1. Euthanasia aktif, yaitu suatu keadaan dimana pasien meminta, memberi
izin dan member persetujuan untuk menghentikan perawatanpengobatan yang memperpanjang hidupnya. Euthanasia ini sangat ditenytang keras di
dalam masyarakat karena dianggap sebagai suatu pembunuhan serata perbuatan yang bersifat amoral.
2. Euthanasia pasif, yaitu suatu keadaan dimana tidak ada permintaan
langsung dari pasien, dengan cara tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien untuk memperpanjang hidupnya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan euthanasia dilakukan karena suatu penderitaan yang sudah cukup berkepanjangan,
sehingga dengan dasar pertimbangan itulaha makanya terjadi tindakan euthanasia.
F. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha dengan kerja yang maksimal dan dengan kemampuan serta pengetahuan yang penulis miliki untuk
mendapatkan data-data yang mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dalam penyusunan skripsi ini Penulis menyusun data dengan
menghmpun data primer dan data sekunder, yaitu : 1.
Data primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang mmepunyai kekuatan hukum yang mengikat.
2. Data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hokum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.
Universitas Sumatera Utara
Dengan menggunakan metode Library Research, yaitu mencari dan mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media cetakKoran,
internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 empat bab, dimana tiap-tiap babnya akan menguraikan :
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini secara berturut-turut memuat tentang Latar Belakang Penulisan, Pokok-pokok permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang terdiri dari Pengertian Hak Asasi Manusia dan Pengertian Euthanasia, Metode Penulisan, dan uraian singkat mengenai
Sistematika Penulisan.
BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS
Pada bab ini akan diuraikan tentang bagaimana Undang-undang Hak Asasi Manusia menyikapi dan mengatur tentang masalah euthanasia di Indonesia, serta
hubungannya dengan pidana mati dan hak-hak asasi manusia terutama hak untuk hidup dan hak untuk mati serta diuraikan pula tinjauan dari segi medis.
Universitas Sumatera Utara
BAB III. EUTHANASIA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA
Pada bab ini diuraikan mengenai jenis-jenis euthanasia, bagaimana pengaturan permasalahn euthanasia ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sebagai hokum positif yang berlaku di Indonesia, serta bagaimanan pendapat para ahli hukum menanggapi tentang masalah euthanasia ini.
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan terhadap permasalahn yang terurai di dalam bab-bab sebelumnya. Didalam Bab IV ini juga akan disampaikan pula
mengenai saran Penulis yang diajukan untuk perbaikan dari pengaturan masalah euthanasia yang menjadi pokok pembahasan di dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG
HAK ASASI MANUSIA DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS A.
Euthanasia Menurut Undang-undang HAM
Sebahagian lapisan masyarakat belum memahami tentang makna hakiki hak manusia. Pada umumnya mereka hanya mengetahui karena banyak mendengar
disebut-sebut dalam peraturan sehari-hari, melalui media-media cetak ataupun elektronik. Sedangkan upaya-upaya penyuluhan tentang hak asasi manusia ini
belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM.
Dari kenyataan tersebut maka menimbulkan banyak aksus yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia ditafsirkan secara keliru. Ada yang berpikiran ini
bersifat universal absolute, universal relative, partikularistik absolute, dan partikularistik relative.
Banyak pengaduan ke Komnas Ham yang sesungguhnya permaslahn mereka terletak dalam ruang lingkup Hukum Perdata atau Hukum Pidana, tetapi karena
kekurangan pemahaman maka mereka datang dan minta agar Komnas HAM menanganinnya dengan harapan mendapat penyelesaian.
Sesungguhnya pemahaman tentang hak asasi manusia seperti tertuang dalam deklarasi hak asasi manusia PBB, terdapat perbedaan-perbedaan antara Negara-
negara barat dan timur. Negara barat, hak dan kebebasan individu harus dihormati
12
Universitas Sumatera Utara
dengan sepenuhnya oleh pemerintah dan masyarakat, individu berhak sepenuhya mengeluarkan pikiran, perasaan dan menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya sesuai
dengan seleranya sendiri. Sedangkan di Negara-negara timur termasuk Indonesia hak kebebasannya
dibatasi dengan faktor-faktor agama, adat istiadat masyarakat setempat dan budaya masing-masing. Jadi hak kebebasan individu dibatasi dengan
penghormatan pada moral, dan kehormatan sebagian besar masyarakat. Jadi deklarasi hak asasi manusia manusia secara keseluruhan hanya dijadikan pedoman
bagi pelaksanaan hak asasi manusia didunia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi tersebut dapat digunakan sebagai ukuran antara bangsa mengenai
hak asasi manusia. Deklarasi hak asasi PBB tahun 1948, menegaskan bahwa setiap orang berhak
atas hak-hak dan kebebasnya tanpa ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Walupun deklarasi tersebut sangat penting artinya namun mengingat PBB tidak
memiliki stuktur kekuasaan yang dapat memaksakan kepada anggotanya agar mengimplementasikanya ke dalam undang-undang nasional dan kebijaksanaan
masing-masing anggotanya, maka tentunya deklarasi tersebut tidak mungkin menjadikan dasar dalam memberlakukan prinsip-prinsip yang tercantum di
dalamnya. Negara-negara sebagai anggota masyarakat dunia, mengakui bahwa hak-hak
asasi manusia yang mendasar tidak diperoleh dari warga Negara tertentu saja, tetapi didasarkan pada sifat kepribadian manusia. Karena mereka membenarkan
Universitas Sumatera Utara
perlunya perlindungan internasional dalam bentuk konvensi yang memperkuat atau melengkapi perlindungan yang diberikan oleh hukum nasionalnya, maka
Negara kita adalah Negara hukum, artinya bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan, tetapi segala sesuatunya harus dilandasi secara hukum dan menjadikan
sebagai supremasi. Pancasila yang menjadi landasan idiil Negara, mengandung nilai-nilai luhur,
dimana sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan tuntunan bagi perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia yang
juga dijiwai pula dalam Pembukaan UUD 1945. Mengingat hak asasi manusia sebagai suatu yang terkait dengan berbagai
aspek seperti harga diri, harkat dan martabat manusia maupun bangsa, oleh karenanya dalam penanganannya harus melibatkan semua unsur penegak hukum,
lembaga-lembaga penyelenggaraan Negara, LSM dan lain sebagainya dan tidak mungkin dilakukan secara ragu-ragu. Apalagi hanya melalui sebuah Komnas
HAM saja. Dalam rangaka menjamin hak asasi manusia nampaknya pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menerbitkan Undang-undang tentang hak asasi manusia. Walaupun tidak mungkin semua hak
asasi manusia dimaksud diatur dalam Undang-undang, oleh karenanya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi yang meliputi pada seluruh aspek kehidupan
manusia, terbukti dalam Pasal 105 ayat 1 sebagai klausal yang menyatakan “bahwa disamping hak asasi manusia yang diatur dalm berbagai Konvensi
Universitas Sumatera Utara
Internasional yang telah diratifikasikan oleh Negara RI yang sudah menjadi hukum positif bagi rakyat Indonesia.”
Tentunya sangat menyambut baik terhadap keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentangt hak asasi manusia tersebut, yang didalamnya pula sekaligus
mengatur lembaga pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia yaitu dinamakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM.
Melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia ini, Komnas HAM diberi wewenang untuk melakukan “sub poema”, yaitu berwenang
memanggil saksi-saksi dengan sanksi bilamana tidak memenuhi panggilan dimksud tanpa alasan yang sah. Bahkan juga dapat meminta dokumen tertulis
sebagai barang bukti atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan lain yang di mungkinkan adalah dalam penyidikan terhadap pelanggaran hak asasi berat,
diakui sebagai barang bukti awal yang cukup guna diproses oleh penyidik dan penuntut umum dan diteruskan ke Pengadilan.
Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999, hak kodrat yang paling utama diatur adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam pasal 9 ayat 1 yaitu:
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
5
Pasal 33 ayat 2 yaitu : Setiap orang berhak untuk bebas dari pengilangan paksa dan penghilangan
nyawa.
6
. Sedangkan didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula di dalamnya hak
untuk mati. Berbicara mengenai hak untuk hidup dan hak untuk mati akan terkait dengan
masalah Hukum Pidana yang disebut dengan euthanasia. Namun masalah hak untuk mati itu tidaklah bersifat mutlak, jadi masih terbatas dalam suatu keadaan
tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatannya yang diberikan sudah tidak
ada gunanya lagi. Dalam situasi yang demikian, si penderita boleh menggunakan hak untuk matinya denagn cara kepada dokter untuk menghentikan pengobatan.
Misalnya menjadi semakin rumit, bila seseorang pasien sudah sekarat dan tidak sadar selam berbulan-bulan, kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama
lagi maut akan merenggut nyawanya. Baik penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang merawatnya supaya mengakhiri penderitaan
yang tiada terhingga itu dengan jalan melakukan tindakan euthanasia.
5
undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia, Httpwww.yahoo.com
6
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sebagai seorang manusia biasa, sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu apalagi keadaan si pasien yang sudah sekarat
berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang selama ini di berikanya itu sudah tidak berpotensi lagi. Dikatakan mati, ia masih bernafas sekalipun secara
“artificial”. Disisi lain jika dokter memenuhi permintaan tersebut maka dokter telah melanggar sumpah dan hukum. Sebab melalui pertolongannya itu ia telah
mengakhiri hidup seseorang, dan dapat dikatakn ia telah melakukan pembunuhan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 261960, Lembaran Negara 1960 No. 69,
janji dokter adalah sebagai berikut : -
Saya akan membaktikan hidup saya dengan car yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
- Saya akan memelihara dengan sekauat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran. -
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui, karena pekerjaan saya dank arena keilmuan saya sebagai seorang dokter.
- Kesehatan penderita senatiasa saya utmakan.
- Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar
dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan
sosial. -
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
- Teman sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung.
Universitas Sumatera Utara
- Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.
- Sekalipun diancam, saya tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan perikemanusiaan.
- Saya ikrarkan sumpahjanji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkan kehormatan diri saya.
7
Apabila diakitkan dengan bunyi sumpahjanji dokter seperti tersebut diatas maka euthanasia jika terpaksa dilakukan berarti sang dokter telah melanggar apa
yang telah diucapkannya sebelum ia menjalankan profesinya. Dari uaraian diatas, maka dapatlah di simpulkan bahwa hak asasi itu bukan
hanya merupakan masalah yuridis saja tetapi berkaitan dengan nilai-nilai etis, moral yang ada didalam masyarakat, dan dapat memberikan gambaran secara jelas
mengenai perumusan masalah euthanasia ini masih merupakan permasalahan yang belum jelas penyelesaiannya sampai sekarang ini.
B. Pidana Mati, Euthanasia dan Hak-hak Asasi Manusia
Sudah sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana. Tetapi hingga sekarang, belum ada kata sepakat tentang perlu
atau tidaknya pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih merupakan pro dan kontra, dan rasanya memang sampai kapanpun kiranya
7
Ko Tjay Sing, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, PT. Gramedia-Jakrta, 1978 Hal 93.
Universitas Sumatera Utara
masalah ini akan terus begitu saja. Sebagian negara di dunia ini masih akan terus mempertahankan adanya pidana mati, ternasuk didalamnya Indonesia. Sebagian
pula ada yang telah menghapuskannya dalam Undang-undang negaranya. Dengan alasan-alasan tertantu. Para sarjana pun ada yang kontra ada pula yang pro
terhadap pidana mati. Bagi sarjana yang pro pidana mati, seperti misalnya “Bichon Van Y sselmonde, Lambrosso, Garofalo, dan lain-lain. Pada umumnya
mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati itu dirasakan lebih praktis biaya ringan, lebih pasti daripada pidana penjara, yang selama ini paling banyak
dijatuhkan oleh pengadilan manapun. Disamping itu dikatakannya, bahwa pidana penjara sring diikuti
kemungkinan melariakn diri bagi yang dikenal. Sehingga bagi seseorang yang dianggap terlalu jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa
ketakutan kita, kalau orang yang demikian itu, melarikan diri dari penjara dan membuat kejahatan lagi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, penulis tertarik
dengan apa yang pernah dikatakan oleh Moderman sebagai berikut : “tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang, dimana
Dikumpulkan binatang-binatang buas yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kurungan-kurungannya dan mengacu kemampuan
masyarakat. Saya akan lebih takut andai kata tiba-tiba kepergok dengan binatang-binatang buas ini daripada kepergok dengan penjahat yang
dimaksudkan diatas”.
8
jadi disini rupa-ruapnya Moderman tidak menyetujui adanya pidana mati. Bagi sarjana-sarjana lain yang juga kontra terhadap pidana mati, seperti misalnya :
Becaria, Voltarie, Roeslan Saleh, Sahetappy, dan lain-lain, mengemukakan antara
8
. Saleh Roeslan. Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, hal 13
Universitas Sumatera Utara
lain bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh Pencipta-Nya itu Tuhan Yang Maha Esa. Argumentasi ini rupa-ruapanya didasarkan pada segi religius,
yang memang bersendiakn bahwa hidup dengan perkembangan teknologi, mengatakan cara yang sesuai dengan memasukan ke dalam kamar gas, atau
diletakkan di atas kursi listrik. Bahkan masih ada juga yang memakai cara penggal kepala, di negara-negara tertentu seperti Arab dan lain sebagainya.
Terlepas dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati adalah bertentangan denagn kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin
mempertahankan hidupnya dari segala seranagn yang menimpa atas dirinya. Pasti dia akan melakukan sesuatu dan mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh
oleh orang lain misalnya. Begitu pula seseorang yang sedang sakit, pasti akan berusaha pula untuk
berobat, agar cepat sembuh, disamping dia selalu berdoa kepada Tuhan bagi yang mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, oleh sebab itu, pidana mati dipandang
sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seseorang pasti tidak akan luput dari suatu kesalahan, demikian pula
halnya dengan seseorang hakim dalam memeriksa suatu perkara yang mungkin juga dapat berbuat keliru. Sekarang menjadi masalah, bagaimana jika seseorang
telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, kemudian ternyata terjadi kekeliruan pengadilan, dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat di rehabilitir lagi nama
baiknya, karena sudah mati. Apakah hal semacam ini tidak dirasakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
suatu yang sangat kejam? Atas dasar ini, lalu orang tidak menyetujui adanya pidana mati, atas pandangan pemaksaan untuk mati.
Pandangan yang menentang adanya Euthanasia yang mendasarkan dari segi relig ius, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi hak asasi
manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaration of Human Rights. Dari PBB telah mencantugmkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula dalam
undang-undang dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam PBB itu. Diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin hanya
hak untuk mati saja tidak ada walaupun kedengarannya sangat ganjil tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena “hak
untuk mati” ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.
Pandangan yang menetang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati, yang dijatuhkan oleh
hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya seseorang tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau
dengan perkataan lain mempertahankan kelangsungan hidupnya disadari atau tidak, bahwa jeritan hati kecilnya pasti mengatakan keinginannya untuk tidak
mati, dalam setiap doktrin hidup manusia. Dalam hal ini, dapat diaktakan bahwa hakim memaksa kematian
seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pidana mati bukanlah satu-satunya jalan yang dapat di tempuh untuk mencapai salah satu
Universitas Sumatera Utara
tujuan terpidana diadakan penelitian. Dengan euthanasia seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya sendiri, justru malah di larang dan dihalang-
halangi oleh pasien itu adalah merupakan satu-satunya jalan untuk menghilangkan penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pendek kata, orang yang masih ingin
hidup dipaksa untuk amtimoleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan yang tak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun
penderitaan tidak berkelanjutan. Selanjutnya pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip
euthanasia yang mengatakan segala sesuatu yang dialami manusia itu, sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan tertentu.
Tetapi disamping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan berusaha untuk menghilangkan penderitaannya, dalam hal demikian ini pengobatan untuk
penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi. Jalan satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar
penderitaan itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien, padaha jalan lain untuk menghilangkan
penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan ini tidak dapat dikabulkan? Dapat dikatakan sebagai “hak asasi” yang dalam hal ini sebagai ahk
untuk mati? Jika telah diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah hak-hak asasi, apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kasus, khususnya kasus
semacam ini?
Universitas Sumatera Utara
Hakim yang juga manusia bias dapat menentukan kematian seseorang, lewat pidana matinya, dimana orang ini masih segar bugar, yang sebenarnya orang
tersebut masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan
kematian atas dirinya sendiri? Bukankah kematian yang memang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan di lain
pihak, hakim sebenarnya masih dapat menempuh jalan lain, tidak harus menjatuhkan pidana mati bagi seseorang terpidana.
Apabila jalan pikiran seperti tersebut di atas itu diterima untuk menyetujui prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga
merupakan suatu asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak
dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelanggaran semacam ini tidak bedanya dengan pidana mati yang
dijatuhkan oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk
hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia untuk mati.
Dasar pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati, biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan
begitu saja, akan dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum
Universitas Sumatera Utara
dan menyelamatkan keamanan negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan menjatuhkan pidana mati.
Dengan kata lain untuk menyelamatkan pidana mati terhadap si terdakwa, sebab masih banyak cara-cara lain yang dapat ditempuh, misalnya
dengan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lain-lain dengan sendirinya harus diikuti pengawasan efektif
dan pembinaan yang kontiyu, untuk kembali kearah jalan yang benar dan insyaf. Kami yakin bahwa orang itu tidak selamanya berbuat jahat, suatu saat dia pasti
akan sadar terhadap perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan pidana mati rasanya hokum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan
bahkan tidak pemberian kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk memperbaiki perbuatannya, serta tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, yang
juga telah menjadi dasar Negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua dalam pancasila.
Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran bagi orang yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan
terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit yang tidak menentu, dan tidak dapat disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat
ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan hak
“hak untuk mati”. Apabila tertuduh yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian ia dianggap telah
mempergunakan hak untuk matinya., dan pidana mati yang telah dijatuhkan dapat
Universitas Sumatera Utara
dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan “hak untuk
hidupnya”. Dengan demikain harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh hukum dan dihargai hak asasinya.
Jalan keluar ini misalnya dengan mengubah pidana mati yang telah dijatuhkan ini dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sejenis lainnya,
yang dapat dijatuhkan dalam tngkat banding atau kasasi. Dengan cara tersebut diatas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”, kiranya telah sama-sama
diahrgai oleh hukum, terutama hokum pidana, dengan diakauinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini diamksudkan untuk melindungi
manusia terhadap penganiyaan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari sesama umat
manusia.
C. “Euthanasia” Kematian “Hak Untuk Mati”