“Euthanasia” Kematian “Hak Untuk Mati”

dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan “hak untuk hidupnya”. Dengan demikain harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh hukum dan dihargai hak asasinya. Jalan keluar ini misalnya dengan mengubah pidana mati yang telah dijatuhkan ini dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sejenis lainnya, yang dapat dijatuhkan dalam tngkat banding atau kasasi. Dengan cara tersebut diatas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”, kiranya telah sama-sama diahrgai oleh hukum, terutama hokum pidana, dengan diakauinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini diamksudkan untuk melindungi manusia terhadap penganiyaan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari sesama umat manusia.

C. “Euthanasia” Kematian “Hak Untuk Mati”

Lain di pengadilan, lain pula di dunia medis. Apabila di pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senatiasa melindungi makhluk hidup insane, sebagaimana di tetapkan dalm kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” didunia, terutama dinegara- negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kematian diminta oleh keluarganya suapaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di Universitas Sumatera Utara Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau penjabat yang berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati. Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat denan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya kenyataan bahwa profesi medis pada dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang yang mengalami kerusakan otak brain death, tetapi jantungnya tetap hidup dan berdetak denagn bantuan sebuah “respirator”. Dinegara-negara maju sudah banyak yang memberiakn defenisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang memberiakn defenisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus ini biasanya akibat kemajaun yang telah dicapai dalm bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi oragn tubuh anatomical gifts. Definisi kematian ini diterima sebagai akibat daripada perkembangan ilmu kedokteran, sehubungan dengan “organ transplants”, pencabutan alat-alat untuk menopang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupakn kembali terhadap organ tersebut. Universitas Sumatera Utara Pada perkembangan selanjutnya American Medical Association, tahun 1977 menyatkan suatu definisi Perundang-undangan tentang kenatian dengan criteria tersebut diatas bsebelum itu, yakni tahun 1968 di Amerika Serikat telah ditetapakan di dalam The Uniform Anatomical Gift Act bahwa seseorang yang berumur 18 tahun atau lebih, dapat memberiakn seluruh atau sebagian dari badannya pada saat kematiannya untuk tujuan-tujuan riset, pengobatan dan transplatansi. Jadi jelas bahwa sebenarnya definisi kematian yanag bersifat umum itu sangat dip[erlukan dan tidak banyak terbatas untuk tujuan transplatansi organ saja. Dengan demikain maka seseorang yang “incompetent” yang masih hidup karena dibantu dengan life support systems. Bisa dicabut life support systems-nya, sekalipun tindakan ini akan berakibat kematian sudah terdapat bukti-bukti yang tak dapat dibanth lagi, bahwa kematian biologis tak dapat dibantah lagi, hal inilah yang termasuk di dalam pengertian “hak untuk mati”. Hanya saja pengertian “hak untuk mati” mencakup pula hak seseorang yang telah dewasa yang “competent” untuk menolak medical treatment, sekalipun akan mengakibatkan kematiannya. Jadi dalam hal ini merupakan hak daripada si pasien yang telah dewasa, yang harus dihormati adanya. Apabila kita berpaling kepada ilmu kedokteran, maka akan di jumpai apa yang disebut sebagai “mati suri” dan “mati yang sebenarnya”. Disamping itu jika dilihat dari saat terjadinya kematian, akan dapat istilah-istilah somatic death dan biological death. Untuk menjelaskan mengenai istilah-istialh kenatian tersebut diatas, dapat dijabarkan sebahgai berikut : Universitas Sumatera Utara a. Setiap manusia setelah hidup, pasti lama kelamaan akan mengalami proses kematian. Oleh karena itu, ia mempunyai apa yang disebut dengan “garis hidup” dan “garis mati”. b. Pada setiap orang yang masih hidup, ia mempunyai fungsi kehidupan yang dinamakan “fungsi animal” dan fungsi vegetatif. “fungsi animal” dimaksudkan bahwa setiap orang yang hidup itu mempunyai fungsi sebagaimana yang dimilki oleh binatang, sehingga dapat berjalan, bergerak ke sana kemari dan lain-lain yang pokoknya semau fungsi yang dimiliki oleh binatang, dimiliki juga oleh manusia. Begitu pula “fungsi vegetatif” dimaksudkan bahwa semau fungsi yang dimiliki oleh tumbuh- tumbuhan, dimilki oleh manusia. Oleh karena itu, makhluk manusia itu merupakan makhluk yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya, bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain yaitu binatang dan tumbuh-tumbuhan. c. Garis hidup, makin lama makin menurun, sedangkan garis mati semakin lama semakin baik. Apabila kita telusuri pada gasris hidup, maka pada saat akan sampai kepada suatu titik, dimana “fungsi animal” dan “fungsi vegetatif” sudah tidak menunjukkan aktifitasnya lagi. Kemudian lama- lama garis hidup ini akan bertemu dengan garis mati atau menemui ajal. d. Saat pertemuan antara garis hidup dan garis mati inilah yang disebut dengan somatic death, yakni kematian secara badaniah saja. Pada saat ini orang belum dapat dikatakan benar-benar, karena masih dimungkinkan Universitas Sumatera Utara timbulnya gejala-gejala hidup ini sangat kecil sekali kemungkinannya. Pada somatic death ini dijumpai tanda-tanda kematain sebagai berikut: 1.Livor mortis lebam mayat, 2.Rigor mortis kaku mayat dan 3.Algor mortis warna dingin mayat 9 e. Sejak saat terjadinya somatic death ini, hamper tanda-tanda kehidupan sudah tidak tampak lagi, begitu sebaliknya, tanda-tanda kematian besar. 9 . Amir AmriMawarni Rita, Sari Kuliah Kedokteran Kehakiman Fakultas Hukum USU Universitas Sumatera Utara f. Perkembangan selanjutnya, setelah terjadinya somatic death, kita harus menunggu sampai kkurang lebih dua jam, untuk menentukan secara pasti tentang kematin seseorang. Pada saat inilah dapat dimungkinkan terjadinya apa yang disebut sebagai mati suri. Jadi “mati suri” ini terjadi selama waktu diantara somatic death dan biological death, yang memakan waktu kurang lebih selam dua jam. Sehubungan dengan hal ini, maka jika terjadi kematian dirumah-rumah sakit, setelah dinytakan mati oleh dokter sebagai somatic death, keluarga orang yang meninggal tersebut, tidak diperkenankan langsung membawa kerumahnya, tetapi harus menunggu sampai kurang lebih dua jam. Selama dua jam ini, apabila tidak ada kejadain yang disebut sebagai “mati suri” maka terjadilah gejala-gejala cel degeneration, dengan tanda-tanda berikut : 1. Discoloration terjadinya perubahan warna 2. Softening jarinagn menjadi lunak dan 3. Rotting terjadinya pembusukkan 10 g. Setelah itu baru terjadi suatu kematian yang benar-benar mati, baik jasmaniah maupun rohaniahnya, dan ini dikenal dengan istilah medis sebagai biological death atau kenatian secara biologis. Dari penjelasan diatas dapatlah diketahui, bahwa yang disebut sebagai mati dalam ilmu kedokteran adalah biological death. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, waktu yang dua jam itu dapat diperpanjang sampai 24 jam. Selama waktu 24 jam iniorang yang telah meninggal tadi dites 10 .Ibid Universitas Sumatera Utara Secara medis terus-menerus apakah seluruh sel-sel tubuh manusia ini sudah tidak berfungsi lagi atau tidak. Jadi hal nini hanya merupakan percobaan medis saja. Kebutuhan akan defenisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tettapi otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang parah. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-macam pendapat baik yang bersifat juridis, moral maupun medis. Sekarang masalahnya, bagaimana dengan istilah kematian dalam ilmu hukum? Biasanya definisi mati yang diapaki di pengadilan-pengadilan terhadapa kasus yang terjadi, baik di dalam maupun diluar negeri, menanggap bahwa apoabila masih bernafas belum dikatakan mati. Jadi diaktakan mati, apabila orang tersebut sudah tidak bernafas lagi. Memang banyak kasus yang terjadi, misalnya pembunuhan yang menyebabkan kematian. Pada umumnya orang yang dibunuh trsebut, setelah tidak bernafas lagi. Kemudian langsung dikubur begitu saja. Dengan demikian proses pengadilan. Hakim mendefenisikan bahwa orang tersebut mati terbunuh yang akhirnya terdakwanya dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang pembunuhan tersebut. Kalau dipakai definisi demikian dan dihubungkan dengan masalah euthanasia, seorang yang sudah tidak bernafas, sedang otaknya masih meransang, jadi belum dikatakan sebagai brain death, apakah hal ini juga disebut mati oleh pengadilan? Oleh karena itulah , perlu dirumuskan suatu definisi tentang kematian yang bersifat umum, yang dapat menjangkau masalah medis dan juga dalam berbagai kasus yang berhubungan Universitas Sumatera Utara dengan hukum, terutama hukum pidana. Hal ini sangat penting artinya dalam menangani berbagai kasusu yang berhubungan dengan euthanasia, yang selama ini belum dapat ditolerir di Negara-negara sedang berkembang, terutama di Indonesia. Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan terlarang dan diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai ke pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin menetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia, dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai suatu perbuatan yang tidak dilarang dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah yang disebut sebagai “deskriminalisasi”. Apakah yang ditempuh adalah siap mempertahankan euthanasuia dalam untuk memberikan kelonggaran kepada penuntut umum agar lebih memudahkan didalam mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi. Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia.Apakah dengan terjadinya euthanasia itu kemungkinan pnuntut umum dapat membuktikannya? Sulit rasanya hal itu untuk dipecahkan. Sepanjang yang pernah dinyatakan oleh penulis kepada para dokter memang euthanasia di Indonesia ini belum pernah terjadi. Tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang selalu meningkat ini, tidak mustahil eutahanasia ini dilakukan secara diam-diam. Universitas Sumatera Utara Karena jelas bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Kedokteran Indonesia, menganut paham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia, sebab disamping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan yang Maha Esa, juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter. Kemungkinan kedua adalah untuk menyatakan bahwa euthanasia merupakan perbuatan yang tidak terlarang, menurut Jame Rachles dalam situasi sakit berat, terutama sakit terminal tidak bias disembuhkan lagi, orang bias memilih dua cara untuk sampai pada kematian. Pertama seseorang mati secara aman, misalnya dengan suntikan, tanpa penderitaan, yang kedua seseorang mati sesudah mengalami penderitaan hebat. Kalau cara yang kedua dipilih, anggota keluarga hanya hadir disekitar sakit tanpa berbuat apa-apa selain membiarkan si sakit mengerang dan menderita. Menurut Rachels adalah sangat aneh kalau ada orang yang menginginkan cara mati yang kedua. Rachles dan orang sealiran dengan dia memilih menawarkan cara pertama, lalu mempromosikan euthanasia dengan memberikan beberapa argument pendukung yaitu : 1. Demi menghilangakan penderitaan Secara umum digambarkan bahwa orang sakit pasti menderita. Penderitaan orang sakit terasa secara fisik, mental, social dan spiritual. Penderitaan muncul karena kemampuan organ-organ tubuh menurun, dan secara pelan- pelan kemampuan berelasi dengan orang sekitarnya hilang, serta kemampuan menggengam nilai-nilai yang pernah dimilikinya lepas. Universitas Sumatera Utara Dengan mewarisi pendapat stoisisme, penganjur euthanasia menyakini bahwa penderitaan adalah musuh yang harus dikalahkan oleh setiap orang. Orang sakit sungguh menderita, maka dia harus dikasihani dengan membebaskannya dari penderitaan. Justru abaeh kalau kita mengatakan bahwa kita mencintai atau mengasihani orang tetapi kita membiarkan dia mengerang dalam penderitaannya. Maka jelas dalam situasi demikian membantu orang meninggal dengan baik bukan tindakan immoral. Perintah jangan membunuh tetap dihormati. Dalam situasi menderita yang luar biasa ini kita tidak membunuh. Justru kita salah kalau membiarkan anggota keluarga menderita demi menghormati perintah tersebut. Jelas kita dilarang membunuh namun tidak ada larangan untuk mematikan. Sebagai bandingan, kalau mematikan pada waktu perang bias ditolerir, mengapa menghilangkan penderitaan tidak bias diterima? Jadi, euthanasia bukanlah pembunuhan, secara moral kita boleh mematikan orang dengan alasan belas kasih yang membebaskan seseorang dari penderitaan yang maha hebat. 2. Penetapan prinsip Utilitarisme Ide utilitarisme terkonsep secara public oleh Jeremy Bentham 1748- 1832. Pemikirannya dipengaruhi oleh situasi revolusi Amerika, revolusi Prancis. Dan revolusi industry di Inggris. Pada masa ini standar pertimbangan moral berubah. Tata lama khususnya dalam bidang politik yang hanya berorientasi pada hukum dikritik. Bentham muncul sebagai seorang pembaru, ditopang oleh bukunya Introduction to the Principle of Universitas Sumatera Utara Moral and Legilation 1789. Ide mendasar di dalamnya adalah utilitarisme hedonistic yang diwrisinya dari Epicurus 341-270 SM. Secara singkat, tesis utilitarisme hedonistic adalah : carilah nikmat sebesar-besarnya dan hindarilah rasa sakit. Itulah yang secara kodrati di lakukan manusia dan itulah yang baik baginya. Prinsip utilitarisme ini masuk dalam dunia bioetika dengan pertimbangan yang baik adalah sesuatu yang menghasilakn manfaat, yakni kesenangan dan tidak baik adalah menghalangi kesenangan atau dengan kata lain memunculkan penderitaan. Kriteria penentu sesuatu baik atau tidak baik adalah manfaat. Jika prinsip ini dikenakan pada kehidupan sehari-hari maka nilai kehidupan bukan ditentukan oleh martabat, tetapi manfaatnya. Jadi orang yang sudah sakit keras, misalnya yang tidak ada lagi gunanya melanjutkan kehidupannya lebih baik dimatikan secara sengaja. Dipengaruhi oleh prinsip ini, anggota keluarga yang lama menderita sakit tanpa tanda-tanda kesembuhan merasa tidak berguna, dan beberapa keluarganya merasa kehadiran orang sakit seperti itu menjadi suatu beban. Memang orang sakit awalnya keluarga dengan baik, dikunjungi oleh sahabat dengan ikhlas, namun sampai suatu ketika ada titik kejenuhan. Karena perasaan jenuh ini kadang-kadang keluarga mampu secara financial meninggalkan orang sakit untuk dirumah sakit. Dengan cara ini makin banyak orang sakit meninggal di rumah sakit dengan menyedihkan. Rumah tidak lagi menjadi tempat anggota keluarga untuk menghadapi kesulitan, khususnya waktu menghadapi ajalnya. Keluarga tidak lagi Universitas Sumatera Utara mendampingi anggotanya pada saat menghembuskan nafas terakhir. Situasi ini mengkondisikan orang sakit dan juga pihak keluarga untuk memilih euthanasia. 3. Kemajuan teknis medis Seorang dokter yang bernama Jack Kevorkian yang dijuluki “dokter maut”, telah mematikan 130 orang dengan menggunakan variasi teknik dan sarana. Menurut dia tindakan euthanasia bukanlah pembunuhan, hanya pematian. Maka hal itu bukanlah kejahatan yang bertentangan dengan tata hidup sosial. Kematian bukan tujuan utama melainkan akibat yang tidak bias dielakakan. Kevorkian yakin bahwa ahli medis memiliki kompetensi dibidangnya dan tahu bahwa euthanasia pantas. Dia juga mengembangkan teknis media dengan menukangi alat pemati variatif. Dengan menggunakan alat-alat tersebut dia melawan ahli medis yang memperpanjang umur orang sakit demi kepentingan komersial aggressive therapy. Justru dengan alat tersebut pelayan kesehatan membantu orang sakit untuk menghilangkan penderitaan dan penyakitnya. Usaha ini tentu menyentuh nilai kehidupan. Namun kalau kita bisa melakukan hal itu demi kebahagiaan orang yang sungguh memintanya agar dia tidak menderita berat, mengapa kita tidak melakukannya. 4. Prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang Untuk mendukung ide euthanasia sering dipakai prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang. Tidak adil menghabiskan uang untuk memperpanjang hidup orang yang tidak memiliki masa depan, apalagi Universitas Sumatera Utara tidak jelas apakah dia masih persona atau tidak, karena tidak semua homo sapiens adalah persona. Tidak adil juga menghabiskan uang untuk orang sakit terminal, padahal banyak orang sedang mati ditempat lain karena kekurangan makanan. Mereka masih memiliki masa depan yang perlu dibela. Binatang punya rasa keberatan untuk diamtikan. Lihat saja ikan yang sedang terperangkap jala, atau simpanse yang ditangkap oleh pemburu. Mereka menggelepar dan meronta, sebagai tanda bahwa mereka tidak ingin mati atau dimatikan. Mengapa kita bebas membunuh binatang yang tidak menghendaki mati sementara kita menghabiskan uang untuk orang yang menginginkan mati bahkan tidak punya pengharapan atau tidak punya masa depan. 5. Menghormati otonomi Prinsip otonomi sudah digunakan pada pertengahan abad IV SM. Kata otonomi ini berasal dari Yunani,Autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atas dirinya sendiri, sehingga dia secara moral independent dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Manusia punya ahk untuk memilih jalannya sendiri, untuk hidup atau untuk mati. Manusia bisa memilih mati dengan baik sebagaimana dia bisa memilih hidup dengan baik. Yang penting manusia bertanggung jawab atas akibat dari kecenderungan dan dari apa yang dilakukanya. Menurut konsep otonomi ini, seorang pasien memiliki moral untuk menentukan intervensi medis atas dirinya, naik untuk mengadakan diagnosis maupun untuk penyembuhan terapi. Seorang yang menderita Universitas Sumatera Utara sakit terminal boleh meminta ahli medis untuk tidak meneruskan tindakn memperpanjang hidupnya. Jika proses mati sungguh membuat menderita dan kesulitan, sdangkan menghentikannya mudah, sudah seharusnya kita memilih yang mudah. Apakah kita tega membiarkan orang berpenyakit keras terus menderita? Orang tidak lagi meratap agar dia hidup kalau penyakitnya begitu berat, sebaliknya dia meratap agar mati. Demikian penderitaan bisa diterima, tetapi bisa juga ditolaknya dengan mematikan diri. 11 Maka dengan pertimbangan diatas tidak tertutup kemungkinan dilakukannya euthanasia, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini misalnya: 1. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapakan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya. 2. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi. 11 . Rachels James, La fine della vita dalam Nadeak P. Gonzales, OFMCap. Lebih Baik Mati? Menyorot Euthanasia. Bina Media Perintis, Medan, 2004. Hal 3-11 Universitas Sumatera Utara 3. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetatif state. Bagi pasien yang dalam keadaan ini, sebaiknya euthanasia dapat dilakukan disamping syarat-syarat yang limiatif tersebut. Dapat ditambahkan lagi, misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya, dengan membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut di tanda tangani oleh saksi-saksi. Dalam hal ini euthanasia dapat dijlankan, dengan menyatakan pelakunya melalaui kekebalan terhadap civil liability maupun criminal liability. Jadi eutahanasia dapat dilakukan terhadap pasien yang memahami syarat-syarat tertentu tadi. Dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap orang yang sehat, dan tidak memenuhi syarat-syaratnya ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia. Agar tidak disalahgunakan penggunaannya. Apabila merasa takut akan melanggar sumpah hipocrates yang pernah diucapkannya, mka masih ada jalan yang dapat ditempuh yaitu denagn memberiakn tugas kepada mantri atau perawat yang lain, yang tidak pernah mengucapkan sumpah dokter. Kiranya hal ini dapat dilakukannya, mengingat hanya sekedar mencabut “respirator” atau hal-hal lain, yang dipergunakan untuk memperpanjang hidup pasien yang tengah menderita denagn tiada akhir tersebut, denagn demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya “hak untuk hidup”. Dalam kondisi yang demikian itu pula, seseorang dapat mempergunakan “hak untuk matinya”. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak, tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya. Universitas Sumatera Utara

D. Euthanasia Dalam Ilmu Kedokteran Segi Medis