Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtifak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM DAN AKAL

A. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtifak

Pada uraian ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang kajian usul fiqh yang mengajarkan, perintah-perintah dan metode penyimpulan hukum syariat yang tepat dan valid dari sumber-sumber yang sahih. Sekarang penulis akan mempelajari apa sumber- sumber itu, dan berapa banyak sumber-sumber itu, serta apakah semua mazhab dan aliran dalam islam mempunyai pandangan yang sama tentang masing-masing detail sumber- sumber hukum Islam itu atau apakah mereka mempunyai pandangan yang berlainan. Jika memang ada perbedaan-perbedaan pendapat, para ulama terdahulu itu merasa bahagia dengan adanya perbedaan pendapat, karena berbeda dalam kesatuan, sesuatu ummat akan maju, pikirannya akan berkembang dan ajaran agamanya akan tetap up to date serta dapat menjawab semua tuntutan perkembangan dunia dalam bidang hukum. Oleh karena itu, para ulama terdahulu telah mengungkapkan sikap dan pikirannya terhadap masalah ikhtilaafaatun fiqhiyatun ini. Berikut ini penulis kutipkan diantaranya: 1 Abu Na’iim meriwayatkan bahwa Imam Sofyan Ats-Stauri mengatakan’ apabila kamu melihat seseorang berbuat sesuatu masalah ikhtilafiyah yang berbeda dengan yang kamu lakukan maka janganlah kamu melarangnya’. Abi Na’iim, 2 Al-Khathiib Al-Bagdaady mengatakan, terhadap masalah ikhtilafiyah, aku tidak akan melarang murid-murid ku untuk memilih mana yang ia pilih, Albughdaady, Alfaqihu Wal Mutafaqqihu, j.2, h. 69 3 Almawarzy meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad mengatakan, ‘tidak pantas bagi seorang faqqih untuk menggiring umat, guna memilih suatu mazdhab, apabila memaksakannya,’ Ibnu Muflih, Al Aadaabusy Syar’iyyah, j. 1, h. 186 4 Ibnu Rajab Al-Hambaly meriwayatkan bahwa Abu Ya’laa mengatakn ‘kemungkaran yang wajib dibasmi adalah kemungkaran yang telah di ijma’i ummat, sedangkan kemungkaraan yang bersifat ikhtilafiyah, maka tidak wajib disanggah bila dilakukan oleh mujtahid, ataupun oleh orang-orang yang lain,’ Abi Ya’laa, Al Ahkaamus Sulthaaniyah, h.297 11 Apakah perbedaan-perbedaan yang ada dalam sumber hukum Islam itu? Pertama, penulis akan membahas sumber-sumber hukum Islam yang disepakati seraya menjelaskan masing-masing sumber itu, yang kedua sumber-sumber hukum Islam yang ikhtilaf. Adapun sumber hukum Islam yang ithifak disepakati adalah : 1. Al-qur’an Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam yang primer pertama ataupun dalil fiqh yang paling agung dan utama, ia adalah kitab Allah atau kumpulan firman Allah yang tidak datang kepadanya kebatilan. baik dari depan ataupun dari belakang. 12 Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, bagi muslim Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini, di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dan mencapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat. 11 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: Erlangga 1989, h.40. 12 Saifudin Nur,, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam, Bandung: Tafakur,2007. h.39. Al-Qur’an adalah sumber hukum yang sekaligus sebagai dalil hukum yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah SWT, yaitu kitab suci Al-Qur’an nama dari Al- Qur’an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam, dan masing-masing nama itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain : a. Al-Kitab, artinya buku atau tulisan arti itu untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku, atau kitab suci, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT : َذِﻟ َﻚ ْﻟا ِﻜَﺘ ُﺐ َﻻ َر ْﯾ َﺐ ِﻓْﯿ ِﮫ ُھ ًﺪ ِﱢﻟ ي ْﻠُﻤ ﱠﺘِﻘ ْﯿ َﻦ هﺮﻘﺒﻟا : Artinya : ”Kitab[ a ] Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang berbakti”, QS, Al-Baqarah : 2 13 b. Al-Qur’an artinya bacaan, arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara atau dihapal bacaannya diluar kepala. atau bacaan yang mulia, sebagaimana firman Allah SWT :          ﺔﻣﺎﯿﻘﻟا : Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”. QS. Al- Qiyamah : 17-18. Al-Furqan, artinya pemisah atau pembeda, arti ini mengingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk 13 [ a ] Al-Qur’an yang sebagiannya, di masa itu, masih terkandung di Al-lauhil mahfuzh haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya, sebagaimana disebutkan antara lain dalam            نﺎﻗﺮﻔﻟا  Artinya : “Maha banyak kebaikan Tuhan yang telah turunkan Al-Fur’qan b atas hambanya supaya ia c jadi pengancam bagi alam” QS,al- Furqan. 25 : 1 14 c. Huda, artinya petunjuk, arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan padanya. d. Al-Zikr, artinya ingat, arti ini menunjukan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tuntutannya dalam melakukan setiap tindakan. Sebagaimana Allah berfirman :         ﺮﺠﺤﻟا : Artinya : Sesungguhnya kamilah yang turunkan peringatan ini dan sesungguhnya kamilah penjaga baginya”.Al-Hidjr, 15:9 menurut para ulama nama lain terhadap Al-Qur’an antara lain Al-Mubin, Al- Karim, dan An-Nur Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa Arab, riwayatnya mutawatir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak 14 b Al-Fur’qan : Pembeda, maksud disini adalah Al-Qur’an. c kalimah ia, menunjukkan kepada Nabi, atau Al_Fur’qan disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingatkannya baik secara keseluruhan maupun bagian rinciannya, dipandang kafir. 15 Dan para ulama memberi definisi tentang al-Qur’an yang mengandung mu’jizat di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An- Nas. 16 Dia Al-Qur’an merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at, merupakan undang-undang dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua dasar, hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama Islam. Jadi sudah jelas bahwa para ulama sudah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang tertinggi dan tidak ada lagi di atasnya. Dan dalam kandungan atau isi Al- Qur’an itu sendiri ada yang bersifat qhat’y dan ada yang bersifat zhonny. Tidak ada keraguan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan peraturan islam yang pertama. Tentu saja, ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada hukum dan peraturan. Dalam Al-Qur’an, ratusan jenis permasalahan telah dimasukkan. Al-Quran turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Makkah sebelum Rasulah hijrah ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat-ayat Makkiyah, dan periode kedua setelah Rasulah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah, ayat-ayat di Makkah pada umumnya yang menjadi inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan akidah, dalam rangka meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa 15 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, cet, I, h.9-10. 16 Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama. h.38. ajaran akidah yang harus lebih dahulu ditanamkan, tanpa itu syariat islam belum akan diterima oleh umat misalnya firman Allah                 Artinya : “Dan tidak Kami utus sebelummuseorang Rasul melainkan kami wahyukan kepadanya : bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang sebenarnya melainkan aku, oleh yang demikian berbaktilah padaku Qs. Al-Annbiya; 21 : 25 ءﺎﯿﺒﻧﻻا Untuk sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat Makkiyah mendorong umat manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata disekitarnya sebagai bukti atas wujud dan kekuasaannya misalnya firman Allah :                       Artinya : “maka tidaklah mau mereka melihat kepada onta, bagaimana dijadikan ? dan melihat kepada langit bagaimana ditinggikan ? dan melihat kepada gunung- gunung bagaimna ditegakkan ? dan melihat kepada bumi bagaimana dihamparkan ? Qs. Al-Ghasiyah ; 88 : 17-20 17 ﺔﯿﺷ ﺎﻐﻟا 2. Sunnah Sunnah adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebagian para ulama berpendapat bahwa ada empat istilah di pandang dari segi bahasa :  Sunnah = jalan yang ditempuh  Hadist = baru pembicaraan  Khabar = berita pemberitahuan  Atsar = sisa peninggalan Keempat istilah diatas adalah sinonim, mempunyai arti yang sama, yaitu, ucapan perbuatan, dan pernyataan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan sebagian ulama ada yang membedakan sebagai berikut : a Kalau hadist adalah khusus menyangkut ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW, maka sunnah lebih luas, mencakup juga sifat-sifat lahiriyah maupun batiniyah, kebiasaan dan semua perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, baik sesudah kenabiannya ataupun sebelumnya. b Kalau hadits adalah sesuata yang datang dari Nabi muhammad SAW, maka khabar adalah yang datang selain dari nabi. 17 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005, Cet, II. h.81-82. c Atsar adalah sama dengan khabar dalam pengertian seperti di atas itu, tetapi ada pula pendapat yang menyatakan atsar sebagai sesuatu yang datang dari kalangan sahabat. 18 Sedangkan pengertian Sunnah menurut Prof. Drs. H. Suparman Usman, SH. Adalah : Pengertian secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut : ِﺬْﻨُﻤﻟا ْﻦَﻋ َﻢّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻲﻠَﺻ ُﷲا َلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ ِﮫْﯿِﺑَا ْﻦَﻋٍﺮْﯾِﺮَﺟ ِﻦْﺑ ِر ْنَا ِﺮْﯿَﻏ ْﻦِﻣ ُهَﺪْﻌَﺑ ﺎَﮭِﺑ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣُﺮْﺟَاَو ﺎَھُﺮْﺟَا ُﮫَﻠَﻓ ًﺔَﻨَﺴَﺣ ًﺔﱠﻨُُﺳ ِمِﻼْﺳِﻻا ْﻲِﻓ ﱠﻦََﺳ ْﻦَﻣو ا ﻲِﻓ ﱠﻦَﺳ ْﻦَﻣَو ٌﺊْﯿَﺷ ْﻢِھِرْﻮُﺟُا ْﻦِﻣ َﺺَﻘْﻨَﯾ ﺎَھُرْزِو ِﮫْﯿَﻠَﻋ َنَﺎﻛ ًﺔَﺌﱢﯿَﺳ ًﺔﱠﻨُﺳ ِمَﻼْﺳِﻻ ٌﺊْﯿَﺷ ْﻢِھِراَزْوَا ْﻦِﻣ َﺺَﻘْﻨَﯾ ْنَا ِﺮْﯿِﻏ ْﻦِﻣ ِهِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ﺎَﮭِﺑ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣُرْزِوَو ﺢﺤﺻ ﻢﻠﺴﻣ 19 Artinya : Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya. HR. Muslim Secara terminilogis dalam istilah syari’ah, sunnah dapat dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadits, ilmu fiqh, dan ilmu ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli hadits identik dengan hadits, yaitu : ْﯾِﺮْﻘَﺗْوَا ًﻼْﻌِﻓ ْوَا ًﻻْﻮَﻗ ْﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻲِﻠَﺻ ِّﻲِﺒﱠﻨﻠِﻟ َﻒْﯿِﺿُا ﺎَﻣ ﺎَھَﻮْﺤَﻧْوَا اًﺮ 18 Ardani, Qur’an-hadits, Jakarta, Depertemen Agama RI, 1986 h. 31 19 Ibnu Abdullah Muhammad bin Yadiz, Sunan Ibn Mazah, Bairut, Darul Fikr, 19901415 h. 80 Lihat juga : Soheh Muslim, Sirkatun Nur Ass’a, Zuz awal, h. 407 Artinya : Seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang sejenisnya sifat keadaan atau himmah. Sunnah menurut ahli Ushul Fiqh adalah ”segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”. Sedangkan sunnah menurut ahli ushul fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa tidak berdosa”. 20 Mengenai definisi sunnah ini, telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa tidak ada perbedaan pendapat dan tidak ada ulama yang menentangnya dan sunnah itu selain menjadi sumber hukum islam setelah al-Qur’an sunnahpun mempunyai fungsi terhadap al-Qur’an. Di antara fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah : - Sunnah menguatkan atau mengukuhkan hukum yang ada dalam al-Qur’an, seperti hukum mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, haji ke Baitullah, telah ditunjukkan oleh ayat-ayat al-qur’an lalu dikuatkan lagi oleh Sunnah Rasul. 20 Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama. h.44-45. - Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau bayan, memerinci yang mujmal dan yang mengkhususkan yang umum, seperti tata cara shalat, wasiat dengan sepertiga harta, beberapa barang yang wajib dizakati disebutkan dalam sunnah. Seperti disebutkan dalam firman Allah SWT :               ﻞﺤﻧا Artinya : “Keterangan-keterangan mukjizat dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. QS. An-Nahl 16:44 - Sunnah terkadang memberi hukum sendiri yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Qur’an, seperti keharaman memakan binatang yang bertaring dan bercakar, sebagaimana disebutkan dalam hadits : ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا ْﻦَﻋ َةَﺮْﯾَﺮُھ ْﻲِﺑَأ ْﻦَﻋ ْﻦِﻣ ِبﺎَﻧ ْيِذ ﱡﻞُﻛ َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻲﱠﻠَﺻ ٌماَﺮَﺣ ُﮫُﻠْﻛَﺄَﻓ ِعﺎﱠﺒَﺴﻟا ﻲِﺋﺎَﺴَﻨﻟا ُهاَوَر Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memekannya adalah haram HR. An-Nasa’i. 21 Semua hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah pada dasar dan pokoknya terdapat dalam Al-Qur’an, oleh karena itu tidak mungkin terjadi pertentangan antara hukum-hukum dalam sunnah dengan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an, dikarenakan sunnah sendiri itu untuk menjelaskan Al-Qur’an seperti terdapat dalam hukum positif bahwa itu semua harus hierarki artinya hukum atau landasan yang kedua itu tidak boleh keluar dari yang pertama dan disipun sudah menunjukan bahwa sunnah tidak keluar dari Al-Qur’an. Namun disini ada perbuatan-perbuatan Rasul yang khusus baginya dalam arti perbuatannya Rasul tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti beristeri lebih dari empat yang tidak bisa dijadikan landasan atau dasar hukum. B. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtilaf Di atas telah dijelaskan sumber-sumber hukum Islam yang ithifak, sekarang penulis akan menguraikan sumber-sumber hukum Islam yang ikhtilaf diantaranya adalah: 1. Ijma Lafad ijma pengertian menurut bahasa ialah azm cita-cita seperti dalam firman Allah SWT : 21 Saifudin Nur, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam, Bandung: Tafakur,2007. h.42. Lihat juga, Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005, Cet, II. h.124-125.                                                ............ ﺢﻟا ﺲﻧﻮﯾ Artinya : Tetapkanlah urusan kamu dan sekutu-sekutu kamu, QS. Yunus. 10:71 Sedangkan ijma menurut ulama ushul ushuliyin ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat islam pada suatu massa setelah kewafatan Rasulallah SAW, atas hukum syari mengenai suatu kejadian kasus. Maka apabila terjadi suatu kejadian dan diharapkan kepada semua mujtahid ummat islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma, dan dianggaplah ijma mereka atas suatu hukum mengenai suatu kejadian. 22 Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam buku Satria Efendi yang berjudul Usul Fiqh, mengatakan bahwa ijma adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma yang mengikat umat islam. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma ahl al-Madinah. 23 22 Abdul Wahab Khalap, Kaidah-Kaidah Hukum IslamIlmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, Cetakan Keenam, h.63-64. 23 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh Jakarta: Kencana Prenada Medi Group, 2005, Cet, II. h.125. Definisi di atas sudah jelas bahwa ijma adalah kesepakatan dengan suara bulat dari para ulama muslim ulama mujtahid. Dengan disepakatinya ijma sebagia sumber hukum islam yang ketiga setelah sunnah, berarti ijma merupakan suatu hukum yang kuat dalam sistem hukum islam dan mungkinkah dalam kontek sekarang ijma terjadi? Pengertian sebagai mana dimaksud tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa ke khalifahan Abu Bakar dan utsman, karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan mereka berkumpul pada suatu tempat, Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan mujtahid telah banyak dan terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk mengetahui bahwa mereka tahu tentang masalah yang akan di ijmakan tersebut, lagi pula faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat mereka tidak sama, hal lain yang tidak memungkinkan terjadinya ijma menurut pengertian di atas adalah kesukaran dalam menentukan mana yang mujtahid dan mana yang bukan. Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa ijma tersebut mungkin terjadi, dan kenyataannya, ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar seperti haramnya minyak babi, nenek mendapat seperenam dalam warisan, dan terhijabnya cucu laki-laki dalam warisan. 24 Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam, pada negara-negara tersebut walau penduduknya minoritas, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat islam. Misalnya : India, mayoritas penduduknya beragama hindu, hanya sebagian kecil 24 Alaiddin Koto, ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: Pt. Raja Grapindo Persada, 2004, h.80. yang beragama Islam, tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemetintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika kesepakatan para mujtahid India itu dikatakan sebagai ijma, maka ada kemungkinan akan terjadinya ijma pada masa Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma lokal. Dengan demikian ijma akan terjadi kalau para mujtahid yang ada di seluruh dunia itu dikumpulkan di suatu tempat oleh pemerintah ulil amri untuk mewakili negaranya dan disitu mereka diberi hak untuk membuat undang-undang yang mengatur kepentingan bersama. Sedangkan dalam pengumpulan itu para mujtahid harus memenuhi syarat- syaratnya diantaranya adalah : a Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an b Mumiliki pengetahuan tentang Sunnah c Menguasai bahasa Arab dan maqasid Al-Syariah. 2. Qiyas Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang dipakai oleh para mujtahid dalam upaya mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak disebabkan oleh nash secara tegas, dalam arti para ulama melakukan qiyas untuk menemukan suatu hukum yang belum ada dalam nash tetapi dihubungkan kepada peristiwa hukum yang sudah ada dalam nash. Qiyas secara lugot ialah mengira-ngirakan sesuatu kepada sesuatu masalah yang lain, sedangkan menurut istilah ialah dua asal Al-Qur’an dan cabang menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain di dalam hukum, seperti menyandarkannya perasan anggur kepada khammer di dalam haramnya dengan kumpulnya sesuatu yang memabukkan. 25 Qiyas menurut ulama usul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam dua illat hukumnya. 26 Sedangkan qiyas menurut Imam Syarifuddin Yahya adalah membalikkan cabang kepada asal di dalam hukum sohih yang syar’i karena ada illat yang kumpul di dalam hukum. 27 Dan Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati ialah mengembalikan cabang kepada asal dengan ill’at yang mengumpulkan antara asal dan cabang di dalam hukum seperti qiyasnya tanaman kepada gandum. 28 Qiyas sebagai salah satu metode penerapan hukum yang disistematisasikan ternyata mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan, sebelum adanya pembakuan oleh Asyafi’i dan Al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia 25 Syeh Ibrahim Al-Bajury, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, Semarang: Sarkatun Nu,r Asia, h.58. 26 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 1996, Cet Keenam. h.76. 27 Imam Syarifuddin Yahya al-Imriti, Lathoipul Isyarohj 28 Syeh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati, Syarah Waroqot, Semarang: Putra Semarang, h.22. masih dalam bentuknya yang bebas suatu penalaran liberal, spekulatif dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiyas sebagai penalaran hukum legal reasoning ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran ra’y, ia berlaku mulai pada masa Rasulallah sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abu Hanifah. 29 As-syafi’i adalah sebagai pendiri atau pencetus qiyas karena dari beliaulah qiyas mulai memakai aturan dan tidak liberal lagi. Adapun unsur atau rukun qiyas adalah : a Ashl, yakni sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi sandaran qiyas. Disebut juga dengan Al-Maqis Alayh atau Al-Musyabbahbih. Ashl ini harus berupa nash Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma. Disamping itu ia juga harus mengandung ill’at hukum. b Far’u cabang, sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya, yakni yang diqiyaskan, disebut juga dengan al-maqis atau dengan al-musabbah. Untuk cabang ini harus memenuhi syarat : 1. Cabang ini tidak mempunyai hukum yang tersendiri, 2. Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashl. 3. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashl, 4. Hukum cabang harus sama dengan hukum ashl. 29 Muhammad Roy, Usul Fiqh Madzhab Aristoteles, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004, h.6. c Hukum ashl, yakni hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hukum ashl harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : 1. Hukum ashl harus merupakan hukum yang amaliyah, 2. Huku ashl maknanya harus logis atau rasional, 3. Hukum ashl bukan hukum yang khusus, 4. Hukum ashl masih tetap berlaku, apabila sudah tidak berlaku lagi seperti sudah dimansukh, maka tidak bias dijadikan hukum ashl. d Illat hukum, yakni suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum harus memenuhi syarat-syarat berikut : 1. Illat itu harus merupakan sifat yang nyata seperti memabukan dapat diinderai adanya pada khamar. 2. Illat harus merupakan sifat tegas dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang, 3. Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum, dalam arti illat merupakan penerapan hukum untuk mencapai tujuan syari’at, seperti memabukkan ada kaitannya dengan keharaman khamar. 4. Illat bukan hanya terdapat pada ashl, sebab jika sifat itu hanya terbatas pada ashl tidak mungkin dianalogikan, seperti kakhususan Rasulullah tidak bias diqiyaskan kepada orang lain, dan 5. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang didahulukan. 30 3. Istihsan Dalam bahasa Arab istihsan berarti menganggap sesuatu itu baik, adapun term yang dipakai oleh ulama ushul adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang bersandar pada dalil syara menuju kepada hukum lain yang bersandar pada dalil syara pula, karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkan dalil tersebut. Dalam istihsan ada dua dalil dalam menetapkan hukum suatu hal atau peristiwa : 1 Dari segi dalil yang di tinggalkan dan dalil yang dipakai a Dari qiyas jaliy menuju qiyas khafry Misalnya : menurut qiyas, hak pengairan dan jalan lintas yang ada dalam tanah pertanian yang diwakafkan, tidak termasuk yang diwakafkan jika tidak disebutkan dengan jelas Menurut qiyas jaliy itu disamakan dengan jual beli, dalam jual beli, hak jalan lintas dan pengairan tidak termasuk dan begitu pula dalam wakaf. 30 Saifudin Nur, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam, Bandung: Tafakur,2007, h.51-52. Sedangkan dalam qiyas khafiy itu disamakan dengan sewa menyewa, dalam sewa menyewa tanah pertanian hak jalan lintas dan pengairan itu termasuk karena tujuannya tidak untuk memiliki, begitu juga dengan wakaf. b dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian Misalnya : orang yang dititipi barang lalu barang tersebut hilang dengan kelalainnya maka orang tersebut harus menggantinya. Kecuali sang ayah dititipi oleh sang anak. 2 Dari segi sandaran istihsan, yaitu : a Dasar yang berupa qiyas, seperti contoh di atas. b Dasar berupa nash, seperti larangan menjual barang yang belum jelas atau tidak ada, tetepi dalam istihsan itu diperbolehkan untuk salam memesan terlebih dahulu. c Dasar yang berupa kebiasaan, seperti pemesanan barang, yang seharusnya tidak sah, karena barangnya belum ada, akan tetapi menurut istihsan itu diperbolehkan. Golongan Hanafiah istihsan dijadikan hujjah atau dalil hukum, begitu juga sebagian besar golongan Malikiyah dan Hanabilah menggunakan istihsan dalam menetapkan suatu hukum. Adapun Imam Syafi’i mengingkari istihsan sebagai hujjah dan barang siapa yang beristihsan berarti ia telah mengadakan syariat sendiri, sedangkan yang berhak mengadakannya hanyalah Allah dan Rasul-nya. 4. Mashlahah Mursalah Mashlahah mursalah adalah kebaikan kemaslahatan yang tidak disinggung- singgung syara secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat. Dalam mashlahah mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut : a. Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak berubah. b. Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya. c. Mashlahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat. Imam Malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan mashlahah mursalah, beliau beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasulnya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Contoh dari mashlahah mursalah : - Dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada nash yang melarang mengumpulkan al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian para Sahabat di zaman Abu Bakar untuk menulis dan mengumpulkannya untuk kemashlahatan ummat yang saat itu Sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang meninggal. - Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, waris dan lain-lain. 5. `Urf ’Urf adalah apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, dengan kata lain adalah adat kebiasaan. Seperti kebiasaan dalam ucapan walad yang biasanya diartikan untuk anak laki-laki. Secara garis besar ’urf di bagi menjadi dua : 1. ’Urf yang benar shahih, yakni adat kebiasaan yang tidak menyalahi ketentuan syara seperti membayar mahar maskawin di muka. 2. ’Urf yang rusak fasid, yakni adat kebiasaan yang berlawanan dengan ketentuan syara, atau membawa kerusakan seperti membiasakan transaksi-transaksi yang bersifat riba. Ada beberapa alasan pengambilan ’Urf, yaitu : a. Syariat Islam dalam menetapkan hukum juga mempertahankan kebiasaan yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat kafa’ah dalam perkawinan. b. Apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup yang dibutuhkan selama mengandung kebaikan dan kemaslahatan.

BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN