24
mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam melangsungkan perkawinan, perceraian dan akibat hukum bagi anak dan keturunannya sekaligus pula memberi
masukan kepada praktisi hukum yang terlibat dalam penyelesaian sengketa perkawinan dan proses perceraian.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara USU Medan, dan sejauh yang diketahui terdapat sebuah hasil penelitian dengan judul Tanggung
Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Medan oleh Fransisca M.U.Bangun037011028 dengan permasalahan
yang dibahas, antara lain : 1
Bagaimana putusan pengadilan negeri menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian.
2 Upaya apakah yang dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban
terhadap anak sesuai putusan pengadilan 3
Apakah yang menyebabkan kesulitan dalam menjalankan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah
perceraian. Dari ketiga permasalahan tersebut terlihat bahwa ketiganya berbeda dengan
permasalahan yang dijadikan rumusan masalah dalam penelitian ini. Dengan
Universitas Sumatera Utara
25
demikian, penelitian tentang “KAJIAN YURIDIS HAK PEMELIHARAAN ANAK SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Studi Kasus Terhadap Putusan Perdata No. 101Pdt.G2009PNMDN” memang pernah
dilakukan namun dengan kasus yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya, artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan
kemurniannya, karena walaupun telah pernah dilakukan, namun dalam kasus yang berbeda dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.
6
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya”.
7
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahanpetunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal . 6.
7
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal 203.
Universitas Sumatera Utara
26
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.
Apabila dikaitkan
dengan permasalahan
yang menjadi
pokok masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. Perkawinan adalah
suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi kedua pihak, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal bersama, saling setia, kewajiban memberi nafkah lahir dan batin, hak waris dan lain
sebagainya. Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud
konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan berkurangnya penderitaan”.
8
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan rechtsgerechtigheid,
kemanfaatan rechtsutiliteit
dan kepastian
hukum
8
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
27
rechtszekerheid.”
9
“Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University
pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan justice”.
10
Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” the
end of justice is to secure from injury .
11
Menurut Satjipto Raharjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan
keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai
hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.
12
Kesemua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang hak pemeliharaan
anak setelah terjadinya perceraian dengan mengambil contoh satu putusan pengadilan. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni
sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
9
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85
10
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar
, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University
Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244
11
Ibid ., hal 244.
12
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, Bandung, 2000, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
28
“Nikah kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut majazi atau arti hukum ialah akad perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita”.
13
Sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang
memenuhi syarat-syarat tertentu disebut Perkawinan. Suatu kepercayaan yang diyakini oleh sebagian besar manusia di dunia,
bahwa lahir, kawin dan mati adalah kodrat manusia. Perkawinan selalu membawa harapan akan kebahagiaan bagi para pihak yang terikat di dalam perkawinan dan
tidak seorang pun di dunia ini mengharapkan perkawinan akan membawa petaka dalam hidupnya. Namun dapat saja terjadi keadaan yakni harapan tidak sesuai dengan
kenyataan. Ahmad Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan
dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaasiin ayat 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun ayat 27, bahwa “perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang
mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang
berbeda dengan rahasia yang diberikan kepada lawan jenisnya”.
14
13
Musfir Husain Aj-Jahrani, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, Tahun 1996, hal. 13
14
Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta, Tahun 2001, hal. 54
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa, “perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam
sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di bumi”.
15
Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam “perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang
sangat kuat mitsqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah”.
16
Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 UU Perkawinan, tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan
menurut Undang-undang Perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
rumah tangga yang bahagia kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Salah satu asas yang dianut oleh Hukum Perkawinan Nasional adalah
mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama khususnya agama Islam, karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan
perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian salah satu pasangan
suami isteri, sebab hal ini merupakan takdir dari Allah SWT, yang tidak dapat dielakkan.
15
Abdul Azis Dahlan, Ed., Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiyar Baru van Hoeve, Jakarta, Tahun 2006, hal. 156
16
Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, Tahun 2005, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
30
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari
kehidupan bersama suami istri. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap
utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan suatu perceraian. Tidak selalu perkawinan
yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik tetapi pada akhirnya terpaksa
mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinannya. Mengenai definisi perceraian, UU Perkawinan tidak memberikan perumusan
tentang perceraian, namun tidaklah berarti bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan kemungkinan akan terjadinya perceraian.
Pasal 39 ayat 1 UU Perkawinan menentukan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Happy Marpaung memberikan perumusan perceraian sebagai suatu bentuk “pembubaran
perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang benar dan ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
31
dengan suatu putusan pengadilan”.
17
Abdul Manan mengutip dari H.A. Fuad Said yang menyatakan “perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena
tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami”.
18
Berdasarkan uraian
di atas,
dapat diketahui
bahwa perceraian
merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang suami atau istri dengan tujuan mengakhiri hubungan perkawinan ketika kedua suami istri masih
hidup. Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang
suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa ketentuan hukum, baik yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI.
Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 2 dua karakteristik, yaitu sebagai berikut :
1. Akibat Cerai Talak