2. Faktor Internal
a. Penguatan Kapasitas Hukum di Indonesia.
Jika pemerintah memutuskan untuk meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka pemerintah harus meningkatkan kekuatan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah dengan
meningkatkan pengawasan diperbatasan serta pertahanan dan keamanan maritim. Pertahanan dan keamanan maritim tentunya membutuhkan pengadaan peralatan dan persenjataan yang lengkap
dan dalam kondisi yang baik, bagi petugas dalam berpatroli di laut dan wilayah perbatasan Indonesia. Sementara itu peningkatan pengawasan perbatasan serta pertahanan dan keamanan
maritim sendiri, tidak hanya dilihat melalui sisi militer atau pengadaan peralatan dan persenjataan yang lengkap semata.
b. Meningkatnya Jumlah Biaya yang Harus Dikeluarkan Oleh Pemerintah Untuk
Menangani Pengungsi. Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentunya juga dapat berdampak pada
perekonomian Indonesia. Hal ini terkait dengan pembiayaan penanganan pengungsi dan pencari suaka akan sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah. Biaya tersebut antara lain untuk :
1 Membiayai pelatihan bagi instansi yang nantinya akan terkait baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap penanganan pengungsi. Seperti Kepolisian, Angkatan Laut, petugas di TPI, Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
termasuk Kementerian Luar Negeri. 2
Menentukan status pengungsi juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Dana ini diantaranya adalah pembiayaan tenaga-tenaga professional dalam registrasi dan
wawancara terhadap pengungsi dan atau pencari suaka. Karena tidak semua pengungsi
dapat berkomunikasi menggunakan bahasa inggris terlebih lagi bahasa Indonesia, maka dibutuhkan interpreter terpercaya berdasarkan kebutuhan pada saat registrasi sesuai
dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh interpreter dan pengungsi atau pencari suaka. Selain itu selama proses penentuan status pengungsi, Indonesia juga berkewajiban
memberikan dan memenuhi kebutuhan dasar pengungsi seperti tempat tinggal, makanan, pendidikan dan lain sebagainya.
Setelah status pengungsi ditetapkan, maka selanjutnya menentukan solusi jangka panjang bagi para pengungsi. Jika integrasi lokal tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, maka pengungsi
akan diberikan pilihan berupa pemulangan sukarela ke negara asal repatriasi sukarela dengan syarat kondisi negara asal telah kondusif atau pilihan re-settlement untuk ditempatkan ke negara-
negaraketiga. Biaya untuk kedua pilihan tersebut tentunya tidak sedikit terlebih lagi dengan jumlah pengungsi yang sangat banyak. Selain itu proses masuknya pengungsi yang tidak
melengkapi dokumen imigrasi tentunya tidak melakukan prosedur migrasi dengan benar dapat membuat suatu negara mengalami kerugian karena tidak terkena devisa. Dimana devisa
merupakan salah satu penghasilan negara, sehingga negara tersebut akan mengalami kerugian. Dari segi ekonomi, maka tentunya pemerintah tidak hanya mengalami kerugian akibat devisa
yang tidak didapat oleh masuknya pengungsi, tetapi juga pemerintah harus memiliki anggaran khusus untuk menangani pengungsi.
c. . Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Indonesia.
Jika pemerintah meratifikasi Konvensi dan Protokol tersebut, maka ada beberapa solusi jangka panjang untuk penanganan pengungsi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
yang ada terdiri dari integrasi lokal, pemulangan secara sukarela, atau penempatan di negara ketiga. Ketika terjadi integrasi lokal, jika pengungsi dan masyarakat tidak dapat hidup
berdampingan sebagaimana harapan pemerintah, tentunya dapat menimbulkan konflik internal dan masalah baru yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan sosial di Indonesia.
Perlakuan yang didapat pengungsi dari pemerintah jika meratifikasi rezim pengungsi Internasional tersebut dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Hal yang dapat
memicu munculnya persepsi negatif dan permasalahan baru tersebut yaitu kecemburuan sosial antara masyarakat setempat dan pengungsi. Masyarakat Indonesia yang belum dapat merasakan
perlakuan yang sama seperti yang didapatkan pengungsi, tentunya akan merasa kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian dari pemerintah dibandingkan dengan pengungsi yang sudah
jelas hanya pendatang. Keberadaan pengungsi di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam budaya tentunya juga dapat berpengaruh. Ini terutama terjadi karena para pengungsi tetap
memilih untuk mempertahankan identitas budaya yang tidak selalu selaras dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa,
secara tidak langsung dapat mempengaruhi bahkan merubah budaya bangsa masyarakat Indonesia.
43
43
Ibid
BAB III ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM INTERNASIONAL
A. SEJARAH HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL
Hukum Pengungsi Internasional adalah turunan dan salah satu pengaturan hukum Internasional. Hukum pengungsi Internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan
pengungsi Internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi intemasional juga dilindungi oleh negara- negara yang dilewatinya dalam
perjalanan ke negara tujuan mengungsi. Dalam dunia intemasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum Internasional.
Sejumlah instrumen Internasional menetapkan dan menjelaskan standar-standar pokok tentang perlakuan terhadap pengungsi.Instrumen yang paling penting adalah Konvensi PBB tentang
Kedudukan Pengungsi 1951 dan Protokol tentang Kedudukan Pengungsi 1967.
44
Hukum pengungsi didefinisikan sebagai serangkaian aturan yang objeknya adalah pengungsi. Untuk hak tersebut, hukum pengungsi memerlukan batasan atau pengertian dari
‘pengungsi’. Pengertian tersebut merupakan suatu istilah yuridis yang dibedakan dengan tegas dari pengertian atau istilah lainnya. Batasan hukum pengungsi Internasional yang pernah dibahas
dalam Seminar tentang Pengungsi dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional disebutkan bahwa hukum pengungsi Internasional merupakan sekumpulan peraturan yang diwujudkan
dalam beberapa instrumen-instrumen Internasional dan regional yang mengatur tentang standar Hukum
pengungsi lahir bersamaan dengan disahkannya Konvensi 1951. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bisa dikatakan sebagai fondasi dari hukum pengungsi Internasional
44
Pusham UII, Hak Asasi Manusia dan Pengungsi Lembar fakta Nomor 20, Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia
baku perlakuan terhadap pengungsi. Disebutkan pula bahwa Hukum Pengungsi Internasional merupakan cabang dari Hukum Hak Asasi Manusia.
Hukum Pengungsi Internasional memiliki keterkaitan yang erat dengan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, sebab cabang-cabang ilmu tersebut sama-sama mengkaji tentang
perlindungan manusia dalam situasi-situasi yang khusus seperti pertikaian senjata dan kerusuhan. Hukum pengungsi Internasional secara khusus membahas tentang perlindungan
terhadap para pencari suaka dan orang-orang yang telah ditetapkan statusnya sebagai pengungsi. Dalam penelusuran secara historis, pembentukan hukum pengungsi Internasional
berjalan setahap demi setahap berdasarkan pengalaman-pengalaman pengungsian yang terjadi di Eropa..
45
Pada dasarnya masalah pengungsi tersebut, merupakan masalah humaniter dan ditangani sesuai dengan prinsip-prinsip humaniter pula. Dalam hal pengungsi sebagai akibat adanya
natural disaster, maka penanganannya dapat dikatakan sederhana, karena kebutuhan utama mereka adalah tempat tinggal dan kebutuhan dasar di tempat mereka pergi untuk menyelamatkan
diri, sampai mereka dapat kembali lagi ke daerah asalnya karena kondisinya sudah memungkinkan. Dalam hal ini, pertolongan relief dan bantuan assistance yang diutamakan
adalah makanan,air, pakaian, sanitasi, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan pengungsi akibat Hukum pengungsi mulai tumbuh di era tahun tahun 1920-an. Hukum pengungsi
Internasional atau biasa disebut dengan hukum pengungsi lahir bersamaan dengan disahkannya Konvensi 1951 Namun, persoalan pengungsi merupakan masalah yang sama tuanya dengan
peradaban manusia. Dalam pengertian umum pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang karena alasan tertentu terpaksa meninggalkan daerah asal mereka menuju wilayah
lain baik di negaranya sendiri, maupun ke negara lain.
45
Koesparmo Irsan,2007,Pengungsi Internal dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Jakarta,hlm.119.
dari human made disaster terutama yang menjadi korban gangguan terus menerus terhadap pribadi atau kebebasan fundamental mereka, atau persekusi persecution, karena ras, warna
kulit, asal etnis, agama, golongan sosial, atau opini politik mereka, terutama yang karena hal ini mereka terpaksa meninggalkan negara asalnya, dan mencari keamanan serta keselamatan di luar
negara asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan persoalan humaniter dan ditangani secara humaniter pula.
46
Secara mendunia dan berabad-abad masyarakat telah mengenal adanya pengungsi dan pencari suaka. Tradisi humanitarian dalam memberikan perlindungan berupa suaka sering
diberitakan melalui media elektronik,terutama televisi sebagai bantuan terhadap jutaan pengungsi dan pengungsi internal yang dihasilkan dari perang dan pembantaian. Meskipun,
masih banyak orang-orang yang melarikan diri dari ancaman terhadap hidup dan kebebasan mereka, ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah di negara penerima menemukan
kesulitan yang kian hari semakin bertambah . Di satu sisi pemerintah negara penerima ingin “Throughout the world and over the centuries, societies have welcomed frightened,
weary strangers, the victims of persecution and violence. This humanitarian tradition of offering sanctuary is often now played out on television screens across the globe as war and large-scale
persecution produce millions of refugees and internally displaced persons. Yet even as people continue to flee from threats to their lives and freedom, governments are, for many reasons,
finding it increasingly difficult to reconcile their humanitarian impulses and obligations with their domestic needs and political realities. At the start of the 21st century, protecting refugees
means maintaining solidarity with the world’s most threatened, while finding answers to the challenges confronting the international system that was created to do just that.”
46
Enny Soeprapto, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pengungsi Internasional Sebuah Catatan, Makalah disajikan dalam Seminar Hukum Pengungsi Internasional, UNHCR
bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 28 Juli 2000 : 3
membantu atas dasar kemanusiaan dan memenuhi kewajibannya dalam penegakan HAM, namun hal tersebut seringkali bertentangan dengan kepentingan domestik negara mereka dan kenyataan
politik yang ada. Di awal abad ke 21, perlindungan pengungsi berarti solidaritas terhadap ancaman terbesar dunia sambil menemukan jawaban atas tantangan-tantangan yang bertentangan
dengan sistem Internasional yang diciptakan untuk melakukannya
47
Salah satu bentuk dari penanganan pengungsi adalah memberikan perlindungan berupa pemberian suaka. Kata ”asylon” dalam bahasa Yunani atau ”asylum” dalam bahasa latin berarti
”sebuah tempat terhormat dimana seorang yang sedang dikejar berlindung. Berdasarkan alasan baik itu agama dan sipil, hak memberikan perlindungan ini diberikan kepada tempat-tempat
ibadah dan kepada Negara terhadap seorang warga negara asing yang berada dalam status buronan tanpa mempertimbangkan jenis perbuatan kriminal atau pelanggaran yang telah
dilakukannnya. Sehingga, dalam waktu yang lama, kejahatan-kejahatan umum ordinary crime tidak dapat di-ekstradisi-kan. Baru sejak abad ke tujuh belas beberapa ilmuwan termasuk ahli
hukum dari Belanda Hugo Grotius membedakan antara kejahatan bersifat politik dan kejahatan umum, selanjutnya status Asylum hanya dapat digunakan oleh mereka yang menghadapi
penuntutan prosecution karena alasan politik dan keagamaan. Sampai dengan pertengahan abad ke sembilan belas hamper semua Perjanjian Ekstradisi mengakui prinsip Non-Ekstradisi terhadap
pelaku kejahatan politik, namun dengan pengecualian terhadap mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan terhadap Kepala Negara”.
48
47
Kate Jastram and Marilyn Achiron,2001,Refugee Protection: A Guide to International Refugee Law,Inter- Parliamentary Union, UNHCR,hlm.5.
48
Aga Khan, Sadruddin, “United Nations High Commissioner for Refugees”, Lectures on Legal Problems relating to Refugees and Displaced Persons, given at the Hague Academy of International Law, 4-6 August,
p.24, sebagaimana dikutip oleh Enny Soeprapto, “International Protection of Refugees and Basic Principles of Refugee Law, an Analysis”, Makalah, 1989, hlm. 38.
Asylum adalah sebuah lembaga yang lahir karena kemanusiaan humanitarian dan juga hukum legal nature. Asylum merupakan lembaga kemanusiaan karena dimaksudkan untuk
menyelamatkan seseorang dari penuntutan atau kemungkinan penuntutan. Asylum juga merupakan instrumen hukum karena sekali Asylum diberikan maka seseorang yang
mendapatkan status sebagai penerima suaka asylee akan melekat padanya hak dan kewajiban yang dapat dijalankan dan dipaksakan oleh Negara pemberi Asylum berdasarkan hukum
nasionalnya ataupun berdasarkan aturan Hukum Internasional dan atau aturan hukum regional yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
49
Pada masa Yunani Purba itu, agar seseorang , terutama pedagang, yang berkunjung ke negara-negara lainnya, mendapsa Yunani Purba itu, agar seseorang ,terutama pedagang, yang
berkunjung ke negara-negara lainnya, mendapat perlindungan, maka antara sesama negara kota di negeri itu diadakan perjanjian-perjaian untuk maksud demikian.Lembaga “asylia” tersebut
kemudian dilengkapi dengan lembaga “asphalia
”
yang bertujuan untuk melindungi benda-benda milik orang-orang yang dilindungi menurut lembaga “asylia”.
Konsep pemberian suaka sudah dikenal oleh masyarakat dunia sejak berabad-abad yang lalu.. Di zaman primitif pun suaka sudah dikenal dimana-manh ada sejak ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu. Di zaman primitive pun suaka sudah dikenal dimana-mana. Kadang-kadang di kalangan suku primitif ada seseorang yang meninggalkan suku atau kampungnya untuk
memohon perlindungatau kampungnya untuk memohon perlindungan .pada suku yang lain. Enny Suprapto mengatakan bahwa masyarakat Yunani Purba telah mengenal lembaga yang
mereka sebut sebagai “asylia”.
50
Berikut ini adalah sejarah perkembangan perlindungan pengungsi Internasional antara lain:
49
Sulaiman Hamid, 2002,Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional,RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm.41.
50
Sulaiman Hamid,2002, Op Cit, hlm.43.
1. Sejarah Perlindungan Pengungsi Menurut Liga Bangsa-Bangsa