BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang permasalahan, masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa dewasa awal disebut sebagai masa bermasalah. Pada masa ini individu dihadapkan oleh berbagai tekanan dan permasalahan yang belum pernah
dihadapi sebelumnya. Permasalahan yang muncul pada fase ini kerap disebabkan oleh perkembangan peran, dari remaja menjadi dewasa dan tuntutan-tuntutan
lingkungan sebagai konsekuensi dari peran barunya itu. Karenanya perkembangan kepribadian yang terjadi pada masa ini adalah perkembangan yang menjembatani
jarak antara tuntutan-tuntutan dalam masyarakat dan proses penyesuaian diri individu terhadap tuntutan-tuntutan tersebut Hurlock, 1980.
Namun fase dewasa awal menjadi sangat penting dalam perjalanan hidup individu, karena pada masa ini sekali seseorang menemukan pola hidup yang
diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama
sisa hidupnya. Karenanya masa dewasa awal ini juga dikenal sebagai masa pengaturan atau settling down Hurlock, 1980.
1
Untuk menemukan pola hidup yang sesuai dan memenuhi tuntutan masyarakat, individu dewasa awal harus melakukan pencarian jawaban atas segala
permasalahan yang dihadapinya. Proses ini memungkinkan terjadinya perubahan nilai-nilai dalam dirinya. Jadi masa dewasa awal juga disebut sebagai masa
perubahan nilai Hurlock, 1980.
Salah satu hal yang paling mungkin mengalami perubahan nilai pada individu di fase dewasa awal ini adalah religiusitas atau keberagamaannya.
Religiusitas adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian kita sebagai manusia beragama. Idealnya terutama pada individu dewasa awal, karena
tujuan dari agama adalah juga mengatur pengikutnya.
Mangunwijaya Anggarasari, 1997 membuat perbedaan penting antara istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Istilah agama atau religi
merujuk pada aspek legal-formal yang terkait aturan-aturan dan kewajiban- kewajiban. Ini terkait dengan ritual-ritual yang diajarkan dalam tiap-tiap agama,
terlepas dari soal penghayatan. Sementara istilah religiusitas merujuk pada aspek keagamaan yang dihayati oleh individu. Menurut Djamaluddin 1995,
penghayatan ini ditandai oleh pengamalan nilai-nilai agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek kehidupan.
Terkait dengan aspek religusitas individual, secara psikologis fase usia dewasa awal merupakan kelompok umur yang menarik untuk diperhatikan.
Menurut Hurlock 1980, pada fase dewasa awal inilah mulai dibangunnya pandangan pribadi yang relatif menetap tentang perilaku keberagamaan dalam diri
seseorang. Ia menambahkan, pada usia ini seseorang akan mengatasi keragu- raguan terhadap kepercayaan keagamaan, sebagaimana dialami pada masa remaja.
Berdasar seks, Hurlock 1980 menerangkan bahwa wanita cenderung lebih berminat terhadap agama ketimbang pria. Hal ini mungkin terkait dengan
kecenderungan wanita yang lebih mudah menerima dan mengaplikasikan ajaran agama yang diterimanya.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa wanita yang tengah berada di usia dewasa awal sebetulnya berada pada fase krusial. Jika pada fase remaja
pandangan keberagamaan seseorang sekadar mengikuti perilaku keberagamaan orang-orang di sekitarnya, maka di masa dewasa awal ia mulai membangun
pandangan pribadinya yang khas tentang religiusitas. Pandangan ini juga berhubungan dengan peran dan tuntutan sosial kepada dirinya, serta
perkembangan psikologis, yang turut berubah sejalan dengan pertambahan usia. Jika ia telah menemukan prinsip-prinsip dasar yang memuaskan bagi dirinya,
maka pandangan inilah yang akan diamalkannya dalam sisa hidupnya.
Dalam pencarian nilai-nilai religiusitas ini, ketersediaan rujukan menjadi sangat penting. Berbagai informasi yang didapatkan dari luar merupakan sarana
seorang individu dalam menentukan corak pandangan keagamaannya. Karenanya
banyak sekali diterbitkan buku-buku tentang agama, diselenggarakan pengajian- pengajian, bahkan pihak rumah produksi pun tak mau ketinggalan membuat
sinetron-sinetron agama.
Sinetron agama yang sempat menjadi fenomena adalah sinetron-sinetron religius bernuansa mistis. Sejak kemunculannya pertama kali di layar kaca TPI
saat ini MNC TV pada medio 2005, Sinetron Rahasia Illahi menjadi primadona sebagian besar penonton Indonesia, termasuk penonton wanita berusia dewasa
awal. Sinetron tersebut pun mampu mendongkrak posisi TPI di antara stasiun- stasiun televisi lainnya. Hal inilah yang mendorong stasiun televisi lain
menayangkan sinetron serupa. Menurut sebuah survey rating, sinetron-sinetron religius-mistis mampu mengalahkan tayangan-tayangan lain Syaikhu, 2006.
Di tengah popularitas sinetron-sinetron bertema religius-mistis yang menanjak, banyak kecaman dilontarkan oleh berbagai pihak. Pakar komunikasi
dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali dalam Syaikhu, 2006, mengatakan bahwa tayangan mistik bukan saja menumpulkan logika, tetapi juga bertolak
belakang dengan nalar. Pendapat senada juga dikemukakan pengamat media dan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Ade Armando. Bagi Ade tayangan mistis
sangat bertentangan dengan dakwah Islam dan bisa dipahami secara salah terhadap agama yang dianutnya. dalam Syaikhu, 2006.
Keberatan lain dikemukakan oleh Ghazali 2005 karena sinetron-sinetron itu telah berhasil menjadikan Islam sebagai agama yang penuh aura magis dan
agama yang tidak rasional. Padahal, kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa al-dîn `aqlun lâ dîna liman la `aqla lah. Agama itu rasional; bukanlah
orang beragama yang tidak bisa memungsikan akalnya secara optimal.
Tetapi protes-protes itu seakan hanya muncul dan menguap begitu saja, karena pada masanya masyarakat terus menggandrungi tayangan-tayangan
tersebut. Pada akhirnya justru rasa jenuh masyarakatlah yang membuat tayangan- tayangan sinetron sejenis ini tak lagi mendapat sambutan ramai dari penonton.
Pertanyaannya, benarkah sinetron religius bernuansa mistis tersebut dipersepsikan oleh para wanita dewasa awal sebagai salah satu alternatif sumber
informasi tentang religiusitas, dalam menemukan pola religiusitas yang sesuai dengan kebutuhannya?
Dua penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, yaitu penelitian Ani Andriani tentang Hubungan antara Sikap terhadap Sinetron
Religius di TV dengan Tingkat Religiusitas Dewasa Madya dan penelitian Israwati tentang Hubungan Intensitas Menonton Tayangan Mistis dengan Rasa Takut
terhadap Makhluk Halus, pun tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang signifikan. Namun kedua peneliti sama-sama menyarankan penelitian yang sama
dilakukan pada tingkatan usia yang lebih muda.
Karena kesenjangan antara fakta-fakta di ataslah peneliti tergelitik untuk mengetahui jawabannya secara lebih jauh lagi, bagaimana hubungan antara
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap sinetron religius bernuansa
mistis dengan religiusitas wanita dewasa awal.
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah