Peranan HbA1C Dalam Menilai Keberhasilan Terapi Pada Pengelolaan Diabetes Melitus

25 e. Penyakit pembuluh darah perifer Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah ke kaki.

2.3 Peranan HbA1C Dalam Menilai Keberhasilan Terapi Pada Pengelolaan Diabetes Melitus

Hemoglobin A1C HbA1C telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah. Telah diketahui bahwa kadar rata-rata glukosa darah 1-2 bulan sebelumnya merupakan kontributor utama konsentrasi HbA1C. Kontribusi bulanan rata-rata glukosa darah terhadap HbA1C adalah: 50 dari 30 hari terakhir, 25 dari 30 dan 60 hari sebelumnya dan 25 selama 60-120 hari sebelumnya Rahayu, 2014. Hemoglobin A1C merupakan alat pemantauan yang penting dalam penatalaksanaan pasien DM. Pada tahun 2010 American Diabetes Association ADA memasukkan kadar HbA1C dalam kriteria diagnosis diabetes. Pemeriksaan HbA1C memiliki kelebihan dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam. Manfaat HbA1C, selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi serta keberhasilan terapi, namun beberapa studi terbaru mendukung pemanfaatan HbA1C yang lebih luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga bermanfaat dalam diagnosis ataupun skrining diabetes melitus tipe 2 Rahayu, 2014. Universitas Sumatera Utara 26 Pengukuran HbA1C penting untuk kontrol jangka panjang status glikemi pada pasien diabetes. Hubungan antara A1C dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1C lebih tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti pada diabetes melitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks rata-rata kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya. Dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam, HbA1C memiliki kelebihan yaitu dapat digunakan untuk petunjuk terapi dan penyesuaian terapi serta dapat digunakan untuk penilaian kontrol glikemik Rahayu, 2014. 2.4 Hubungan Pengetahuan Tentang Penyakit dan Obat Terhadap Kepatuhan Serta Pencapaian Target Terapi Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Notoatmodjo 2007 menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan. Teori adopsi perilaku tersebut terdiri dari 5 tahap yaitu awareness kesadaran, interest merasa tertarik, evaluation menimbang-nimbang, trial mulai mencoba dan adoption. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi melalui proses seperti ini didasari pengetahuan maka perilaku tersebut akan bertahan lama long lasting. Berdasarkan teori diatas, pengetahuan pasien baik tentang penyakit DM dan obat antidiabetes akan mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan yang baik mendukung pasien dalam melakukan kontrol gula darah dengan patuh. Kepatuhan pasien yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang perilaku tersebut tidak dapat menjamin bahwa pasien akan mematuhi seterusnya. Kepatuhan pasien tentu akan mempengaruhi pada Universitas Sumatera Utara 27 kondisi kesehatannya, jika pasien tidak patuh maka akan berdampak buruk bagi kesehatan, contohnya dapat menimbulkan komplikasi yang serius. Namun hal tersebut dapat dicegah bila pasien mematuhi diet, olah raga dan terapi. Pengetahuan penderita akan penyakit DM juga menjadi penting, mengingat tidak sedikit penderita DM yang kurang memiliki pememahaman tentang penyakit DM. Akibat dari ketidakpahaman akan penyakit DM, banyak penderita DM yang tidak patuh serta mengalami komplikasi dan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah. Keberhasilan suatu pengobatan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita DM untuk menjaga kesehatannya. Dengan kepatuhan yang baik, pengobatan yang sedang dijalankan dapat terlaksana secara optimal dan kualitas kesehatan bisa tetap dirasakan. Sebab apabila penderita DM tidak mempunyai kesadaran diri untuk bersikap patuh maka hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang berakibat pada menurunya kesehatan dan dapat berdampak pada komplikasi penyakit DM dan bisa berujung pada kematian Saifunurmazah, 2013.

2.5 Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien DM di Indonesia