Euthanasia Ditinjau Dari Undang-Undang N0. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Dan Dilihat Dari Segi Hukum Pidana

(1)

EUTH

TA

           

HANASIA

AHUN 19

Diajuka

Ge

UNIVE

A DITINJA

99 TENT

SEGI

an Untuk M

elar Sarja

Univer

Nama

NPM

Program

FAKU

ERSITA

AU DARI

TANG HA

I HUKUM

SKRIP

Memenuh

ana Pada

rsitas Sum

DISUS

O

L

E

H

m studi

ULTAS

AS SUM

MEDA

2011

I UNDAN

AM DAN

M PIDAN

PSI

hi Syarat

Fakultas

matera Uta

UN

: SUMIT

: 070200

: ILMU

HUKU

MATER

AN

1

NG-UNDA

DILIHAT

NA

Memper

Hukum

ara

TRO P.M

0448

HUKUM

UM

RA UTA

ANG N0.

T DARI

roleh

MANURU

M

ARA

39

NG


(2)

EUTHANASIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG N0. 39

TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHAT DARI

SEGI HUKUM PIDANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

DISUSUN

O

L

E

H

Nama

:

SUMITRO

P.MANURUNG

NPM

:

070200448

Program studi

: ILMU HUKUM

Ketua Departemen: Hukum Pidana

(Dr. Hamdan, SH, M.Hum)

Pembimbing I Pembimbing II

(Nurmalawaty, SH. M.Hum) (M. Nuh, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Jesus Kristus yang selalu menyertai setiap jalan dan setiap langkah dalam pengerjaan skripsi ini maupun dalam setiap kehidupan. Terima kasih untuk semua yang Ia beri di hidupku, bahkan sampai detik ini akau patut bersukacita karena-Nya. Biarlah berkat yang telah diberikan dapat kupergunakan sebaik-baiknya, biarlah juga studiku ini dapat menjadi berkat bagi orang lain. Penulis juga berterima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hamdan, SH selaku ketua jurusan Departemen Hukum Pidana,

atas nasihat dan masukan yang telah diberikan dari Ibu Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

4. Kepada Bapak Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, sebagai dosen

pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing saya dalam pembuatan skripsi ini.

5. Kepada M. Nuh, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing II telah

memberikan arahan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kepada Bapak Drs. Pendastaren Tarigan sebagi pengelola Hukum serta


(4)

7. Semua dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar saya dan kepada seluruh staff pegawai yang telah membantu saya dalam mengurus administrasi yang ada pada Fakultas Hukum USU Medan.

8. Yang terutama, yang akan selalu ku ingat kedua orang tua yang telah

membesarkan saya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan demi anak yang telah dibesarkan untuk menuju ke masa depan.

9. Juga tidak lupa buat anak istri yang selalu mendampingi saya untuk

menyelesaikan skripsi ini dan terus mendorong saya setiap saat tanpa mengeluh dari kekurangan-kekurangan yang ada.

10. Juga tidak lupa ucapan terima kasih saya kepada teman-teman, sahabat dan kolega yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, tidak lupa saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, agar kita semua mendapat Hidayah Dunia dan Akhirat.

Amin.

Medan, Hormat Saya,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR… ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK... ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang. ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

a. Pengertian Hak Asasi Manusia... 6

b. Pengertian Euthanasia ... 8

F. Metode Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : EUTHANASIA DI TINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS A. Euthanasia Menurut UU HAM ... 12

B. Pidana Mati Euthanasia dan Hak Asasi Manusia ... 13

C. Euthanasia, Kematian, dan Hak Untuk Mati ... 25

D. Euthanasia Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran (Segi Medis) ... 40


(6)

BAB III : EUTHANASIA DILIHAT DARI HKUM PIDANA

A. Jenis-Jenis Euthanasia ... 49 B. Euthanasia Dalam KUHP ... 54

C. Euthanasia Menurut Pendapat Ahli Hukum ... 63

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran………. 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA


(7)

ABSTRAK

Kematian adalah suatu fenomena yang diatur oleh Sang Pencipta. Tidak ada seorang pun yang dapat menunda kematian meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan dan perkemabngan sangat pesat. Berbicara mengenai kematian, dikenal adanya istilah “euthanasia”, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Euthanasia ini sudah ada sejak para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan. Dalam keadaan seperti itu tidak jarang pasien ataupun keluarga pasien meminta kepada dokter untuk segera dilakukannya euthanasia. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan hokum yang berlaku di Indonesia. Didalam KUHP pengaturan masalah euthanasia ini diatur di dalam Pasal 344. Pasal ini melarang adanya euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Disisi lain Undang-undang No. 39 Tahun 1999 yang mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa hak yang paling utama dimiliki manusia adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam Pasal 0 ayat 1 dan Pasal 33 ayat 3, dimana didalam hak untuk hidup tersebut tercakup pula hak didalamnya untuk mati, meskipun hak tersebut tidak mutlak. Jika diakitkan dengan pidana mati, maka dapat dilihat suatu keganjilan, yaitu dimana seorang tertuduh tersebut juga masiah ingin mempertahankan kelangsunganhidupnya terus. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Hakim telah memaksa kematian seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pada euthanasia, seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya justru malah dilarang dan dihalng-halangi. Pendek kata, otrang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan tidak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terus walaupun dengan penderitaan yang tidak menentu. Salah satu kasus euthanasia yang masih hangat dibicarakan di Indonesia adalah kasus yang dialami oleh Hasan Kesuma yang meminta dilakukanya euthanasia atas istrinya tercintanya Agian Isna Nauli, yang tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi Caesar. Namun permintaan tersebut banyak mendapat kecaman dan perdebatan dari bebrbagai pihak karena jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku di Indonesia serta melanggar kode etik kedokteran serta paling utama adalah sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka dalam menangani dan menanggulangi masalah ini sangatlah dituntut peranan pemerintah dan penegak hukum untuk mencermati permasalahan tersebut sehingga tidak menimbulkan perdebatan maupun perselisihan di berbagai kalangan.


(8)

ABSTRAK

Kematian adalah suatu fenomena yang diatur oleh Sang Pencipta. Tidak ada seorang pun yang dapat menunda kematian meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan dan perkemabngan sangat pesat. Berbicara mengenai kematian, dikenal adanya istilah “euthanasia”, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Euthanasia ini sudah ada sejak para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan. Dalam keadaan seperti itu tidak jarang pasien ataupun keluarga pasien meminta kepada dokter untuk segera dilakukannya euthanasia. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan hokum yang berlaku di Indonesia. Didalam KUHP pengaturan masalah euthanasia ini diatur di dalam Pasal 344. Pasal ini melarang adanya euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Disisi lain Undang-undang No. 39 Tahun 1999 yang mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa hak yang paling utama dimiliki manusia adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam Pasal 0 ayat 1 dan Pasal 33 ayat 3, dimana didalam hak untuk hidup tersebut tercakup pula hak didalamnya untuk mati, meskipun hak tersebut tidak mutlak. Jika diakitkan dengan pidana mati, maka dapat dilihat suatu keganjilan, yaitu dimana seorang tertuduh tersebut juga masiah ingin mempertahankan kelangsunganhidupnya terus. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Hakim telah memaksa kematian seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pada euthanasia, seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya justru malah dilarang dan dihalng-halangi. Pendek kata, otrang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan tidak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terus walaupun dengan penderitaan yang tidak menentu. Salah satu kasus euthanasia yang masih hangat dibicarakan di Indonesia adalah kasus yang dialami oleh Hasan Kesuma yang meminta dilakukanya euthanasia atas istrinya tercintanya Agian Isna Nauli, yang tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi Caesar. Namun permintaan tersebut banyak mendapat kecaman dan perdebatan dari bebrbagai pihak karena jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku di Indonesia serta melanggar kode etik kedokteran serta paling utama adalah sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka dalam menangani dan menanggulangi masalah ini sangatlah dituntut peranan pemerintah dan penegak hukum untuk mencermati permasalahan tersebut sehingga tidak menimbulkan perdebatan maupun perselisihan di berbagai kalangan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia terus menerus untuk tetap berusaha menunda kematian dengan berbagai cara dan berbagai kemajuan teknologi. Dengan adanya penemuan-penemuan teknologi modern mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya. Salah satu kemajuan teknologi itu adalah dibidang medis.

Tetapi walaupun demikian tak seorang pun dapat menunda yang namanya kematian, karena semuanya itu sudah diatur oleh sang Pencipta , jadi siapapun tidak dapat mengetahui secara pasti kapan kematian itu terjadi meskipun ilmun pengetahuan dan teknologi dibidang medis telah mengalami kemajuan dengan

menggunakan alat-alat medis yang modern dan canggih saat ini. 

Berbicara mengenai kematian, menurut cara terjadinya, ilmu pengetahuan membaginya dalam tiga jenis, yaitu:

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi karena sesuatu yang wajar.

3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau

tidak dengan pertolongan dokter.1


(10)

Jenis kematian yang ketiga ini lah yaitu “euthanasia” yang menjadi permasalahan yang sudah ada sejak para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang tidak bisa disembuhkan dimana pasien berada dalam keadaan sekarat dan merana yang begitu lama.

Dalam situasi yang demikian tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari penderitaan seperti itu atau dalam kondisi lain dimana si pasien sudah tidak sadar dan keluarga si pasien tidak tega melihat penderitaan yang dialami menjelang ajalnya sehingga meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat atau berupa suntikan yang mempercepat kematiannya.

Perbuatan euthanasia ini merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena merenggut nyawa manusia dengan menghentikan pengobatan kepada pasien yang sedang menderita. Dalam hal ini dokterlah yang mempunyai peranan sekaligus dengan sekalipun dengan maksud yang baik.

Apabila hal ini dokter melakukan euthanasia selain melanggar kode etik kedokteran, maka dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP. Meskipun tidak ada kode etik perilaku dokter harus sesuai dengan etik masyarakat dimana ia berada, karena dokter sebagaimana anggota masyarakat lainnnya, selain makhluk individual, juga makhluk sosial, budaya dan religius. Masalah euthanasia ini begitu penting karena menyangkut hidup dan matinya pasien ditangan dokter yang merawatnya secara tertentu.


(11)

Dewasa ini masalah euthanasia belum jelas tentang pengaturannya, mungkin dikarenakan masih belum ada kasus tentang euthanasia secara lengkap, sehingga pengaturannya dalam Undang-undang dapat ditetapkan. Suatu hal yang sebenarnya lebih mendasar ialah bahwa Undang-undang dan etik mempunyai tujuan yang berbeda satu dengan yang lain. Undang-undang terutama bertujuan menyelesaikan konflik begitu rupa sehingga keteraturan dasar masyarakat tetap terjaga. Sedangkan etik mempunyai ruang lingkup yang jauh lebih luas. Misalnya hubungan kita dengan orang lain dan bagaimana nilai-nilai dan ciri kepribadian kita sebaiknya dinyatakan dalam perilkau sehari-hari, Undang-undang tidak dapat diharapkan untuk memuat hal-hal terperinci seperti yang diharapkan semua orang.

Dari sinilah masalah euthanasia ini muncul dan menarik perhatian serta mendapat sorotan dunia terlebih-lebih setelah dilangsungkannya Konferensi Hukum Sedunia yang diselenggarakan oleh World Peace Through Law Center di Manila tanggal 22 dan 23 Agustus 1977, dimana dalam konferensi tersebut diadakan Sidang Semu mengenai hak manusia untuk mati (the right to die).

Hak yang paling utama dari manusia adalah “hak untuk hidup” atau “the

right to life”. Didalam pengertian untuk hidup ini tercakup pula adanya “hak

untuk mati” atau “the right to life” yang telah diakui oleh dunia dengan dimasukkannya kedalam Universal Declaration of Human Rights oleh PBB tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan mengenai hak untuk mati karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan dikalangan para ahli berbagai bidang di dunia ini.


(12)

Ada beberapa Negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu merupakan hak dari pada Tuhan yang Maha Esa, bukan hak dari pada manusia. Pada umunya pendapat ini didasarkan atas pertimbangan segi religius. Akan tetapi sebagian Negara juga ada yang memperbolehkan dan mengaturnya secara jelas didalam Perundangan-undangannya, sehingga dapat diaktakan bahwa hak untuk mati itu tidaklah bersifat mutlak bagi setiap orang.

Di Indonesia hak asasi manusia ini diatur di dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimana didalamnya mengatur hal-hal yang menyangkut soal hak-hak assi manusia secara mendasar.

Selain UU No. 39 tahun 1999 tenatang hak asasi Manusia, sebenarnya sudah banyak diatur did lam UUD 1945 dan Perundang-undangan Republik Indonesia lainnya. Namun masalahnya bahwa saat ini merupakan moral rights dan belum merupakn positive rights.

Tantangan bagi kita semua adalah menggalakkan peningkatan hak-hak warga Negara Indonesia itu dari moral rights menjadi positive rights, sehingga baik dalam Perundang-undang maupun riilnya, Indonesia adalah benar-benar merupakan Negara hukum yang menghormati hak-hak asasi warga negaranya.

Sehubungan dengan pembahasan mengenai hak untuk hidup dan hak untuk amti tersebut, maka akan terkait dengan masalah hukum pidana yaitu yang disebut dengan euthanasia. Untuk itu satu-satunya landasan hukum yang dipakai adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi : “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan


(13)

sungguh-sungguh dihukum penjara selama 12 tahun”2. Sampai sekarang ini pasal tersebut dianggap paling mendekati dalam menyelesaiakn masalah euthanasia.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan masalah euthanasia dikaitkan dengan hak asasi

manusia?

2. Bagaimana masalah euthanasia ini memperoleh perlindungan hukum di

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana Undang-undang Hak Asasi Manusia

mengatur tentang euthanasia.

2. Bagaimana pengaturan euthanasia di dalam KUHP dan bagaimana

tanggapan para ahli hukum mengenai hal ini.

3. Bagaimanan pengaturna kedepan mengenai masalah euthanasia khususnya

di Indonesia .

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakkan yang dapat merugikan pihak-pihak tettentu, jika terdapat kesamaan maka untuk itu Penulis dapat bertanggung jawab dan

memperbaiki keaslian penulisan skripsi ini. 

 

2.

. R. Soesilo, kitab undang‐undang hokum pidana, Politeia‐Bogor, 1994. Hal 243 

     


(14)

 

E. Tinjauan Kepustakaan

a. Pengertian Hak Asasi Manusia

Manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa mempunyai

kewajiban memelihara alam semesta dengan penuh tanggung jawab, untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia secara berkelanjutan.

Manusia oleh sang Pencipta dianugrahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan di dalam lingkungannya maupun penataan kehidupannya.

Dari dasar pandangan yang demikian itu, maka semua orang yang dilahirkan didunia ini memiliki kemerdekaan dan mempunyai martabat serta hak yang sama, juga dikaruniai akal dan budi yang sama pula.

Oleh karenanya setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan. Artinya tidak seorang pun boleh diperlakukan seenaknya, diperbudak, dianiaya maupun diperlakukan secara kejam sesuai dengan Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Manusia disamping memiliki hak asasi manusia, juga berkewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain dan masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada diri manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah Tuhan yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan warga Negara Indonesia dan demi perlindungan harkat dan martabat manusia.


(15)

Hak asasi dapat diliputi dalam beberapa bidang, yaitu :

1. Hak asasi manusia bidang sipil seperti hak untuk hidup, hak warga Negara,

hak mengembangkan diri, hak-hak wanita, dan hak-hak anak.

2. Hak asasi manusia dibidang politik seperti hak turut serta dalam

pemerintahan, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk berserikat, dan lain sebagainya.

3. Hak asasi manusia bidang social seperti hak mmeperoleh keadilan, hak

atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, dan lain-lain.

4. Hak asasi manusia bidang budaya seperti hak untuk memiliki,

menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan, hak untuk

mengembangkan budaya, dan lain-lain3.

Berdasarkan pengertian hak asasi manusia tersebut, maka jelaslah bahwa sifat dari hak asasi manusia itu adalah universal, yang berarti bagi semua manusia yang ada didunia ini sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa, tanpa membeda-bedakan tempat, jenis kelamin, suku, ras, etnik ataupun agama.

Para pakar berpendapat bahwa arti universal harus dipahami sebagai hak asasi yang pelaksanaannya masih bergantung pada pengaruh lingkungannya dimana seseorang itu berada, agama, maupun adat istiadatnya. Paham inilah yang membedakan dengan paham barat yang menganggap universal sebagai absolute.

3

.Sugondo Lies Ny. (Anggota Komnas HAM)-Juli 1999 Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, PUSLITBANG DIKLAT Mahkamah agung RI, Jakrta, 2001.Hal 131-132


(16)

Namun setelah melalui proses panjang sejak Deklarasi PBB 10 Desember 1948 samapai pada tahun 1993 yaitu dimana ditandai melalui Konvensi International di Viena Austri, bahwa paham barat sudah mulai bergeser, bahakan ditegaskan “Universal” harus dipahami segala sesautu yang berkmbang melalui proses lingkungan dimana manusia itu berada, yang dipengaruhi oleh adat, agama dan lain sebagainya.

b. Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “EUTHANATOS”. Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos berarti mati, arti harfiahnya adalah mati

baik4. Jadi dapat disimpulkan bahwa euthanasia itu adalah mati dengan tenang,

atau dapat didefinisikan sebagai “a good m dead”.

Mati dengan baik diharpakan oleh semua orang, tetapi tidak semaua orang setuju dengan mati baik ini (euthanasia). Dalam bioetika euthanasia menjadi suatu istilah teknis. Dalam arti sempit, euthanasia diartikan sebagai mati tanpa derita.

Derita juga dikatakan bahwa euthanasia merupakan suatu perbuatan yang dengan sengaja memperpendek umur atau dengan kata lain menghilangkan jiwa orang dengan alasan untuk menghilangkan penderitaan yang dialami oleh seseorang yang telah lama mengidap suatu penyakit yang tidak mungkin serta tidak dapat disembuhkan lagi. Perbuatan tersebut didasari karena suatu penderitaan yang telah berlarut-larut dan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan serta kerugian materi, serta didasarkan juga atas permintaan dari keluarga si pasien ataupun langsung atas permintaan si pasien sendiri.

4

. Nadeak P.Gonzales, OFMCap.Lebih Baik Mati?Menyorot Euthanasia. Bina Media Perintis, Medan


(17)

1. Euthanasia aktif, yaitu suatu keadaan dimana pasien meminta, memberi izin dan member persetujuan untuk menghentikan perawatan/pengobatan yang memperpanjang hidupnya. Euthanasia ini sangat ditenytang keras di dalam masyarakat karena dianggap sebagai suatu pembunuhan serata perbuatan yang bersifat amoral.

2. Euthanasia pasif, yaitu suatu keadaan dimana tidak ada permintaan

langsung dari pasien, dengan cara tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien untuk memperpanjang hidupnya.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan euthanasia dilakukan karena suatu penderitaan yang sudah cukup berkepanjangan, sehingga dengan dasar pertimbangan itulaha makanya terjadi tindakan euthanasia.

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha dengan kerja yang maksimal dan dengan kemampuan serta pengetahuan yang penulis miliki untuk mendapatkan data-data yang mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dalam penyusunan skripsi ini Penulis menyusun data dengan menghmpun data primer dan data sekunder, yaitu :

1. Data primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang mmepunyai kekuatan hukum yang mengikat.

2. Data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan

bahan hokum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.


(18)

Dengan menggunakan metode Library Research, yaitu mencari dan mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media cetak/Koran, internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana tiap-tiap babnya akan menguraikan :

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini secara berturut-turut memuat tentang Latar Belakang Penulisan, Pokok-pokok permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang terdiri dari Pengertian Hak Asasi Manusia dan Pengertian Euthanasia, Metode Penulisan, dan uraian singkat mengenai Sistematika Penulisan.

BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS

Pada bab ini akan diuraikan tentang bagaimana Undang-undang Hak Asasi Manusia menyikapi dan mengatur tentang masalah euthanasia di Indonesia, serta hubungannya dengan pidana mati dan hak-hak asasi manusia terutama hak untuk hidup dan hak untuk mati serta diuraikan pula tinjauan dari segi medis.


(19)

BAB III. EUTHANASIA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA

Pada bab ini diuraikan mengenai jenis-jenis euthanasia, bagaimana pengaturan permasalahn euthanasia ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai hokum positif yang berlaku di Indonesia, serta bagaimanan pendapat para ahli hukum menanggapi tentang masalah euthanasia ini.

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan terhadap permasalahn yang terurai di dalam bab-bab sebelumnya. Didalam Bab IV ini juga akan disampaikan pula mengenai saran Penulis yang diajukan untuk perbaikan dari pengaturan masalah euthanasia yang menjadi pokok pembahasan di dalam skripsi ini.


(20)

BAB II

EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS

A. Euthanasia Menurut Undang-undang HAM

Sebahagian lapisan masyarakat belum memahami tentang makna hakiki hak manusia. Pada umumnya mereka hanya mengetahui karena banyak mendengar disebut-sebut dalam peraturan sehari-hari, melalui media-media cetak ataupun elektronik. Sedangkan upaya-upaya penyuluhan tentang hak asasi manusia ini belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Dari kenyataan tersebut maka menimbulkan banyak aksus yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia ditafsirkan secara keliru. Ada yang berpikiran ini bersifat universal absolute, universal relative, partikularistik absolute, dan partikularistik relative.

Banyak pengaduan ke Komnas Ham yang sesungguhnya permaslahn mereka terletak dalam ruang lingkup Hukum Perdata atau Hukum Pidana, tetapi karena kekurangan pemahaman maka mereka datang dan minta agar Komnas HAM menanganinnya dengan harapan mendapat penyelesaian.

Sesungguhnya pemahaman tentang hak asasi manusia seperti tertuang dalam deklarasi hak asasi manusia PBB, terdapat perbedaan-perbedaan antara Negara-negara barat dan timur. Negara barat, hak dan kebebasan individu harus dihormati


(21)

dengan sepenuhnya oleh pemerintah dan masyarakat, individu berhak sepenuhya mengeluarkan pikiran, perasaan dan menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya sesuai dengan seleranya sendiri.

Sedangkan di Negara-negara timur (termasuk Indonesia) hak kebebasannya dibatasi dengan faktor-faktor agama, adat istiadat masyarakat setempat dan budaya masing-masing. Jadi hak kebebasan individu dibatasi dengan penghormatan pada moral, dan kehormatan sebagian besar masyarakat. Jadi deklarasi hak asasi manusia manusia secara keseluruhan hanya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan hak asasi manusia didunia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi tersebut dapat digunakan sebagai ukuran antara bangsa mengenai hak asasi manusia.

Deklarasi hak asasi PBB tahun 1948, menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak dan kebebasnya tanpa ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Walupun deklarasi tersebut sangat penting artinya namun mengingat PBB tidak memiliki stuktur kekuasaan yang dapat memaksakan kepada anggotanya agar mengimplementasikanya ke dalam undang-undang nasional dan kebijaksanaan masing-masing anggotanya, maka tentunya deklarasi tersebut tidak mungkin menjadikan dasar dalam memberlakukan prinsip-prinsip yang tercantum di dalamnya.

Negara-negara sebagai anggota masyarakat dunia, mengakui bahwa hak-hak asasi manusia yang mendasar tidak diperoleh dari warga Negara tertentu saja, tetapi didasarkan pada sifat kepribadian manusia. Karena mereka membenarkan


(22)

perlunya perlindungan internasional dalam bentuk konvensi yang memperkuat atau melengkapi perlindungan yang diberikan oleh hukum nasionalnya, maka Negara kita adalah Negara hukum, artinya bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan, tetapi segala sesuatunya harus dilandasi secara hukum dan menjadikan sebagai supremasi.

Pancasila yang menjadi landasan idiil Negara, mengandung nilai-nilai luhur, dimana sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan tuntunan bagi perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia yang juga dijiwai pula dalam Pembukaan UUD 1945.

Mengingat hak asasi manusia sebagai suatu yang terkait dengan berbagai aspek seperti harga diri, harkat dan martabat manusia maupun bangsa, oleh karenanya dalam penanganannya harus melibatkan semua unsur penegak hukum, lembaga-lembaga penyelenggaraan Negara, LSM dan lain sebagainya dan tidak mungkin dilakukan secara ragu-ragu. Apalagi hanya melalui sebuah Komnas HAM saja.

Dalam rangaka menjamin hak asasi manusia nampaknya pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menerbitkan Undang-undang tentang hak asasi manusia. Walaupun tidak mungkin semua hak asasi manusia dimaksud diatur dalam Undang-undang, oleh karenanya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi yang meliputi pada seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti dalam Pasal 105 ayat 1 sebagai klausal yang menyatakan “bahwa disamping hak asasi manusia yang diatur dalm berbagai Konvensi


(23)

Internasional yang telah diratifikasikan oleh Negara RI yang sudah menjadi hukum positif bagi rakyat Indonesia.”

Tentunya sangat menyambut baik terhadap keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentangt hak asasi manusia tersebut, yang didalamnya pula sekaligus mengatur lembaga pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia yaitu dinamakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia ini, Komnas HAM diberi wewenang untuk melakukan “sub poema”, yaitu berwenang memanggil saksi-saksi dengan sanksi bilamana tidak memenuhi panggilan dimksud tanpa alasan yang sah. Bahkan juga dapat meminta dokumen tertulis sebagai barang bukti atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan lain yang di mungkinkan adalah dalam penyidikan terhadap pelanggaran hak asasi berat, diakui sebagai barang bukti awal yang cukup guna diproses oleh penyidik dan penuntut umum dan diteruskan ke Pengadilan.

Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999, hak kodrat yang paling utama diatur adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam pasal 9 ayat 1 yaitu:


(24)

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.5

Pasal 33 ayat 2 yaitu :

Setiap orang berhak untuk bebas dari pengilangan paksa dan penghilangan nyawa.6.

Sedangkan didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula di dalamnya hak untuk mati.

Berbicara mengenai hak untuk hidup dan hak untuk mati akan terkait dengan masalah Hukum Pidana yang disebut dengan euthanasia. Namun masalah hak untuk mati itu tidaklah bersifat mutlak, jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatannya yang diberikan sudah tidak ada gunanya lagi. Dalam situasi yang demikian, si penderita boleh menggunakan hak untuk matinya denagn cara kepada dokter untuk menghentikan pengobatan.

Misalnya menjadi semakin rumit, bila seseorang pasien sudah sekarat dan tidak sadar selam berbulan-bulan, kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi maut akan merenggut nyawanya. Baik penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang tiada terhingga itu dengan jalan melakukan tindakan euthanasia.

5

undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia, Http//www.yahoo.com

6


(25)

sebagai seorang manusia biasa, sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu apalagi keadaan si pasien yang sudah sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang selama ini di berikanya itu sudah tidak berpotensi lagi. Dikatakan mati, ia masih bernafas sekalipun secara “artificial”. Disisi lain jika dokter memenuhi permintaan tersebut maka dokter telah melanggar sumpah dan hukum. Sebab melalui pertolongannya itu ia telah mengakhiri hidup seseorang, dan dapat dikatakn ia telah melakukan pembunuhan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26/1960, Lembaran Negara 1960 No. 69, janji dokter adalah sebagai berikut :

- Saya akan membaktikan hidup saya dengan car yang terhormat dan

bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya.

- Saya akan memelihara dengan sekauat tenaga martabat dan tradisi luhur

jabatan kedokteran.

- Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui, karena

pekerjaan saya dank arena keilmuan saya sebagai seorang dokter.

- Kesehatan penderita senatiasa saya utmakan.

- Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar

dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial.

- Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan


(26)

- Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.

- Sekalipun diancam, saya tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran

saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan perikemanusiaan.

- Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya.7

Apabila diakitkan dengan bunyi sumpah/janji dokter seperti tersebut diatas maka euthanasia jika terpaksa dilakukan berarti sang dokter telah melanggar apa yang telah diucapkannya sebelum ia menjalankan profesinya.

Dari uaraian diatas, maka dapatlah di simpulkan bahwa hak asasi itu bukan hanya merupakan masalah yuridis saja tetapi berkaitan dengan nilai-nilai etis, moral yang ada didalam masyarakat, dan dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai perumusan masalah euthanasia ini masih merupakan permasalahan yang belum jelas penyelesaiannya sampai sekarang ini.

B. Pidana Mati, Euthanasia dan Hak-hak Asasi Manusia

Sudah sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana. Tetapi hingga sekarang, belum ada kata sepakat tentang perlu atau tidaknya pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih merupakan pro dan kontra, dan rasanya memang sampai kapanpun kiranya

7


(27)

masalah ini akan terus begitu saja. Sebagian negara di dunia ini masih akan terus mempertahankan adanya pidana mati, ternasuk didalamnya Indonesia. Sebagian pula ada yang telah menghapuskannya dalam Undang-undang negaranya. Dengan alasan-alasan tertantu. Para sarjana pun ada yang kontra ada pula yang pro terhadap pidana mati. Bagi sarjana yang pro pidana mati, seperti misalnya “Bichon Van Y sselmonde, Lambrosso, Garofalo, dan lain-lain. Pada umumnya mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati itu dirasakan lebih praktis biaya ringan, lebih pasti daripada pidana penjara, yang selama ini paling banyak dijatuhkan oleh pengadilan manapun.

Disamping itu dikatakannya, bahwa pidana penjara sring diikuti kemungkinan melariakn diri bagi yang dikenal. Sehingga bagi seseorang yang dianggap terlalu jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa ketakutan kita, kalau orang yang demikian itu, melarikan diri dari penjara dan membuat kejahatan lagi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, penulis tertarik dengan apa yang pernah dikatakan oleh Moderman sebagai berikut :

  “tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang, dimana Dikumpulkan binatang-binatang buas yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kurungan-kurungannya dan mengacu kemampuan masyarakat. Saya akan lebih takut andai kata tiba-tiba kepergok dengan binatang-binatang buas ini daripada kepergok dengan penjahat yang dimaksudkan diatas”.8

jadi disini rupa-ruapnya Moderman tidak menyetujui adanya pidana mati. Bagi sarjana-sarjana lain yang juga kontra terhadap pidana mati, seperti misalnya : Becaria, Voltarie, Roeslan Saleh, Sahetappy, dan lain-lain, mengemukakan antara


(28)

lain bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh Pencipta-Nya itu Tuhan Yang Maha Esa. Argumentasi ini rupa-ruapanya didasarkan pada segi religius, yang memang bersendiakn bahwa hidup dengan perkembangan teknologi, mengatakan cara yang sesuai dengan memasukan ke dalam kamar gas, atau diletakkan di atas kursi listrik. Bahkan masih ada juga yang memakai cara penggal kepala, di negara-negara tertentu seperti Arab dan lain sebagainya.

Terlepas dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati adalah bertentangan denagn kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin mempertahankan hidupnya dari segala seranagn yang menimpa atas dirinya. Pasti dia akan melakukan sesuatu dan mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh oleh orang lain misalnya.

Begitu pula seseorang yang sedang sakit, pasti akan berusaha pula untuk berobat, agar cepat sembuh, disamping dia selalu berdoa kepada Tuhan bagi yang mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, oleh sebab itu, pidana mati dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Seseorang pasti tidak akan luput dari suatu kesalahan, demikian pula halnya dengan seseorang hakim dalam memeriksa suatu perkara yang mungkin juga dapat berbuat keliru. Sekarang menjadi masalah, bagaimana jika seseorang telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, kemudian ternyata terjadi kekeliruan pengadilan, dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat di rehabilitir lagi nama baiknya, karena sudah mati. Apakah hal semacam ini tidak dirasakan sebagai


(29)

suatu yang sangat kejam? Atas dasar ini, lalu orang tidak menyetujui adanya pidana mati, atas pandangan pemaksaan untuk mati.

Pandangan yang menentang adanya Euthanasia yang mendasarkan dari segi relig ius, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi hak asasi manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaration of Human Rights. Dari PBB telah mencantugmkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula dalam undang-undang dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam PBB itu. Diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin hanya hak untuk mati saja tidak ada walaupun kedengarannya sangat ganjil tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena “hak untuk mati” ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.

Pandangan yang menetang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati, yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya seseorang tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan perkataan lain mempertahankan kelangsungan hidupnya disadari atau tidak, bahwa jeritan hati kecilnya pasti mengatakan keinginannya untuk tidak mati, dalam setiap doktrin hidup manusia.

Dalam hal ini, dapat diaktakan bahwa hakim memaksa kematian seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pidana mati bukanlah satu-satunya jalan yang dapat di tempuh untuk mencapai salah satu


(30)

tujuan terpidana diadakan penelitian. Dengan euthanasia seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya sendiri, justru malah di larang dan dihalang-halangi oleh pasien itu adalah merupakan satu-satunya jalan untuk menghilangkan penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pendek kata, orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk amtimoleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan yang tak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun penderitaan tidak berkelanjutan.

Selanjutnya pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip euthanasia yang mengatakan segala sesuatu yang dialami manusia itu, sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan tertentu. Tetapi disamping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan berusaha untuk menghilangkan penderitaannya, dalam hal demikian ini pengobatan untuk penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi. Jalan satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar penderitaan itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien, padaha jalan lain untuk menghilangkan penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan ini tidak dapat dikabulkan? Dapat dikatakan sebagai “hak asasi” yang dalam hal ini sebagai ahk untuk mati? Jika telah diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah hak-hak asasi, apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kasus, khususnya kasus semacam ini?


(31)

Hakim yang juga manusia bias dapat menentukan kematian seseorang, lewat pidana matinya, dimana orang ini masih segar bugar, yang sebenarnya orang tersebut masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas dirinya sendiri? Bukankah kematian yang memang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan di lain pihak, hakim sebenarnya masih dapat menempuh jalan lain, tidak harus menjatuhkan pidana mati bagi seseorang terpidana.

Apabila jalan pikiran seperti tersebut di atas itu diterima untuk menyetujui prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga merupakan suatu asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelanggaran semacam ini tidak bedanya dengan pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia untuk mati.

Dasar pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati, biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan begitu saja, akan dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum


(32)

dan menyelamatkan keamanan negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan menjatuhkan pidana mati.

Dengan kata lain untuk menyelamatkan pidana mati terhadap si terdakwa, sebab masih banyak cara-cara lain yang dapat ditempuh, misalnya dengan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lain-lain dengan sendirinya harus diikuti pengawasan efektif dan pembinaan yang kontiyu, untuk kembali kearah jalan yang benar dan insyaf. Kami yakin bahwa orang itu tidak selamanya berbuat jahat, suatu saat dia pasti akan sadar terhadap perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan pidana mati rasanya hokum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan bahkan tidak pemberian kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk memperbaiki perbuatannya, serta tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, yang juga telah menjadi dasar Negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua dalam pancasila.

Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran bagi orang yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit yang tidak menentu, dan tidak dapat disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan hak “hak untuk mati”. Apabila tertuduh yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian ia dianggap telah mempergunakan hak untuk matinya., dan pidana mati yang telah dijatuhkan dapat


(33)

dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan “hak untuk hidupnya”. Dengan demikain harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh hukum dan dihargai hak asasinya.

Jalan keluar ini misalnya dengan mengubah pidana mati yang telah dijatuhkan ini dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sejenis lainnya, yang dapat dijatuhkan dalam tngkat banding atau kasasi. Dengan cara tersebut diatas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”, kiranya telah sama-sama diahrgai oleh hukum, terutama hokum pidana, dengan diakauinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini diamksudkan untuk melindungi manusia terhadap penganiyaan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari sesama umat manusia.

C. “Euthanasia” Kematian “Hak Untuk Mati”

Lain di pengadilan, lain pula di dunia medis. Apabila di pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senatiasa melindungi makhluk hidup insane, sebagaimana di tetapkan dalm kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” didunia, terutama dinegara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kematian diminta oleh keluarganya suapaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di


(34)

Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau penjabat yang berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.

Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat denan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya kenyataan bahwa profesi medis pada dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungnya tetap hidup dan berdetak denagn bantuan sebuah “respirator”. Dinegara-negara maju sudah banyak yang memberiakn defenisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang memberiakn defenisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus ini biasanya akibat kemajaun yang telah dicapai dalm bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi oragn tubuh

(anatomical gifts).

Definisi kematian ini diterima sebagai akibat daripada perkembangan ilmu kedokteran, sehubungan dengan “organ transplants”, pencabutan alat-alat untuk menopang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupakn kembali terhadap organ tersebut.


(35)

Pada perkembangan selanjutnya American Medical Association, tahun 1977 menyatkan suatu definisi Perundang-undangan tentang kenatian dengan criteria tersebut diatas bsebelum itu, yakni tahun 1968 di Amerika Serikat telah ditetapakan di dalam The Uniform Anatomical Gift Act bahwa seseorang yang berumur 18 tahun atau lebih, dapat memberiakn seluruh atau sebagian dari badannya pada saat kematiannya untuk tujuan-tujuan riset, pengobatan dan transplatansi. Jadi jelas bahwa sebenarnya definisi kematian yanag bersifat umum itu sangat dip[erlukan dan tidak banyak terbatas untuk tujuan transplatansi organ saja. Dengan demikain maka seseorang yang “incompetent” yang masih hidup karena dibantu dengan life support systems. Bisa dicabut life support systems-nya, sekalipun tindakan ini akan berakibat kematian sudah terdapat bukti-bukti yang tak dapat dibanth lagi, bahwa kematian biologis tak dapat dibantah lagi, hal inilah yang termasuk di dalam pengertian “hak untuk mati”. Hanya saja pengertian “hak untuk mati” mencakup pula hak seseorang yang telah dewasa yang “competent” untuk menolak medical treatment, sekalipun akan mengakibatkan kematiannya. Jadi dalam hal ini merupakan hak daripada si pasien yang telah dewasa, yang harus dihormati adanya. Apabila kita berpaling kepada ilmu kedokteran, maka akan di jumpai apa yang disebut sebagai “mati suri” dan “mati yang sebenarnya”. Disamping itu jika dilihat dari saat terjadinya kematian, akan dapat istilah-istilah

somatic death dan biological death. Untuk menjelaskan mengenai istilah-istialh


(36)

a. Setiap manusia setelah hidup, pasti lama kelamaan akan mengalami proses kematian. Oleh karena itu, ia mempunyai apa yang disebut dengan “garis hidup” dan “garis mati”.

b. Pada setiap orang yang masih hidup, ia mempunyai fungsi kehidupan yang

dinamakan “fungsi animal” dan fungsi vegetatif. “fungsi animal” dimaksudkan bahwa setiap orang yang hidup itu mempunyai fungsi sebagaimana yang dimilki oleh binatang, sehingga dapat berjalan, bergerak ke sana kemari dan lain-lain yang pokoknya semau fungsi yang dimiliki oleh binatang, dimiliki juga oleh manusia. Begitu pula “fungsi vegetatif” dimaksudkan bahwa semau fungsi yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan, dimilki oleh manusia. Oleh karena itu, makhluk manusia itu merupakan makhluk yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya, bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain yaitu binatang dan tumbuh-tumbuhan.

c. Garis hidup, makin lama makin menurun, sedangkan garis mati semakin

lama semakin baik. Apabila kita telusuri pada gasris hidup, maka pada saat akan sampai kepada suatu titik, dimana “fungsi animal” dan “fungsi vegetatif” sudah tidak menunjukkan aktifitasnya lagi. Kemudian lama-lama garis hidup ini akan bertemu dengan garis mati atau menemui ajal.

d. Saat pertemuan antara garis hidup dan garis mati inilah yang disebut

dengan somatic death, yakni kematian secara badaniah saja. Pada saat ini orang belum dapat dikatakan benar-benar, karena masih dimungkinkan


(37)

timbulnya gejala-gejala hidup ini sangat kecil sekali kemungkinannya. Pada somatic death ini dijumpai tanda-tanda kematain sebagai berikut: 1.Livor mortis (lebam mayat),

2.Rigor mortis (kaku mayat) dan

3.Algor mortis (warna dingin mayat)9

e. Sejak saat terjadinya somatic death ini, hamper tanda-tanda kehidupan

sudah tidak tampak lagi, begitu sebaliknya, tanda-tanda kematian besar.


(38)

f. Perkembangan selanjutnya, setelah terjadinya somatic death, kita harus menunggu sampai kkurang lebih dua jam, untuk menentukan secara pasti tentang kematin seseorang. Pada saat inilah dapat dimungkinkan terjadinya apa yang disebut sebagai mati suri. Jadi “mati suri” ini terjadi selama waktu diantara somatic death dan biological death, yang memakan waktu kurang lebih selam dua jam. Sehubungan dengan hal ini, maka jika terjadi kematian dirumah-rumah sakit, setelah dinytakan mati oleh dokter (sebagai somatic death), keluarga orang yang meninggal tersebut, tidak diperkenankan langsung membawa kerumahnya, tetapi harus menunggu sampai kurang lebih dua jam. Selama dua jam ini, apabila tidak ada kejadain yang disebut sebagai “mati suri” maka terjadilah gejala-gejala cel degeneration, dengan tanda-tanda berikut :

1. Discoloration (terjadinya perubahan warna)

2. Softening (jarinagn menjadi lunak) dan

3. Rotting (terjadinya pembusukkan)10

g. Setelah itu baru terjadi suatu kematian yang benar-benar mati, baik

jasmaniah maupun rohaniahnya, dan ini dikenal dengan istilah medis sebagai biological death atau kenatian secara biologis.

Dari penjelasan diatas dapatlah diketahui, bahwa yang disebut sebagai mati dalam ilmu kedokteran adalah biological death. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, waktu yang dua jam itu dapat diperpanjang sampai 24 jam. Selama waktu 24 jam iniorang yang telah meninggal tadi dites

10


(39)

Secara medis terus-menerus apakah seluruh sel-sel tubuh manusia ini sudah tidak berfungsi lagi atau tidak. Jadi hal nini hanya merupakan percobaan medis saja.

Kebutuhan akan defenisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tettapi otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang parah. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-macam pendapat baik yang bersifat juridis, moral maupun medis.

Sekarang masalahnya, bagaimana dengan istilah kematian dalam ilmu hukum? Biasanya definisi mati yang diapaki di pengadilan-pengadilan terhadapa kasus yang terjadi, baik di dalam maupun diluar negeri, menanggap bahwa apoabila masih bernafas belum dikatakan mati. Jadi diaktakan mati, apabila orang tersebut sudah tidak bernafas lagi. Memang banyak kasus yang terjadi, misalnya pembunuhan yang menyebabkan kematian. Pada umumnya orang yang dibunuh trsebut, setelah tidak bernafas lagi. Kemudian langsung dikubur begitu saja. Dengan demikian proses pengadilan. Hakim mendefenisikan bahwa orang tersebut mati terbunuh yang akhirnya terdakwanya dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang pembunuhan tersebut. Kalau dipakai definisi demikian dan dihubungkan dengan masalah euthanasia, seorang yang sudah tidak bernafas, sedang otaknya masih meransang, jadi belum dikatakan sebagai brain death, apakah hal ini juga disebut mati oleh pengadilan? Oleh karena itulah , perlu dirumuskan suatu definisi tentang kematian yang bersifat umum, yang dapat


(40)

dengan hukum, terutama hukum pidana. Hal ini sangat penting artinya dalam menangani berbagai kasusu yang berhubungan dengan euthanasia, yang selama ini belum dapat ditolerir di Negara-negara sedang berkembang, terutama di Indonesia.

Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan terlarang dan diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai ke pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin menetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia, dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai suatu perbuatan yang tidak dilarang dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah yang disebut sebagai “deskriminalisasi”. Apakah yang ditempuh adalah siap mempertahankan euthanasuia dalam untuk memberikan kelonggaran kepada penuntut umum agar lebih memudahkan didalam mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi.

Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia.Apakah dengan terjadinya euthanasia itu kemungkinan pnuntut umum dapat membuktikannya? Sulit rasanya hal itu untuk dipecahkan. Sepanjang yang pernah dinyatakan oleh penulis kepada para dokter memang euthanasia di Indonesia ini belum pernah terjadi. Tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang selalu meningkat ini, tidak mustahil eutahanasia ini dilakukan secara diam-diam.


(41)

Karena jelas bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Kedokteran Indonesia, menganut paham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia, sebab disamping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan yang Maha Esa, juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter.

Kemungkinan kedua adalah untuk menyatakan bahwa euthanasia merupakan perbuatan yang tidak terlarang, menurut Jame Rachles dalam situasi sakit berat, terutama sakit terminal (tidak bias disembuhkan lagi), orang bias memilih dua cara untuk sampai pada kematian. Pertama seseorang mati secara aman, misalnya dengan suntikan, tanpa penderitaan, yang kedua seseorang mati sesudah mengalami penderitaan hebat. Kalau cara yang kedua dipilih, anggota keluarga hanya hadir disekitar sakit tanpa berbuat apa-apa selain membiarkan si sakit mengerang dan menderita. Menurut Rachels adalah sangat aneh kalau ada orang yang menginginkan cara mati yang kedua. Rachles dan orang sealiran dengan dia memilih menawarkan cara pertama, lalu mempromosikan euthanasia dengan memberikan beberapa argument pendukung yaitu :

1. Demi menghilangakan penderitaan

Secara umum digambarkan bahwa orang sakit pasti menderita. Penderitaan orang sakit terasa secara fisik, mental, social dan spiritual. Penderitaan muncul karena kemampuan organ-organ tubuh menurun, dan secara pelan-pelan kemampuan berelasi dengan orang sekitarnya hilang, serta


(42)

Dengan mewarisi pendapat stoisisme, penganjur euthanasia menyakini bahwa penderitaan adalah musuh yang harus dikalahkan oleh setiap orang. Orang sakit sungguh menderita, maka dia harus dikasihani dengan membebaskannya dari penderitaan. Justru abaeh kalau kita mengatakan bahwa kita mencintai atau mengasihani orang tetapi kita membiarkan dia mengerang dalam penderitaannya. Maka jelas dalam situasi demikian membantu orang meninggal dengan baik bukan tindakan immoral. Perintah jangan membunuh tetap dihormati. Dalam situasi menderita yang luar biasa ini kita tidak membunuh. Justru kita salah kalau membiarkan anggota keluarga menderita demi menghormati perintah tersebut. Jelas kita dilarang membunuh namun tidak ada larangan untuk mematikan. Sebagai bandingan, kalau mematikan pada waktu perang bias ditolerir, mengapa menghilangkan penderitaan tidak bias diterima? Jadi, euthanasia bukanlah pembunuhan, secara moral kita boleh mematikan orang dengan alasan belas kasih yang membebaskan seseorang dari penderitaan yang maha hebat.

2. Penetapan prinsip Utilitarisme

Ide utilitarisme terkonsep secara public oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Pemikirannya dipengaruhi oleh situasi revolusi Amerika, revolusi Prancis. Dan revolusi industry di Inggris. Pada masa ini standar pertimbangan moral berubah. Tata lama khususnya dalam bidang politik yang hanya berorientasi pada hukum dikritik. Bentham muncul sebagai seorang pembaru, ditopang oleh bukunya Introduction to the Principle of


(43)

Moral and Legilation (1789). Ide mendasar di dalamnya adalah

utilitarisme hedonistic yang diwrisinya dari Epicurus (341-270 SM). Secara singkat, tesis utilitarisme hedonistic adalah : carilah nikmat sebesar-besarnya dan hindarilah rasa sakit. Itulah yang secara kodrati di lakukan manusia dan itulah yang baik baginya.

Prinsip utilitarisme ini masuk dalam dunia bioetika dengan pertimbangan yang baik adalah sesuatu yang menghasilakn manfaat, yakni kesenangan dan tidak baik adalah menghalangi kesenangan atau dengan kata lain memunculkan penderitaan. Kriteria penentu sesuatu baik atau tidak baik adalah manfaat. Jika prinsip ini dikenakan pada kehidupan sehari-hari maka nilai kehidupan bukan ditentukan oleh martabat, tetapi manfaatnya. Jadi orang yang sudah sakit keras, misalnya yang tidak ada lagi gunanya melanjutkan kehidupannya lebih baik dimatikan secara sengaja.

Dipengaruhi oleh prinsip ini, anggota keluarga yang lama menderita sakit tanpa tanda-tanda kesembuhan merasa tidak berguna, dan beberapa keluarganya merasa kehadiran orang sakit seperti itu menjadi suatu beban. Memang orang sakit awalnya keluarga dengan baik, dikunjungi oleh sahabat dengan ikhlas, namun sampai suatu ketika ada titik kejenuhan. Karena perasaan jenuh ini kadang-kadang keluarga mampu secara financial meninggalkan orang sakit untuk dirumah sakit. Dengan cara ini makin banyak orang sakit meninggal di rumah sakit dengan menyedihkan. Rumah tidak lagi menjadi tempat anggota keluarga untuk menghadapi kesulitan, khususnya waktu menghadapi ajalnya. Keluarga tidak lagi


(44)

mendampingi anggotanya pada saat menghembuskan nafas terakhir. Situasi ini mengkondisikan orang sakit dan juga pihak keluarga untuk memilih euthanasia.

3. Kemajuan teknis medis

Seorang dokter yang bernama Jack Kevorkian yang dijuluki “dokter maut”, telah mematikan 130 orang dengan menggunakan variasi teknik dan sarana. Menurut dia tindakan euthanasia bukanlah pembunuhan, hanya pematian. Maka hal itu bukanlah kejahatan yang bertentangan dengan tata hidup sosial. Kematian bukan tujuan utama melainkan akibat yang tidak bias dielakakan. Kevorkian yakin bahwa ahli medis memiliki kompetensi dibidangnya dan tahu bahwa euthanasia pantas. Dia juga mengembangkan teknis media dengan menukangi alat pemati variatif. Dengan menggunakan alat-alat tersebut dia melawan ahli medis yang memperpanjang umur orang sakit demi kepentingan komersial (aggressive therapy). Justru dengan alat tersebut pelayan kesehatan membantu orang sakit untuk menghilangkan penderitaan dan penyakitnya. Usaha ini tentu menyentuh nilai kehidupan. Namun kalau kita bisa melakukan hal itu demi kebahagiaan orang yang sungguh memintanya agar dia tidak menderita berat, mengapa kita tidak melakukannya.

4. Prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang

Untuk mendukung ide euthanasia sering dipakai prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang. Tidak adil menghabiskan uang untuk memperpanjang hidup orang yang tidak memiliki masa depan, apalagi


(45)

tidak jelas apakah dia masih persona atau tidak, karena tidak semua homo sapiens adalah persona. Tidak adil juga menghabiskan uang untuk orang sakit terminal, padahal banyak orang sedang mati ditempat lain karena kekurangan makanan. Mereka masih memiliki masa depan yang perlu dibela. Binatang punya rasa keberatan untuk diamtikan. Lihat saja ikan yang sedang terperangkap jala, atau simpanse yang ditangkap oleh pemburu. Mereka menggelepar dan meronta, sebagai tanda bahwa mereka tidak ingin mati atau dimatikan. Mengapa kita bebas membunuh binatang yang tidak menghendaki mati sementara kita menghabiskan uang untuk orang yang menginginkan mati bahkan tidak punya pengharapan atau tidak punya masa depan.

5. Menghormati otonomi

Prinsip otonomi sudah digunakan pada pertengahan abad IV SM. Kata otonomi ini berasal dari Yunani,Autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atas dirinya sendiri, sehingga dia secara moral independent dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Manusia punya ahk untuk memilih jalannya sendiri, untuk hidup atau untuk mati. Manusia bisa memilih mati dengan baik sebagaimana dia bisa memilih hidup dengan baik. Yang penting manusia bertanggung jawab atas akibat dari kecenderungan dan dari apa yang dilakukanya.

Menurut konsep otonomi ini, seorang pasien memiliki moral untuk menentukan intervensi medis atas dirinya, naik untuk mengadakan diagnosis maupun untuk penyembuhan (terapi). Seorang yang menderita


(46)

sakit terminal boleh meminta ahli medis untuk tidak meneruskan tindakn memperpanjang hidupnya. Jika proses mati sungguh membuat menderita dan kesulitan, sdangkan menghentikannya mudah, sudah seharusnya kita memilih yang mudah. Apakah kita tega membiarkan orang berpenyakit keras terus menderita? Orang tidak lagi meratap agar dia hidup kalau penyakitnya begitu berat, sebaliknya dia meratap agar mati. Demikian penderitaan bisa diterima, tetapi bisa juga ditolaknya dengan mematikan diri.11

Maka dengan pertimbangan diatas tidak tertutup kemungkinan dilakukannya euthanasia, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini misalnya:

1. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapakan lagi akan

kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya.

2. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi

lagi.

11

. Rachels James, La fine della vita dalam Nadeak P. Gonzales, OFMCap. Lebih Baik Mati? Menyorot Euthanasia. Bina Media Perintis, Medan, 2004. Hal 3-11


(47)

3. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetatif state.

Bagi pasien yang dalam keadaan ini, sebaiknya euthanasia dapat dilakukan disamping syarat-syarat yang limiatif tersebut. Dapat ditambahkan lagi, misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya, dengan membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut di tanda tangani oleh saksi-saksi. Dalam hal ini euthanasia dapat dijlankan, dengan menyatakan pelakunya melalaui kekebalan terhadap civil liability maupun criminal liability. Jadi eutahanasia dapat dilakukan terhadap pasien yang memahami syarat-syarat tertentu tadi. Dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap orang yang sehat, dan tidak memenuhi syarat-syaratnya ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia. Agar tidak disalahgunakan penggunaannya. Apabila merasa takut akan melanggar sumpah hipocrates yang pernah diucapkannya, mka masih ada jalan yang dapat ditempuh yaitu denagn memberiakn tugas kepada mantri atau perawat yang lain, yang tidak pernah mengucapkan sumpah dokter. Kiranya hal ini dapat dilakukannya, mengingat hanya sekedar mencabut “respirator” atau hal-hal lain, yang dipergunakan untuk memperpanjang hidup pasien yang tengah menderita denagn tiada akhir tersebut, denagn demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya “hak untuk hidup”. Dalam kondisi yang demikian itu pula, seseorang dapat mempergunakan “hak untuk matinya”. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak, tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.


(48)

D. Euthanasia Dalam Ilmu Kedokteran (Segi Medis)

Sebelum kita jauh mengetahui pendapat dari para ahli medis tentang euthanasia, ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya pengertian mati itu. Pada umumnya ada dikenal beberapa konsep tentang mati, yaitu :

1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari criteria

mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh.

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak

yang beranggapan bahwa terlepas dari tubuh ketika tubuh ketika darah berhenti mengalir. Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi, dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusutasi? Jika kita beranggapan bahwa sekali nyawa itu lepas, tidak mungkin manusia dapat menariknya kembali, maka criteria berhentinya darah mengalir pada saat nyawa meninggalkan tubuh dapat dikatakan sudah tidak tepat lagi.

3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanent. Dalm pengertian ini, fungsi

organ-organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali, karena fungsi pengendaliannya (otak) sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan mereka. Pandangan ini memang sudah sangat teknis namun belum dapat memastikan bahwa otak telah mati. Hanya bahwa otak tidak lagi mampu mengendaliakan fungsi organ-organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam teknologi transplantasi, memang pandangan ini memadai. Tetapi


(49)

secara moral masih menjadi pernyataan, jika oragn-organ manusia masih berfungsi, meskipun tidak terpadu lagi, benarkah orang itu sudah mati?

4. Hilangnya kemampuan manusia secara permanent untu kembali sadar dan

melakukan interaksi social. Konsep ini dikembangkan dari ketiga hal diatas, tetapi dengan penekanan nilai moral yaitu dengan memperhatikan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia digambarkan oleh Henry Beecher sebagai “….. individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususannya, kemampuannya, mengingat, menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alas an masuk akal, mampu berbuat, menimati, mengalami kecemasan dan sebaginya”. Konsep ini tidak lagi melihat apakah organ-oragn tubuh yang lain masih mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik secara jasmani maupun sosial, atau tidak menjadi pertimbangan utama lagi, tetapi juga

dilupakan.12

Tugas professional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semau pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segla-segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan, keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat member manfaat yang sebesar-besarnya, kalau dalam prakteknya, kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik


(50)

Dan moral tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia, dan hampir tiap-tiap Negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah hiprocates, yang dirumuskan kembali dalm pernyataan himpunan dokter se-dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh siding ke-22 himpunan tersebut di Sidney bulan Agustus 1968.

Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak ada diri seseorang yang baik dan bijaksana, yaitu kemurniaan niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Oleh sebab itulah para dokter diseluruh dunia bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang sepanjang masa mengutamakan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas asas-asas etik yang mengatur hubungan antara manusia pada umunya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu.

Permasalahan euthanasia di Indonesia mencuat setelah Hasabn KEsuma menympaikan permohonannya di hadapan pimpinan sementara DPRD Bogor (Jumat, 17/9) untuk diizinkan melakukan euthanasia atas istrinya Agian Isna Nauli, Istri Hasan, telah 56 hari tidak sadarkan diri setelah melahirkan anaka melalui operasi Caesar yang dipimpin oleh dokter Gunawan Muhammad SpOg di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor.


(51)

Setelah operasi Caesar Ny. Agian dirawat di Rumah Bersalin Yuliana dan memeriksakan perkembangannya kepada dokter Gunawan. Pada 21 Juli sekitar pukul 08.00 Ny. Agian mendadak gelisah dan tekanan darahnya naik, lalu dibawa ke RSI Ny. Agian langsung ditangani dokter Gunawan, tetapi Ny. Agian mendadak tak sadarkan diri. Karena keterbatasan peralatan, Ny. Agian dirujuk ke RS PMI Bogor. Sekitar pukul 18.30 Ny. Agian dirawat di RS PMI.

Setelah lebih dua minggu dirawat di RS PMI, Ny. Agian yang tak sadarkan diri itu atas anjuran dokter spesialis syaraf di RS PMI, dokter Yoeswar, lalu dilakukan CT Scan di RS Pusat Pertamina Jakarta pada Rabu (11/8) untuk mendapatkan hasil akhir kondisi kerusakan syaraf otak yang lebih akurat.

Sehari kemudian diperoleh hasil CT Scan yang menyatakan ada kerusakan permanqen di pusat syaraf otak yang mengakibatkan Ny. Agian tidak dapat kembali normal seperti semula karena organ-organ tubuhnya sudah mengalami putus hubungan (disconnecting) syaraf otak.

Sejak saat itu Ny. Agian terbaring tidak sadarkan diri di RS PMI lalu LBH Kesehatan turun tangan karena adanya dugaan malapraktik. Selanjutnya pada 27 Agustus, oleh Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus, Ny. Agian dipindahkan ke RSCM Jakarta. Secara Universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-dunia di Genewa bulan September 1948 didalam deklarasi antara dinyatakan sebagai berikut :


(52)

Khusus untuk Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam kode etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1968. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : pernyataan berlakunya kode etik kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.

Dalam bab II pasal 9 dari kode etik kedokteran Indonesia tersebut, dinytakan bahwa :

“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insane”.13

Dengan denikian berarti dinegara manapun didunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap insan mulai saat vterjadinya pembuahan”. Dalam hal ini bearti pula bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan pasien itu sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya. Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan

13


(53)

Dan kebahagiaan. Dengan sendirinya ia harus memberikan kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasional yang sangat membahayakan, tetapi tindakan ini diambil setelah dipertimbangkan secara mendalam, bahwa tidak ada jaln lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya si pasien dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi dimulai, perlu adanya pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya.

Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hiudpnya dan ini juga termasuk slah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan :

1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman

tidak mungkin aakan sembuh lagi (euthanasia)14.

Ad.1. Abortus Provocatus

Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus ini pun dalam hokum pidana kita juga dilarang, sebagia contoh dapat kita lihat dalam Pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut :

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain unutk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.15

14

kode Etik Kedokteran Indonesia, Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1969, hal 45

15


(54)

Disamping Pasal 346 KUHP diatas, masih banyak pasal-pasal lain yang menyatakan bahwa abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya Pasal 347, dan Pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuat yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan untuk melakukan abortus provocatus ini harus harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter dengan persetuhuan tertulis daripada permpuan yang hamil dan suaminya, atau keluarganya yang terdekat, abortus jenis inilah yang disebut “abortus provocatus” therapeuticus.

Bagiamanpun abortus provocatus itu bentuknya, dan dengan alasan apapun dalam kehidupan masyarakat disamping dianggap sebagai kejahatan menurut KUHP, juga merupakan barang yang tabu, karena dilarang oleh agama, juga sangat bertentangan dengan asusila kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Nasroen Yasabari mengatakan bahwa : abortus merupakan arang yang tercoreng dikening dan lumpur yang terpoles dimuka serta aib yang berat bagi keluarga.

Ad.2. Euthanasia

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, pasien yang menyatakan sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja sampai sebegitu jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip euthanasia. Para dokter pun demikian halnya. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang dialami oleh manusia, karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu.


(55)

Dengan demikian bearti penderitaan seseorang dalam sakit yang tengah dideritanya, walau bagaimanapun keadaannya memang sudah menjadi kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, mengakhiri hidup seseorang yang sedang menerima

cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan. Argumentasi demikian tadi rupa-rupanya

juga dikemukan dalam penjelasan kode etik kedokteran Indonesia, bab II, Pasal 9 yang sekaligus juga mencerminkan sikap atau pandangan pada dokter di Indonesia tentang prinsip dan etika dalam menjalankan pekerjaan tersebut.

Sebaliknya bagi kelompok yang menyetujui adanya euthanasia itu disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa dilakukan atas dasar perikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, dan telah berulag kali minta kepadanya agar penderitaannya itu diakhiri saja.

Didalam ilmu kedokteran, kata euthanasia digunakan dalam tiga arti, yaitu :

1. Berpindah kealam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat

yang beriman dengan nama Allah.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan

memberi obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari ketiga jenis euthanasia di atas, ternyata pada jenis yang ketiga inilah ynag senada dengan euthanasia yang dilarang oleh hukum pidana kita, dan diatur dalam Pasal 344 KUHP.


(56)

Dalam hal ini Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI) dr. Farid Anfasa Moeloek mengatakan euthanasia belum bisa dilakukan di Indonesia karena belum diatur dalam Undang-undang “Jika euthanasia

dilaksanakan hal itu melanggar Undang-undang tetapi jika pasien atau pihak keluarga menginginkannya, silakan membawa berkas kasusnya ke Pengadilan. Jika disetujui baru euthanasia bisa dilakukan.”16

Dibeberapa Negara maju seperti Eropa dan Amerika mulai banyak terdengar suara-suara yang pro terhadap adanya euthanasia ini. Mereka berusaha mengadakan suatu gerakan untuk menguatkannya dalam Undang-undang negaranya. Bagi orang yang kontra terhadap prinsip euthanasia, berpendapat bahwa tindakan demikian itu sama saja dengan membunuh. Kita di Indonesia, sebagai Negara yang beragama dan ber Pancasila percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan yang Maha Esa. Segala sesuatu diciptakan-Nya dan penderitaan yang diberikan kepada makhluk manusia, dan arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup daripada sesama manusia yang ada dimuka bumi ini.

16


(57)

BAB III

EUTHANASIA DITINJAU BERDASARKAN HUKUM PIDANA

A. Jenis-jenis Euthanasia

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang jenis-jenis euthanasia yang dibedakan dalam berbagai bentuk pendapat sarjana. Seperti pendapat “Comnisie” yang membedakan bentuk euthanasia itu sebagai berikut :

1. Vrijwilige euthanasia yang dilakukan dengan adanya permintaan yang

nyata-nyata dan sungguh-sungguh dari sipasien.

2. Onvrijwilige euthanasia yqaitu adanya permintaan yang nyata dan

sungguh-sungguh dari sipasien.

3. Passive euthanasia yang maksudnya dalam hal itu tidak ada lagi digunakan

alat-alat ataupun perbuatan yang dapat memperpanjang hidup si pasien.

4. Active euthanasia yang dimaksudkan dalam hal ini menggunakan alat-alat

ataupun perbuatan yang memperpendek hidup si pasien.17

H. Ali Ajkbar membedakan euthanasia dalam dua jenis yaitu :

1. Euthanasia aktif, dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat

pembantu sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan berfungsi lagi, atu memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi dan juga akan menghentikan fungsi jantung.

2. Euthanasia pasif dilakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat

sama sekali.18

17


(58)

Jenis-jenis euthanasia lain yang dikemukan R. Soeprono dengan membaginya dalam 4 jenis yaitu :

1. Euthanasia sukarela, si pasien meminta, member iizin untuk menghentikan

atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.

2. Euthanasia terpaksa, memberikan pasien mati tanpa sepengetahuan si

pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan perawatan untuk memperpanjang hidup.

3. Marcy killing sukarela, dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien

diambil tindakan yang menyebabkan kematian.

4. Marcy killing terpaksa, tindakan sengaja diambil tanpa sepengetahuan atau

persetujuan si apsien mempercepat kematian.19

Keempat jenis euthanasia ini ada perbedaan-perbedaab yang dapat memberi petunjuk atau sikap berdasarkan norma, moral dan etik yang harus dijadikan pegangan. Pro dan kontra mengenai euthanasia ini terdapat di masyarakat denagn alasan yang berbeda-beda dalam hubungannya dengan kode etik kedokteran R. Soeprono mengatakan segal perbuatan dokter terhadap si pasien, bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiannya.

Berkaitan dengan masalah euthanasia ini, J.E Sahetapy, didalam tulisannya pada majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan euthanasia ini dalam 3 jenis yaitu :

1. Action to permit death to occur,yaitu kematian dapat terjadi karena si

pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat meninginkan kematian.

18.

Suwarto.Perkembangan Euthanasia dan Permasalahannya Di Indonesia, Majalah Hukum Triwulan Projusitatia, Bandung. Hal 17

19


(59)

2. Failure to take action to prevent death, yaitu kematian terjadi karena

kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian.

3. Positive action to cause death, yaitu tindakan yang positif dari dokter

untuk mempercepat kematian.20

Masih ada lagi jenis euthanasia yang lebih spesifik selain yang telah dijelaskan diatas yaitu :

1. Euthanasia pasif, yaitu dimana dokter atau tenaga kesehatan lain dengan

sebgaja tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.

2. Auto euthanasia, yaitu dimana seorang pasien menolak tegas denagn sadar

umtuk menerima perawatan medis, dan ia mengetahui bahwa hal ini akan

memperpendek hidup pasien ataupun untuk mengakhiri hidup pasien.21

Euthanasia aktif dibagi lagi menjadi :

1. Euthanasia aktif secara langsung (direct), dimana dokter atau tenaga

kesehatan lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, sehingga secara logis biasa dapat diperhitungkan ataupun diharapakn bahwa pasien diperpendek atau diakhiri.

20.Prakoso Djoko, Djaman Nirwanto, Euthanasia Hak atas Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,

Jkarta, 1948.hal 72

21


(1)

Jadi untuk itu perlu dipertimbangkan kembali hal-hal yang menyangkut euthanasia seperti tugas para dokter dalam menyelamatkan pasien dan bukan seabagai pembunuh pasien. Agar tugas dokter dalam melakukan pengobatan lebih maksimal dan tidak mearasa bersalah apabila pengobatan yang dilakukannya tidak berhasil atau gagal. Apabila semuanya itu telah diatur secara sistematis, maka euthanasia akan lebih diterima di berbagai golongan masyarakat dan ada kepastian hukumnya.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hak asasi manusia di Indonesia dituangkan ke dalam suatu undang-undang yaitu Undang-undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang diterbitkan dalam rangka menjamin hak-hak bagi warga Negara Indonesia. Sebagaimana diatur di dalam Undang-undang tersebut, hak asasi manusia yang paling mendasar adalah hak untuk hidup, dimana di dalam hak untuk hidup tersebut terdapat pula hak untuk mati, akan tetapi hak untuk mati tersebut tidaklah bersifat mutlak, hanya untuk keadaan tertentu saja. Jadi tidak tertutup kemungkinan seseorang bisa meminta diakhiri penderitaannya dengan jalan euthanasia, baik secara terang atau diam-diam.

2. Permasalahan euthanasia sebenarnya sudah lama ada, sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak bias disembuhkan, namun manusia tidak boleh mencapuri masalah hidup dan mati seseorang karena hidup dan mati itu diatur oleh sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatan euthanasia ini pada umumnya didasari karena suatu penderitaan yang telah berlarut-larut dan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan serta kerugian materi, serta didasarkan juga atas permintaan dari keluarga si pasien ataupun langsung atas permintaa si pasien sendiri. Di dalam praktek kehidupan sehari-hari, tindakan euthanasia ini sudah


(3)

sering terjadi, dan tindakan tersebut pada umumnya memang terjadi pada pasien yang sudah dalam keadaan sekarat dan sangat kecil kemungkinannya atau bahkan tidak ada lagi harapan untuk sembuh. Tetapi pelaku tindakan euthanasia ini tidak pernah dikenakan sanksi, padahal Pasal 344 KUHP sudah jelas melarang adanya euthanasia, dan jelas menyatakan dapat dipidananya seseorang yang menghilangkan nyawa orang atas permintaan orang itu sendiri meskipun dinyatakan dengan nyata dan sungguh-sungguh. Hal ini menyebabkan perdebatan dan persilangan pendapat diantara para ahli, sehingga pembahasannya belum jelas sampai sekarang ini. Namun KUHP adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia, jadi kita sebagai warga Negara Indonesia haruslah menghormati dan menjunjung tinggi, serta harus menjalankan peraturan yang berlaku sebagai hokum yang diakui di negara kita, jadi mengenai masalah euthanasia ini kita harus patuh pada hukum yang positif yaitu Pasal 344 KUHP, kecuali ada penentuan lain mengenai hal tersebut.

B. S a r a n

1. Tindakan euthanasia ini sangat ditentang di Indonesia, sesuai dengan yang diatur di dalam Pasal 344 KUHP, namun pasal tersebut kurang mempunyai ketegasan sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah euthanasia ini. Oleh sebab itu dapatlah kiranya dirumuskan kembali berdasarkan atas kenyataan yang terjadi sekarang ini.


(4)

2. Khusus mengenai masalah euthanasia ini kiranya diperlukan kesepakatan bersama di dalam menyikapinya terhadap para pasien yang mengalami penderitaan yang disebabkan karena penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi.

3. Perlu diadakan penyampaian informasi mengenai permasalahan euthanasia, serta bagaimana keberadaannya di Indonesia agar masyarakat lebih memahami dan berpikir yang lebih positif mengenai hal tersebut. 4. Undang-undang perlu mengatur tentang hak pasien untuk mati, melalui

peraturan tentang hak pasien, sehingga para dokter tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak melakukan euthanasia.

5. Untuk mengatasi perselisihan dan persilangan pendapat dalam melaksanakan euthanasia, perlu dibentuk Undang-undang mengenai euthanasia aktif bagi orang yang sudah dalam keadaan terminal dan kecil kemungkinannya untuk sembuh, dengan syarat :

a. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut medis.

b. Usaha penyembuhan yang dilakukan sudah tidak berpotensi lagi c. Adanya persetujuan dan pernyataan tertulis dari pihak yang meminta


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim Bachtiar. Hokum Pidana dan Euthanasia, dalam Temu Ilmiah VII Perhuki Wilayah Sumut, Medan.1990

Amien Fried, Euthanasia Suatu Masalah Etis Medis Juridis, Ditinjau dari Segi

Juridis, dalam Simposium Euthanasia, Jakarta, 1984

Amir Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Pen. Widaya Medika, Jakarta, 1997.

Hanafiah M Yusuf, amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi Kedua USU Press,1998.

Kode Etik Kedokteran Indonesia, Oleh Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional, Yayasan Penerbit IDI, Jakarta,1969.

Ko Tjai Sing. Rahasia Pekerjaan Dasar dan Advokat, PT Gramedia, Jakarta, 1978.

Moelyanto. Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan, Seksi Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Cetakan ke-8, Yogyakarta. 1971

Nadeak P. Gonzales, OFMCap. Lebih Baik Mati?Menyorot Euthanasia, Bina Media Perintis, Medan, 2004.

Prakoso Djoko. Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia

Jakarta, 1984.


(6)

Soegondo Lies. Ny, (Anggota Komnas HAM), Juli, 1999. Kapita Selekta Hak

asasi Manusia, PUSLITBANG DIKLAT Mahkamah Agung RI, Jakarta,

2001

Soesilo. R. KitabUndang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor 1999. Suwarto, Perkembangan Euthanasia dan Permasalahannya di Indonesia, Majalah

Hukum Triwulan Projustitia, Bandung, April 1999.

Surat Kabar Harian Kompas,1998. Surat Kabar Harian Sumatera,1999.

Surat Kabar Harian Media Indonesia, 2004. http//www.mediaindonesia.co.id/ Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.