Biografi Imam Syafi’i Nasab Imam Syafi,i

BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN

AKAL TERHADAP ISTIMBAT HUKUM ISLAM

A. Biografi Imam Syafi’i Nasab Imam Syafi,i

Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin Abduyazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusha bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulah bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai. Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i, istrinya Hamidah binti Nafi bin Usman bin Affan. Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i asal keturunan Quraisy, Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, wilayah Palestina pada jum’at akhir pada bulan Rajab. Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanyapun menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya. . 31 31 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta, Pustaka Azzam, 2005. h. 3-9 Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandug: PT. Al-Ma’arif, 1981, Cet, Kedua, h.50. Mahmud Salthut, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000,Cet. Kesatu h.17. Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru menajarkan sesuatu kepada murid- muridnya, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapatkan upah. Setelah menginjak umur yang ketujuh, Syafi’i telah menghafal seluruh Al Qur’an dengan baik. Syafi’i bercerita, “ketika saya mengkhatamkan Al Qur’an dan memasuki masjid, saya duduk di majelis ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih. Pada saat itu, rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang sehingga dapat saya gunakan untuk menulis.” Ketika menginjak umur 13 tahun, ia juga memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang di Masjidil Harram, ia memiliki suara yang sangat merdu. Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahhar bin Nasr, ia berkata, “apabila kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama kami”, pergilah kepada pemuda kahfi” apabila kami telah sampai kepadanya, ia mulai membuka dan membaca Al- Qur’an sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang berjatuhan dihadapannya karena kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan kemerduan Lihat juga : Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, Bairut Libanon, Darul Fikr, 2009M1429H, Zuz Awal, h. 4 Muhammad bin Idris bin Syafi’i, Al-Umm, Darul Wafa, 20051426, h. 6 suara yang dimilikinya, sedemikian tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga banyak terkesan bagi para pendengarnya.” Ia kemudian mulai belajar menghapal banyak hadits, untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadist. Pada masa itu harga kertas sangat mahal, untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan- kepingan tulang yang lebar dan besar, di atas tulang belulang itulah ia menulis catatan- catatannya. Bila tak ditemukan tulang, ia pergi ke Diwan tempat masyarakat mencatatkan berbagai urusannya dalam kehidupan sehari-hari, semacam kantor untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk menulis catatan pelajaran. Sulit baginya untuk dapat memperoleh kertas, karena itu ia lebih menghandalkan ingatan melalui cara menghapal. Karena kebiasaan itulah As-Syafi’i memiliki daya ingat yang amat kuat, sehingga dapat menghapal semua pelajaran yang diterima dari guru- gurunya. 32 Guru-Guru Imam Syafi’i 1. Muslim bin Khalidaz-Zanji Mufti Mekkah tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 760M, ia adalah Maula budak Bani Makzum. 2. Sufyan bin Uyai’inah Al-Hillali yang berada di Mekkah, ia adalah salah seorang yang terkenal ke-Tsiqahannya jujur dan adil. 3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang Madinah. 32 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999, h.383. 4. Malik bin Annas. Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muattho’ kepada Imam Malik setelah ia menghapalnya diluar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun 795 M. 5. Waki’ bin Jarrah bin Malik Al Kuf’i 6. Hammad bin Utsama al Hasyimi Al Kufi 7. Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bassri 33 8. Muhammad bin Syafi’i paman beliau sendiri 9. Abbas kakeknya Imam As-Syafi’i 10. Fudhail bin Iyadl, 11. Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslamy Al-Madany 12. Muhammad bin Hasan Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman diantaranya : 1. Mutharif bin Mazin 2. Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi Di dalam Ar-Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri yang dipeganginya, ialah : a Al-qur’an menurut Dhahirnya, b As Sunnah walaupun ahad c Ijma dan d Qiyas As-Syafi’i telah dapat mengumpulkan antara Tariqhat Ahlul Ra’yi dengan Thariqhat Ahlul Hadits, lantaran itu menjadilah mazhabnya tidak terlalu cenderung 33 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm , Jakarta: Pustaka Azzam, 2005. h.3-9. kepada ahlul hadits dan tidak terlalu cenderung kepada ahlul ra’yi. Beliau menerima Al- Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas dan Al-Istidlal. Tetapi menolak Istihsan yang dipegang oleh Abu Hanifah dan maslahah Mursalah yang dipegang oleh Malik. Diantara kitab As- Syafi’i yang terpenting yang sampai kepada kita adalah : Ar Risalah, dalam bidang Ushul Fiqh, Al Umm dalam bidang Fiqh, Mukhtaliful Hadits dan Musnad dalam bidang Hadits. Sahabat-sahabat As-Syafi’i dan pengembang-pengembang madzhabnya. Pengikut-pengikut As-Syafi’i banyak tersebar di Hijaz, Irak, Mesir dan di daerah- daerah lain. Diantara sahabat-sahabatnya yang terkenal di mesir ialah : - Abu Ya’qub Yusuf ibn Yahya Al Buwaithi - Abu Ibrahim Isma’il ibn Yahya Al Muzani wafat 264 H - Ar Rabi’ ibn Sulaiman ibn Abdil Jabbar Al Muradi wafat 270 H - Ar Rabi’ ibn Sulaiman Al Jizi wafat 256 H Kemudian madzhab beliau dikembangkan oleh beberapa ulama terkenal, diantaranya : - Abu Ishaq Al Fairuzzabidi 476 H - Abu Hamid Al Ghazali 505 H - Abdul Qasim Ar Rafi’i 623 H - Izuddin ibn Abdis Salam 9660 H - Muhyiddin An Nawawi 676 H - Ibnu Daqiqil Id 702 H Pada masa sekarang ini madzhab Syafi’i berkembang di Palestina, Yordania, Libanon, Syria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, dan Jazirah Indo Cina. Juga orang-orang Persia dan Yaman yang sunni bermadzhab dengan madzhab As-Syafi’i sekitar 100 juta ummat islam menganut madzhab As-Syafi’i. 34 Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik yang paling disayang, sehingga beliau tinggal di rumah Imam Malik dan kehidupan beliau pun dibiayai oleh Imam Malik. Sampai beliau kembali ke Mekkah tahun 181 H, beliau dipandang sebagai penganut mazdhab Maliki, karena selama beliau berada di Irak, Syiria, Palestina yaitu di kota Ramlah beliau masih mengajarkan kitab muwaththa’ karangan Imam Malik. Terus beliau mempelajari fiqh Irak sebagai bahan pengembangan mazdhab Hanafi dan beliau langsung belajarnya kepada ulama besar yaitu Muhammad bin Hasan, dari kedua mazdhab yang beliau kuasai ternyata masih terdapat kekurangan-kekurangan, dari kekurangan- kekurangan itulah beliau langsung mengadakan analisa dan sintesa antara kedua pendapat itu. Kemudian beliau menetapkan pokok-pokok pikirannya dalam mengistimbatkan hukum. 35 Pokok-pokok pikiran beliau ini terbentuk setelah beliau kembali ke Mekah tahun 181 H , kemudian dikembangkan di Bagdad dan Mesir. Beliau mengarang atau menilis buku-bukunya itu merupakan kumpulan dari pokok-pokok pikiran beliau sehingga sangatlah mudah dalam mencari bahan-bahan dalam mempelajari mazhabnya. 34 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1999, h.123-125. 35 Muslim Ibrahim, M.A, Pengantar Fiqih Muqaaran, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1991, Cet. II h. 94.

B. Biografi Imam Ja’far As-Siddiq Nasab Imam Ja’far As-Siddiq