PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA OLEH ANGGOTA POLRI (Studi Putusan No : 283/pid.B./2011/PN.Menggala)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA OLEH ANGGOTA POLRI

(Studi Putusan No : 283/pid.B./2011/PN.Menggala) Oleh

Holdin Rifai

Tindak pidana pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja maupun tidak, menghilangkan nyawa orang lain. Salah satunya adalah tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan senjata api oleh anggota kepolisian kepada masyarakat sipil yang di lakukan terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie kepada koban Sahab bin Ahmad Syukri. Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun. Hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan sebagai berikut: a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri. b) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Sumber data penelitian ini data primer dan data sekunder. Populasi dalam penelitian ini adalah melingkupi Pengadilan Tinggi dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Peneliti menggunakan metode proporsional purposive sampling dalam menentukan sampel. Pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh di olah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interprestasi dan sistematisasi. Data yang di oleh dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa: a) Pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatan atau kesalahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie dalam perkara ini dapat disimpulkan mampu bertanggung


(2)

dipersidangan berada dalam kondisi sehat jasmani dan rohani. b) Hakim dalam memberikan atau menjatuhkan pidana terhadap pelaku atau terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie kepada korban Sahab, didasarkan oleh ketentuan Pasal 183 dan 184 KUHAP, serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yuridis.

Peneliti menyarankan Tujuan pemidanaan bukanlah balas dendam melainkan lebih dimaksudkan sebagai pendidikan agar terdakwa benar-benar menyadari kesalahannya dan penegak hukum khususnya Hakim, harus lebih bijaksana dalam menegakan supremasi hukum.


(3)

(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA OLEH ANGGOTA POLRI

(Studi Putusan No: 283/Pid.B/2011/PN.Menggala)

(Skripsi)

Oleh HOLDIN RIFAI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian….…………... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ………... 7

D. Kerangka Teori dan Konseptual.. ………..…. 8

E. Sistematika Penulisan... ………... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana... ……. 19

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana……... .……… 21

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pembunuhan... ……… 23

D. Dasar Pertimbangan Hakim... ……… 28

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ……….... 35

B. Sumber dan Jenis Data... ………. 35

C. Populasi dan Sample Penelitian... ………. 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... ………. 38

E. Analisis Data... ………. 40

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden……… 41

B. Gambaran Umum Putusan Negeri Menggala No. 283/pid.B./2011/PN.MGL. ……... ………...…….. 42


(8)

PN.MGL) ……...………. 44 D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam MenjatuhkanSanksi

Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana Oleh Anggota Polri (Studi Putusan No. 283/pid.B./2011/PN.

MGL)…...……….….…………. 52

V. PENUTUP

A. Kesimpulan…….……….. 68

B. Saran…...………. 71


(9)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembunuhan merupakan kejahatan yang sangat berat dan cukup mendapat perhatian di dalam kalangan masyarakat. Berita di surat kabar, majalah dan surat kabar online sudah mulai sering memberitakan terjadi nya pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan di kenal dari zaman ke zaman dan karena bermacam-macam faktor. Zaman modern ini tindak pidana pembunuhan malah makin marak terjadi. Tindak pidana pembunuhan berdasarkan sejarah sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri.

Tindak pidana pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja maupun tidak, menghilangkan nyawa orang lain. Perbedaan cara melakukan perbuatan tindak pidana pembunuhan ini terletak pada akibat hukum nya, ketika perbuatan tindak pidana pembunuhan ini dilakukan dengan sengaja ataupun direncanakan terlebidahulu maka akibat hukum yaitu sanksi pidana nya akan lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa ada unsur-unsur pemberat yaitu direncanakan terlebidahulu. Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal 338 KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu


(10)

(voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan. Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud Pasal 338 itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanan itu ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan.

Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu. Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi didalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku).

Pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku, namun dalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan, sehingga dalam pelaksanaan nya pelaku akan lebih mudah


(11)

membunuh korban.1 Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada

dasarnya mengandung tiga unsur/ syarat:2

1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.

3. Pelaksanaan kehendak ( perbuatan ) dalam suasana tenang.

Pembunuhan berencana mempunyai unsur-unsur, yang pertama unsur subyektif yaitu dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu dan yang kedua unsur obyektif terdiri atas, Perbuatan : menghilangkan nyawa, Obyeknya : nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan salah satu tindak kejahatan pelanggaran hak asasi manusia karena teleh menghilangkan suatu hak dasar yang melekat pada diri seseorang baik sebelum dilahirkan didunia maupun didalam kandungan yaitu hak untuk hidup.

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.3

Dampak dari suatu kejahatan/pelanggaran adalah pertanggungjawaban pidana, adapun definisi dari pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.4 Manusia

mempunyai hak untuk hidup bahkan pelaku tindak pidana pembunuhan pun mempunyai hak untuk hidup. Sanksi terberat pada kejahatan pembunuhan di

1

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/analisis-pidana-atas-pembunuhan-pokok.html

2

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana

3

Roeslan saleh,perbuatan dan pertanggung jawaban pidana.(Jakarta:aksara baru,1981),hlm 80

4


(12)

Indonesia adalah hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan. Terlihat jelas ada suatu perlindungan hukum yang diberikan oleh negara untuk melindungi hak untuk hidup, akan tetapi pada pelaku tindak pidana pembunuhan kebanyakan hanya dihukum lebih ringan dari ancaman hukuman yang berlaku di negara kita ini.

Hukuman yang pantas untuk pelaku tindak pidana pembunuhan berencana yaitu hukuman mati, sanksi terberat yang berlaku dalam suatu peraturan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur salah satu nya tentang tindak pidana pembunuhan ini yang tertuang pada Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Ancaman terberat pada tindak pidana kejahatan terhadap nyawa adalah pembunuhan berencana yang tercantum pada Pasal 340 KUHP yang menyatakan:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebidahulu merampas nyawa orang lain,diancam karena pembunuhan dengan rencana,dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,paling lama dua puluh tahun”

Ketika merujuk pada pasal ini jelas ancaman hukuman maximal nya adalah hukuman mati dan paling rendah yaitu selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun, namun pada kenyataan nya hal tersebut tidak terealisasi sebagai mana aturan nya. Tindak pidana pembunuhan berencana, termasuk pula dalam masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam. Salah satunya adalah tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan senjata api oleh anggota kepolisian kepada masyarakat sipil yang di lakukan terdakwa Avit Kurniawan bin


(13)

Sofyan Arie selanjutnya disebut sebagai terdakwa, pada hari selasa Tanggal 19 bulan April Tahun 2011 sekitar pukul 17.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih termaksuk dalam bulan April Tahun 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam Tahun 2011, bertempat didusun Sri Agung RT.014 RW.005 Kampung Gunung Menanti Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Pengadilan Negeri Menggala berwenang mengadili perkaranya, telah melakukan perbuatan “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebidahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dan selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Perbuatan ini dilakukannya kepada koban Sahab bin Ahmad Syukri. Perbuatan ini dilakukan oleh terdakwa kepada korban dengan cara menembakan peluru dari senjata api yang di bawa terdakwa ketubuh korban berkali-kali sehingga korban meninggal dunia, hal ini terjadi karena ada perselisihan antara terdakwa dan korban sebelum kejadian penembakan itu terjadi.

Jaksa penuntut umum mendakwakan terdakwa dengan dakwaan subsidairitas, yaitu dakwaan primeir: Pasal 340 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebidahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dan selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”, dakwaaan

subsidair: Pasal 338 KUHP “ Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas


(14)

mati, diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun”. Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun penjara dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan kemudian membayar restitusi yang di ajukan sebanyak 841.600.000 rupiah. Hakim menjatuhkan sanksi pidana lebih ringan kepada terdakwa dibandingkan dengan tuntutan jaksa yaitu pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan mengabulkan restitusi kepada pemohon restitusi tersebut sebesar 11.600.000 rupiah.

Putusan hakim ini jauh lebih rendah dari tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum sedangkan pelaku pembunuhan berencana ini adalah seorang anggota polri yang seharus nya menjunjung tinggi supremasi hukum, tetapi pada kasus ini seorang anggota polri tersebut melakukan perbuatan melawan hukum, yang seharusnya sanksi pidana nya jauh lebih berat dibandingkan putusan hakim yaitu 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan uraian, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pembunuhan Berencana Oleh Anggota Polri”. Studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah diatas yang diuraikan sebelumnya maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL ?


(15)

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL ?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini terbatas pada kajian hukum pidana, khususnya pada pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri studi putusan No 283/pid.B./2011/PN.MGL, sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Menggala, Kejaksaan Negeri Menggala, Polres Tulang Bawang, Lembaga Pemasyarakatan Raja Basa, dan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Penelitian dilakukan pada tahun 2013.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu:

a. Secara teoritis penelitian ini di harapkan berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir dan dapat menjadi salah satu


(16)

referensi, khususnya mengenai pertanggung jawaban tindak pidana pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri

b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

D. Kerangka Teori dan Konsepsual 1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka/acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi5. Setiap penelitian selalu

disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan kontruksi data. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.6

Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Orang yang mampu bertanggung jawab harus mempunyai 3 (tiga) syarat,7 yaitu:

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

5

Soerjono soekanto,penelitian hukum normatif.(Jakarta:rajawali press,1984),hlm 123.

6

Roeslan saleh,perbuatan dan pertanggung jawaban pidana.(Jakarta:aksara baru,1981),hlm 80

7


(17)

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan.

Kesalahan pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa).Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak pidana.

Sifat pertama dari kesengajaan menurut EY Kanter dan SR. Sianturi, adalah dolus malus, yakni dalam hal seseorang melakukan tindakan pidana tidak hanya seseorang itu menghendaki tindakannya, tetapi ia juga menginsyafi tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana; dan kedua: kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana tertentu cukuplah jika atau hanya


(18)

menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (batin) dengan tindakannya tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Sengaja diartikan sebagai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada 2 (dua) teori yang berhubungan dengan kesengajaan yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan (teori membayangkan). Teori kehendak memandang bahwa sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.8

Menurut paham teori pengetahuan (teori membayangkan) memandang bahwa sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu tidak dibuat. Selain kesalahan yang didasarkan pada unsur kesengajaan, unsur lain yang dipenuhi oleh pelaku agar dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana secara umum adalah unsur kelalaian atau kealpaan (culpa).

Menurut hukum pidana umum, dikatakan lalai atau alpa harus memiliki karakteristik dengan sengaja melakukan sesuatu yang ternyata salah atau dengan kata lain bahwa pelakunya kurang kewaspadaan dalam melakukan sesuatu hal sehingga mengakibatkan penderitaan atau kematian pada orang lain. Dalam hal lalai atau alpa, pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi dari perbuatannya itu, tetapi ia merasa dapat mencegahnya. Oleh sebab pelaku tidak mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu itu, maka terhadapnya dapat

8


(19)

dipertanggungjawabkan secara pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum. Kelalaian pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan kekurangan kebijaksanaan. Sehingga jika dipandang dari kealpaan yang disadari, ada kelalaian yang berat dan ada kelalaian yang ringan. Kealpaan yang disadari, pelaku dapat atau mampu membayangkan atau memperkirakan akibat yang ditimbulkan perbuatannya namun ketika melakukan tindakannya, tetap saja menimbulkan akibat fatal kepada orang lain walaupun sudah ada tindakan pencegahan dari pelaku. Kelalaian yang tidak disadari bilamana pelaku tidak dapat atau tidak mampu menyadari atau tidak memperkirakan akan timbulnya sesuatu akibat.

Baik kesengajaan (dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) menurut hukum pidana merupakan suatu perbuatan kesalahan. Oleh sebabnya, hukum pidana harus membuktikan kesalahan tersebut terlebih dahulu agar pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Kedua unsur kesalahan tersebut dianut dalam hukum pidana secara umum di Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.

Walaupun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang jika tidak terdapat kesalahan, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan pidana. Dengan kata lain hukum pidana secara umum berkaitan dengan tindak pidana umum (tipidum) harus ada kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) sebagaimana telah diuraikan di atas barulah seseorang atau suatu subjek hukum dimaksud dapat


(20)

dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut hukum dikatakan salah karena melakukan pebuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.

Siapa saja yang dimaksud melakukan perbuatan pidana mencakup semua subjek hukum seperti setiap orang atau individu, badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi. Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya.

Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif. Perbuatan subjek hukum yang termasuk ke dalam unsur pokok objektif adalah perbuatan aktif (positif) dan perbuatan tidak aktif (perbuatan negatif).

Akibat perbuatan dari subjek hukum tersebut dapat membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. Keadaan-keadaan tersebut mencakup atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan itu dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.


(21)

Unsur pokok subjektif didasarkan pada kesalahan (sengaja atau lalai). Menurut pandangan ini, tidak ada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Baik kesengajaan karena sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, sengaja sebagai kemungkinan maupun kealpaan. Kesengajaan dan kelalaian sama-sama dapat dipidana, namun kelalaian atau kealpaan sebagai bentuk kesalahan lebih ringan sanksi pidananya dibandingkan dengan kesengajaan karena kelalaian atau kealpaan disebabkan karena tidak berhati-hatinya pelaku dan tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif).

Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan-alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.

Menurut hukum pidana, dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran dalam hal suatu subjek hukum dapat dijatuhi pidana atau hukum pidana didasarkan pada ajaran monisme dan ajaran dualisme. Ajaran monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana tanpa harus melihat apakah subjek hukum itu mempunyai kesalahan atau tidak. Sedangkan ajaran dualisme, memandang dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang, yang pertama kali dilakukan terlebih dahulu harus diselidiki apakah perbuatan yang telah dituduhkan


(22)

itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi rumusan deliknya kemudian membuktikan apakah ada kesalahan atau tidak dan apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab. Tentu dalam hal pertanggungjawaban karena kesalahan maupun tanpa kesalahan terhadap seseorang atau badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi sebagai pembuat pidana diperlukan syarat bahwa pembuat pidana harus mampu bertanggung jawab artinya tidak berada pada pengampuan orang lain.9

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika orang tersebut tidak sehat akalnya, karena pengaruh daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan ketentuan undan-undang, dan karena perintah jabatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 48,49,50,51 KUHP.

Aspek pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Hakekatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum, dapat dikatakan lebih jauh bahwa pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh terhadap amar/diktum putusan hakim. Kewenangan hakim sebagaimana dimaksud didalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan pasal 28 ayat (1) dan

9


(23)

(2) Undang-Undang No.4 tahun 2004 jo Undang-Undang No. 48 tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

(2) Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan.

Fakta-fakta terungkap ditingkat penyidikan hanyalah berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara (voor onderzoek), sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang (gerechtelijk onderzoek) yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan.

Setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestendeelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut umum dan pleidoi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya. Pertimbangan hakim dipertegas pula dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP.10 Pasal 183 berisi tentang

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sedangkan Pasal 184 berisikan

10


(24)

tentang alat bukti yang sah dalam persidangan yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.

2.Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.11

Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ada seluruhnya, berdasarkan pasal tersebut jelaslah bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang perbuatannya dapat dipidana jika perbuatan tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Perbuatan yang sangat tercela jika tidak ada ketentuannya perundang-undangan yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut dapat dipidana, maka orang yang melakukannya tidak dapat dipidana, sifat melawan hukum yang materil harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum formil.

a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan.12

b. Pelaku tindak pidana adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, baik disengaja atau tidak sengaja seperti yang disyaratkan oleh

11

Soejono soekanto,Penelitain Hukum Normatif.( Jakarta:rajawali press,1984),Hlm. 124.

12


(25)

undang-undangan dan telah menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.13

c. Pembunuhan berencana adalah kejahatan merampas nyawa manusia lain, atau membunuh, setelah dilakukan perencanaan mengenai waktu atau metode, dengan tujuan memastikan keberhasilan pembunuhan atau untuk menghindari penangkapan.14

d. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia,Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum Kepolisian.15

13

Moeljatno,Asas Asas Hukum Pidana,(Jakarta:rineka cipta,2000),hlm.4

14

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana

15


(26)

E. Sistematika Penulisan I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode penelitian, jenis dan sumber data, motode pengumpulan data, populasi dan sampel penelitian, dan analisiss data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang hasil dan pembahasan mengenai masalah yang diteliti, yaitu mengenai analisis penjatuhann sanksi pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anggota polri.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang dikemukakan peneliti dari hasil penelitian yang dilakukan untuk kemudian dapat digunakan sebagai masukan bagi para pembaca pada umumnya.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Pengertian pembunuhan mengacu pada 2 (dua) sudut pandang, yaitu: 1.Pengertian Menurut Bahasa

Kata pembunuhan berasal dari kata dasar “bunuh” yang mendapat awalan pe- dan

akhiran –an yang mengandung makna mematikan, menghapuskan (mencoret) tulisan, memadamkan api dan atau membinasakan tumbuh-tumbuhan. Menurut Purwadarmita (1976:169): “pembunuhan berarti perkosa, membunuh atau

perbuatan bunuh.” Dalam peristiwa pembunuhan minimal ada 2 (dua) orang yang

terlibat, orang yang dengan sengaja mematikan atau menghilangkan nyawa disebut pembunuh (pelaku), sedangkan orang yang dimatikan atau orang yang dihilangkan nyawanya disebut sebagai pihak terbunuh (korban).

2.Menurut Pengertian Yuridis

Pengertian dari segi yuridis (hukum) sampai sekarang belum ada, kecuali oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri. Menurut penulis itu bukan merupakan pengertian, melainkan hanya menetapkan batasan-batasan sejauh mana suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan dan ancaman pidana bagi pelakunya. Pembunuhan berencana adalah kejahatan merampas nyawa manusia lain, atau membunuh, setelah dilakukan perencanaan mengenai waktu atau metode, dengan tujuan memastikan keberhasilan pembunuhan atau


(28)

untuk menghindari penangkapan. Pembunuhan terencana dalam hukum umumnya merupakan tipe pembunuhan yang paling serius, dan pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati. Istilah "pembunuhan terencana" pertama kali dipakai dalam pengadilan pada tahun 1963, pada sidang Mark Richardson, yang dituduh membunuh istrinya. Pada sidang itu diketahui bahwa Richardson berencana membunuh istrinya selama tiga tahun. Ia terbukti bersalah dan dipenjara seumur hidup. Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebidahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

Adapun unsur-unsur dari Pasal 340 KUHP yaitu:

a. Barangsiapa: Merupakan unsur subjek hukum yang berupa manusia dan badan hukum.

b. Dengan sengaja: Artinya mengetahui dan menghendaki, maksudnya mengetahui perbuatannya dan menghendaki akibat dari perbuatannya.

c. Dengan rencana: artinya bahwa untuk penerapan pasal 340 KUHP ini harus memuat unsur yang direncanakan (voorbedachte raad), menurut Simons, jika kita berbicara mengenai perencanaan terlebih dahulu, jika pelakunya telah menyusun dan mempertimbangkan secara tenang tindakan yang akan di lakukan, disamping itu juga harus mempertimbangakn kemungkinan-kemungkinan tentang akibat-akibat dari perbuatannya, juga harus terdapat jangka waktu tertentu dengan penyusunan rencana dan pelaksanaan rencana.


(29)

d. Nyawa orang lain: nyawa selain diri si pelaku tersebut.1 B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus lebih jelas terlebi dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan.2

Konsep responbility atau “pertanggungjawaban” dalam hukum pidana itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif

(pencegahan) dan reprentif (penindakan).

Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang memiliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjaminan utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.

Syaratkan bahwa tindak pidana yang melakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan-tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang

1

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/analisis-pidana-atas-pembunuhan-pokok.html

2


(30)

dilakukannya. Dilihat dari perbuatan yang dilakukan seseorang akan dipertanggungjawabkan pidananya atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum, selain unsur yang dapat dalam pertanggungjawaban pidana yang menentukan seseorang dapat dikenakan sanksi atau tidak adalah kesalahan. Seorang yang dapat dikatakan bersalah jika ia memenuhi unsur-unsur kesalahan. Adapun unsur-unsur kesalahan adalah sebagai berikut:3

1. Melakukan perbuatan pidana 2. Mampu bertanggungjawab 3. Dengan sengaja atau alpa 4. Tidak ada alasan pemaaf

Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan tingkah lakunya dan keinsyafannya atas nama yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seorang dikatakan mampu bertanggung jawab,bila memenuhi 3 (tiga) syarat,4 yaitu :

1. Dapat menginsyafi makna dari pada perbuatan;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan.

3

Roeslan saleh,perbuatan dan pertanggung jawaban pidana.(Jakarta:aksara bara,1983),hlm. 11

4


(31)

Pasal 44 KUHP menentukan:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada jiwa nya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kapada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pembunuhan Biasa

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah:

“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan:

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”


(32)

Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun, di sini disebutkan paling lama jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara. Ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut.

Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja. Dengan sengaja (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte rade).

Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu menghilangkan, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Berkenaan dengan nyawa orang lain maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuh.

Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. Undang-Undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai


(33)

sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku. Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan. 2. Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag)

Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang

dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah: “diikuti, disertai, atau

didahului oleh kejahatan.” Kata diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan

lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.

3. Pembunuhan Berencana (Moord)

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, unsur-unsur pembunuhan berencana adalah; unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu, unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain. Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia


(34)

dapat dikenai Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

4. Pembunuhan Yang Dilakukan Dengan Permintaan Yang Sangat Tegas Oleh Korban Sendiri

Jenis kejahatan ini mempunyai unsur khusus, atas permintaan yang tegas (uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh/ nyata (ernstig). Tidak cukup hanya dengan persetujuan belaka, karena hal itu tidak memenuhi perumusan Pasal 344 KUHP. 5. Pembunuhan Tidak Sengaja

Tindak pidana yang di lakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 359 KUHP, Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini ada dua macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Ketidaksengajaan (alpa) adalah suatu perbuatan tertentu terhadap seseorang yang berakibat matinya seseorang.

Bentuk dari kealpaan ini dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prilaku menyimpang, yaitu tingkah


(35)

laku yang melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan pengertian normatif atau dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan, salah satu cara untuk mengendalikan adalah dengan sanksi pidana.

Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tujuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat, Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.

6. Tindak Pidana Pengguguran Kandungan

Merupakan kejahatan pembunuhan yang korban nya adalah manusia yang masih dalam bentuk janin di dalam kandung, diatur dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

7. Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Bayi atau Anak

Pembunuhan yang dilakukan terhadap korban nya yang masih bayi ataupun anak, diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 8. Tindak pidana pembunuhan terhadap diri sendiri (menghasut, member pertolongan, dan upaya terhadap korban bunuh diri), diatur dalam Pasal 345 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut :

1. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.


(36)

2. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

3. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

4. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun

5. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun

6. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun

7. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.5

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya, jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada

5


(37)

atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.

Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Mejelis Hakim oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari terdakwa dan korban, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan.

Terhadap hal yang terakhir ini Majelis Hakim harus mengonstruksikan dan mengkualifikasikan peristiwa dan fakta tersebut, sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang konkret. Setelah Majelis Hakim menemukan peristiwa dan fakta secara obyektif, maka Majelis Hakim menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu.

Jika dasar-dasar hukum yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis Hakim karena jabatannya dapat menambah/melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara. Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut diatas, jika tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mempergunakan metode interprestasi dan kontruksi.


(38)

Metode interprestasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, sedangkan metode kontruksi hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Menurut mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,6

yaitu:

1.Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2.Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim, sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

6


(39)

3.Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolok dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapi sehari-hari,dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku,korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar,yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan,kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.


(40)

Putusan hakim dapat dikatakan baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan yang berupa:7

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Prakteknya walaupun bertitik tolok dari sikap-sikap seorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut diatas maka hakim tenyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kehilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Praktek peradilan didalam nya, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat putusan.

Pelaksanaan pangambilan putusan, dicatat dalam buku himpunan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.8 Dengan tegas

dinyatakan bahwa pengambilan keputusan itu didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan.9

Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Hakekatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi

7.

Lilik mulyadi. bunga rampai hukum pidana:Perspektif ,Teoritis dan Praktik.

(bandung:alumni,2008)

8

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 192 ayat(7)

9


(41)

hukum (van rechtswege nieting atau null and void) karena kurang pertimbangan hakim. 10 Lazimnya dalam praktek peradilan pada putusan hakim sebelum

pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan.

Fakta-fakta yang terungkap di tingkat penyidikan hanyalah berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara, sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan. 11 Fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan

hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum dan pleidoi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya.

Selain pidana pokok terdapat pidana tambahan salah satunya yaitu restitusi. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 12 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan

untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

10

Lilik mulyadi.bunga rampai hukum pidana: perspektif, teoritis, dan praktis.

(bandung:alumni,2008),hlm.199.

11

Roeslan saleh.Perbuatan dan Pertanggung Jawaban Pidana.(Jakarta:aksara bara,1981),

hlm.188.

12

Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat


(42)

terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ketika Anggota Polri melakukan perbuatan melawan hukum maka berdasarkan Undang-Undang Kepolisian sesuai Pasal 35 maka akan di selesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(43)

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah

Untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, maka peneliti perlu mengadakan pendekatan masalah. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan masalah yaitu langkah-langkah pendekatan untuk meneliti, melihat, menyatakan dan mengkaji yang ada pada obyek penelitian, untuk itu penulis menggunakan 2 cara, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan normatif yaitu pendekatan dengan cara studi kepustakaan dengan menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan empiris yaitu meneliti serta mengumpulkan data primer yang telah diperoleh secara langsung pada obyek penelitian melalui wawancara atau interview dengan responden atau narasumber di tempat obyek penelitian yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas salam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data pada penulisan ini berasal dari kepustakaan dan data lapangan. Jenis data pada penulisan ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder.


(44)

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.1 Data

primer merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada obyek penelitian yang di tuju yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Menggala, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala, Polisi pada Polres Tulang Bawang, Terpidana pembunuhan berencana pada kasus ini di Lembaga Pemasyarakatan Raja Basa, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang dilakukan dengan cara wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia. Data ini merupakan data pendukung yang bersifat memperkuat dan memperjelas data primer dan diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh di luar penelitian selama penelitian berlangsung. Data sekunder adalah yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan. Data tersebut terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat peraturan perundang-undangan.

Adapun dalam penelitian ini bahan hukum yang peneliti pergunakan, yaitu:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

1


(45)

3. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersifat peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan mentri, keputusan hakim dan lain-lain, yang bersifat sebagai pendukung bahan primer.

Adapun dalam penelitian ini bahan hukum yang peneliti pergunakan, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari literatur-literatur, media cetak, kamus dan lain-lain yang sesuai dengan obyek permasalahan yang diangkat.

C. Penentuan Populasi dan Sample

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-ciri nya akan diduga.2

Sampel adalah sekelompok kecil individu yang dilibatkan langsung dalam penelitian. Sampel terdiri dari sekelompok individu yang dipilih dari kelompok yang lebih besar dimana pemahaman dari hasil penelitian akan digunakan atau diberlakukan.3 Populasi dalam penelitian ini yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri

Menggala, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala, Polisi pada Polres Tulang

2

Masri singarimbun,Metode Penelitian Survei.(Jakarta:LP3ES,1987),Hlm.152.

3

Ibnu hajar,Dasar-dasar Metodologi penelitian kuantitatif Dalam Pendidikan.(Jakarta:grafindo persada,1999)hlm.133.


(46)

Bawang, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi menggunakan metode wawancara pada responden yang telah dipilih sebagai sample yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sample dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunkan metode proporsional purposive sampling, yaitu penerikan sample yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan sample.4

Sample yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Menggala 1 orang

b. Jaksa pada kejaksaan Negeri Menggala 1 orang

c. Polisi pada Polres Tulang Bawang 1 orang

d. Terpidana kasus ini di Lembaga Pemasyarakatan Raja Basa 1 orang

e. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung 1 orang

jumlah 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data

Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam penelitian di dalam sebuah penelitian sangat tergantung dari teknik pengumpulan data dan pengolahan data. Peneliti untuk maksud tersebut maka dalam menulis penelitian itu menggunakan teknik pengumpulan dan pengolahan data sebagai berikut:

4


(47)

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Untuk pengumpulan data sekunder peneliti menggunakan studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mempelajari, mengutip serta menelaah literatur-literatur yang menunjang peraturan perundang-undangan dan bacaan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi Lapangan

Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi lapangan (field research)

dengan cara menggunakan metode wawancara terhadap responden dalam penelitian ini, yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Menggala, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala, Polisi pada Polres Tulang Bawang, Terpidana pembunuhan berencana pada kasus ini di Lembaga Pemasyarakatan Raja Basa, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan cara:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis. c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasi, menggolongkan dan mengelompokan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memperoleh pembahasan.


(48)

E. Analisis Data

Adapun guna analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Peneliti dalam proses analisis data ini rangkaian data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh dilapangan sehingga hal tersebut benar-benar menyatakan pokok permasalahan yang ada dan disusun dalam bentuk kalimat ilmiah secara sistematis selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang berupa jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(49)

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh seseorang merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatan atau kesalahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang yang dapat dikatakan bersalah jika seseoarang tersebut memenuhi unsur –unsur kesalahan.

Adapun unsur-unsur kesalahan adalah melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggungjawab, dengan sengaja atau alpa dan tidak ada alasan pemaaf. Selain memenuhi unsur kesalahan, pertanggungjawaban pidana seseoarang ditentukan oleh kemampuan terdakwa untuk bertanggung jawab. Terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie dalam perkara ini dapat disimpulkan mampu bertanggung jawab karena saat melakukan perbuatan maupun memberikan keterangan dipersidangan berada dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tidak ditemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf.


(50)

Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumya perbuatan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, seperti oaring tersebut tidak dapat dipersalahkan dan perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan melawan hukum.

Alasan pemaaf adalah alasan yang mengapuskan kesalahan terdakwa, yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan pidana akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan seperti orang tersebut tidak sehat akalnya, karena pengaruh daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan ketentuan undan-undang, dan karena perintah jabatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 48,49,50,51 KUHP.

Terkait dalam kasus ini, terdakwa dipandang mampu bertanggung jawab atas seluruh perbuatan yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie terhadap korban Sahab berdasarkan Pasal 340 KUHP, pertanggungjawaban pidana yang harus ditanggung oleh terdakwa adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Berdasarkan ketentuan ini hakim dalam memberikan putusan terhadap terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie atas perbuatan nya kepada koban Sahab didasarkan pada pertanggungjawaban pidana yang ditentukan dalam Pasal 340 KUHP. Berdasarkan putusan hakim dalam perkara ini, terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie dijatuhkan sanksi pidana penjara selama 15


(51)

(lima belas) tahun dan mengabulkan restitusi kepada pemohon restitusi sebesar 11.600.000 rupiah.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie yang melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Sahab didasarkan pada ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yurudis.

Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana didasarkan oleh alat bukti yang mendukung, terpenuhinya segala unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan yang terungkap dipengadilan. Pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Pertimbangan Hakim bersifat yuridis dalam kasus ini sudah benar karena berdasarkan putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL, telah terpenuhinya bukti-bukti dan unsur tindak pidana pembunuhan berencana tersebut. Pertimbangan yang bersifat non yuridis berupa:

Hal-hal yang memberatkan terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie, yaitu: 1. Kematian Korban Sahab beban berat bagi seluruh ahli warisnya

2. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya Hal-hal yang meringankan terdakwa, yaitu:

1. Terdakwa tengah melakukan pengabdiannya selaku anggota Polri 2. Terdakwa belum pernah dihukum


(52)

3. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga

4. Keluarga terdakwa telah memberikan bantuan kepada Sari Atik Bin Sumarno, istri koban Sahab

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti menyarankan:

1. Tujuan pemidanaan bukanlah balas dendam melainkan lebih dimaksudkan sebagai pendidikan agar terdakwa benar-benar menyadari kesalahannya, serta sebagai pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang dilakukan oleh terdakwa, oleh karenanya sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa haruslah cukup adil dan setimpal dengan kesalahannya, terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie dijatuhi 15 tahun penjara oleh hakim, menurut penulis putusan tersebut jika di pandang secara yuridis belum adil karena pada Pasal 340 KUHP hukuman maximal bagi pelaku pembunuhan berencana adalah pidana mati.

Jika di pandang secara non yuridis pun putusan 15 tahun tersebut belum juga adil karena pelaku pembunuhan berencana tersebut adalah seorang penegak hukum, yaitu anggota polri yang harusnya mengerti dan taat pada aturan hukum. Hakim dalam memberikan putusan pada kasus pembunuhan berencana oleh terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie kepada Korban Sahab harus tetap memenuhi rasa keadilan, sehingga putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan kepada korban dan dampak terhadap masa depan keluarga korban.


(53)

2. Penegak hukum khususnya Hakim, harus lebih bijaksana dalam menegakan supremasi hukum karena ketika para penegak hukum ini telah keluar dari dasar-dasar yang ada maka tidak akan tercapailah tujuan hukum yang sebenarnya yaitu, kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan. Rasa keadilan dalam suatu perkara merupakan tujuan utama dalam penegakan supremasi hukum, tidak mudah untuk memenuhi rasa keadilan tersebut akan tetapi hal ini lah yang menjadi tugas aparat penegak hukum khususnya hakim dalam perkara ini untuk memenuhi suatu rasa keadilan tersebut.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman ,Tri. 2009. Delik Khusus Dalam KUHP. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hajar, ibnu.1999. Dasar-dasar Metodologi Penelitian kuantitatif Dalam Pendidikan. Grafindo persada.Jakarta.

Mulyadi, lilik. 2008. Hukum Pidana:Perspektif ,Teoritis dan Praktik. Bunga rampai. Bandung.

Moeljatno.1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta.Jakarta.

Salaeh, roeslan.1981. Perbuatan dan PertanggungJawaban Pidana. Aksara baru. Jakarta.

Singarimbun, masri, 1987. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.

Sudarto, 1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.

Suhartono, irawan. 1999. Metode Penelitian Sosial. Alumni. Bandung. Soekanto, soejono. 1984. Penelitian Hukum Normatif. rajawali press. Jakarta.

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(55)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/analisis-pidana-atas-pembunuhan-pokok.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana


(1)

Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumya perbuatan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, seperti oaring tersebut tidak dapat dipersalahkan dan perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan melawan hukum.

Alasan pemaaf adalah alasan yang mengapuskan kesalahan terdakwa, yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan pidana akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan seperti orang tersebut tidak sehat akalnya, karena pengaruh daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan ketentuan undan-undang, dan karena perintah jabatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 48,49,50,51 KUHP.

Terkait dalam kasus ini, terdakwa dipandang mampu bertanggung jawab atas seluruh perbuatan yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie terhadap korban Sahab berdasarkan Pasal 340 KUHP, pertanggungjawaban pidana yang harus ditanggung oleh terdakwa adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Berdasarkan ketentuan ini hakim dalam memberikan putusan terhadap terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie atas perbuatan nya kepada koban Sahab didasarkan pada pertanggungjawaban pidana yang ditentukan dalam Pasal 340 KUHP. Berdasarkan putusan hakim dalam perkara ini, terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie dijatuhkan sanksi pidana penjara selama 15


(2)

70

(lima belas) tahun dan mengabulkan restitusi kepada pemohon restitusi sebesar 11.600.000 rupiah.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana oleh anggota polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie yang melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Sahab didasarkan pada ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yurudis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana didasarkan oleh alat bukti yang mendukung, terpenuhinya segala unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan yang terungkap dipengadilan. Pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Pertimbangan Hakim bersifat yuridis dalam kasus ini sudah benar karena berdasarkan putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL, telah terpenuhinya bukti-bukti dan unsur tindak pidana pembunuhan berencana tersebut. Pertimbangan yang bersifat non yuridis berupa:

Hal-hal yang memberatkan terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie, yaitu: 1. Kematian Korban Sahab beban berat bagi seluruh ahli warisnya

2. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya Hal-hal yang meringankan terdakwa, yaitu:

1. Terdakwa tengah melakukan pengabdiannya selaku anggota Polri 2. Terdakwa belum pernah dihukum


(3)

3. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga

4. Keluarga terdakwa telah memberikan bantuan kepada Sari Atik Bin Sumarno, istri koban Sahab

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti menyarankan:

1. Tujuan pemidanaan bukanlah balas dendam melainkan lebih dimaksudkan sebagai pendidikan agar terdakwa benar-benar menyadari kesalahannya, serta sebagai pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang dilakukan oleh terdakwa, oleh karenanya sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa haruslah cukup adil dan setimpal dengan kesalahannya, terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie dijatuhi 15 tahun penjara oleh hakim, menurut penulis putusan tersebut jika di pandang secara yuridis belum adil karena pada Pasal 340 KUHP hukuman maximal bagi pelaku pembunuhan berencana adalah pidana mati.

Jika di pandang secara non yuridis pun putusan 15 tahun tersebut belum juga adil karena pelaku pembunuhan berencana tersebut adalah seorang penegak hukum, yaitu anggota polri yang harusnya mengerti dan taat pada aturan hukum. Hakim dalam memberikan putusan pada kasus pembunuhan berencana oleh terdakwa Avit Kurniawan bin Sofyan Arie kepada Korban Sahab harus tetap memenuhi rasa keadilan, sehingga putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan kepada korban dan dampak terhadap masa depan keluarga korban.


(4)

72

2. Penegak hukum khususnya Hakim, harus lebih bijaksana dalam menegakan supremasi hukum karena ketika para penegak hukum ini telah keluar dari dasar-dasar yang ada maka tidak akan tercapailah tujuan hukum yang sebenarnya yaitu, kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan. Rasa keadilan dalam suatu perkara merupakan tujuan utama dalam penegakan supremasi hukum, tidak mudah untuk memenuhi rasa keadilan tersebut akan tetapi hal ini lah yang menjadi tugas aparat penegak hukum khususnya hakim dalam perkara ini untuk memenuhi suatu rasa keadilan tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman ,Tri. 2009. Delik Khusus Dalam KUHP. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hajar, ibnu.1999. Dasar-dasar Metodologi Penelitian kuantitatif Dalam Pendidikan. Grafindo persada.Jakarta.

Mulyadi, lilik. 2008. Hukum Pidana:Perspektif ,Teoritis dan Praktik. Bunga rampai. Bandung.

Moeljatno.1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta.Jakarta.

Salaeh, roeslan.1981. Perbuatan dan PertanggungJawaban Pidana. Aksara baru. Jakarta.

Singarimbun, masri, 1987. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.

Sudarto, 1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.

Suhartono, irawan. 1999. Metode Penelitian Sosial. Alumni. Bandung. Soekanto, soejono. 1984. Penelitian Hukum Normatif. rajawali press. Jakarta.

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(6)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/analisis-pidana-atas-pembunuhan-pokok.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana