Pengetahuan dan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 tentang Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik Medan

(1)

(2)

Lampiran 2 LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN PENELITIAN

Saya Eryani Siahaan adalah mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan program S1 Ilmu Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara. Saya sedang melakukan penelitian yang berjudul “Pengetahuan dan Efikasi

Diri Pasien DM Tipe 2 tentang Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam

Malik Medan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan

dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin. Saya sangat mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, Bapak/Ibu akan diberikan kuesioner yang berisi pernyataan mengenai pengetahuan dan efikasi diri tentang terapi insulin. Penelitian ini bersifat sukarela dan tidak memberikan dampak yang merugikan. Data Bapak/Ibu akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Jika Bapak/Ibu bersedia, lembar persetujuan menjadi responden penelitian yang terlampir harap ditandatangani. Lembar persetujuan menjadi responden tidak bersifat mengikat, sehingga Bapak/Ibu bisa mengundurkan diri dari penelitian ini selama penelitian berlangsung.

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima kasih.

Peneliti


(3)

Lampiran 3 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Judul Penelitian : “Pengetahuan dan Efikasi Diri Pasien DM tipe 2 tentang

Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik

Medan”

Peneliti : Eryani Siahaan

NIM : 111101069

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh peneliti pada lembar penjelasan, saya bersedia untuk berpartisipasi menjadi responden. Saya mengerti bahwa penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya, saya memiliki hak kebebasasan untuk berhenti, dan semua berkas yang mencantumkan identitas subjek penelitian hanya digunakan dalam kepentingan penelitian.

Selanjutnya secara sukarela dan tanpa ada unsur paksaan siapapun, dengan ini saya menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Medan ,... 2015 Responden


(4)

Lampiran 4 INSTRUMEN PENELITIAN

Pengetahuan dan Efikasi Diri Pasien DM tipe 2 tentang Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik Medan

Petunjuk:

1.Kuesioner ini terdiri dari tiga bagian yaitu data demografi, kuesioner tentang pengetahuan dan kuesioner tentang efikasi diri

2. Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya

3. Silakan mengisi pada tempat yang sesuai, dengan cara memberi tanda (√ ) pada kotak yang tersedia

4. Semua jawaban Bapak/Ibu adalah BENAR

A. Data Demografi

No.Responden :

Inisial responden :

Usia : tahun

Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan

Lama menderita DM : Lama mendapatkan terapi insulin :


(5)

B. Kuesioner Pengetahuan

Petunjuk pengisian : Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi yang anda alami.

No Pernyataan Benar Salah

1 Pasien DM tipe 2 harus disuntik insulin sepanjang hidupnya

2 Tempat penyuntikan insulin adalah perut, bokong, paha dan lengan

3 Penyuntikan dapat dilakukan pada tempat yang sama terus menerus

4 Penyuntikan berikutnya berjarak 1 inchi dari tempat penyuntikan sebelumnya

5 Pada saat akan berolahraga, insulin tidak dapat diinjeksi pada bagian paha, karena akan mempercepat penyerapan insulin/rendahnya gula darah

6 Penyuntikan pada tempat yang sama terus menerus akan menyebabkan lipohypertropi (penumpukan lemak)

7 Bila disuntikkan terlalu dalam (ke dalam otot) penyerapan insulin akan terjadi lebih cepat

8 Setelah penyuntikan, biarkan jarum tetap berada di kulit selama 10 detik untuk memastikan semua insulin masuk dan tidak ada yang menetes saat jarum ditarik dari kulit 9 Jarum suntik tidak boleh digunakan berulang

10 Sebelum disuntikkan, kulit harus di desinfeksi terlebih dahulu

11 Alkohol yang dipakai sebagai desinfektan harus ditunggu sampai kering sebelum menyuntik

12 Insulin diabsorbsi paling cepat pada bagian perut 13 Insulin sebaiknya disuntikkan secara tegak lurus dengan

kulit / 90 derajat

14 Insulin membantu tubuh menggunakan gula yang berada di dalam darah kita

15 Insulin biasanya diberikan 15-20 menit sebelum makan 16 Jika disimpan pada suhu ruangan, insulin dapat bertahan

selama 30 hari

17 Insulin yang disimpan dalam lemari es harus dikeluarkan selama 20 menit sebelum digunakan


(6)

C.Kuesioner Efikasi Diri

Petunjuk pengisisan : Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi yang anda alami.

Tidak Yakin (TY) : apabila anda merasa TIDAK YAKIN dengan pernyataan tersebut

Kadang (K) : apabila anda merasa KADANG YAKIN dengan pernyataan tersebut

Yakin (Y) : apabila anda merasa YAKIN dengan pernyataan tersebut

No Pernyataan TY K Y

1 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin secara mandiri

2 Saya yakin mampu melakukan injeksi insulin pada bagian perut, paha dan lengan

3 Saya yakin mampu membersihkan tangan dan daerah yang akan disuntik sebelum penyuntikan insulin 4 Saya yakin mampu melakukan rotasi tempat injeksi

insulin untuk menghindari lipohypertropi (penimbunan lemak)

5 Saya yakin mampu menggunakan jarum baru setiap akan melakukan injeksi

6 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin pada daerah lengan pada saat akan berolahraga

7 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jumlah yang tepat berdasarkan hasil kadar gula darah 8 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin walaupun

saya sedang sibuk

9 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin di bagian perut ketika kadar gula darah saya sangat tinggi

10 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jarak 1 inchi dari daerah sebelumnya

11 Saya yakin mampu secara teratur menyuntikkan insulin sesuai jadwal yang ditentukan

12 Saya yakin mampu memilih lokasi penyuntikan yang bebas dari infeksi, peradangan ataupun luka


(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

Lampiran 13

RIWAYAT HIDUP

Nama : Eryani Siahaan

NIM : 111101069

Tempat, tanggal lahir : Dolok Marlawan, 23 Maret 1994

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan Medan

No HP : 085276543951

Nama Ayah : L Siahaan

Nama Ibu : S Sinaga

Riwayat Pendidikan

1. 1998-1999 : TK Santa Lusia Pematangsiantar 2. 1999-2001 : SD Cinta Rakyat 2 Pematangsiantar 3. 2001-2005 : SDN Plus No. 091473 Tiga Balata 4. 2005-2008 : SMPN1 Pematangsiantar

5. 2008-2011 : SMAN3 Pematangsiantar 6. 2011-Sekarang : S1 Ilmu Keperawatan USU


(17)

Lampiran 14

Taksasi Dana

1. Persiapan proposal

 Biaya kertas dan tinta print proposal Rp 150.000,-  Fotokopi sumber-sumber tinjauan pustaka Rp 50.000,-

 Biaya internet Rp 50.000,-

 Perbanyak proposal dan penjilidan Rp 50.000,-

 Konsumsi saat sidang proposal Rp 160.000,-

2. Perbaikan proposal

 Biaya print kertas Rp 50.000,-

3. Pengumpulan dan pengolahan data

 Izin Penelitian Rp 500.000,-

 Penggandaan kuesioner Rp 50.000,-

4. Persiapan skripsi

 Biaya kertas dan tinta print Rp 150.000,-

 Penggandaan skripsi dan penjilidan Rp 50.000,-  Konsumsi saat sidang skripsi Rp 250.000,-


(18)

Lampiran 15 Output hasil SPSS

1. Data demografi

Statistics usia responden Lama menderita DM Lama menggunakaan insulin

N Valid 50 50 50

Missing 0 0 0

Mean 59.76 9.86 3.40

Median 58.50 10.00 3.00

Mode 55 10 1

Minimum 44 1 1

Maximum 79 32 10

usia responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 44 2 4.0 4.0 4.0

47 1 2.0 2.0 6.0

48 1 2.0 2.0 8.0

49 1 2.0 2.0 10.0

51 1 2.0 2.0 12.0

52 1 2.0 2.0 14.0

53 1 2.0 2.0 16.0

54 1 2.0 2.0 18.0

55 7 14.0 14.0 32.0

56 1 2.0 2.0 34.0

57 4 8.0 8.0 42.0

58 4 8.0 8.0 50.0

59 3 6.0 6.0 56.0

61 3 6.0 6.0 62.0


(19)

63 2 4.0 4.0 72.0

64 4 8.0 8.0 80.0

65 2 4.0 4.0 84.0

67 2 4.0 4.0 88.0

73 2 4.0 4.0 92.0

75 1 2.0 2.0 94.0

76 1 2.0 2.0 96.0

77 1 2.0 2.0 98.0

79 1 2.0 2.0 100.0

Total 50 100.0 100.0

Lama menderita DM

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 6.0 6.0 6.0

2 1 2.0 2.0 8.0

3 4 8.0 8.0 16.0

4 3 6.0 6.0 22.0

5 4 8.0 8.0 30.0

6 1 2.0 2.0 32.0

7 5 10.0 10.0 42.0

8 1 2.0 2.0 44.0

9 1 2.0 2.0 46.0

10 6 12.0 12.0 58.0

11 5 10.0 10.0 68.0

12 3 6.0 6.0 74.0

13 1 2.0 2.0 76.0

15 5 10.0 10.0 86.0

16 1 2.0 2.0 88.0

17 2 4.0 4.0 92.0


(20)

25 1 2.0 2.0 98.0

32 1 2.0 2.0 100.0

Total 50 100.0 100.0

Lama menggunakaan insulin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 14 28.0 28.0 28.0

2 9 18.0 18.0 46.0

3 7 14.0 14.0 60.0

4 7 14.0 14.0 74.0

5 5 10.0 10.0 84.0

6 2 4.0 4.0 88.0

7 2 4.0 4.0 92.0

8 1 2.0 2.0 94.0

10 3 6.0 6.0 100.0

Total 50 100.0 100.0

2. Pengetahuan

pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 48 96.0 96.0 96.0

cukup 2 4.0 4.0 100.0


(21)

3. Efikasi diri

efikasidiri

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 47 94.0 94.0 94.0

kurang 3 6.0 6.0 100.0


(22)

(23)

Daftar Pustaka

American Association of Diabetes Educators. (2011). Insulin njection know-how. Diperoleh tanggal 28 juni 2015 dari www.diabeteseducator.org

American Diabetes Association. (2004). Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care, Volume 27, Supplement 1.

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Ariani, Y. (2011). Hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien DM tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011. Tesis, Universitas Indonesia, Depok.

Astuti, N. (2015). Efikasi diri dan manajemen diri pasien DM tipe 2. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bandura, A. (1994). Self efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed), Encyclopedia of human behavior. 4, 71-81. Encyclopedia of mental health San Diego: Diperoleh tanggal 12 Februari 2011 dari

http://des.emory.edu/mfp/Bandura1994EHB.pdf

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The exercise of control. New York: W.H. Freeman.

Berzin, R.S. (2015). Insulin facts and fiction. Diperoleh tanggal 30 Juni 2015 dari www.bd.com/us/diabetes/page.aspx?cat=7001&id=7248

Caniago, L. F. (2014). Penentuan sensitivitas insulin dan efektivitas glukosa pada modifikasi minimal model menggunakan algoritma PSO untuk kasus diabetes. Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Conner, M., & Norman, P. (1995). Predicting Health Behaviour: Research and Practice with Social Cognition Models. Buckingham: Open University Press.

Didarloo, A., Shojaeizadeh, D., Gharaaghaji, R., Niknami, S., & Khorami, A. (2014). Psychosocial correlates of dietary behaviour in type 2 diabetic women, using a behaviour change theory. Journal Health Popul Nutr, 32(2):335-341

Down, S., & Fiona, K. (2012). Injection technique in insulin therapy. Diperoleh tanggal 27 September 2014 dari

http://search.proquest.com/docview/1038836287?accountid=50257

Fowler, M. J. (2008). Microvascular and macrovascular complications of diabetes. Clinical diabetes, Volume 26, Number 2.


(24)

Fox, C., & Kilvert, A. (2010). Bersahabat dengan diabetes melitus tipe 1. Jakarta: Penebar Plus.

Gurmu, A. E., & Teni, F. S. (2014). Knowledge, attitude and practice among diabetic patients on insulin therapy towards the disease and their medication at a university hospital in Northwestern Ethiopia: a cross-sectional study. International Journal of Pharma Sciences and Research (IJPSR)

Hanna, H. H. (2006). The influence of self-efficacy and spirituality on self-care behaviours and glycemic control in older African Americans with tipe 2 diabetes. Dissertation, Barry University, United State.

Harahap. (2010). Hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hassan, et al. (2013). Factors influencing insulin acceptance among type 2 diabetes mellitus patients in a primary care clinic: a qualitative exploration. Diperoleh tanggal 21 Oktober 2014 dari

http://www.biomedcentral.com/1471-2296/14/164

International Diabetes Federation. (2013). IDF diabetes atlas sixth edition. Diperoleh tanggal 21 Oktober 2014 dari

http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf

_______. (2014). IDF diabetes atlas sixth edition. Diperoleh tanggal 20 Desember 2014 dari http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf Ismael, S., & Sastroasmoro, S. (2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian

Klinis. Jakarta: Sagung Seto.

Kara, M & Alberto, J. (2006). Family support, perceived self-efficacy and self care behavior of Turkish patients with chronic obstructive pulmonary disease.Journal of clinical nursing diunduh tanggal 22 Oktober 2014 dari http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer

Lestari, T.D. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi inisiasi insulin pada pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus. Tesis, Universitas Indonesia, Depok.

Lubis, M.H. (2011). Perilaku pengguna insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrinologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(25)

Manzella, D. (2014). Top 7 Risk factors for type 2 diabetes. Diperoleh tanggal 3 November 2014 dari

http://diabetes.about.com/od/symptomsdiagnosis/tp/riskfactors.htm Morris, S.Y. (2014). Insulin injection sites:where and how to inject. Diperoleh

tanggal 28 Juni 2015 dari

http://www.healthline.com/health/diabetes/insulin-injection

National Diabetic Facts Sheet. (2011). Diperoleh tanggal 21 Oktober 2014 dari http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/ndfs_2011.pdf

Notoadmojo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

_______. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Pace., Haas., & Stacciarini. (2008). Factors associated with insulin self administration by diabetes mellitus patients in the Family Health Strategy. Diperoleh tanggal 4 Juli 2015 dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18545757

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2004). Nursing Research: Principle and Methods. 7ed. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins.

Restu. (2014). Prevalensi anemia pada penderita DM tipe 2 yang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012. Karya tulis ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sarkar,U., Fisher, L., & Schillinger, D. (2006). Is Self-Efficacy Associated With Diabetes Self-Management Across Race/Ethnicity and Health Literacy?. Diabetes care, Volume 29, Number 4.

Soegondo, S., Soewondo,P., & Subekti,I. (2007). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Smeltzer., & Suzanne, C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah

Brunner & Suddarth. Vol. 2 Ed. 8. Jakarta: EGC. Stipanovic, A. R. (2002). The effects of diabetes education on

self-efficacy and self-care of adults with type 2 diabetes. Thesis, University of Manitoba, Winnipeg, Manitoba.


(26)

Sudoyo, A, W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 5). Jakarta Pusat:

InternaPublishing.

Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

The Forum for Injection Technique (FIT). (2011). Diabetes care in The UK. The first UK injection technique recommendations 2nd edition. Diperoleh tanggal 15 September 2014 dari

http://www.trend-uk.org/documents/FIT%20Recommendations%20Page%20view.pdf World Health Organization. (2013). Diabetes. Diperoleh tanggal 23 september

2014 dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ _______. (2014). About diabetes, types of diabetes, complication. Diperoleh

tanggal 29 oktober 2014 dari

http://www.who.int/diabetes/action_online/basics/en/

Widyaningsih., Phitri, H. E. (2013). Hubungan antara pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan kepatuhan diet diabetes

melitus di RSUD AM. Parikesit Kalimantan Timur. Jurnal keperawatan Medikal Bedah, Vol. 1, No.1, 58-74.


(27)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik Medan.

Skema 3.1. Kerangka konsep penelitian

Pengetahuan

Efikasi diri Pasien DM tipe 2 yang


(28)

2. Defnisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil ukur Skala 1

2

Pengetahuan

Efikasi Diri

Pemahaman pasien DM tipe 2 meliputi pemberian insulin, kerja insulin dan penyimpanan insulin

Keyakinan diri pasien DM tipe 2 akan kemampuannya untuk melakukan injeksi insulin dengan cara yang benar

Kuesioner tentang pengetahuan pasien DM tipe 2 yang terdiri dari 18 pernyataan

Kuesioner tentang efikasi diri pasien DM tipe 2 yang terdiri dari 12 pernyataan Total skor pengetahuan 0-18 Dikategorikan: Baik (12-18) Cukup (6-11) Kurang (0-5)

Total skor efikasi diri 0-36 Dikategorikan: Baik (25-36) Kurang (12-24) Ordinal Ordinal


(29)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik.

2. Populasi, sampel dan teknik sampling

Populasi penelitian adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai karakteristik tertentu (Ismael & Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang mendapatkan terapi insulin secara mandiri di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan.

Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: a. Responden didiagnosa DM tipe 2

b. Responden menggunakan insulin

c. Responden sudah pernah menggunakan insulin secara mandiri d. Bersedia menjadi responden

3. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini merupakan pusat rujukan dan selain itu penelitian


(30)

tentang pengetahuan dan efikasi diri pada pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin. Penelitian ini dilakukan bulan September 2014 sampai Juli 2015.

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dapat dilakukan setelah mendapat izin dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini dilakukan pertimbangan etik, yaitu: beneficence (bermanfaat), autonomy (peneliti memberikan kebebasan bagi partisipan untuk menentukan sendiri ikut atau tidak dalam penelitian ini, tidak ada unsur paksaan atau pengaruh dari peneliti atau siapapun, anonimity (data partisipan dijaga dengan cara tidak menuliskan nama partisipan pada instrumen, tetapi hanya menggunakan inisial saja) dan informed consent atau surat persetujuan menjadi partisipan (Polit & Beck, 2004).

5. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang dibuat sendiri oleh peneliti dalam bentuk kuesioner dengan berpedoman pada tinjauan pustaka. Bagian pertama adalah data demografi yang terdiri dari nomor responden, inisial responden, usia, jenis kelamin, lama menderita DM dan lama mendapatkan terapi insulin.

Bagian kedua adalah kuesioner pengetahuan tentang terapi insulin. Kuesioner ini terdiri dari 18 pernyataan dengan pilihan jawaban benar dan salah. Jawaban benar akan diberi nilai 1 dan jawaban salah akan diberi nilai 0. Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 18 dan terendah adalah 0.


(31)

Untuk menentukan panjang kelas, digunakan rumus di bawah ini: Skor tertinggi – skor terendah

P =

Banyak kelas 18 - 0

= 3

P = 6

Pengetahuan dikategorikan baik jika skor 12-18, cukup jika skor 6-11 dan kurang jika skor 0-5.

Bagian ketiga adalah kuesioner efikasi diri tentang terapi insulin. Kuesioner ini terdiri dari 12 pernyataan. Skor 3 untuk jawaban yakin, 2 untuk jawaban kadang-kadang dan 1 untuk jawaban tidak yakin. Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 36 dan terendah 12. Berdasarkan rumus didapatkan P = 12. Efikasi diri dikategorikan baik jika skor 25-36 dan kurang jika skor 12-24.

6. Validitas

Alat ukur dikatakan mempunyai nilai valid jika alat ukur tersebut dapat dengan tepat mengukur apa yang diukur. Suatu instrumen yang valid memiliki validitas yang tinggi. Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Uji Validitas dilakukan oleh Dosen Fakultas Keperawatan USU. Nilai CVI untuk kuesioner pengetahuan adalah 0,82 dan 0,89 untuk kuesioner efikasi diri.


(32)

7. Reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama. Uji reliabilitas ini dilakukan pada 30 pasien DM tipe 2 yang melakukan injeksi insulin secara mandiri di Poliklinik Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan. Untuk menentukan nilai reliabilitas kuesioner pengetahuan digunakan KR21 dan didapatkan hasil 0,726 dan untuk kuesioner efikasi diri, menggunakan metode alpha yang dilakukan dengan komputerisasi dengan hasil 0,846.

8. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data penelitian dilakukan setelah peneliti mendapatkan surat permohonan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya peneliti meminta izin ke RSUP Haji Adam Malik Medan, setelah mendapatkan izin penelitian, maka peneliti mulai mengumpulkan data.

Peneliti menemui responden dan menjelaskan kepada responden tentang tujuan, manfaat dan cara pengisian kuesioner, kemudian calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani lembar persetujuan (informed consent) dan diminta untuk mengisi kuesioner dengan diberikan waktu sekitar 30 menit. Peneliti memberikan kesempatan bertanya jika ada pernyataan dalam kuesioner


(33)

yang tidak dimengerti oleh responden. Setelah responden selesai mengisi kuesioner, peneliti mengumpulkan kuesioner dan memeriksa jika ada lembar kuesioner yang tidak lengkap atau pernyataan dalam kuesioner tidak diisi seluruhnya oleh responden, kemudian data yang tidak lengkap dilengkapi saat itu juga.

9. Analisa Data

Data yang sudah terkumpul diperiksa kembali untuk memeriksa kelengkapan data yaitu dengan cara memeriksa isi instrumen. Kemudian peneliti memberi skor terhadap item-item yang perlu diberi skor yaitu kuesioner pengetahuan dan efikasi diri dan selanjutnya instrumen tersebut dianalisa oleh peneliti. Analisa data dilakukan dengan komputerisasi. Analisa data dalam penelitian ini bersifat deskriptif dan ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase.


(34)

49 BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian mengenai pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 yang melibatkan 50 orang pasien DM tipe 2 yang menggunakan insulin di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan.

1) Hasil penelitian

Hasil penelitian ini mencakup karakteristik demografi pasien, tingkat pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin.

1.1.Data demografi

Pada tabel 5.1. akan ditampilkan hasil penelitian terkait karakteristik demografi pasien berdasarkkan jenis kelamin.

Tabel 5.1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin (n=50)

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 25 25 50.0 50.0

Hasil penelitian pada tabel 5.1. menunjukkan bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 orang (50%) dan perempuan 25 orang (50%). Tabel 5.2. Hasil analisis usia, lama menderita DM dan lama menggunakan insulin

pada pasien DM tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan (n=50)

Variabel Mean Median Modus Min Max

Usia

Lama menderita DM (tahun) Lama menggunakan insulin (tahun)

59,76 9,86 3,39 58,50 10 3 55 10 1 44 1 1 79 32 10


(35)

Pada tabel 5.2. terlihat bahwa pasien rata-rata berusia 60 tahun dengan lama menderita DM rata-rata 10 tahun dan lama menggunakan insulin rata-rata 3 tahun. 1.2.Tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan, gambaran tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin hampir keseluruhan baik yaitu 48 pasien (96%). Lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan (n=50)

Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)

Baik Cukup Kurang

48 2 0

96.0 4.0

0

Hampir setengah pasien menjawab salah pada pernyataan nomor 1 dan 3. Untuk lebih rinci bisa dilihat pada tabel 5.4.


(36)

Tabel 5.4. Jumlah dan persentase pasien yang menjawab benar pada tiap item pernyataan pengetahuan (n=50)

No Pernyataan Pasien yang

menjawab benar

Persentase 1 Insulin harus diinjeksi sepanjang hidupnya 32 64% 2 Tempat penyuntikan adalah perut, bokong,

paha dan lengan

41 82%

3 Penyuntikan dapat dilakukan pada tempat yang sama terus menerus

33 66%

4 Penyuntikan berikutnya berjarak 1 inchi 44 88%

5 Insulin tidak dapat diinjeksi pada bagian paha pada saat akan berolahraga

49 98%

6 Penyuntikan pada tempat yang sama terus menerus akan menyebabkan penebalan lemak

50 100%

7 Injeksi yg terlalu dalam penyerapan insulin akan terjadi lebih cepat

50 100%

8 Biarkan jarum selama 10 detik setelah injeksi 50 100% 9 Jarum suntik tidak boleh digunakan berulang 45 90%

10 Kulit harus di desinfeksi terlebih dahulu 45 90%

11 Tunggu sampai kering sebelum melakukan injeksi

44 88%

12 Insulin diabsorbsi paling cepat pada bagian perut

50 100%

13 Insulin disuntikkan secara tegak lurus dengan kulit

50 100%

14 Insulin membantu tubuh menggunakan gula yang berada di dalam darah kita

50 100%

15 Insulin biasanya diinjeksi 15-20 menit sebelum makan

50 100%

16 Insulin dapat bertahan selama 30 hari jika disimpan pada suhu ruangan

50 100%

17 Insulin yang disimpan dalam lemari es harus dikeluarkan selama 20 menit sebelum digunakan

40 80%

18 Insulin cadangan harus disimpan di lemari es 46 92%

1.3.Tingkat efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa hampir keseluruhan pasien memiliki efikasi diri yang baik yaitu 47 orang (94%). Lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.5.


(37)

Tabel 5.5. Tingkat efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan (n=50)

Efikasi diri Frekuensi Persentase (%)

Baik Kurang 47 3 94.0 6.0

Hampir setengah pasien memliliki efikasi diri yang kurang pada pernyataan nomor 2 dan 5. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6. Jumlah dan persentase jawaban pasien pada tiap item pernyataan efikasi diri (n=50)

No Pernyataan Yakin Kadang Tidak

yakin 1 Yakin mampu melakukan injeksi secara

mandiri

44(88%) 6 0

2 Yakin mampu melakukan injeksi pada bagian perut, paha dan lengan

32(64%) 18 0

3 Yakin mampu membersihkan tangan dan daerah yang akan disuntik sebelum penyuntikan insulin

37(74%) 9 4

4 Yakin mampu melakukan perpindahan tempat injeksi insulin

42(84%) 6 2

5 Yakin mampu selalu menggunakan jarum baru 29(58%) 17 4 6 Yakin mampu menyuntikkan insulin pada

daerah lengan pada saat akan berolahraga

49(98%) 1 0

7 Yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jumlah yang tepat

49(98%) 1 0

8 Yakin mampu menyuntikkan insulin walaupun saya sedang sibuk

44(88%) 6 0

9 Yakin mampu menyuntikkan insulin di bagian perut ketika kadar gula darah saya sangat tinggi

50(100%) 0 0

10 Yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jarak 1 inchi dari daerah sebelumnya

43(86%) 5 2

11 Yakin mampu menyuntikkan insulin sesuai jadwal

45(90%) 5 0

12 Yakin mampu memilih lokasi penyuntikan yang bebas dari infeksi, peradangan ataupun luka


(38)

2. Pembahasan 2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku seseorang. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya. Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmojo, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir hampir semua pasien memiliki pengetahuan yang baik tentang terapi insulin (96%). Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2011) menunjukkan bahwa pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang insulin adalah mayoritas baik (63,3%) dan mayoritas telah menderita DM 1-10 tahun. Penelitian ini berbeda karena pasien rata-rata telah mengalami DM 10 tahun dan rata-rata menggunakan insulin 3 tahun. Pengetahuan yang baik tentang terapi insulin berhubungan dengan lamanya seseorang mengalami DM dan menggunakan insulin (Lafta, Salih & Sadiq, 2011)

Hampir setengah responden (36%) menjawab salah pada pernyataan pasien DM tipe 2 tidak harus disuntik insulin sepanjang hidupnya. Pasien menyatakan bahwa mereka tidak mungkin berhenti menggunakan insulin karena kadar gula darah mereka tetap tinggi jika tidak menggunakan insulin. Penurunan berat badan dan olahraga akan meningkatkan sensitivitas insulin. Semakin normal indeks sensitivitas insulin, kemampuan untuk meningkatkan penyerapan glukosa juga akan lebih baik (Caniago, 2014). Para penderita DM tipe 2 yang menggunakan insulin menyatakan bahwa dengan melakukan kontrol terhadap diet


(39)

dan olahraga mereka dapat mengurangi jumlah dosis injeksi insulin yang mereka butuhkan (Berzin, 2015).

Beberapa pasien (18%) tidak mengetahui bahwa insulin juga dapat diinjeksi pada bagian lengan dan bokong. Hal ini dikarenakan dokter atau perawat mengajarkan mereka untuk melakukan injeksi di bagian perut atau paha. Sehingga responden berfikir bahwa mereka hanya dapat melakukan injeksi di bagian perut dan paha.

Hampir setengah pasien (34%) menjawab salah pada pernyataan insulin tidak dapat diinjeksi pada tempat yang sama terus-menerus. Mereka selalu menyuntikkan insulin dibagian perut dan tidak melakukan rotasi tempat penyuntikan, padahal mereka mengatakan sering merasa sakit ataupun kulit di bagian perut tersebut terasa keras. Keadaan kulit seperti ini disebut lipohypertrophy, yang disebabkan oleh terlalu sering melakukan injeksi insulin di area kulit yang sama (Down & Fiona , 2012).

Beberapa pasien (20%) tidak tahu bahwa insulin yang disimpan di kulkas harus dikeluarkan dan dibiarkan sekitar 20 menit sampai sama dengan suhu ruangan. Hal ini penting untuk diketahui karena dapat mempengaruhi kualitas insulin, proses penyerapan insulin dan dapat menyebabkan nyeri (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2007).

Berdasarkan pertanyaan lisan dari peneliti tentang terapi insulin, pasien menyatakan bahwa mereka tidak diberitahukan informasi yang lengkap dan responden tidak pernah mencari informasi mengenai insulin selain bertanya kepada petugas kesehatan. Pasien sering merasa bingung karena dokter dan


(40)

perawat memberikan informasi yang berbeda-beda setiap kali mereka bertanya. Umur responden juga mempengaruhi tingkat pengetahuan yang mereka miliki. Wawan (dalam Ardita, 2014) menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka akan semakin matang perkembangan mentalnya dan juga berpengaruh pada pengetahuan yang diperolehnya. Akan tetapi semakin menjelang lansia kemampuan mengingat dan menerima suatu pengetahuan berkurang.

Pengetahuan adalah hal mendasar yang harus dimiliki pasien yang nantinya akan mempengaruhi mereka untuk merubah cara berfikir mereka, perilaku kesehatan dan juga mekanisme koping. Semakin sering pasien mendapatkan edukasi kesehatan tentang terapi insulin, maka akan semakin meningkat pengetahuan pasien tersebut. Pengetahuan yang baik tentang insulin akan mempengaruhi pasien dalam manajemen kesehatan mereka (Gurmu & Teni, 2014).

2.2.Efikasi diri

Efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya. Pada pasien diabetes, efikasi diri akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk memantau, merencanakan dan melakukan tindakan yang akan memberikan pengaruh yang baik untuk kesehatan mereka (Stipanovic, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir keseluruhan pasien memiliki efikasi diri yang baik (94%). Lamanya pasien menderita DM dan menggunakan insulin mempengaruhi tingkat efikasi yang mereka miliki. Hal ini dikarenakan efikasi diri dipengaruhi oleh pemahaman dan juga pengalaman pasien selama ini.


(41)

Tingkat efikasi diri pasien adalah baik pada hampir semua pernyataan, kecuali pada beberapa pernyataan.

Beberapa pasien (12%) memiliki efikasi diri yang kurang saat menyuntikkan insulin secara mandiri. Berdasarkan keterangan pasien, hal ini terjadi saat pasien sedang mengalami stres ataupun merasa malas.

Beberapa pasien (36%) menyatakan kadang yakin mampu menyuntikkan insulin pada bagian perut, paha dan lengan. Kebanyakan pasien lebih nyaman menyuntikkan insulin di perut. Hal ini dikarenakan perut adalah area yang mudah digapai oleh pasien dan juga insulin diserap lebih cepat pada area perut karena lapisan lemak pada area perut lebih tebal dibanding area kulit lainnya (Morris, 2014).

Beberapa pasien (26%) memiliki efikasi diri yang kurang saat membersihkan tangan dan kulit sebelum melakukan injeksi. Membersihkan tangan dan kulit perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi. Membersihkan kulit menggunakan alkohol tidak diharuskan selama kulit dalam keadaan bersih (AADE, 2011).

Sebanyak 16% pasien kadang yakin mampu melakukan rotasi (perpindahan) tempat injeksi insulin. Sama halnya dengan pernyataan nomor 10, sebanyak 14% pasien kadang yakin mampu untuk melakukan injeksi selanjutnya dengan jarak 1 inchi. Melakukan perpindahan tempat injeksi penting dilakukan karena akan mengurangi risiko terjadinya inflamasi ataupun lipohypertrophy (penebalan lemak) dan juga mengurangi terjadinya nyeri saat melakukan injeksi (Down & Fiona, 2012).


(42)

Hampir setengah pasien (42%) memiliki efikasi diri yang kurang untuk mengganti jarum setiap kali menyuntikkan insulin. Hal ini dikarenakan mereka malas mengganti jarum tersebut, walaupun sebenarnya mereka sudah tahu dan juga sering merasa sakit saat melakukan injeksi. Menggunakan jarum secara berulang dapat menyebabkan nyeri saat melakukan injeksi, timbulnya luka akibat jarum yang tumpul dan kurang akuratnya dosis insulin yang diinjeksikan (AADE, 2011).

Sebanyak 12% pasien kadang yakin mampu menyuntikkan insulin walaupun mereka sedang sibuk. Pasien mengatakan bahwa mereka bingung bagaimana caranya untuk membawa insulin saat mereka melakukan aktivitas di luar rumah atau melakukan perjalanan ke luar kota. Mereka juga malu jika dilihat oleh teman-teman di tempat mereka bekerja.

Beberapa pasien (10%) menyatakan kadang yakin melakukan injeksi sesuai jadwal. Melakukan injeksi sesuai jadwal harus dapat dilakukan oleh pasien untuk mempertahankan kontrol terhadap glukosa darah mereka. Hal ini dikarenakan terjadi defisiensi sekresi insulin ataupun resistensi insulin sehingga tubuh tidak mampu untuk menghantarkan glukosa dari darah ke dalam sel tubuh. Insulin harus diinjeksi secara teratur karena insulin dapat membantu mencapai kadar glukosa darah normal dan akan membuat pasien merasa lebih baik dan lebih bertenaga.

Beberapa penelitian kesehatan mengukur tingkat efikasi diri seseorang untuk mengkaji pengaruhnya terhadap perubahan perilaku kesehatan. Fuchs & Schwarzer (1995 dalam Corner & Norman, 1995) menyatakan bahwa efikasi diri


(43)

yang tinggi akan mempengaruhi seseorang secara psikologis untuk mengatasi stres yang dirasakan dan juga meningkatkan motivasi seseorang untuk berubah.

Perkembangan efikasi diri dalam diri seseorang akan terus berlanjut dan dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu, pengalaman orang lain, persuasi verbal dan keadaan psikologis. Seseorang yang sedang sakit mungkin memiliki pandangan negatif mengenai keadaan mereka saat itu. Oleh karena itu, efikasi diri yang tinggi diperlukan untuk merubah pola pemikiran mereka dan akhirnya akan merubah perilaku mereka.

Efikasi diri yang tinggi diperlukan oleh pasien karena dengan efikasi diri yang tinggi individu akan memperlihatkan usaha, perbuatan dan ketekunan yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang efikasi dirinya rendah. Pasien dengan efikasi diri yang tinggi akan lebih mampu mengatur menajemen kesehatannya sehingga keadaan mereka bisa lebih baik (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006).


(44)

49 BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:

1) Dari 50 pasien, jumlah pasien laki-laki dan perempuan sama yaitu masing-masing 25 orang, pasien rata-rata berusia 60 tahun dengan lama menderita DM rata-rata 10 tahun tahun dan lama menggunakan insulin rata-rata 3 tahun. 2) Sebanyak 48 (96%) pasien memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang

terapi insulin.

3) Sebanyak 47 (94%) pasien memiliki tingkat efikasi diri yang baik tentang terapi insulin.

2. Saran

2.1.Bagi pelayanan keperawatan

Pengetahuan dan efikasi diri adalah hal yang penting untuk perubahan perilaku pasien, oleh karena itu perawat diharapkan mampu membantu pasien meningkatkan pengetahuan dan efikasi diri dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang terapi insulin.

2.2.Bagi pendidikan keperawatan

Perlu memasukkan materi efikasi diri dalam materi pembelajaran agar pemberian asuhan keperawatan pada pasien DM khususnya, dan pasien dengan penyakit kronis pada umumnya lebih terfokus dan efektif.


(45)

2.3.Bagi penelitian keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin. Dan diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk menambah jumlah responden sehingga hasil penelitian bisa lebih mewakili populasi.


(46)

6 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Diabetes Melitus (DM)

1.1. Definisi

DM adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan baik (WHO, 2013). DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009). DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2007).

1.2. Faktor Risiko DM

Faktor resiko DM tipe 2 (Manzella, 2014) : a. Obesitas

IMT ≥25 kg/m

Lingkar perut pada laki-laki ≥90 cm dan pada wanita ≥80 cm b. Kurang olahraga

Sel otot memiliki reseptor insulin yang lebih banyak daripada sel lemak, oleh karena itu resisten terhadap insulin dapat dikurangi dengan berolahraga c. Kebiasaan makan yang tidak sehat

Tidak sehat maksudnya adalah makanan yang banyak mengandung lemak dan sedikit serat


(47)

d. Riwayat keluarga dengan DM e. Usia

Semakin tua, semakin beresiko mendapat DM tipe 2. Ahli pengetahuan berpendapat bahwa pankreas, tidak dapat menghasilkan insulin dengan efisien seperti saat kita muda. Begitu juga dengan sel manusia, akan semakin resisten terhadap insulin.

f. Hipertensi ( TD ≥140/90 mmHg)

g. Riwayat diabetes gestasional, yaitu melahirkan bayi dengan BB ≥4 kg

1.3. Kriteria Diagnosis DM

PERKENI (2006 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM (poliuria, polifagia, polidipsia dan berat badan menurun drastis tanpa sebab yang jelas) dan gejala tidak khas DM (lemas, kesemutan, luka yang susah sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis juga dapat ditegakkan melalui cara:

1) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir


(48)

2) Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

1.4. Tipe DM

Menurut ADA (2004), DM diklasifikasikan menjadi 4 yaitu: a. DM Tipe 1

Terjadi ketika sistem imun tubuh merusak sel beta pankreas, satu-satunya sel di dalam tubuh yang mengatur glukosa darah. Tipe ini hanya 5-10% dari keseluruhan jumlah penderita DM dan biasanya menyerang anak-anak dan remaja atau pada usia kurang dari 30 tahun. Untuk bertahan hidup, pasien DM tipe 1 harus diberikan insulin.

b. DM Tipe 2

Terdiri dari 90-95% dari semua jenis DM. Biasanya terjadi pada orang dewasa. DM tipe 2 berhubungan dengan usia yang lebih tua, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, riwayat keluarga dengan diabetes, riwayat diabetes kehamilan.

c. Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Tipe ini biasa terjadi diantara wanita yang obesitas atau memiliki riwayat keluarga dengan diabetes.


(49)

Meskipun diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan, sekitar 50% penderita DM tipe ini tidak akan kembali ke status nondiabetes seperti sebelum hamil.

d. DM tipe lain

Terjadi sekitar 1-5% dari total jumlah kasus diabetes akibat kondisi genetik, pembedahan, pengobatan, infeksi, penyakit pankreas, atau penyakit lainnya.

1.5. Penatalaksanaan DM

Empat pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan, latihan jasmani, pengelolaan farmakologis dan penyuluhan (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2007).

1.5.1. Perencanaan makan

Beberapa manfaat yang telah terbukti adalah menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem koagulasi darah.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%.

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.


(50)

Makanan dibagi menjadi 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan, 10-15%) di antaranya. Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh.

Jumlah kandungan serat kurang lebih 25 g/hari, diutamakan serat larut, garam secukupnya. Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizinkan. Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori.

1.5.2. Latihan Jasmani

Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi adalah: 1) Frekuensi : 3-5 kali perminggu secara teratur

2) Intensitas : ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate) 3) Durasi : 30-60 menit

4) Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.

Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:


(51)

a) Pemanasan (warm-up)

Kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki latihan inti, dengan tujuan untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti menaikkan suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas latihan. Pemanasan juga perlu untuk menghindari cedera. Pemanasan cukup dilakukan selama 5-10 menit.

b) Latihan inti

Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi mencapai Target Heart Rate (THR), agar mendapatkan manfaat latihan. Bila THR tak tercapai, maka diabetisi tak akan mendapat manfaat latihan. Sedang bila lebih dari THR, mungkin malah bisa mendapatkan resiko yang tidak diinginkan. c) Pendinginan (cooling-down)

Setelah selesai melakukan latihan jasmani, sebaiknya dilakukan pendinginan. Tujuannya adalah untuk mencegah penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan latihan jasmani atau pusing akibat masih terkumpulnya darah pada otot yang masih aktif. Bila latihan berupa jogging, maka pendinginan sebaiknya dilakukan dengan tetap berjalan beberapa menit. Bila bersepeda, tetap mengayuh sepeda, tetapi tanpa beban. Pendinginan dilakukan selama kurang lebih 5-10 menit, hingga denyut jantung mendekati denyut nadi saat istirahat.


(52)

d) Peregangan (streching)

Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang berusia lanjut (Setiati, Simadibrata, Alwi, Setiyohadi, & Sudoyo, 2009).

1.5.3. Pengelolaan farmakologis Obat Hipoglikemik oral

Pemicu sekresi insulin: 1) Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada DM tipe 1.

Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea adalah menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (stored insulin), menurunkan ambang sekresi insulin dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat ini dapat berkurang. Biasanya langkah lebih lanjut yang dikerjakan untuk mencapai pengendalian kadar glukosa yang baik adalah dengan obat kombinasi oral-oral atau oral-oral-insulin.


(53)

2) Glinid

Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu : Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derifat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui hati.

Penambah sensitivitas terhadap insulin: 1) Biguanid

Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Fenformin dan Buformin tidak dipakai lagi karena efek samping asidosis laktat. Setelah diberikan secara oral, metformin mencapai kadar puncak dalam darah setelah 2 jam dan dieksresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.

Metformin menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak menyebabkan penurunan sampai dibawah normal. Karena itu tidak disebut sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik.

2) Tiazolidindion

Tiazolidindion adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa hati. Golongan obat baru ini diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat pula dipakai untuk


(54)

mengatasi berbagai manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel beta pankreas.

3) Penghambat glukosidase alfa

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebakan hipoglikemi dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin (Subekti, Soewondo, & Soegondo, 2007). 1.5.4. Penyuluhan

Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal dan penyesuaian keadaan psikologis serta kualitas hidup yang lebih baik.

Topik yang akan dibicarakan adalah pengetahuan dasar diabetes, pemantauan mandiri, sebab-sebab tingginya kadar glukosa darah, obat hipoglikemik oral, perencanaan makanan, pemeliharaan kaki, kegiatan jasmani, pengaturan saat sedang sakit dan komplikasi.

1.6. Komplikasi DM

Komplikasi diabetes terbagi dua yaitu komplikasi yaitu mikrovaskular dan makrovaskular (WHO, 2014).


(55)

a. Komplikasi mikrovaskuler 1) Retinopati Diabetes

Retinopati diabetes adalah komplikasi mikrovaskuler yang sering dijumpai. Hal ini disebabkan oleh rusaknya pembuluh darah kecil di lapisan mata, retina, yang menyebabkan kehilangan penglihatan, termasuk kebutaan. Biasanya pasien akan mengeluh penglihatan kabur.

2) Nephropati (penyakit ginjal)

Komplikasi ini disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil di ginjal. Ini dapat menyebabkan gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian. Di negara berkembang, nephropati merupakan penyebab terjadinya dialisis dan transplantasi ginjal.

3) Neuropati

Diabetes menyebabkan kerusakan saraf akibat hiperglikemi dan menurunnya aliran darah ke saraf karena kerusakan pembuluh darah kecil. Gejalanya beragam tergantung pada saraf mana yang dipengaruhi, misalnya, kematian rasa pada ekstremitas, nyeri pada ekstremitas dan impoten.

b. Komplikasi makrovaskuler

Hiperglikemi merusak pembuluh darah melalui proses yang disebut

“atherosclerosis” atau penyumbatan pada arteri. Hal ini dapat menyebabkan

berkurangnya aliran darah ke otot jantung (menyebabkan serangan jantung), berkurangnya aliran darah ke otak (menyebabkan stroke) atau ke ekstremitas (menyebabkan nyeri dan lambatnya penyembuhan saat infeksi).


(56)

2. Terapi insulin

Pada pasien DM tipe 1, tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin sehingga insulin eksogenous harus diberikan. Pada DM tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu, sebagian pasien DM tipe 2 yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet atau dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stres lainnya.

2.1.Pemberian suntikan

Insulin diberikan secara subkutan 15-20 menit sebelum makan. Tempat penyuntikan insulin adalah pada bagian abdomen, bokong, paha (permukaan anterior) dan lengan (permukaan posterior). Insulin paling cepat diabsorpsi di perut, kemudian lengan, paha dan bokong. Area injeksi harus terlebih dahulu dibersihkan dan juga perlu dihindari bagian-bagian yang terdapat edema, inflamasi, infeksi dan lipohipertrofi (penumpukan lemak akibat penyuntikan pada daerah yang sama secara berulang-ulang).

Untuk meningkatkan konsistensi absorpsi insulin, pasien harus diberitahukan untuk menggunakan semua tempat penyuntikan yang ada dalam satu daerah daripada melakukan rotasi berpindah-pindah secara acak. Pasien tidak boleh melakukan injeksi di tempat yang sama lebih dari satu kali dalam waktu 2 hingga 3 minggu.


(57)

Jika pasien berencana untuk latihan, preparat insulin tidak boleh disuntikkan di daerah tungkai yang akan digunakan untuk latihan tersebut karena insulin akan diserap lebih cepat dan mungkin akan mengakibatkan hipoglikemi dan dianjurkan untuk tidak me-massage area penyuntikan sebelum atau sesudah penyuntikan. Jarum harus tetap berada di dalam kulit selama ±10 detik, untuk memastikan semua insulin masuk dan tidak ada yang menetes saat jarum ditarik keluar dari kulit.

Berdasarkan The Forum for Injection Technique (FIT) tahun 2011, ukuran jarum yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 8 mm. Untuk ukuran jarum 4,5,6 mm diinjeksi dengan sudut 90 derajat pada orang dewasa dan untuk pasien yang menggunakan jarum ukuran 8 mm, harus dipastikan untuk menjepit kulit untuk menghindari jarum masuk ke bagian otot.

Penyandang DM sebaiknya diajarkan mengikuti tata cara penyuntikan insulin, termasuk penggunaan teknik yang konsisten, dosis yang akurat, dan rotasi lokasi penyuntikan. Kebanyakan individu mampu mencubit lipatan kulit dan menyuntikkan pada sudut 90 derajat. Individu kurus atau anak-anak kadang-kadang memerlukan cubitan kulit dan menyuntikan pada sudut 45 derajat untuk menghindari penyuntikan secara intra muskular. Bila disuntikkan secara intra muskular maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmani yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa kerja.


(58)

Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan yang sering terjadi bila insulin dingin disuntikkan, pasien dianjurkan untuk menguling-gulingkan alat suntik di antara telapak tangan atau menempatkan botol insulin pada suhu kamar.

Beberapa cara untuk mengurangi nyeri saat injeksi insulin: a. Lakukan penyuntikan insulin pada suhu ruangan

b. Gunakan jarum dengan ukuran terpendek dan diameter terkecil c. Gunakan jarum baru setiap melakukan penyuntikan

d. Tusukkan jarum dengan cepat ke dalam kulit

e. Masukkan insulin secara perlahan sampai benar-benar habis f. Desinfeksi kulit yang akan diinjeksi

g. Tunggulah sampai alkohol sebagai desinfektan kering sebelum menyuntik 2.2. Kerja insulin

a. Short-acting insulin

Awitan kerja human insulin reguler adalah hingga 1 jam, puncak nya 2 hingga 3 jam, durasi kerjanya 4 hingga 6 jam. Insulin reguler terlihat jernih dan biasanya diberikan 20 hingga 30 menit sebelum makan. Nama lain untuk insulin reguler adalah crystalline zinc insulin (CZI). Insulin reguler dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan insulin yang kerjanya lebih lama.

b. Intermediate-acting insulin

Nama lainnya adalah NPH insulin (neutral protamine hagedorn) Lente insulin (“L”)


(59)

Awitan kerja human insulin ini adalah 3 hingga 4 jam, puncaknya 4 hingga 12 jam, durasi kerjanya 16 hingga 20 jam.

Kedua insulin intermediate-acting tersebut memiliki kesamaan dalam perjalanan waktu kerjanya dan tampak berwarna putih serta menyerupai susu. Jika NPH atau lente digunakan secara tunggal, maka pemberian preparat ini setengah jam sebelum makan bukanlah faktor yang menentukan. Meskipun demikian, pasien yang menggunakan NPH atau insulin Lente harus makan di sekitar waktu awitan dan puncak kerja preparat insulin ini.

c. Long-acting insulin Ultralente insulin (UL)

Insulin long-acting kadang-kadang disebut sebagai insulin “tanpa puncak kerja” karena preparat ini cenderung memiliki kerja yang panjang, perlahan dan bertahan. Awitan kerja long-acting human insulin adalah 6 hingga 8 jam, puncak 12 hingga 16 jam, durasi 20 hingga 30 jam.

Secara umum, insulin short-acting diharapkan mampu berfungsi sebagai pengganti makanan segera setelah disuntikkan, intermediate-aacting insulin diharapkan dapat berfungsi sebagai cadangan makanan berikutnya dan long-acting insulin memberikan kadar insulin yang relatif konstan serta mengendalikan terutama kadar glukosa puasa.

Konsentrasi insulin yang paling sering digunakan di Amerika Serikat adalah U-100. Ini berarti terdapat 100 unit insulin per 1 sentimeter kubik. Jadi, spuit mampu menampung 100 unit insulin U-100 adalah spuit 1 ml (cc). Jika


(60)

sebuah spuit menyimpan 50 unit insulin U-100, maka spuit ini merupakan spuit ½ ml U-100 (Suzanne & Smeltzer, 2001).

2.3.Penyimpanan insulin

Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran pabrik. Insulin cadangan harus disimpan di lemari es pada temperatur 2 derajat sampai 8 derajat celcius. Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20 derajat celcius bila seluruh isi vial akan digunakan dalam 1 bulan. Saat akan menggunakan insulin yang disimpan di lamari pendingin, diamkan insulin sampai berada pada temperatur ruangan.

Penelitian menunjukkan bahwa insulin yang disimpan pada suhu kamar yang lebih dari 30 derajat celcius akan lebih cepat kehilangan kekuatannya. Pasien dianjurkan untuk memberi tanggal pada vial ketika pertama kali dipakai dan sesudah satu bulan bila masih tersisa sebaiknya tidak digunakan lagi. Masa kadaluwarsa menunjukkan tanggal terakhir dimana vial insulin yang tak terbuka sebaiknya digunakan apabila disimpan sesuai dengan anjuran perusahaan farmasi. (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2007).

3. Pengetahuan

3.1. Definisi pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang paling penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng


(61)

(Sunaryo, 2004). Keraf dan Dua (2001 dalam Gultom, 2012) menyatakan bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya.

Faktor pengetahuan mempunyai pengaruh sebagai dorongan awal bagi seseorang dalam berperilaku dan kebanyakan orang yang berperilaku baik sudah mempunyai pengetahuan yang baik dan perilaku yang tidak didasari pengetahuan tidak akan bertahan lama.

Notoadmojo (2007) menyatakan tahapan yang terjadi pada manusia sebelum berperilaku baru berdasarkan pengetahuan adalah:

a. Awarness (kesadaran)

Orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui objek (stimulus) terlebih dahulu.

b. Interest

Yaitu saat seseorang sudah mulai tertarik dengan stimulus.

c. Evaluation

Yaitu menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial

Yaitu seseorang sudah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption

Subjek telah berperilaku baru sesuai pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.


(62)

3.2. Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif

Notoadmojo (2007) menyatakan pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu hal yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tingkatan “tahu” merupakan yang paling rendah.

2) Memahami (comprehension)

Memahami artinya mampu menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang suatu objek harus dapat menjelaskan, memberi contoh dan menyimpulkan.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai menggunakan atau mempraktikkan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang nyata.

4) Analisa (Analysis)

Analisa adalah kemampusan untuk menjabarkan objek atau materi ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan masih saling berkaitan.


(63)

5) Sintesa (Synthesis)

Kemampuan dalam meletakkan atau bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang sama.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek.

3.3. Cara Memperoleh Pengetahuan 1) Cara Tradisional atau nonilmiah a. Cara coba salah ( Trial and error)

Pada waktu seseorang menghadapi persoalan, upaya pemecahannya adalah dengan cara coba-coba. Bila tidak berhasil, maka dicoba cara lain. Begitu selanjutnya. Pengalaman yang diperoleh melalui metode ini adalah membantu perkembangan mandiri manusia ke arah yang lebih sempurna.

b. Secara kebetulan

Terjadi secara tidak sengaja atau tidak direncanakan oleh orang yang bersangkutan.

c. Cara kekuasaan atau otoritas

Pengetahuan diperoleh turun-temurun dari pemegang otoritas, yakni orang yang mempunyai wibawa atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama maupun ahli ilmu pengetahuan atau ilmuwan.


(64)

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Mengingat kembali pengalaman pribadi saat menyelesaikan masalah di masa lalu. Bila cara yang digunakan pada masa itu berhasil untuk mengatasi masalah, maka akan digunakan cara yang sama untuk mengatasi masalah lain. Bila gagal, ia tidak akan mengulanginya dan mencari cara lain sampai berhasil.

e. Cara akal sehat

Akal sehat kadang dapat menemukan kebenaran. Misalnya agar anaknya disiplin dan patuh, orangtua akan menjewer atau menghukum anaknya. Cara itu sampai saat ini berkembang menjadi teori atau kebenaran, bahwa hukuman adalah salah satu metode bagi pendidikan anak.

f. Kebenaran melalui wahyu

Ajaran agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para nabi. Kebenaran ini harus diterima dan dipercayai oleh pengikut agama yang bersangkutan terlepas apakah itu rasional atau tidak.

g. Kebenaran secara intuitif

Kebenaran secara intuitif diterima manusia dengan mengandalkan suara hati atau bisikan hati saja sehingga sulit untuk dipercaya.

h. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, cara berfikir manusia pun ikut berkembang. Manusia sudah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dalam hal ini, manusia mengemukakan pernyataan-pernyataan, kemudian mencari hubungannya dan


(65)

disimpulkan. Metode ini terbagi menjadi induksi dan deduksi. Induksi adalah penarikan kesimpulan dari pernyataan khusus ke pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduksi adalah adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan umum ke pernyataan khusus.

2. Cara ilmiah

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan sudah lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian (research methodology) yang mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626). Francis mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan. Kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan dan akhirnya diambil kesimpulan umum. Kemudian metode ini dilanjutkan oleh Deobold van Dallen yang mengatakan bahwa untuk memperoleh kesimpulan dilakukan dengan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta berhubungan dengan objek yang diamatinya kemudian dijadikan dasar untuk membuat kesimpulan atau generalisasi. Kemudian Newton Galileo mengadakan penggabungan proses berfikir deduktif induktif verivikatif dan akhirnya lahir suatu cara melakukan penelitian, yang sekarang ini dikenal dengan metode penelitian ilmiah (scientific research method).

4. Efikasi Diri

4.1. Definisi efikasi diri

Efikasi diri adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa baik seseorang dapat berfungsi untuk hidupnya. Efikasi diri berhubungan dengan


(66)

keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan yang diharapkan (Alwisol, 2009). Bandura (1986a dalam Hanna, 2006) menyatakan bahwa efikasi diri adalah bukan mengenai seseorang mempunyai ketrampilan, tapi mengenai pendapat seseorang bahwa mereka yakin mereka dapat melakukannya dengan ketrampilan yang mereka punya. Seseorang dengan efikasi diri yang tinggi percaya bahwa dia dapat mengerjakan suatu tindakan sesuai dengan tuntutan situasi. Peterson (2004 dalam Rini, 2011) tentang teori sosial kognitif menjelaskan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang keyakinannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu tindakan yang hendak dicapai. Keyakinan efikasi diri akan menentukan seberapa banyak usaha yang dikeluarkan seseeorang dalam berperilaku, berapa lama mereka akan bertahan menghadapi rintangan.

4.2. Sumber-sumber efikasi diri

1) Pengalaman Performansi (performance accomplishment)

Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi masa lalu yang bagus meningkatkan efikasi diri, sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya:

a. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi b. Kerja sendiri lebih meningkatkan efikasi diri dibanding kerja kelompok,


(67)

c. Kegagalan menurunkan efikasi saat seseorang merasa sudah berusaha semaksimal mungkin.

d. Kegagalan dalam suasana emosional/stres, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal.

e. Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak terlalu buruk dibanding kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.

f. Orang yang biasa berhasil, sekali gagal tidak mempengaruhi efikasi. 2) Pengalaaman orang lain (Social modeling)

Efikasi diri akan meningkat ketika melihat keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi diri akan menurun ketika melihat orang lain yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya mengalami kegagalan. Kalau figur yang diamati memiliki kemampuan yang berbeda dengan pengamat, maka pengaruh vikarius tidak terlalu besar. Sebaliknya ketika melihat kegagalan figur yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau melakukan kegiatan yang gagal dilakukan oleh figur yang diamatinya tersebut. Bandura (1994 dalam Rini, 2011) menyatakan semakin besar kesamaan dengan figur yang diamati dianggap semakin mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan.

3) Persuasi verbal (verbal persuation)

Efikasi diri juga dapat diperkuat melalui persuasi verbal. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada


(68)

pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan. Seseorang yang mendapatkan persuasi verbal berupa sugesti dari luar bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan, maka mereka akan lebih mampu bertahan dalam keadaan sulit.

4) Keadaan emosi (emotional/physiological states)

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stres, dapat mengurangi efikasi diri. Mood yang positif akan mempengaruhi keberhasilan seseorang begitupun sebaliknya keputusasaan akan menyebabkan kegagalan.

4.3. Dimensi efikasi diri

a. Magnitude

Dimensi ini berfokus pada kesulitan yang dialami seseorang tidaklah sama. Semakin tinggi keyakinan efikasi diri yang dimiliki maka semakin mudah usaha terkait yang dapat dilakukan.

b. Generality

Dimensi generalisasi berfokus pada harapan penguasaan terhadap pengalaman dari usaha terkait yang telah dilakukan. Seseorang akan

menggeneralisasikan keyakinan akan keberhasilannya tidak hanya pada hal tersebut tapi akan diusahakan pada usaha yang lainnya.

c. Strength

Dimensi ini berfokus pada kekuatan atau keyakinan dalam melakukan usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan pengalaman yang buruk. Tapi


(69)

seseorang yang memiliki harapan yang kuat akan tetap berusaha walaupun mengalami kegagalan.

4.4. Manfaat dari keyakinan rasa efikasi diri

Bandura (1994 dalam Rini, 2011), menyatakan bahwa terdapat banyak bukti keberhasilan dan kesejahteraan manusia dapat dicapai dengan rasa optimis. Seseorang harus mempunyai keyakinan keberhasilan yang kuat untuk mempertahankan usahanya. Rasa efikasi diri yang tinggi akan menimbulkan daya tahan terhadap hambatan dan kemunduran dari kesulitan yang ada. Orang yang mengalami kecemasan akan mudah terserang depresi. Sedangkan orang yang mempunyai rasa efikasi diri yang tinggi akan lebih mampu untuk melakukan berbagai usaha dan latihan serta mengontrol lingkungan sekitarnya.

Rasa efikasi diri yang tinggi oleh sekelompok orang akan dapat merubah situasi sosial. Banyaknya tantangan yang dihadapi memerlukan upaya kolektif untuk menghasilkan perubahan yang signifikan. Rasa efikasi diri yang tinggi akan menjadi suatu upaya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui usaha yang terpadu. Rasa keyakinan yang tinggi akan berpengaruh terhadap keberhasilan dari usaha yang mereka lakukan.

4.5. Proses Pembentukan Efikasi Diri 1) Proses Kognitif

Keyakinan efikasi diri terbentuk melalui proses kognitif, misalnya melalui perilaku manusia dan tujuan. Penentuan tujuan dipengaruhi oleh penilaian atas kemampuan diri sendiri. Semakin kuat efikasi diri seseorang


(70)

maka semakin tinggi komitmen seseorang untuk meraih tujuan yang ditentukannya. Keyakinan tentang keberhasilan akan membentuk sebuah skenario dimana seseorang akan berusaha dan berlatih untuk mewujudkan keyakinannya. Mereka yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memvisualisasikan skenario keberhasilannya tersebut sebagai panduan positif dalam mencapai tujuannya, sedangkan orang yang meragukan keberhasilan mereka akan memvisualisasikan skenario kegagalan dan melakukan benyak kesalahan. Fungsi utama dari pemikiran adalah untuk memungkinkan seseorang memprediksi kejadian dan mengembangkan cara untuk mengendalikan hidupnya.

2) Proses Motivasional

Tingkat motivasi seseorang tercermin pada seberapa banyak upaya yang dilakukan dan seberapa lama bertahan dalam menghadapi hambatan. Semakin kuat keyakinan akan kemampuan seseorang maka akan lebih besar upaya yang akan dilakukannya. Keyakinan dalam proses berfikir sangat penting bagi pembentukan motivasi, karena sebagian besar motivasi dihasilkan melalui proses berfikir.

3) Proses Afektif

Keyakinan seseorang tentang seberapa kuat mengatasi stres dan depresi melalui berbagai pengalaman yang dialaminya akan berpengaruh pada motivasi seseorang. Efikasi diri dapat mengendalikan depresi yaitu dengan mengontrol stres. Seseorang yang dapat mengontrol depresi akan maka pikirannya tidak akan terganggu, tetapi bagi orang-orang yang tidak bisa mengontrol berbagai


(71)

ancaman maka akan mengalami kecemasan yang tinggi. Kecemasan tidak hanya dipengaruhi oleh koping mekanisme seseorang tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan pemikiran yang terganggu.

4) Proses seleksi

Tujuan akhir dari proses efikasi adalah untuk membentuk lingkungan yang menguntungkan dan dapat dipertahankannya. Sebagian besar orang adalah produk dari lingkungan. Oleh karena itu keyakinan efikasi dipengaruhi oleh tipe aktivitas dan lingkungan yang dipilihnya. Seseorang akan menghindari sebuah aktivitas dan lingkungan bila orang tersebut merasa tidak mampu melakukannya. Tetapi mereka akan siap dengan berbagai tantangan dan situasi yang dipilihnya bila mereka menilai dirinya mampu untuk melakukannya.


(72)

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis yang terjadi karena pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup atau karena tubuh resisten terhadap insulin (WHO, 2013). DM adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Semakin majunya perkembangan zaman berdampak terhadap perubahan pola makan, kenaikan angka obesitas dan penurunan aktifitas fisik yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit DM (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009).

Berdasarkan data International Diabetes Federation (2013), sebanyak 382 juta orang di dunia menderita DM. Meningkat menjadi 387 juta orang pada tahun 2014 dan diperkirakan akan naik menjadi 592 juta pada tahun 2035. Indonesia berada di urutan ketujuh yaitu sebesar 8,5 juta orang. WHO memperkirakan bahwa DM akan menjadi penyebab kematian ke-7 di dunia pada tahun 2030.

Berdasarkan data Surveilens Terpadu Penyakit (2008 dalam Harahap, 2010) jumlah kasus yang paling banyak adalah penyakit DM dengan jumlah kasus 1717 pasien rawat jalan yang dirawat di rumah sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Untuk rawat jalan, penyakit DM ini mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit dan 998 pasien yang dirawat di 487 puskesmas yang ada di 28 Kabupaten/Kota seluruh Sumatera Utara. Sedangkan pada tahun 2009 mencapai 108 pasien yang dirawat di rumah sakit dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009. Berdasarkan data pada penelitian


(73)

Restu (2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan, diperoleh data pada tahun 2011 sampai 2012 terdapat 375 pasien rawat inap dan tahun 2013 terdapat 7023 kunjungan pasien DM yang rawat jalan.

DM diklasifikasikan menjadi 4 yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya. DM tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu sekitar 90% hingga 95% dari keseluruhan kasus DM.

DM tipe 2 adalah penyakit hiperglikemia akibat resistensi insulin dan defisiensi sekresi insulin. DM tipe 2 dikategorikan diabetes yang tidak tergantung dengan insulin. Artinya, insulin tidak perlu diberikan jika pasien dapat mengontrol glukosa dengan diet, olahraga dan obat anti diabetes oral secara tepat. Pasien DM tipe 2 mungkin memerlukan penyuntikan insulin saat mengalami stres, sakit, infeksi, kehamilan atau pembedahan (Smeltzer & Suzanne, 2002).

Pranoto (2012 dalam Lestari, 2013) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian terhadap 10 puskesmas di Surabaya ditemukan 99 pasien yang memakai obat anti diabetes oral selama 6 tahun tetap tidak bisa mengendalikan kadar glukosa darah. Hal ini dikarenakan sel beta pankreas sudah mengalami kerusakan sehingga insulin perlu diberikan.

Fox & Kilvert (2010) menyatakan bahwa keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan obat antidiabetik oral dalam pengobatan diabetes melitus adalah insulin terdapat di dalam tubuh secara alamiah. Sementara itu, kendala utama dalam penggunaan insulin adalah pemakaiannya dengan cara menyuntik dan harganya yang relatif mahal.


(74)

Insulin harus diinjeksi secara teratur karena terjadinya penurunan sekresi insulin ataupun resisten terhadap insulin di dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tubuh tidak mendapatkan energi. Pasien kadang lebih memilih mengkonsumsi obat-obatan daripada insulin. Mereka menganggap bahwa insulin menyusahkan, nyeri dan membatasi gaya hidup. Sebagian ada yang beranggapan bahwa insulin lebih efektif untuk mengendalikan kadar gula darah sehingga terhindar dari komplikasi dan insulin lebih efektif dibanding obat oral (Hassan, et al., 2013). Penelitian diatas membuktikan bahwa persepsi pasien berhubungan dengan penggunaan insulin sangat dipengaruhi oleh pengetahuan.

Pengetahuan merupakan domain yang penting untuk perubahan perilaku. Penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Widyaningsih dan Phitri (2013).

Selain pengetahuan, efikasi diri juga mempengaruhi manajemen perawatan diri pasien. Bandura (1986a dalam Hanna, 2006) menyatakan bahwa efikasi diri adalah bukan mengenai seseorang mempunyai ketrampilan, tapi mengenai pendapat seseorang bahwa mereka yakin mereka dapat melakukannya dengan ketrampilan yang mereka punya. Seseorang dengan efikasi diri yang tinggi percaya bahwa dia dapat mengerjakan suatu tindakan sesuai dengan tuntutan situasi. Semakin besar efikasi diri, maka dapat dipercaya pasien akan melakukan tindakan yang bermanfaat untuk kesehatannya (Didarloo, Shojaeizadeh, Gharaaghaji, Niknami, & Khorami, 2014).


(1)

vi

Daftar lampiran

Lampiran 1 ... 55

Lampiran 2 ... 56

Lampiran 3 ... 57

Lampiran 4 ... 58

Lampiran 5 ... 61

Lampiran 6 ... 62

Lampiran 7 ... 63

Lampiran 8 ... 65

Lampiran 9 ... 66

Lampiran 10 ... 67

Lampiran 11 ... 68

Lampiran 12 ... 69

Lampiran 13 ... 70

Lampiran 14 ... 71

Lampiran 15 ... 72


(2)

vii Daftar Tabel

Tabel 3.1.Definisi operasional ...33 Tabel 5.1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin ...39 Tabel 5.2. Hasil analisis usia, lama menderita DM dan lama menggunakan insulin

pada responden dengan DM tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan ...39 Tabel 5.3. Tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di

Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan ...40 Tabel 5.4. Jumlah dan persentase responden yang menjawab benar pada tiap item

pernyataan pengetahuan ...41 Tabel 5.5. Tingkat efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik

Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan ...42 Tabel 5.6. Jumlah dan persentase jawaban responden pada tiap item pernyataan


(3)

viii Daftar Skema


(4)

ix

Judul : Pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama : Eryani Siahaan

NIM : 111101069

Jurusan : S1 Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Pasien DM tipe 2 memerlukan injeksi insulin saat diet, obat anti diabetes oral dan olahraga tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah mereka. Injeksi insulin harus dilakukan dengan cara yang benar sehingga kadar glukosa darah dapat terkendali. Pengetahuan merupakan hal penting dalam perubahan perilaku seseorang. Seseorang dengan efikasi diri yang tinggi percaya bahwa dirinya mampu melakukan tindakan yang bermanfaat bagi kesehatannya. Desain penelitian adalah deskriptif, dengan jumlah sampel 50 orang pasien DM tipe 2 yang melakukan injeksi insulin secara mandiri. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari data demografi, kuesioner pengetahuan (18 pernyataan) dan kuesioner efikasi diri (12 pernyataan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% responden berjenis kelamin perempuan, rata-rata berusia 60 tahun dengan rata-rata-rata-rata 10 tahun menderita DM dan rata-rata-rata-rata menggunakan insulin sudah 3 tahun. Hampir semua responden (96%) memiliki pengetahuan yang baik tentang terapi insulin dan hampir semua responden (94%) memiliki efikasi diri yang baik tentang terapi insulin. Diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk menambah jumlah responden sehingga hasil penelitian bisa lebih mewakili populasi.


(5)

x

Title of the Thesis : The Knowledge and Self-Efficacy of DM Type 2 Patients in Insulin Therapy in the Polyclinic of RSUP Haji Adam Malik,Medan

Name of Student : EryaniSiahaan Std. ID Number : 111101069

Department : S1 (Undergraduate) Nursing (S.Kep)

Year :2015

ABSTRACT

DM Type 2 patients need insulin injection during dieting since oral anti-diabetic medicines and sports cannot control their glucose content. Insulin injection should be done correctly to control glucose content. In this case, knowledge is important in changing a person’s behavior. A person with high self-efficacy will have self-confidence that he is able to do beneficial thing for his health. The research used descriptive design; the samples were 50 DM Type 2 patients who independently got insulin injection. The data were gathered by distributing questionnaires on demographic data, knowledge (10 statements), and self-efficacy (12 statements). The result of the research showed that 50% of the respondents were females, had been DM Type 2 patients for the average of 10 years, and had used insulin injection for 3 years. 96% of the respondents had good knowledge of insulin therapy and 94% of them had good self-efficacy on insulin therapy. It is recommended that the next researches add the number of respondents so that the result can represent the population.


(6)