Indonesia tidak mempunyai payung hukum untuk penanganan pengungsi di Indonesia., padahal dari hari kehari jumlah pengungsi yang masuk ke Indonesia semakin banyak. Ketiadaan
peraturan hukum khusus mengenai pengungsi menyebabkan kekosongan hukum dalam menangani pengungsi. Pada level praktis ketiadaan instrument hukum ini telah menimbulkan
kebingungan dan tumpang-tindih kewenangan di antara institusi-institusi yang merasa berkepentingan untuk menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengungsi dan
pencari suaka di Indonesia. Dengan adanya kekosongan instrument hukum operasional untuk menjadi rujukan bagi institusi yang berkepentingan untuk mengantisipasi persoalan pengungsi
dan pencari suaka ini jelaslah bahwa instrument hukum pengungsi perlu dilembagakan dalam sistem hukum nasional di Indonesia..
27
2. Kurangnya Perlindungan Hukum yang Memadai di Indonesia
Persoalan pengungsi di Indonesia masih diposisikan dari sudut pandang imigrasi sehingga semata-mata persoalan pengungsi ini dilihat dari perspektif keimigrasian. Hukum positif
keimigrasian di Indonesia tidak memuat ketentuan berlaku secara khusus lex specialis bagi pencari suaka dan pengungsi. Misalnya tidak ada prosedur administrasi keimigrasian secara
spesifik. Tidak ada ketentuan tentang izin tinggal secara temporer,tempat penampungan, mekanisme penangananm dan proses evaluasinya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun1992 tentang
keimigrasian yang dirancang akhir 1980-an belum menjadikan HAM sebagai pertimbangan penting sebagai standar di dalamnya.
28
Sifat dasar kerangka hukum nasional Indonesia berkaitan dengan Pencari Suaka dan Pengungsi menunjukkan bahwa Pengungsi, Pencari Suaka dan orang-orang tanpa kewarganegaraan
diperlakukan sebagai imigran gelap, dan terancam untuk dimasukkan ke dalam Rumah Detensi
27
Wagiman,op cit, hlm.133
28
Boer Mauna,,Hukum Internasional: Pengertian,Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Alumni, Bandung,2005,hlm.9.
Imigrasi Rudenim serta secara legal terancam untuk dideportasi. Ini membawa kepada situasi yang membahayakan karena tinggal di Indonesia memiliki resiko untuk ditangkap dan
dikembalikan ke negara di mana mereka mengalami ketakutan akan adanya penganiayaan refoulement.
Bagi negara seperti Indonesia yang memiliki jalur imigrasi akan melihat setiap permasalahan orang asing dari sudut pandang keimigrasian . Orang asing yang masuk ke Indonesia tanpa surat
perjalanan dianggap tindakan illegal. Apabila merujuk pada kasus-kasus konkret umumnya pengungsi atau pencari suaka tidak mungkin memiliki dokumen lengkap perjalanan. Sebab tidak
mungkin mereka dalam keadaan terpaksa meninggalkan negaranya terlebih dahulu mengurus visa,paspor, atau surat-surat lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi ,sebagaian besar dari
pengungsi atau pencari suaka tidak memiliki kelengkapan dokumen perjalanan. Di dalam Pasal 31 Konvensi 1951 menyatakan diamanatkan bahwa jangan sampai
pengungsi atau pencari suaka yang masuk ke dalam suatu negara ditahan atau dihukum. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara pengungsi atau pencari suaka tersebut melapor kepada pejabat
yang memiliki kewenangan dengan mengemukakakan alasan mengapa mereka masuk ke negara yang bersangkutan secara tidak sah. Karena Indonesia bukanlah negara peratifikasi Konvensi
1951 dan Protokol 1967, senbenarnya Indonesia bisa saja mengenakan hukuman kepada mereka. Namun demikian, berdasarkan hubungan kerjasama yang terjalin antara imigrasi dan UNHCR,
maka pihak imigrasi akan segera memberitahu pihak UNHCR yang kemudian akan mewawancarai pencari suaka untuk menentukan statusnya sebagai pengungsi atau bukan.
Mekanisme penanganan pengungsi di Indonesia yang biasa dilakukan adalah melaporkan kepada kepolisian setempat. Kemudian, kepolisian setempat akan melaporkkan ke Mabes Polri.
Mabes Polri melaporkan ke Kementeran Luar Negeri yang lalu memberitahukan kepada
Perwakilan UNHCR di Indonesia..Selanjutnya petugas UNHCR akan melakukan sesi wawancara dan menempatkan mereka di suatu tempat yang biayanya dibiayai oleh UNHCR. Seharusnya,
penanganan mereka yang mengklaim sebagai di garis depan adalah bagian imigrasi. Masalahnya adalah di Indonesia, Tempat Pelaporan Imigrasi TPI hanya berada di beberapa kota besar,
sehingga bila di tempat-tempat terpencil seperti di dekat pantai ,maka semestinya daerah setempatlah yang terlebih dahulu ditemui yakni Lurah.
Petugas kepolisian ditemui karena segi kepraktisan saja,sebagai Polsek lebih mudah untuk dijumpai dimana saja dibandingkan dengan imigrasi.Karena Indonesia bukanlah
penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, pemerintah telah mengizinkan dua lembaga Internasional untuk mengurusi para Pencari Suaka: Kantor United Nations High Commissioner
for Refugees UNHCR yang mengawasi proses penentuan status sebagai Pengungsi, penempatan ke negara ketiga, dan repatriasi.International Organisation for Migration IOM
bertanggung jawab untuk memberikan bantuan sehari-hari, meliputi penyediaan makanan, akomodasi, dan perawatan kesehatan; Pencari Suaka dan Pengungsi menjadi tanggung jawab
IOM sampai mereka ditempatkan ke negara ketiga atau secara sukarela kembali ke negara asal. Baik UNHCR Indonesia maupun IOM Indonesia sangat kekurangan sumber daya dan memiliki
beban kerja yang tinggi.
29
3.
Penentuan Status sebagai Pengungsi
UNHCR beroperasi di Indonesia dengan persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia. Direktur Jendral Keimigrasian Indonesia mengeluarkan Instruksi pada tahun 2010 No:IMI-
1489.UM.08.05 yang menyatakan bahwa orang-orang yang mencari suaka atau status pengungsi harus dirujuk kepada UNHCR untuk mengikuti proses penentuan status sebagai Pengungsi dan
bahwa “status dan kehadiran orang asing yang memegang Attestation Letters atau kartu identitas
29
suaka.or.idmasalah-perlindungan
yang dikeluarkan oleh UNHCR sebagai Pencari Suaka, Pengungsi atau orang yang dilayani oleh UNHCR, harus dihormati”. Orang-orang yang tak memiliki dokumen-dokumen tersebut akan
terancam untuk dimasukkan ke dalam Rumah Detensi Imigrasi, terkena denda, danatau dideportasi.
Walaupun UNHCR beroperasi di Indonesia dengan izin dari pemerintah Indonesia, kapasitasnya sangat terbatas oleh karena meningkatnya jumlah Pencari Suaka yang mencari
bantuan di Indonesia. UNHCR memiliki 60 staff di Indonesia.Para Pencari Suaka yang telah terdaftar dapat mengajukan Pengakuan Status sebagai Pengungsi yang dinilai oleh UNHCR
melalui proses yang disebut prosedur Penentuan Status sebagai Pengungsi Refugee Status DeterminationRSD. Para Pencari Suaka diwawancarai oleh petugas RSD yang dibantu oleh
seorang penerjemah berkaitan dengan pengajuan mereka untuk mendapatkan perlindungan. Ketika pengajuan untuk mendapatkan perlindungan ditolak, prosedur RSD masih memberikan
satu kesempatan lagi untuk mengajukan banding atas keputusan negatif itu. Pada umumnya, bantuan dan nasihat hukum tidak disediakan, sehingga banyak keputusan
negatif itu merupakan akibat dari Pencari Suaka yang tidak memahami proses yang harus mereka patuhi, akibat dari kendala bahasa, ketakutan untuk berbicara kepada pihak yang berwenang, dan
karena mereka tidak mengetahui hak dan tanggung jawab mereka sebagai orang yang mengajukan status sebagai Pengungsi. Dalam praktiknya, hak untuk mendapatkan Penasihat
Hukum bagi para Pencari Suaka dan Pengungsi juga belum sepenuhnya diakui oleh UNHCR dan pemerintah. Hal ini membahayakan integritas proses RSD karena Pencari Suaka tidak
sepenuhnya menyadari hak-hak dan tanggung jawab mereka, maupun proses yang melibatkan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Australia menunjukkan bahwa
terdapat beberapa aspek hukum dari kebutuhan perlindungan bagi para Pencari Suaka di
Indonesia yang harus diperhatikan. Salah satu solusi yang diajukan adalah menyediakan bantuan hukum mandiri karena “sebagian besar Pencari Suaka dan Pengungsi yang diwawancarai itu
tampaknya memiliki sedikit pemahaman tentang substansi hukum dari kasus mereka atau tentang prosedur Penentuan Status sebagai Pengungsi yang dilakukan oleh UNHCR di Indonesia”
Taylor and Rafferty-Brown, 2010.
30
4. Penempatan ke Negara ketiga