A. kesimpulan ... 129

V.B. Diskusi ... 133

V.C. Saran ... 141

V.C.1. Saran Praktis ... 141

V.C.2 Saran Metodologis ... 142


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Sumber-Sumber Makna hidup ... 19

Tabel 2 : Data diri partisipan ... 54

Tabel 3 : Perbedaan Penghayatan makna hidup partisipan I . 79 Tabel 4 : Gambaran Penderitaan Partisipan I ... 84

Tabel 5 : Kondisi Ketidakbermaknaan Partisipan I ... 84

Tabel 6 : Kondisi Psikologis Partisipan I ... 86

Tabel 7 : Commonalities of Suicide Partisipan I ... 87

Tabel 8 : Faktor resiko penyebab bunuh diri Partisipan I ... 90

Tabel 9 : Perbedaan Penghayatan makna hidup Partisipan II .. 117

Tabel 10 : Gambaran Penderitaan Partisipan II ... 119

Tabel 11 : Kondisi Ketidakbermaknaan Partisipan II ... 120

Tabel 12 : Kondisi Psikologis Partisipan II ... 121

Tabel 13 : Commonalities of Suicide Partisipan II ... 122

Tabel 14 : Faktor resiko penyebab bunuh diri Partisipan II ... 124

Tabel 15 : Gambaran Makna Hidup Antar Partisipan...126

Tabel DAFTAR SKEMA Skema 1 : Paradigma Penelitian ... 42

Skema 2 : Diagram partisipan I ... 91


(6)

DAFTAR LAMPIRAN Transkrip verbatim partisipan I

Kronologis kehidupan partisipan I Transkrip verbatim partsipan II Kronologis kehidupan partisipan


(7)

BAB I PENDAHULUAN I.A Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk spiritual yang memiliki makna intrinsik yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah untuk mencari kesenangan, kekuasaan, ataupun materi melainkan untuk menemukan makna. Kesenangan yang merupakan salah satu komponen dari kebahagiaan merupakan produk dari telah ditemukannya makna sedangkan kekuasaan dan materi berkontribusi dalam kesejahteraan manusia yang nantinya akan digunakan di jalan yang bermakna. Semua orang termotivasi oleh keinginannya untuk bermakna dan memiliki kebebasan untuk menemukan makna (Fabry, 1980).

Jika kehidupan manusia itu berisikan pengalaman hidup yang penuh makna, maka keputusasaan terjadi saat makna itu habis. Seseorang hidup selama dia merasakan bahwa hidupnya memiliki makna dan nilai, selama dia memiliki sesuatu dalam hidup. Ia akan terus hidup selama ia memiliki harapan untuk dapat memenuhi makna dan nilai. Saat makna, nilai, dan harapan tersebut menghilang dari kehidupan seseorang, maka orang tersebut berhenti hidup (Jourard dalam Pianalto, 2004).

Keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan untuk memperoleh makna bagi keberadaannya Jika keinginan kepada makna tidak terpenuhi maka individu akan merasa tidak bermakna (meaningless) dan putus asa bahkan memikirkan tentang bunuh diri. Mereka merasakan kehampaan dengan


(8)

tidak melihat adanya suatu tujuan dalam hidup mereka. Perasaan tidak bermakna dan kekosongan ini dapat membuat orang menjadi depresi (Frankl, 1980) dan depresi berkaitan erat dengan tindakan bunuh diri (Barlow & Durand, 2005).

Pilihan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri digunakan sebagai respon terhadap krisis dan dilakukan oleh orang dari berbagai golongan dengan jenis masalah sosial, mental, emosional, dan fisikal yang berbeda. Orang dengan latar belakang umur, jenis kelamin, agama, kelas sosial dan ekonomi yang berbeda dapat saja melakukan bunuh diri (Hoff, 1989).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 di Amerika Serikat, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga untuk remaja (NAHIC, 2006) dan berada di urutan ke-4 penyebab kematian utama pada dewasa (Kochaneck dalam Corr, Nabe, & Corr 2003), dengan persentase pria 4 hingga 5 kali lebih banyak melakukan bunuh diri (commit suicide) dibandingkan wanita (APA, 2003), namun wanita 3 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri (suicide attempt) dibandingkan pria (NAHIC, 2006).

Sebuah surat kabar kota Medan menuliskan bahwa:

“ tahun ini fenomena bunuh diri memang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu. Penyebabnya multifaktor, tidak hanya masalah ekonomi. Selain itu, pelakunya bukan hanya dari kalangan bawah saja, tapi juga dari kalangan orang-orang yang sebenarnya selalu bertindak memakai logika berpikir. Pelaku bunuh diri telah merambah pada lintas profesi”.

(Hasibuan, 2007)

Contoh yang terjadi di kota Medan pada tahun 2007 ini adalah kasus Iptu Oloan Hutasoit seorang perwira Poltabes Medan yang tewas bunuh diri akibat stres melihat bekas pacarnya telah memiliki suami, dan kasus ibu rumah tangga


(9)

yang mencoba bunuh diri saat mengetahui anaknya tidak lulus masuk Polri. (”Saatnya”, 2007).

Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, beresiko mengulangi lagi tindakannya di masa depan, sehingga orang yang pernah mencoba bunuh diri harus diperhatikan secara serius sebagai orang yang berpotensi melakukan tindakan bunuh diri (Bachman, 2004).

Bunuh diri merupakan suatu tindakan individu yang menyebabkan kematiannya, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah bunuh diri, orang yang melakukan tindakan tersebut haruslah memiliki intensi untuk mengakhiri hidupnya. Intensi pelaku bunuh diri bermacam-macam, ada yang mencoba untuk balas dendam, mendapatkan perhatian, mengakhiri penderitaan, atau mungkin kombinasi dari satu atau lebih intensi tersebut (Corr, 2003).

Rollin (dalam Corr, 2003) memandang bunuh diri sebagai bentuk legitimasi dari ”pembebasan diri”. Posisi ini berdasarkan pernyataan bahwa otonomi dan self determination individu haruslah memasukkan hak untuk mengakhiri hidup. Hal ini menyatakan bahwa bunuh diri berada pada lahan otonomi individu. (Corr, 2003).

Orang yang suicidal biasanya bergulat pada dua keinginan yang tidak sejalan, keinginan untuk hidup dan pada saat yang sama adalah keinginan untuk mati. Secara simultan ia mempertimbangkan keuntungan diantara dua hal tersebut (Hoff, 1989).


(10)

Ada berbagai penyebab atau alasan yang menggerakkan sesorang untuk melakukan aksi bunuh diri. Motif yang melatarbelakangi antara lain: depresi, ketiadaan harapan, malu, bersalah, kehilangan (Maris, berman, Silverman,2000), takut, cemas, kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, perpisahan, hancurnya suatu hubungan (Shneidman, 1996), kehilangan orang yang dicintai melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, masalah pekerjaan (Comer dalam Gardner, 2002) , kegagalan, dan penolakan dari orang yang dicintai (Conwell et al.,2002). Dalam bunuh diri, motif bisa berupa interpersonal seperti untuk mengakibatkan perubahan dalam kehidupan orang lain, ataupun motif intrapsychic seperti lari dari kondisi yang menyakitkan atau menghentikan rasa sakit (Farberow dalam Maris, Berman, Silverman, 2000).

Perasaan dan pemikiran bunuh diri muncul jika ada ancaman terhadap rasa aman yang diakibatkan oleh hilangnya hubungan yang dianggap penting ataupun lukanya harga diri yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, pekerjaan dan kesehatan. Individu akan dibanjiri oleh perasaan kesendirian dan tak berharga yang mana ia tidak mampu untuk memperbaikinya. Jika hal ini terus berlanjut maka individu akan merasa terasing, tidak berdaya dan putus asa dan bunuh diri menawarkan kelegaan dari derita yang dialaminya. Individu yang suicidal merasa bahwa dirinyalah penyebab penderitannya, sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai hukuman atas kesalahannya (Gill, 1982).

Seperti yang tergambar berikut ini:

”Aduh, sakitnya hidup ini. Awak lagi berjuang karena ini.. Kok berat kali la kena sama awak. Penyakit ginjal kan masih muda..gitu. trus kalo saya penyakitan apa lagi yang bisa saya perbuat. Lebih bagus la begini saya..begitu dulu.untuk apa saya hidup kalo gak ada nilai tambahnya kan.


(11)

Kalo jadi beban sama anak-anak kan lebih bagus awak.”. (komunikasi personal, 1 April, 2008 ).

”Udah..ya mungkin..karena begitu beratnya beban itu. Ya namanya orang yang biasanya kerja gak kerja. Biasanya bisa makan gak makan. Di situ..la mungkin kan.

kerja..ya kerja kan gak lagi. Hanya..ngabsen aja. Awak coba gitu..rupanya gak tahan juga. Baleek lagi. Balek la saya jam-jam satu gitu kan. Udah itu. Udah gak tahan. Di rumah la saya 3 hari kan. 3 hari di rumah. Siang-siang. Hari-hari jumat..udah mulai..apa..gak..gak ada lagi pengharapan ini. Ya..kuminum la. Yang..gak terduga.” (komunikasi personal, 1 April, 2008) ”Ngomong-ngomong pun..kadang..kan udah dibilang orang disana ”kelen mo ngomong ato mo kerja di kantor ini” kan begitu. malu la. Malu. Ya paling ke bagian lain cuma setengah jam. Trus sisanya kan..tiap hari aku datang kesitu kan..malu. ngapain kau disini? Gak ada kerja rupanya sana? Kan gitu..Kalo sehat awak..tempat orang awak gak sehat kan malu. Bawa penyakit aja pun ke sini kau. Dalam hati nya pasti demikian. ya walaupun gak dibilang kan ke’gitu nya..apa orang. Kan malu kita ama.. kalo gak ada kerja.” (komunikasi personal, 17 April 2008)

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengakhiri hidupnya merasa malu, kehilangan, merasa menjadi beban bagi orang lain dan kekhawatiran mengecewakan teman atau keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Nock (2006) tentang apa yang dirasakan oleh orang yang bunuh diri. Selain itu ia juga menambahkan tentang adanya perasaan marah, malu, bersalah tentang sesuatu, mencoba untuk keluar dari perasaan penolakan, sakit, atau kehilangan. Yang lainnya merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, dan dijadikan korban.

Terdapat tiga elemen dalam merefleksikan kekompleksitasan dari perilaku bunuh diri yaitu halplessness (ditakdirkan sakit atau tidak beruntung), helplessness (tak berdaya), dan hopelessness (putus asa) (Corr, 2003). Horney (dalam Hock, 1981) mengemukakan 4 faktor utama dalam perilaku bunuh diri, yaitu perasaan hopelessness, penderitaan, alienation, dan pencarian kejayaan. Menurut Horney, bunuh diri merupakan usaha individu untuk mengatasi perasaan


(12)

ketidakcukupan ini. Hal ini dikuatkan oleh Shneidman (1996) yang mengatakan bahwa bunuh diri muncul dari rasa sakit psikologis yang tak tertahankan. Rasa sakit psikologis ini muncul dari frustasi akan kebutuhan psikologis tertentu yang berbeda-beda pada setiap orang, individu tersebut ingin lari dari rasa sakit itu dan ia memiliki persepsi yang sempit bahwa kematian adalah solusi satu-satunya dari masalah yang dialaminya. Orang yang bunuh diri merasakan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya selain melakukan bunuh diri (hopelessness) dan tidak ada yang dapt menolongnya mengatasi rasa sakit yang dideritanya (helplessness).

Berbagai emosi dan perasaan orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya terlihat pula dari pembicaraan dengan seorang narapidana wanita berusia 27 tahun yang pernah mencoba untuk bunuh diri di dalam penjara dengan meloncat ke dalam sumur :

“ kayak udah putus harapan, udah buat kecewa, buat malu keluarga gara-gara ini (masuk penjara). Rasanya udah gak ada gunanya lagi hidup. kalau dulu kan ada anak, sekarang gak bisa ketemu. Gak ada yang mau bawa kesini, pemikiranku kan, orang yang lebih jahat dari aku aja masih ada keluarganya yang mau ngunjungin.. aku jadi mikir mungkin kalo aku mati aja enak kali ya.. selesai semuanya.. ”

(Komunikasi Personal, 2 November 2007) Orang yang bunuh diri merasakan penderitaan yang tak tertahankan dalam hidupnya (Schneidman, 1996). Perasaan tidak menyenangkan ini timbul dari kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang dan reaksinya atas kesulitan tersebut. Penderitaan dapat timbul dari rasa sakit (pain), bersalah (guilt), dan maut (death). Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan mengalaminya juga karena penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia (bastaman, 1996). Namun selama manusia masih bernafas ia pasti


(13)

percaya akan makna. Bahkan orang yang melakukan bunuh diri percaya akan makna, jika tidak dalam melanjutkan hidup, maka dalam kematian. Jika dia tidak lagi mempercayai suatu makna sama sekali maka ia tidak dapat menggerakkan jarinya untuk melakukan bunuh diri (Frankl, 1966). Nilai dan makna hidup dapat dikaitkan dengan keinginan untuk mati (Camus dalam Cutter, 2004).

Nilai hidup memiliki dua bentuk, yaitu paralel dan piramidal. Individu yang berorientasi nilai paralel memiliki beberapa nilai yang bermakna dalam hidupnya sedangkan individu dengan orientasi nilai piramidal hanya memiliki satu nilai yang berharga dalam hidup dan satu tujuan untuk dikejar, sehingga pada saat makna tersebut hilang maka ia kehilangan pijakannya (Kratotchvil dalam Frankl,....). Keputusasaan dapat terjadi saat nilai utama dari sistem nilai piramidal tersebut hancur. Frankl (…) menggolongkan orang tersebut dalam kelompok orang yang putus asa (people in despair). Selain itu, ia juga menyebutkan tentang kelompok lain yang belum menemukan makna dan tersangkut dalam pencariannya akan makna. Kelompok ini disebut dengan “orang yang berada dalam keraguan” (people in doubt). Pada saat pencarian makna berakhir pada frustasi eksistensial individu akan mengalami ketidakbermaknaan (meaninglessness) dan kehampaan (emptiness) seperti yang dirasakan pada orang-orang yang mencoba bunuh diri diatas.

Nilai hidup seorang individu ditentukan melalui proses evaluasi diri yang dilakukan oleh individu tersebut untuk memutuskan layak atau tidak ia meneruskan eksistensi dirinya. Makna dari kehidupan dapat diperoleh dari self assessment ataupun penilaian dari orang lain. Manusia menetapkan nilai dari


(14)

eksistensinya, dan saat nilai-nilai tersebut muncul, hidup menjadi berharga untuk diteruskan. Jika manusia tidak dapat menemukan suatu nilai dalam kehidupannya, maka ia akan merasa bahwa hidup tidak memiliki arti dan akan berakibat pada pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Untuk dapat memahami mengapa korban memilih kematian, nilai dari hidup dan makna kematian bagi dirinya haruslah diketahui. Kurangnya dukungan eksternal juga akan meningkatkan nilai negatif yang dapat memfasilitasi keinginan untuk mati (Cutter, 2004).

Keinginan untuk mati yang diakibatkan oleh perasaan meaningless ini dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna jika pelaku mendapatkan dukungan eksternal untuk mengambil sikap positif terhadap keadaan dirinya dan memperoleh pandangan baru terhadap diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian menentukan sikap baru untuk mengembangkan keyakinan dirinya (Lukas dalam Bastaman, 1996). Seperti yang dialami oleh tahanan wanita tadi :

”iya, udah siap itu dimarahi sama teman-teman yang nolong. ’Bodoh kali kau, kalau keluar dari sini kan masih bisa ketemu anakmu’. Selain itu kakak rohani juga udah nasihatin. Lagian setelah dijalanin, hidup disini gak terlalu buruk kok, biasa aja. Nanti kalau keluar dari sini mau jadi orang berguna. Untuk keluarga, untuk anak. Jadi ada harapan lagi.”

(Komunikasi Personal, 2 November 2007) Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk istimewa yang mampu menentukan perkembangan dirinya dan bertanggungjawab menentukan yang terbaik bagi dirinya (self determining being). Manusia memiliki hasrat untuk menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang (seharusnya) mampu menemukannya, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukankarena Makna hidup biasanya tersirat dan tersembunyi dalam kehidupan (Bastaman, 2007).


(15)

Apabila makna tersebut berhasil ditemukan, manusia akan mampu mengubah hidupnya dari hidup tanpa makna menjadi hidup bermakna dan terhindar dari rasa keputusasaan. Selain itu orang yang hidupnya bermakna akan menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah dicapainya, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan kehidupan serta iguimampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain (Bastaman, 1996).

Kebahagiaan merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life), dan ganjaran dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak, mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (Frankl, ...)

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa individu yang pernah mencoba untuk bunuh diri merasakan suatu kehampaan dalam hidupnya. Perasaan tidak bermakna ini akan menimbulkan berbagai emosi-emosi seperti kesendirian, tidak diinginkan, putus asa, depresi, hopelessness, dan emosi negatif lainnya. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, individu akan mengalami suatu penghayatan hidup yang tak bermakna. Namun manusia merupakan self determining being, makhluk yang mampu memilih dan menentukan jalan hidupnya. Manusia


(16)

merupakan makhluk istimewa yang memiliki potensi untuk mencari dan menemukan makna hidup yang penting bagi dirinya. Akan tetapi, sumber dimana kita bisa memperoleh makna merupakan sumber yang sama untuk mengarahkan kita pada perasaan tidak bermakna. Seseorang mungkin saja menemukan atau tidak menemukan makna dalam hidupnya, ataupun menemukan makna hidup namun kehilangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran makna hidup pada individu yang pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya.

I. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasikan pertanyaan yang ingin dijawab dalam pertanyaan ini, yaitu: bagaimana gambaran makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri

I. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran makna hidup dari pelaku percobaan bunuh diri.

I. D Manfaat penelitian I. D. 1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk perkembangan

ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis yang berhubungan dengan penanganan kasus bunuh diri.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan makna hidup dan kasus bunuh diri.


(17)

I. D. 2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi

pembaca untuk mengetahui makna hidup seseorang yang pernah mencoba bunuh diri.

b. Sebagai bahan referensi atau informasi tambahan bagi para praktisi

psikologi dalam memahami dan membantu klien, serta penggunaan logoterapi pada klien yang pernah berusaha untuk bunuh diri.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pemahaman pada suicide survivor (keluarga, kerabat dekat dari orang yang berhasil melakukan bunuh diri) mengenai makna hidup pelaku sebelum bunuh diri sehingga dapat mengurangi kebingungan, kemarahan, ataupun rasa bersalah yang dialami.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca yang pernah mencoba bunuh diri atau memiliki pemikiran untuk bunuh diri tentang makna hidup, ketidakbermaknaan, dan merubah penghayatan untuk hidup penuh makna

I. E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.


(18)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai makna hidup, bunuh diri dan kaitan diantara keduanya.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi, latar belakang, data wawancara dan rangkuman yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(19)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Makna Hidup

II. A. 1. Pengertian Makna Hidup

Makna hidup (meaning of life) merupakan diskusi filosofis yang fundamental mengenai eksistansi manusia. Biasanya berisi intepretasi dari pertanyaan-pertanyaan seputar asal mula hidup, sifat kehidupan (dan alam semesta tempat kita tinggal), hal yang penting dalam hidup, tujuan hidup, dan apa yang bernilai dalam hidup. Pertanyaan yang dapat dijawab dengan penjelasan ilmiah, filosofis, teologis dan spiritual. (www.Wikipedia.com)

Frankl mengatakan :

meaning is what is meant be it by a person who asks me a question or by situation which too implies a question and calls for an answer. (Victor E Frankl, The will to meaning, p.62)

Frankl (Dalam Edwards, 2007) percaya bahwa makna dalam hidup bukanlah dibuat atau diberikan oleh orang lain, melainkan sudah ada dalam diri dan harus ditemukan. Ia mengemukakan tentang dua tingkat makna hidup, yaitu provisional meaning (yang ditemukan dalam kehidupan dan peristiwa sehari-hari) dan ultimate meaning (yang dihasilkan oleh pengalaman dan kepercayaan yang dalam).

Reker (dalam Edward, 2007) mengemukakan tentang makna eksistensial dan makna implisit/definisional. Ia mendefinisikan makna eksistensial sebagai


(20)

usaha untuk memahami bagimana peristiwa dalam hidup dapat sesuai pada konteks yang lebih besar. Hal ini melibatkan proses penciptaan dan penemuan makna yang difasilitasi oleh sense of coherence (rasa kelayakan, alasan untuk eksistensi) dan sense of purpose in life (misi dalam hidup, arah dan orientasi tujuan). Coherence merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari hidup”, sedangkan purpose in life merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari hidupku”. Sedangkan makna implisit atau definisional merupakan arti personal yang dilekatkan seseorang pada suatu hal atau peristiwa, tentang apa yang dirasakan seseorang saat mengalami sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa makna eksistensial memiliki koteks pemahaman yang lebih besar dibandingkan makna implisit/definisional. Reker mengemukakan bahwa pembentukan makna eksistensial merupakan proses inti dari membuat makna yang terdiri dari mencari makna dan menemukan makna

Makna merupakan seperangkat kepercayaan yang membuat dunia dapat dimengerti, tujuan untuk diperjuangkan, dan pandangan bahwa orang mampu mencapai tujuan itu, keterikatan yang tidak egoistik terhadap (orang lain, hewan, alam, zat yang lebih tinggi), dan perasaan terpenuhi yang muncul dari adanya komponen-komponen tersebut (Edwards, 2007).

Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Ada beberapa karakteristik makna hidup (Bastaman, 2007), yaitu :


(21)

a. Makna hidup bersifat unik, pribadi, dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya sifatnya khusus, berbeda dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta mungkin pula dari waktu ke waktu berubah.

b. Makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis, tujuan-tujuan idealistis, dan akademis yang serba menakjubkan. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun melainkan harus dicari, dijajagi dan ditemukan sendiri.

c. Makna hidup memberi arah dan pedoman terhadap kegiatan- kegiatan kita,

sehingga tujuan makna hidup seakan-akan menantang kita untuk memenuhinya. Dalam hal ini begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, kegiatan-kegiatan kita terarah kepada pemenuhan itu.

II. A. 2. Sumber makna Hidup

Sumber makna hidup merupakan berbagai area dimana seseorang bisa merasakan makna didalamnya.

“Sources of meaning are the different content areas or personal themes from which meaning is experienced” (Reker, 2000, p.42)

Makna dapat ditemukan tidak hanya dalam aktivitas dan pengalaman, tapi juga melalui sikap positif seseorang terhadap situasi yang menyebabkan distress. Pencapaian potensi kebermaknaan yang tertinggi bagi manusia adalah kemampuan untuk merubah (trancend) tragedi tak terelakkan (Frankl, 1980).


(22)

Makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun jika kita mampu melihat hikmah-hikmahnya. Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup didalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyebutkan tentang ketiga nilai tersebut, yaitu:

a. Creative values

Merupakan apa yang diberikan orang tersebut kepada dunia, dapat diperoleh dari kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebak-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Namun pekerjaan hanyalah prasarana untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup, makna hidup tidak terletak pada pekerjaan tetapi lebih bergantung pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya.

b. Experiential values

Apa yang diperoleh seseorang dari dunia, dapat berupa keyakinan dan penghayatan akan cinta dan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan keagamaan, serta cinta kasih. Tidak sedikit orang yang merasa menemukan arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada orang yang menghabiskan sebagian besar usianya untuk menekuni suatu cabang seni tertentu. Cinta kasih


(23)

dapat pula menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.

c. Attitudinal values

Sikap seseorang dalam menghadapi penderitaan di dunia, yaitu dengan menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak terelakkan. Seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, sekarat, dan kematian. Dalam hal ini yang berubah bukanlah keadaannya melainkan sikap yang diambil dalam menghadapi keadaan itu. Sikap menerima dengan penuh keikhlasan dan ketabahan segala penderitaan dapat membuat seseorang mampu melihat makna dan hikmah dari sebuah penderitaan.

Selain ketiga nilai diatas, Bastaman (2007) mengemukakan satu nilai lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi bermakna, yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Pengharapan mengandung makna hidup karena adanya keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan sikap optimis menyongsong masa depan. Nilai kehidupan ini dinamakan nilai pengharapan (hopeful values).

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengetahui suatu sumber dimana seseorang bisa memperoleh makna didalamnya. diantaranya adalah (Edwards, 2007) :

a. Battista dan Almond yang mengemukakan tentang enam orientasi nilai


(24)

melibatkan cinta dan memberi; pelayanan (Service) seperti mengobati atau menolong orang lain; pemahaman (understanding) yang menekankan pada pengembangan teori dan berpikir abstrak; mendapatkan keinginan, rasa hormat, dan tanggung jawab (obtaining); mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan atletik (expressive); hidup dalam suatu kepercayaan sosial, politik, dan agama (ethical).

b. DeVoegler dan Ebersole memodifikasi dan menambahkan kategori baru

dari penelitian Battista dan Almond, yaitu: relationship, service, obtaining, expression, understanding, growth (bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan), belief (dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan

agama), existential-hedonistic (kenikmatan, hidup dari hari-ke hari),

pleasure/happiness dan health.

c. Debats juga mengemukakan bahwa relationship, service, dan beliefs

merupakan salah satu sumber makna hidup selain life work (makna dari pekerjaan yang dilakukannya saat ini), personal WellBeing (hidup itu sendiri merupakan makna), Self Actualization (ingin menjadi sesuatu), Materiality (materi yang dimiliki), dan future/hope (harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa depan)

d. Baum dan Stewart membedakan berdasarkan gender, mengatakan bahwa sumber makna hidup pada pria adalah pekerjaan, cinta dan pernikahan, dan mengejar kemandirian sedangkan pada wanita adalah anak, cinta dan pernikahan, dan pekerjaan.


(25)

Dari beberapa penelitian diatas dapat dilihat bahwa relationship merupakan sumber makna yang penting. Selain itu, makna hidup dapat diperoleh dari : service, understanding, obtaining, expression, ethical, life work, growth, pleasure/happiness, health, belief, love, existential-hedonistic, personal wellbeing, self actualization, materiality dan future/hope.

Tabel 1. Sumber-Sumber Makna Hidup

No. Makna hidup Arti

1 Interpersonal/ Relationship

cinta dan memberi.

hubungan yang baik dengan keluarga, teman, dan pasangan. Menghabiskan waktu dengan orang-orang yang disayangi. Perasaan bahwa mereka mendukung kita.

2 Service Mengobati, membantu atau menolong orang lain.

3

Understanding

pengembangan teori dan berpikir abstrak. Bekerja keras untuk mengumpulkan pengetahuan. Belajar tentang semua hal yang menarik bagi dirinya.

4 Obtaining Mendapatkan keinginan, rasa hormat, dan tanggung jawab.

5 Expression mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan atletik.


(26)

6

Ethical/ Belief

dan agama

dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan agama seperti aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan

selain ’isi’ dari kepercayaan itu sendiri, ’proses’ dari mempercayai juga memiliki peranan penting.

7 Growth bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan. Hidup adalah tentang perubahan dan pertumbuhan. Misalnya percaya bahwa ia dilahirkan untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri dan mengembangkan bakatnya.

8 Existential-hedonistic kenikmatan, hidup dari hari-ke hari. Sedapat mungkin menikmati hari-hari yang dijalani 9 Pleasure/happiness Kesenangan, kebahagiaan.

10 Health. Kesehatan.

11 Life work makna dari pekerjaan yang dilakukannya saat ini.

12 Personal Wellbeing hidup itu sendiri merupakan makna seperti pemandangan, tanaman, pohon, hewan, suara burung, laut, pegunungan, dll.


(27)

14 Materiality materi yang dimiliki. Memiliki banyak uang untuk membeli segala yang diinginkan.

15 Future/Hope harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa depan.

16 Pria: pekerjaan,

cinta dan pernikahan, mengejar kemandirian

_

17 Wanita : anak,

cinta dan pernikahan, pekerjaan

_

II. A. 3. Orientasi Nilai

Orang yang telah memiliki makna hidup dan menemukan orientasi nilai dibagi Kratochvil (1968) menjadi dua kelompok :

a. Sistem nilai Paralel

Mereka yang berada dalam sistem nilai paralel memiliki beberapa nilai yang sama kuatnya dalam hidup mereka, dan kesemuanya bermakna.

b. Sistem nilai Piramidal

Pada sistem nilai piramidal, satu nilai besar berada pada tempat paling atas, sedangkan yang lainnya berada jauh di bawah, sehingga keseluruhan sistem nilai diatur seperti piramid. Mereka yang merasa aman dalam sistem nilai ini hanya memiliki satu tujuan untuk diperjuangkan, satu ketertarikan berharga untuk dikejar.


(28)

Keputusasaan (despair) dapat terjadi jika nilai utama pada sistem nilai piramidal rusak, juga pada saat pencarian makna hidup berakhir pada frustasi. Namun, kebanyakan keputusasaan tidak disebabkan oleh distress dan kegagalan. Distress tidak hanya mengakibatkan kerusakan psikologi, namun dapat juga memiliki kemungkinan untuk menemukan makna baru. (Frankl, ….)

II. A. 4. Penderitaan

Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dosa, sakit ataupun derita dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan mengalaminya juga. Bastaman (1996) merumuskan penderitaan sebagai perasaan tidak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Perasaan tidak menyenangkan dapat dihayati dengan intensitas yang berbeda-beda pada setiap orang mulai dari perasaan tidak nyaman yang temporer sampai dengan kesedihan mendalam yang berlangsung lama. Penderitaan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pada orang yang mengalaminya. Travelbee (dalam Bastaman, 1996) menyebutkan adanya 3 reaksi dalam menghadapi penderitaan, yaitu:

a. The why me reaction

Why me reaction adalah corak reaksi yang paling sering terjadi pada orang-orang yang sedang mengalami penderitaan. Mereka seakan-akan mempertanyakan mengapa nasib buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan terjadi pada orang lain. Reaksi tidak menerima ini biasanya terungkap dalam


(29)

bentuk-bentuk marah, mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan mencari-cari kesalahan pada orang lain.

b. The acceptance reaction

Reaksi menerima dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang dialami.

c. The why not me reaction

Reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami sendiri penderitaan yang menimpa orang lain, khususnya orang yang dikasihi. Ini sama sekali bukan masochistis, melainkan reaksi yang lebih banyak didasari oleh keyakinan agama dan filsafat hidup yang menganggap bahwa penderitaan merupakan bagian intrinsik dari kehidupan manusia dan kesediaan berkorban untuk menanggung penderitaan orang lain merupakan perbuatan yang mulia.

Ada banyak kesulitan-kesulitan yang menyebabkan penderitaan, seperti penyakit badani, gangguan/penyakit kejiwaan, perpisahan (cerai, lari, mati, terkucil menyendiri), dosa dan kesalahan, kegagalan, dan sebagainya. Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyebut hal-hal yang menimbulkan penderitaan sebagai “the tragic triads of human existence”, yakni tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia, yaitu :

a. Sakit (pain)

Merupakan suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau kegelisahan mental dan fisik. Intensitas sakit (pain) berkisar dari mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan yang akut bahkan


(30)

seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara “generelized” atau “localized”, (Travelbee, dalam Bastaman, 1996).

b. Salah (guilt)

Merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolok ukur tertentu. Secara umum dikenal bermacam-macam rasa salah, seperti fantasy guilt, situation guilt, dan real guilt. Semuanya dianggap melanggar hati nurani dan norma-norma sosial, dan biasanya berakhir dengan penyesalan.

c. Kematian (death)

Baik kematian sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradoksal. Di satu pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih bila menyangkut kematian sendiri.

II. B. Bunuh Diri

II. B. 1. Pengertian Bunuh Diri

Kata suicide berasal dari bahasa latin sui yang berarti dari diri sendiri dan cide/cidium yang berarti pembunuhan. Dalam Maris, Berman, dan Silverman, (2000) ada beberapa definisi dasar dari perspektif disiplin ilmu yang berbeda, diantaranya adalah:


(31)

1. pandangan psikologis yang dikemukakan oleh Shneidman (1985) yaitu bunuh diri adalah tindakan yang menyebabkan kehancuran pada diri sendiri yang dilakukan secara sadar, paling baik dipahami sebagai perasaan tidak enak yang multidimensional pada individu yang menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik

2. pandangan eksistensial yang dikemukakan oleh jean baechler (1975,1979) yaitu bunuh diri merupakan semua perilaku yang mencari dan menemukan solusinya pada suatu masalah eksistensial dengan membuat suatu percobaan dalam kehidupan sebagai subjeknya.

Menurut Shneidman (1996) suicide disebabkan oleh suatu rasa sakit psikologis (Psychologycal pain) atau psychache (sik-ak). Psychache ini muncul dari distorsi kebutuhan psikologis. Psychache merupakan rasa sakit atau penderitaan yang bersumber diadalam benak (mind) seseorang. Ia merupakan proses psikologis yang intrinsik, perasaan sakit dari perasaan malu, bersalah, ketakutan, kecemasan, kesepian yang berlebihan dari bertambah tua atau sekarat. Bunuh diri terjadi saat psychache tidah tertahankan lagi dan kematian merupakan cara untuk menghentikana aliran kesadaran yang penuh penderitaan.

Cara terbaik untuk memahami bunuh diri adalah melalui penelitian tentang emosi manusia. Saat kita mengalami emosi negatif dalam tingkat yang cukup tinggi, gangguan dan penderitaan psikologis muncul. Penderitaan atau gangguan atau kekacauan (pertubation) disebabkan oleh rasa sakit, terkadang rasa sakit fisik tapi lebih sering rasa sakit psikologis. Rasa sakit psikologis merupakan unsur dasar dari bunuh diri (shneidman, 1996).


(32)

Beberapa bunuh diri muncul dari keinginan yang kuat untuk keluar dari self awareness yang aversive, yaitu dari kesadaran yang menyakitkan akan kekurangan dan ketidaksuksesan yang diatributkan seseorang pada dirinya sendiri (Baumeister,1990).

Pandangan kedokteran modern bahwa bunuh diri merupakan perhatian kesehatan mental yang diasosiasikan dengan faktor psikologis seperti kesulitan dalam menghadapi depresi, rasa sakit atau takut yang tak terelakkan, tekanan, atau penyakit mental. Bunuh diri sering diintepretasikan sebagai “cry for help” dan perhatian, atau untuk mengekspresikan keputusasaan dan harapan untuk keluar (Barlow, 2005).

Dalam bunuh diri, ada motif dan niat. Motif merupakan alasan seseorang untuk bunuh diri, seperti depresi, perceraian, penyakit fisik, rasa malu, bersalah, dan kehilangan. Motif merupakan penyebab atau alasan yang menggerakkan keinginan dan menyebabkan tindakan. Motif adalah hal yang mendorong dan menstimulasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan tau untuk memproduksi suatu hasil. Niat adalah maksud yang dimiliki seseorang dalam menggunakan alat khusus (bunuh diri) untuk mengakibatkan suatu hasil (kematian). Niat bunuh diri biasanya mengindikasikan bahwa individu memahami sifat fisik dan konsekuensi dari tindakan merusak diri (Maris, Berman, silverman, 2000)

Kuchar, Potter, Powell, & Rosenberg (1995) menggambarkan suicide sebagai akhir dari suatu kontinum yang bermula dari suicidal ideation, berlanjut dengan merencanakan dan mempersiapkan untuk suicide dan berakhir dengan mengancam, mencoba, dan benar- benar melakukan suicide (SPRC, 2004) .


(33)

Beck et,all (1973) mengembangkan skema klasifikasi untuk perilaku bunuh diri. Berdasarkan klasifikasi ini, fenomena suicidal digambarkan sebagai: completed suicide, suicide atempts, suicide ideation.

O’Carrol et al (1996) menyediakan definisi yang sering digunakan dalam penelitian tentang bunuh diri. Suicide atau completed suicide didefinisikan sebagai kematian karena luka, racun, mati lemas dimana ada bukti (eksplisit maupun implisit) bahwa luka tersebut diakibatkan diri sendiri dan bahwa pelaku bermaksud untuk membunuh dirinya sendiri. Suicide attempt didefinisikan sebagai perilaku yang berpotensi menyakiti diri sendiri namun dengan hasil yang tidak fatal (Orang tersebut tidak mati, masih dapat diobati), dan ada bukti (eksplisit maupun implisit) bahwa orang tersebut memiliki maksud untuk membunuh dirinya. Suicidal ideation adalah pemikiran apapun yang berkaitan dengan perilaku bunuh diri atau membentuk suatu niat untuk bunuh diri dengan berbagai derajat keseriusan namun tidak melakukan suatu tindakan eksplisit. II. B. 2. kondisi Psikologis

Berdasarkan teori kebutuhan Murray, Shneidman (1996) menggolongkan kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan psikologis orang yang bunuh diri kedalam 5 kelompok. Masing-masing merefleksikan jenis rasa sakit psikologis yang dialami. Kelima hal tersebut adalah:

1. Thwarted love, acceptance, and belonging

berkaitan dengan frustasi kebutuhan succorance dan affiliation 2. Fractured control, predictability, and arrangement


(34)

berkaitan dengan frustasi kebutuhan achievement, autonomy, order dan understanding

3. Assaulted self image and avoidance of shame, defeat, humiliation, and disgrace

berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation, defendance dan shame avoidance

4. Ruptured key relationship and the attendant grief and bereftness berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation dan nurturance 5. Excessive anger, rage and hostility

berkaitan dengan frustasi kebutuhan dominance, aggression,dan counteraction

bukanlah suatu kebutuhan yang menyebabkan bunuh diri, melainkan rasa frustasi, kegagalan, terhalangi, ketidaklengkapan dan tegangan akan terpenuhinya kebutuhan tersebut, hal ini dianggap penting bagi orang tersebut sehingga menyebabkan tegangan yang tidak dapat dipikul.

Joiner (2005) menjadikannya dua kategori utama, yaitu :

1. Perceived Burdensomeness (yaitu assaulted self image, fractured controlled dan excessive anger)

Apabila kebutuhan untuk keefektivan dan rasa kompetensi tidak terpenuhi, maka akan memiliki kontribusi dalam keinginan bunuh diri terutama bila perasaan tidak efektif tersebut hingga derajat dimana orang lain terbebani. Mereka yang melihat dirinya sendiri sebagai beban bagi orang lain memiliki image diri yang negatif, perasaan tidak bisa mengontrol hidupnya, dan memiliki emosi


(35)

negatif yang berasal dari rasa bahwa ketidakmampuan mereka mempengaruhi orang lain.

Orang yang melakukan bunuh diri memandang dirinya sebagai beban, memandang bahwa kondisi ini adalah stabil dan permanen, dengan kematian sebagai solusi dari masalah. Pandangan mereka mungkin saja salah, namun setiap persepsi dapat mempengaruhi perilaku.

Berlawanan dengan rasa ketidakefektivan dan helpless, rasa keefektivan yaitu pandangan bahwa seseorang bukanlah beban melainkan memiliki kontribusi dapat mempertahankan kehidupan.

Melihat bahwa diri sendiri sangat tidak efektif dan orang yang dicintai terancam dan terbebani merupakan sumber dari keinginan untuk bunuh diri.

2. Thwarted Belongingness (yaitu thwarted love dan ruptured relationship) Need to belong merupakan motif fundamental manusia yang melibatkan kombinasi dari interaksi yang sering terjadi disertai perhatian yang terus menerus. Dua komponen dari terpenuhinya need to belong adalah interaksi dengan orang lain dan perasaan diperhatikan. Sehingga untuk memenuhinya dibutuhkan interaksi yang positif dan sering. Jika individu tersebut memiliki pemikiran bunuh diri, hubungannya dengan orang yang ia sayangi membuatnya tidak mungkin melakukan tindakan bunuh diri.

Tidak terpenuhinya need to belong dapat meningkatkan resiko akan keinginan untuk bunuh diri : individu yang suicidal mengalami interaksi yang tidak memuaskan kebutuhannya akan need to belong ( hubungan yang tidak


(36)

menyenangkan, tidak stabil, tidak sering, atau tanpa kedekatan) dan merasa tidak terhubungkan dengan orang lain dan tidak diperhatikan.

Orang yang gagal dalam memenuhi need to belong akan memiliki hasrat (desire) untuk mati, Sebagaimana orang yang telah kehilangan hubungan dengan orang lain mulai membentuk pemikiran akan kematian. Ia melihat kematian dengan cara yang aneh. Menggunakan kata-kata seperti ‘indah’ dan ‘anggun’ saat menggambarkan tentang kematian dan meleburkan konsep kematian dan penghancuran dengan hidup dan pemeliharaan. Hal ini hanya dapat terjadi jika seseorang telah kehilangan rasa takutnya yang mendalam pada kematian.

Kedua kondisi psikologis ini, keefektivan dan keterhubungan saling berkaitan satu sama lain. Untuk merasa menjadi beban bagi seseorang, kita harus terhubungkan pada orang tersebut, maka burdensomness mempengaruhi belongingness. Dan bahwa perasaan terhubung akan mempengaruhi perasaan efektiv (Joiner 2005).

Ada 3 variabel yang sering muncul dalam pelaku bunuh diri, yaitu feeling a burden on others, social withdrawal, dan help negation (kecendrungan untuk menghalangi pertolongan, terutama pertolongan terapeutik). Help negation dipandang sebagai proses dari pemutusan hubungan interpersonal dan dapat merepresentasikan suatu thwarted belongingness (Joiner, 2005).


(37)

II. B. 3. Commonalities of suicide

Menurut Shneidman (1996), ada 10 kebiasaan dalam bunuh diri, yaitu:

1. Biasanya maksud dari bunuh diri adalah mencari solusi

Bunuh diri bukanlah tindakan yang dilakukan secara acak. Bunuh diri tidak pernah dilakukan tanpa tujuan karena bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah, dilema, kesulitan, krisis dan situasi yang tidak dapat ditanggung lagi. Bila hidup dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, tak tertahankan, absurd dan tidak bermakna, bunuh diri menjadi suatu jawaban . Tujuan dari bunuh diri adalah untuk menyelesaikan masalah , untuk mencari sebuah solusi dari masalah yang mengakibatkan penderitaan hebat.

2. Biasanya tujuan dari bunuh diri adalah berhentinya kesadaran

(consciousness)

Bunuh diri dapat dipahami sebagai pergerakan kearah berhentinya kesadaran dan rasa sakit yang tidak bisa ditanggung lagi oleh seseorang. Terutama bila berhentinya kesadaran itu dianggap sebagai solusi terbaik dari orang yang menderita masalah yang menekan dan hidup yang penuh derita.

3. Biasanya, stimulus dari bunuh diri adalah rasa sakit psikologis yang tak

tertahankan

Bunuh diri merupakan pergerakan menjauhi emosi yang tak tertahankan, rasa sakit yang tidak dapat ditanggung, dan kesedihan yang tidak dapat diterima. Orang ingin keluar dari rasa sakit psikologis (psychache). Rasa sakit (pain) merupakan inti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan respon manusia untuk rasa sakit psikologis yang ekstrem, rasa sakit dari penderitaan manusia.


(38)

4. Biasanya stressor dalam bunuh diri adalah terhalangnya kebutuhan psikologis

Bunuh diri merupakan hasil dari terhalangnya atau tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis. Hal ini lah yang menyebabkan rasa sakit dan mendorong pada tindakan bunuh diri. Kebanyakan bunuh diri mewakili kombinasi dari berbagai kebutuhan, tapi setiap tindakan bunuh diri merefleksikan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologi khusus.

5. Biasanya emosi dalam bunuh diri adalah hopelessness dan helplessness

Perasaan yang meliputi kondisi suicide adalah hopelessness dan helplessness. Perasaan seperti : “tidak ada yang dapat aku lakukan (kecuali bunuh diri), dan bahwa tidak ada yang dapat menolongku (dengan derita yang kualami)”. Yang mendasari ini adalah perasaan tidak bertenaga, bosan, dan sangat sedih bahwa segalanya tidak memiliki harapan dan aku tidak tertolong lagi.

6. Biasanya kondisi kognitif dalam bunuh diri adalah ambivalent

Orang yang melakukan bunuh diri ambivalen antara hidup dan mati pada saat mereka melakukannya. Mereka ingin mati, namun di saat yang sama juga ingin diselamatkan. Ambivalensi merupakan kondisi yang umum dari bunuh diri.

7. Biasanya kondisi perseptual dalam bunuh diri mengalami penyempitan

Dalam bunuh diri biasanya terjadi penyempitan dalam emosi dan psikologis seseorang. Orang yang bunuh diri mempersempit atau memfokuskan pilihan mereka menjadi suatu dikotomi. Akan mencapai solusi bahagia yang hampir tidak mungkin dilanjutkan atau berhenti melakukannya. Semua atau tidak sama sekali. Yang memunculkan pemikiran seperti: ” tidak ada hal lain lagi untuk


(39)

dilakukan”, ”jalan keluar nya hanyalah kematian: ” satu-satunya yang dapat aku lakukan adalah membunuh diriku”.

8. Biasanya tindakan dalam bunuh diri adalah pelarian atau egression

Bunuh diri merupakan kepergian dari suatu kondisi distress. Kebanyakan orang berkeinginan untuk keluar dari masalah untuk sementara (seperti lari dari rumah, berhenti dari pekerjaan, meninggalkan pasangan, berlibur, atau tenggelam dalam buku atau film yang mengasyikkan), namun hal itu berbeda dengan keinginan untuk menghentikan hidup selamanya.

9. Biasanya tindakan interpersonal dalam bunuh diri adalah komunikasi akan

niat

Kebanyakan orang yang melakukan bunuh diri, baik secara sadar maupun tidak menunjukkan petunjuk tentang niatnya, tanda-tanda akan distress, rengekan akan ketidakberdayaan, dan pertolongan untuk intervensi. Tentu saja komunikasi verbal dan perilaku ini biasanya dilakukan secara tidak langsung, tapi dapat didengar oleh orang yang memang mau mendengarnya.

10. Biasanya pola dalam bunuh diri adalah konsistensi dari gaya abadi

Ada pola tertentu yang selalu digunakan seseorang dalam menyelesaikan masalahnya, baik dalam emosi maupun reaksi pertahanannya. Hal ini konsisten dengan reaksi jangka pendek dan jangka panjangnya saat mengalami penderitaan, ancaman, kegagalan, ketidakberdayaan dan berbagai peristiwa negatif dalam hidupnya. Untuk dapat mengetahui gaya seseorang dalam mengatasi masalah kita harus melihat peristiwa sebelumnya yang mengganggu, dan masa-masa kelam dalam kehidupan untuk mengukur kapasitas seseorang dalam memikul psychache.


(40)

II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri a. Sejarah Keluarga

Jika ada anggota keluarga yang melakukan bunuh diri, ada peningkatan resiko pada orang lain dalam keluarga. Orang yang membunuh dirinya sendiri merasa depresi dan depresi mengalir dalam keluarga. Pertanyaannya, apakah orang tersebut mengadopsi solusi dengan cara yang familiar baginya atau hal tersebut merupakan trait yang diwariskan. Ada kontribusi, walaupun relatif kecil, faktor biologi terhadap bunuh diri. (Barlow & Duran, 2005)

b. Neurobiologi

Ada bukti bahwa level serotonin yang rendah dapat diasosiasikan dengan suicide dan suicide attempts yang kasar (Barlow & Duran, 2005)

c. Gangguan Psikologi

Beberapa gangguan psikologis tertentu sering berimplikasi dalam bunuh diri. Gangguan mood, gangguan penyalahgunaan substans, dan gangguan kepribadian tertentu merupakan gangguan yang paling sering memicu tindakan bunuh diri. Kombinasi gangguan yang paling berbahaya adalah depresi dan ketergantungan alkohol (Cornelius dalam Gardner, 2002).

1) Mood Disorder

Depresi dan suicide, walaupun dapat berdiri sendiri, namun tetap memiliki hubungan yang kuat. Komponen hopelessness pada depresi dapat menyebabkan bunuh diri.


(41)

2) Substance Abuse

Hampir setengah dari pelaku percobaan bunuh diri melakukannya dibawah pengaruh alkohol dan hampir seperempatnya dinyatakan mabuk. Penggunaan obat-obatan sering berperan dalan percobaan bunuh diri pada remaja dan dewasa muda.

3) Borderline Personality Disorder

Individu dengan gangguan kepribadian ini sering melakukan suicidal gesture yang manipulatif dan impulsif tanpa bermaksud menghancurkan dirinya sendiri namun tanpa sengaja membunuh dirinya sendiri.

4) Histrionic personality disorder

Kebutuhan orang Histrionik akan perhatian begitu besar sehingga ia berusaha menarik perhatian dengan cara ekstrem yaitu mengancam bunuh diri.

d. Stressful Life Events

Mengalami peristiwa yang membuat stress dan menderita seperti :memalukan atau dipermalukan, kegagalan (nyata maupun imajinatif) dalam sekolah ataupun kerja, penahanan yang tak disangka, penolakan dari orang yang dicintai, dan stress karena penghancuran pada bencana alam dapat memicu bunuh diri (Conwell et al.,2002). Selain itu kehilangan orang yang dicintai melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, atau masalah pekerjaan juga sering menjadi penyebab bunuh diri. (Comer dalam Gardner, 2002)

e. Perubahan mood dan pemikiran

Perubahan yang signifikan pada mood atau cara berpikir sering menjadi penyebab bunuh diri. Peningkatan dalam berbagai perasaan seperti kesedihan,


(42)

kemarahan, frustasi, kecemasan, ketegangan atau rasa malu dapat menjadi pencetusnya. Individu yang sedang berada dalam kondisi ketidaknyamanan psikologis dari perasaan tersebut biasanya mencari kelegaan melalui bunuh diri. Individu yang bunuh diri biasanya mengembangkan pola pemikiran hopelessness ataupun pemikiran dikotomis. Hopelessness merupakan kepercayaan yang bertahan bahwa apapun yang individu lakukan atau bagaimanapun keadaan berubah, keadaan tidak akan bertambah baik. Perasaan hopelessness yang tiba-tiba dan berlangsung dalam waktu lama merupakan indikator terbaik untuk memprediksi kemungkinan bunuh diri individu. Sedangkan pemikiran dikotomis merupakan keadaan dimana individu melihat masalahnya dalam istilah yang sangat sempit dengan solusi yang terbatas. Mereka kehilangan perspektif dan melihat solusi dari masalah mereka dalam suatu dikotomi. Dalam kondisi ini, bunuh diri menjadi satu dari alternatif terbatas yang mereka lihat tersedia sebagai suatu solusi (Comer dalam Gardner, 2002).

f. Modeling

Salah satu fakta tentang bunuh diri adalah kecendrungan individu untuk meniru perilaku setelah mengobservasi atau membaca tentang orang lain yang melakukan bunuh diri. Yang cukup kuat mempengaruhi antara lain: bunuh diri yang dilakukan oleh selebritis, bunuh diri yang dipublikasi besar-besaran, dan bunuh diri yang dilakukan oleh teman dekat (Comer dalam Gardner, 2002). Sebagai contoh, adalah peningkatan angka bunuh diri yang mengikuti pemberitaan kematian akibat bunuh diri yang dilakukan Marilyn Monroe dan Kurt Cobain.


(43)

g. Adanya Suicidal Ideation dan Past Suicide Attempts

Suicidal ideation merupakan prediktor yang cukup ampuh dalam melihat besarnya kemungkinan individu melakukan tindakan bunuh diri. Individu yang pernah mencoba bunuh diri di masa lalunya lebih mungkin dari individu lain untuk melakukan bunuh diri. Percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan di masa lampau merupakan salah satu faktor resiko yang harus diperhatikan secara serius (Barlow & Durand, 2005).

II. C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri

Ada hubungan antara makna hidup dan perasaan negatif, kurangnya makna berkaitan dengan manifestasi bunuh diri. Dari penelitian yang dilakukannya, Lester dan Badro (dalam Edwards, 2007) menemukan bahwa skor tes tujuan hidup (purpose in life test) yang rendah memprediksikan percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan dimasa lalu, dan pemikiran bunuh diri yang dirasakan baik dulu maupun sekarang. Edwards dan Holden (dalam Edwards, 2007) menemukan hubungan negatif antara tujuan hidup dengan pemikiran bunuh diri dan kecendrungan untuk bunuh diri di masa depan. Kurangnya rasa coherence yang memandang bahwa hidup adalah penuh makna merupakan prediktor pemikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri yang tengah dirawat di rumah sakit enam bulan setelah usaha bunuh diri yang dilakukannya, ini juga merupakan prediktor dari percobaan bunuh diri yang dilakukan di masa mendatang (Petrie & Brook dalam Edwards, 2007)


(44)

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa makna hidup sangat berkaitan dengan tindakan bunuh diri. Frankl (...) mengemukakan tentang dua kelompok orang yang membutuhkan pertolongan, yaitu :

a. People in Doubt

Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.

Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi permanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis serius, psikotis,atau bahkan depresi.

b. People in Despair

Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya (fate) atau menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan, dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran (resignation), perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.

Mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi untuk bermakna akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak


(45)

bermakna. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money). Akibat dari penghayatan hidup yang hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut dapat menjelma menjadi nerurosis neugenic, totalitarianism, dan conformism. Totalitarianism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional; Sedangkan conformism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri (Bastaman, 2007) .

Frankl (1950) mendiagnosa dan menggambarkan suatu sindrom yang disebut dengan Existential frustation, yang termanifestasi dalam ketidakacuhan, perasaan tidak bermakna, kekosongan dalam, kekurangan orientasi tujuan,


(46)

kebosanan (boredom), ketidak puasan dengan hidup yang berakibat muak/jenuh akan hidup. Orang dewasa yang terkena frustasi eksistensial, mengganti karir, mencoba ini-itu tanpa menemukan kepuasan. Mereka kenyang akan segalanya tanpa menemukan kepuasan, dan pada akhirnya berkata :”aku muak akan hidup”

Existential frustration biasanya diikuti dengan existential vacuum, yaitu kondisi dimana seseorang menderita ketidak bermaknaan (meaninglessness) dan kekosongan (emptiness) disebut juga dengan kehampaan inti (inner void). Konsekuensi dari existential vacuum adalah tidak mengetahui apa yang sebenarnya ingin dilakukannya, kekurangan isi dan tujuan hidup. Juga dapat memiliki konsekuensi berbahaya, seperti depresi, inflasi sex, ketergantungan, dan kekerasan. (Frankl,...)

Walaupun penghayatan hidup tanpa makna ini bukanlah merupakan suatu penyakit, tetapi jika berlangsung secara intensif dan berlarut-larut tanpa penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi suatu noogenic nerosis, yaitu neurosis yang berasal dari masalah spiritual, dalam konflik moral, atau dalam konflik diantara hati nurani yang sebenarnya dengan sekedar superego. Neurosa ini adalah hasil dari frustasi akan keinginan untuk bermakna (will to meaning ), dari apa yang disebut dengan frustasi eksistensial, atau dari kehampaan eksistensial. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan bosan, hampa, dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya. Kehidupan sehari-hari dirasakan sebagai suatu rutinitas yang tidak pernah berubah, bahkan tugas sehari-hari ditanggapi sebagai hal yang sangat menjemukan dan menyakitkan hati. Kegairahan kerja dan kesediaan untuk bekerja


(47)

menghilang serta menganggap tak pernah mencapai kemajuan apapun dalam hidup, bahkan prestasi-prestasi yang pernah dicapai dirasakan tak berharga. Lingkungan dan keadaan di luar dirinya ditanggapi sebagai hal-hal yang membatasi dan serba menentukan dirinya, dan ia merasa tak berdaya menghadapinya. Kelahiran dan kehadiran di dunia pun dipertanyakan, bahkan disesali. Sikapnya terhadap kematian ambivalen, di satu pihak ia merasa takut dan tidak siap mati tetapi di lain pihak sering beranggapan bahwa bunuh diri merupakan jalan terbaik untuk keluar dari kehidupan yang serba hampa ini. (Frankl,...; Bastaman, 1996)


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN III. A. Pendekatan Kualitatif

Makna hidup merupakan sesuatu yang sensitif dan emosional, sehingga kemampuan untuk membaca reaksi emosional yang tersirat (non verbal) dan tersurat (verbal) mutlak diperlukan guna menunjang kualitas hasil penelitian.

Penelitian ini berbicara mengenai makna hidup subjek penelitian. Sehingga ”pengalaman hidup” yang dialami dari perspektif subjek penelitian tersebut dapat digambarkan dan membantu menjelaskan makna hidup dari pelaku percobaan bunuh diri tersebut dengan lebih baik.

Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) tentang beberapa alasan menggunakan penelitian kualitatif. Yaitu: jika peneliti ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui, topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan emosional, Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya, diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program atau intervensi, dan Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan data atau dalam menjelaskan penemuan.

Sehubungan dengan beberapa alasan penggunaan metode penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Padgett (1998) diatas, maka peneliti menilai bahwa jenis penelitian yang paling tepat untuk mendapatkan gambaran makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.


(49)

Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar partisipan penelitian beserta konteksnya (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000)

Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia responden secara keseluruhan dari perspektif partisipan sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Melalui penelitian kualitatif Peneliti ingin memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sehingga dapat memahami peristiwa tersebut dalam konteks dan sudut pandang partisipan sendiri.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan peneliti akan dapat memasuki ”kotak hitam” dari permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi subjek penelitian melakukan percobaan bunuh diri.

III. B. Partisipan

Partisipan untuk penelitian kualitatif adalah partisipan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan bisa memberikan sebanyak mungkin data yang dibutuhkan. Penelitian ini akan melibatkan individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri dan berdomisili di Kota Medan dengan mempertimbangkan kesediaan subjek penelitian (Gay & Airasian, 2003).


(50)

III. B. 1. Karakteristik Partisipan

Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, yaitu perilaku overt menyakiti diri sendiri yang dimaksudkan untuk membunuh dirinya dan jika tidak ada intervensi dari orang lain akan berakibat pada kematiannya.

Perilaku sebelumnya merupakan indikator penentu tindakan di masa depan. Orang dengan sejarah bunuh diri harus diperhatikan sebagai orang yang berpotensi melakukan tindakan bunuh diri (Poland dan Lieberman dalam Bachmann, 2004).

III. B. 2. Jumlah Partisipan

Penelitian kualitatif bekerja dengan sampel yang kecil, yang sesuai dengan konteks penelitian dan dipelajari secara mendalam (Miles. Huberman, 1994). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 orang.

Diharapkan partisipan dalam penelitian ini dapat menggambarkan orang- orang yang mengalami keraguan dan keputusasaan dalam hidupnya, juga dapat membedakan pelaku yang pernah mencoba bunuh diri kemudian berhasil menemukan makna hidupnya dengan orang yang masih mencari makna hidup dan masih merasakan ketidakbermaknaan dalam hidupnya.

III. B. 3. Lokasi Penelitian

Partisipan penelitian diambil dari populasi orang yang pernah mencoba bunuh diri yang berdomisili di Kota Medan. Adapun alasan pengambilan sampel yang berdomisili di kota Medan mengingat kota Medan merupakan kota terbesar di Sumatera dan ketiga terbesar di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. Selain


(51)

itu juga terdapat alasan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan.

III. B. 4. Tekhnik Sampling

Prosedur pengambilan subjek dalam penelitian ini snowball/ chain sampling yaitu mengidentifikasi kasus yang akan diteliti dari orang yang mengetahui siapa orang yang memiliki kasus yang dapat memberikan informasi yang kaya (Miles, Huberman, 1994). Bergulirnya pemilihan sampel melalui tekhnik snowball sampling , baik untuk sampel informan maupun situasi sosial, pada akhirnya akan sampai pada suatu batas dimana tidak dijumpai lagi variasi informasi. Pada saaat seperti itu pemilihan sampel baru tidak diperlukan lagi. Dengan perkataan lain, kegiatan pengumpulan data atau informasi di lapangan dianggap berakhir. (Bungin, 2003)

III. C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, dan sifat objek yang diteliti (Poerwandari, 2001). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam

III. C. 1. Wawancara mendalam

Pengumpulan data makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri ini memerlukan satu bentuk wawancara yang dapat memperoleh pengalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh responden penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Banister (1994) mengenai definisi dari wawancara mendalam. Sehingga metode pengumpulan data yang


(52)

akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in depth interview).

Saat wawancara berlangsung, peneliti juga akan melakukan observasi dan mencatat bahasa non verbal dari subjek penelitian.

III. C. 2. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Gay dan Airasian (2003) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara dan catatan lapangan.

a. Alat perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin partisipan. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh partisipan, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

b. Pedoman Wawancara

Wawancara mendalam tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi


(53)

“open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dan tidak menyimpang dari tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan peneliti pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001).

c. Catatan Lapangan

Catatan lapangan menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2000) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Selain itu di dalam catatan lapangan bisa diketahui apa yang partisipan alami selama proses observasi berlangsung, dari catatan lapangan ini juga terdapat aspek deskriptif dan reflektif, yaitu gambaran jelas mengenai apa yang diobservasi dan kemudian melakukan refleksi terhadap gambaran yang telah dibuat sebelumnya (Gay & Airasian, 2003).

III. D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.


(54)

III. D. 1. Tahap persiapan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan makna hidup

pada pelaku percobaan bunuh diri

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri yang berasal dari teori, literatur lepas seperti artikel dan grounded theory (teori dari dasar yang dihasilkan dari wawancara personal terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki kredibilitas dan kompetensi tentang suatu topik).

c. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan , meminta kesediaanya (inform concent) untuk menjadi responden dan mengumpulkan informasi tentang calon responden tersebut.

e. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian (tanda tangan respondent pada lembaran inform concent), peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu peneliti dan responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara


(55)

serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak. Rapport yang dilakukan peneliti terhadap partisipan adalah sebagai berikut:

1) Partisipan I

Peneliti mengenal partisipan I dari ibu peneliti yang merupakan rekan sekerjanya. Informan dan peneliti mendatangi rumah responden I untuk membangun rapport. Kedatangan peneliti dan informan disambut dengan baik oleh responden II. Informan kemudian memperkenalkan peneliti kepada partisipan I. Pada pertemuan pertama, peneliti lebih banyak mengobrol dengan anak partisipan dan partisipan lebih banyak mengobrol dengan ibu peneliti tentang keadaan kantor mereka, namun sesekali peneliti diikutsertakan dalam percakapan tersebut dan mengajukan sedikit pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi kesehatannya. Sebelum pulang, peneliti meminta izin untuk mengunjunginya lagi dan ia mengizinkannya dengan senang hati. Baru pada pertemuan kedua peneliti menyampaikan tentang penelitian yang akan dilakukan, menanyakan kesediaan berpartisipasi dalam penelitian, dan izin penggunaan alat perekam. Partisipan I langsung menceritakan masalahnya dan wawancara pertama pun dilakukan. Diakhir wawancara, partisipan meminta agar hasil wawancara tidak diberikan kepada orang lain dan peneliti menjelaskan tentang kerahasiaan dalam penelitian.

2) Partisipan II

Peneliti mengenal partisipan II dari seorang informan yang merupakan mantan kakak kelas peneliti. Partisipan II adalah tetangganya . Setelah informan tersebut menanyakan kesediaan tetangganya ditemui untuk keperluan penelitian, peneliti pergi kerumah mereka. Informan dan partisipan II berkumpul di ruang


(56)

tamu keluarga dan langsung mengobrol dengan peneliti. Partisipan II yang sudah mengetahui maksud kedatangan peneliti langsung meminta peneliti untuk mengajukan pertanyaan. Namun pada pertemuan pertama ini, peneliti tidak langsung melakukan wawancara melainkan hanya menanyakan kesedian mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian, memberitahukan tentang kerahasiaan identitas, memberitahukan bahwa data yang didapatkan hanya akan diperuntukkan untuk tujuan penelitian, meminta izin penggunaan alat perekam, meminta nomor telepon agar peneliti dapat menghubungi partisipan untuk mengatur jadwal wawancara secara individu, dan mengobrol sedikit tentang metode dan alasan dirinya mencoba melakukan bunuh diri di masa lalu.

III. D. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan mengenai waktu dan tempat dilakukannya wawancara maka peneliti mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar responden penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan direkam dengan menggunakan tape recorder.

Peneliti juga mencatat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.

III. D. 3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencacatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah


(57)

wawancara dilakukan peneliti membuat transkrip verbatim dari wawancara tersebut.

III.E. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:

a. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang disimpan untuk diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

b. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari dengan lengkap. Sehingga peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Langkah koding yang dilakukan adalah dengan menyusun transkrip verbatim dengan menggunakan tabel yang memiliki 1 kolom kosong di sebelah kiri dan 2 kolom kosong disebelah kanan transkrip verbatim. Kolom sebelah kiri dipergunakan


(1)

Partisipan I memiliki sejarah penyakit darah tinggi yang membuatnya sempat terkena stroke ringan dan tekanan darah tinggi yang terjadi terus menerus membuatnya mengalami gagal ginjal. Penyakit ginjal merupakan penyakit kronis dan kematian merupakan fase akhir dari penyakit ini. Resiko terhadap kematian yang diasosiasikan dengan penyakit ini menempatkan orang dalam posisi mempertimbangkan tentang kematiannya sendiri. Diperlukan adaptasi untuk menerima perawatan terhadap penyakitnya. Saat penderita dipaksa untuk berinteraksi dengan sistem pengobatan, mereka cenderung merasa dihilangkan hak serta sense of competence and mastery nya. Penderita mulai mengalami kehilangan kontrol personal dan ancaman terhadap harga diri. Penderita penyakit kronis merasa hopeless dan bahkan helpless terhadap kondisinya (Bannon & Feist, 2007). Hal ini membuat partisipan I menghentikan pengobatan dan merasa pasrah saja terhadap penyakitnya. Dampak utama pada penderita meliputi perubahan yang terjadi pada cara penderita berpikir tentang dirinya sendiri, diagnosa penyakit kronis merubah persepsi dirinya. Penyakit kronis dan pengobatannya memaksa banyak pasien untuk mengevaluasi kembali penyakit, hubungan dan image tubuhnya (Livneh & Atonak dalam bannon & Feist, 2007) didiagnosa dengan penyakit kronis menggambarkan kehilangan (loss) dan orang beradaptasi pada kehilangan melalui proses berduka (Rentz, et al. Dalam Bannon & Feist, 2007). Mengembangkan pemahaman terhadap makna dari kehilangan merupakan bagian penting dari coping dengan penyakit kronis, tetapi partisipan I hingga saat ini belum mengembangkan suatu makna terhadap penyakitnya dan belum keluar dari kondisi kedukaannya, hal ini sesuai dengan pendapat Murray


(2)

bahwa beberapa orang yang sakit kronis tidak pernah keluar dari kedukaannya, sedangkan beberapa orang lainnya merekonstruksi makna dalam hidupnya melalui cara yang positif (Bannon & Feist, 2007).

V.C. SARAN

V.C.1. Saran Praktis

a. Untuk membuat kelompok diskusi tentang orang yang pernah mencoba bunuh diri sebagai wahana untuk menceritakan permasalahan hidupnya, belajar dari pengalaman orang lain, dan saling membantu agar dapat mencapai penghayatan hidup yang penuh makna.

b. Diharapkan pembaca yang memiliki orang terdekat yang beresiko dengan tindakan bunuh diri agar memberikan dukungan sosial yang dapat menghambat orang tersebut untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian bagi dirinya sendiri.

c. Dengan logoterapi, para praktisi psikologi dapat membuat program untuk meraih kehidupan bermakna sebagai tindakan preventif terhadap tindakan bunuh diri.

d. Agar suicide survivor tidak menyalahkan dirinya sendiri atas tindakan yang dilakukan orang yang bunuh diri dan segera bangkit dari kondisi grief yang dialaminya

e. Bagi pembaca, khususnya yang pernah mencoba bunuh diri agar tidak berputus asa dalam mencari dan menemukan makna dalam hidupnya, serta meletakkan makna yang diperolehnya dalam suatu sistem nilai yang


(3)

paralel sehingga apabila kehilangan salah satu makna tersebut ia masih memiliki makna lainnya sebagai alasan untuk tetap hidup didunia ini. f. Bagi individu yang mengalami peristiwa hidup yang memberikan tekanan

dan mengalami depresi, agar tidak memikirkan kematian sebagai jalan keluar dari masalahnya. Karena kematian adalah solusi permanen dari masalah temporer yang sedang dihadapi saat ini. Bunuh diri dapat dicegah dengan merubah persepsi terhadap situasi, mendefinisikan kembali apa yang disebut dengan ’tidak tertahankan’, melihat bahwa ada cara lain untuk melihat suatu peristiwa, mendefinisikan kembalia apa yang disebut dengan ’mustahil dilakukan’, memikirkan kembali perannya dalam kehidupan serta menerima rasa malu dan bersalah dengan cara yang lebih baik.

V.C.2. Saran Metodologis

a. Agar dilakukan penelitian lanjutan mengenai gambaran kepribadian dan pengaruhnya pada perilaku menyakiti diri sendiri, terutama dapat mempergunakan teori tentang need yang dikemukakan oleh Murray

b. Adanya penelitian mengenai perilaku bunuh diri yang terdapat dalam budaya tertentu

c. Agar peneliti selanjutnya dapat mengelompokan batas tahapan perkembangan pada perilaku suicidal.

d. Agar selain metode wawancara mendalam, dilakukan pula metode observasi partisipatif agar peneliti benar-benar dapat memperoleh gambaran kepribadian partisipan dan penghayatannya terhadap hidup


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aiken,L.R. (1994). Dying, Death, and Bereavement 3rd ed. Massachusetts: Allyn and Bacon Paramunt Publishing

Banister, P, dkk (1994). Qualitative Methods in Psychology: a Research Guide. Buckingham: Open University Press

Barlow, D.H., (2005). Abnormal Psychology: An Integrative Approach. New York: Wadsworth.

Bastaman, H.D., (2007). Logoterapi: Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Bassuk, E., Schoonover,S., & Gill,A., (1982). Lifelines: clinical Perspectives on Suicide. NewYork: PlenumPress

Brown, G.K., (2001). A Review of Suicide Assessment Measures for Intervention Research With Adults and Older Adults. http://www.hawaii.edu/hivandaids/Review%20of%20Suicide%20Assess%

20for%20Interven%20Res%20w%20Adults%20and%20Older%20Adults. pdf (akses tanggal 21 Agustus 2007)

Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT.RajaGrafindoPersada

Bunuh Diri mengapa? (2005, Nopember). Marinir. http://www.marinir.mil.id/majalah/SELINGAN%20BUNUH%20DIRI.pdf (akses tanggal 21 agustus 2007)

Corr,C.A., Corr,D.M., Nabe,C.M., (2003). Death and Dying Live and Living (4th ed). USA: Wadsworth.

Cutter, Fred (2004). http://www.suicidepreventtriangle.org (akses tanggal 11 September 2007)

Edwards, Melanie.J., (2007). The Dimensionality And Construct Valid

Measurement Of Life Meaning. https:’’qspace.library.queensu.ca/bitstream/1974/646/1/Edwards_Melanie

_J_200710_PhD.pdf (akses tanggal 7 November 2007)

Fabry, J.B., (1980). The Pursuit to Meaning. New York: Harper & Row, Publisher .Inc.


(5)

Frankl, V.E., (….). The Will to Meaning. New York: New American Library. Frankl, V.E., (2004). Mencari Makna Hidup. Bandung: Penerbit Nuansa.

Gardner, R.M (2002). Psychology: Applied to Everyday Live. USA: Wadsworth. Gay.R, Airisian, P (2003). Educational Research: Competencies for Analysis and

Application (7th ed). New Jersey :Merril Prentice Hall

Hock, Chia Boon,(1981). Suicidal Behaviour In Singapore. Tokyo: SEAMIC Hoff, L.A (1989). People In Crisis : Understanding And Helping. Canada:

Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Irmawati, Meutia, Lili, dkk (2003). Pedoman Penulisan skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan

Joiner, Thomas (2005). Why people die by suicide. USA: Harvard University Press

Lengkong, F Dr. (2007). Bunuh Diri, Jangan Tunggu Setelah Terlambat http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&katsus=16&id=495 (akses tanggal 21 Agustus 2007)

Moleong, L.J (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif (cet 13). Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Maris,R.W, Berman, A.L, Silverman,M.M, (2000). Comprehensive Textbook of Suicidology. New York : the Guilford Press

Miles, M.B, Huberman, A.M, (1994). Qualitative data analysis, 2nd ed. USA: Sage Publication

National Adolescent Health Information Center (NAHIC). (2006). 2006 Fact sheet on suicide: Adolescent and young adul. www.mhselfhelp.org/resources/view.php?resource_id=541-16k... (akses tanggal 21 Agustus 2007)

Nock, M.K, (2006). Suicide. http://kidshealth.org/PageManager.jsp?dn=KidsHealth&lic=1&ps=2... Padgett, D.K (1998). Qualitative Methods in Social Work Research Challenges


(6)

Paul et al, (2002). Suicide Attempts Among Gay and Bisexual Men: Lifetime Prevalence and Antecedents. www.ajph.org./cgi/reprint/92/8/1338.pdf (akses tanggal 22 september 2007)

Pianalto, M.C (2004). Suicide and the Self. (akses tanggal 22 September 2007) Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)

Shneidman, E.S., (1996). The suicidal mind. USA: Oxford University Press. Suicide Prevention resource Center (SPRC) (2004). Promoting Mental Health and

Preventing Suicide in College and University Setting. www.SPRC.org/library/college_sp_whitepaper.pdf (akses tanggal 22 september 2007)

Saatnya musim cabut nyawa sendiri, tanya kenapa? (2007, 5 September) Posmetro Medan, hal. 11.