Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Arab sebelum Islam adalah komunitas tradisional atau suku-suku yang dipimpin oleh kepala keluarga atau sesepuh. Mereka saling mengenal, mengetahui asal- usul dan kebiasaan sosial masing-masing, inilah yang disebut masyarakat tatap muka. Masyarakat Arab kemudian berubah peradabannya menjadi sistem pemerintahan kerajaan. Contoh terbaik dari jenis peradaban seperti kerajaan Umayyah dan Abbasiyah. Selama pemerintahan Abbasiah, masyarakat tengah berusaha mempelajari berbagai naskah tentang filsafat logika, etimologi, karya sastra dari berbagai penjuru dan bahkan karya-karya dari luar dunia Islam. 1 Dengan masuknya karya-karya dari luar ke dunia Islam maka sedikit demi sedikit perkembangan dunia Islam mulai terlihat, hal ini tidak bisa dipungkiri. Masyarakat mulai menggunakan logika sebagai alat untuk mencari suatu hukum yang memang belum ada dalam nash, dan bentuk argumen yang terpenting dikelompokkan dalam Qiyas tentu Anologi, yang merupakan pola dasar dari semua argumen hukum, dalam pikiran sebagian teolog dan fuqaha, menjadi pola dasar dari semua argumen logis. 2 Berpikir atau berfilsafat penting sekali dalam mempelajari agama, oleh karena itu manusia telah banyak melakukan kekeliruan-kekeliruan dalam berpikir, maka ia telah 1 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukun Allah Syariah, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002, Cet, Pertama, h.96. 2 Wael B. Hallq, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001, Cet, Kedua, h.122. dapat pula mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindarkan diri mereka dari kekeliruan-kekeliruan dan mereka mulai melakukan penerjemahan. Kegiatan menerjemahkan itu semarak pada zaman Al-Ma’mun, beliaulah yang telah berusaha meningkatkan penerjemahan yang sistematis dan menentukan dengan cara mendirikan Bait Al-Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan penelitian yang lengkap, dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para ilmuwan. Dengan kegiatan penerjemahan itu sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, Platinus karangan dalam ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya dibaca oleh para ulama-ulama yang tersebar, tidak hanya di Baghdad tetapi di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Dalam bidang filsafat muncullah para filosof seperti Ibnu Sina, Al- Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Rasyid, pemikiran filsafat Yunani, yang mempengaruhi pemikiran mereka adalah yang berasal dari pemikiran Aristoteles, Plato. 3 Terlebih lagi, setelah terjadinya penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, maka filsafat Yunani, menjadi tidak asing lagi di kalangan para ulama maupun di kalangan para akademisi muslim. Dengan bahasa lain, tradisi filsafat Yunani banyak memberikan pengaruh dalam cabang-cabang keilmuan islam dan adanya unsur-unsur Yunani ini bukan berarti semua hukum Islam itu merupakan hasil adopsi dari Yunani, melainkan hanya beberapa sisi saja, yaitu unsur-unsur yang tidak didapatkan secara tegas dalam sumber hukum islam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan itupun bila tidak bertentangan dengan semangat Islam, seperti konsep qiyas yang berada dalam ushul fiqih. 3 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Dirasah Islamiyah IV, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2001, Cet. Kelima, h.53. Qiyas secara umum diartikan sebagai analogi baik menganalogikan kepada hukum, alam ataupun kepada benda-benda lainnya, dengan diartikannya qiyas sebagai analogi sehingga : 1 Keempat aliran hukum Islam sepakat bahwa semua masalah yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an, Sunnah maupun Ij’ma, hukumnya dapat disimpulkan dari apa yang telah didasarkan pada tiga otoritas ini dengan menggunakan qiyas, yang secara umum diterjemahkan dengan analogi. Seperti ulama Hanafiah mendefinisikannya sebagai perluasan hukum dari nash asli ke dalam proses yang digunakan pada suatu kasus tertentu dengan memakai illat umum, yang tidak dapat diketahui jika hanya dengan menafsirkan bahasa yang dipakai oleh nash. 4 2 Al-Mazani mengatakan bahwa para ahli fiqh pada zaman Rasulullah SAW, sampai zaman sekarang dan seterusnya nenpergunakan qiyas dalam berbagai permasalahan fiqih, mereka sepakat bahwa sesuatu yang setara dengan kebenaran adalah kebenaran, dan yang setara dengan kebatilan adalah kebatilan. Maka, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk mengingkari qiyas, dimana Qiyas sebagai perumpamaan dengan beberapa perkara dan mengambil simpel-simpel contoh-contoh yang sesuai dengannya. 5 3 Tetapi menurut pandangan Syi’ah adalah bahwa karena Qiyas analogi merupakan dugaan dan terkaan murni, dan karena jumlah keseluruhan apa yang telah diterima oleh Nabi, dan para Imam memadai untuk tanggung jawab 4 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan System Hukum Islam, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana, h.107. 5 Ibnu Qayyim Al-jauziyyh, Panduan Hukum Islam, Jakarta: PT. Pustaka Azzam, 2000, Cet, Pertama, h.169. semua, perujukan pada analogi dilarang keras. 6 Jadi di sini aliran Syi’ah tidak menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum setelah ijma tetapi menggunakan akal, bahkan mereka melarang dalam penggunaan analogi Qiyas. Definisi di atas menunjukan kepada fakta bahwa ada dua golongan yang berbeda dalam menentukan atau menetapan isthinbat sumber hukum Islam setelah ijma, yang satu menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum Islam dan yang satu lagi melarang menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum. Kata Isthinbat berasal dari bahasa Arab, fi’il madinya nabatha artinya keluar, sedangkan fi’il amarnya adalah istimbat mengikuti wajan istap’ala yang mengandung arti menetapkan atau mengeluarkan. 7 Penetapan yang dimaksud disini adalah menetapkan berdasarkan ijtihad. Fiqih Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist, namun memahami maksud- maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis itu berbeda-beda, dan disamping itu tentunya para Imam Mazhab berbeda-beda juga kemampuan dan lingkungan yang mempengaruhi mereka berpikir. Selain itu tolak ukur mempunyai corak dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip profesi, ilmu, dan kaidahnya. Misalnya, tolak ukur para ahli fiqih tidak serupa dengan tolak ukur para dokter, tolak ukur para ahli astronomi berbeda dengan tolak ukur ahli nahwu dan ahli ilmu kalam, serta tolak ukur ahli filsafat dan mantiq tidak sama dengan tolak ukur tukang debat, demikian pula tolak ukur mereka dalam masalah-masalah fisika dan ketuhanan berbeda-beda. sesuai dengan perbedaan 6 Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: PT. Pustaka Zahra, 2003, Cet, Pertama, h.18. 7 A. Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: PT. Pustaka Progresif, 1997, Edisi II, Cet Keempat Belas h. 1379 orientasi ilmiah masing-masing, walaupun obyek kajian mereka sama, maka akan tetap terjadi perbedaan diantara mereka karena masing-masing berpikir dengan metode ilmiah yang berbeda. 8 Perbedaan pendapat yang timbul dari fakto-faktor di atas, bukanlah berarti menunjukan kelemahan, bahkan adalah sebagai pertanda ketinggian dan kematangan mereka berpikir. Begitulah para fukaha pada masa yang lampau apabila terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam suatu masalah dan tidak mungkin mempertemukan semua pendapat itu, maka tiap-tiap orang berpegang pada pendapatnya masing-masing dan selalu menghormati pendapat orang lain, dengan tanggapan kemungkinan pendapat yang dikiranya benar itu salah dan kemungkinan pendapat yang dikiranya salah itu benar. 9 Seperti perbedaan pendapat tentang metode cara yang digunakan dalam penggalian hukum Islam walau mereka fuqaha sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai sumber hukum Islam yang paling utama. Akan tetapi, dalam perkembangannya, terdapat perbedaan pendapat antara aliran Sunni dan Syi’ah dalam menentukan sumber hukum Islam setelah ijma. Kategori ulama Madzhab Sunni jauh sekali perbedaannya dengan ulama Mazdhab Syi’ah. Ulama Mazdhab Sunni mendudukkan Qiyas pada urutan ketiga setelah Al-Qur’an, dan Al-Hadis, sedangkan Ulama Mazdhab Syi’ah setelah Al-Hadist ditempati dengan akal. Untuk itu, Dengan adanya ungkapan di atas maka penulis merasa perlu sekali untuk membahas serta meneliti tentang pengaruh akal dalam menentukan sumber hukum Islam yang sangat berbeda antara Imam Syafi’i dan Imam Ja’far, keduanya dari 8 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: PT. Logos, 1996, Cet pertama, h.2-3. 9 .M. Asywadie Syukur,Lc, Perbandingan Mazhab, Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1994, h.44. aliran yang berbeda, Imam As-Syafi’i itu dari aliran Sunni sedangkan Imam Ja’far Ash- Siddiq itu dari aliran Syi’ah, serta bagaimana konsep akal yang digunakan oleh kedua imam tersebut . Bagi penulis ini semua adalah sebagai upaya pengetahuan dan perkembangan dalam bidang ilmu serta hukum yang dipakai oleh kedua imam tersebut yang memang alirannya berbeda.

B. Pembatasan Perumusan masalah 1. Pembatasan Masalah