Hubungan Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

HUBUNGAN EFIKASI DIRI DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh

MAYUDIKA FREDYA TAMBUNAN 121121069

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

(3)

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Mayudika Fredya Tambunan NIM : 121121069

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan kepada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan kaidah ilmiah yang harus dijungjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Medan, Februari 2014 Yang menyatakan,


(4)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, berkat, bimbingan, dan anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Hubungan Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 ”.

Skripsi ini tidak akan terlaksana penulisannya tanpa ada dukungan, doa, kasih sayang, semangat dan motivasi setiap saat oleh kedua orang tua tercinta Bapak M. Tambunan dan Ibu M. Sibarani yang telah mendidik, menyayangi, dan memberikan dukungan penuh baik secara material dan non material serta Abang saya Chandra Vanharlen. Penulis juga telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak selama penulisan Skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan, yaitu kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Erniyati SKp, MNS selaku pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Evi Karota Bukit, SKp, MNS selaku pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, SKp, MNS selaku pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Yesi Ariani, S.Kep, Ns, M.Kep sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB sebagai penguji I 7. Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS sebagai penguji II

8. Buat teman-teman S1 Keperawatan Ekstensi angkatan 2012 terkhusus buat Christina Purba, Dewi Sartika, Alvionita Panjaitan, Masteria Purba, Eva Sibuea, Laura Hamdani, Veronika Boang Manalu, Ka Puspa, Ka Dewi M.S, Ka Dani, Bang Almudatsir yang memberikan masukan, dan semangat selama proses pengerjaan Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan Skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membacanya.

Medan, Januari 2014 Penulis,

Mayudika Fredya Tambunan NIM : 121121069


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER ... i

SURAT PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 5

3. Hipotesa Penelitian ... 6

4. Tujuan Penelitian ... 6

5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Definisi Tuberkulosis ... 8

2.1.1. Patofisiologi Tuberkulosis Paru ... 8

2.1.2. Cara Penularan dan Resiko Penularan ... 9

2.1.3. Manifestasi Klinis ... 10

2.1.4. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru ... 11

2.1.5. Efek samping Obat Tuberkulosis Paru ... 16

2.1.6. Pencegahan ... 17

2.2. Efikasi Diri ... 18

2.2.1. Pengertian Efikasi Diri ... 18

2.2.2. Sumber Efikasi Diri ... 19

2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri ... 21

2.2.4. Dimensi Efikasi Diri ... 22

2.2.5. Indikator Efikasi Diri ... 23

2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri ... 24

2.2.7. Manfaat Dari Efikasi Diri ... 25

2.2.8. Pengaruh Efikasi Diri pada Pasien Tuberkulosis Paru .... 26

2.3. Kualitas Hidup ... 28

2.3.1. Pengertian Kualitas Hidup ... 28

2.3.2. Dimensi Kualitas Hidup ... 29

2.3.3. Alat Ukur Kualitas Hidup ... 35

2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien Tuberkulosis Paru ... 36

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 43

3.1. Kerangka Konseptual ... 43


(7)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 46

4.1. Desain Penelitian ... 46

4.2. Populasi dan Sampel ... 46

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

4.4. Etika Penelitian ... 47

4.5. Instrumen Penelitian ... 48

4.5.1. Kuesioner Karakteristik Demografi Pasien ... 49

4.5.2. Kuesioner Efikasi Diri Khusus Pasien Tuberkulosis Paru 49 4.5.3. Pengukuran kualitas hidup pasien Tuberkulosis Paru ... 49

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 51

4.6.1. Uji Validitas ... 51

4.6.2. Uji Reliabilitas ... 52

4.7. Prosedur Pengumpulan Data... 53

4.8. Pengolahan Data... 54

4.9. Analisa Data ... 55

4.9.1. Statistik Univariat ... 55

4.9.2 Statistik Bivariat ... 55

BAB 5 PEMBAHASAN ... 56

5.1. Hasil Pembahasan ... 56

5.2. Pembahasan ... 59

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1. Kesimpulan... 76

6.2. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA………... 79

LAMPIRAN……….. 84 1. Inform Consent

2. Kuesioner

3. Hasil uji reliabelitas 4. Hasil Uji Chi Square 4. Surat survey awal 5. Surat pengambilan data 6. Surat selesai penelitian 7. Daftar riwayat hidup


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Defenisi Operasional ... 44 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentasi data demografi pasien

tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan ... 57 Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan Efikasi diri

pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan... 58 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan Kualitas hidup

pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan... 58 Tabel 5.4 Hasil analisa Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien


(9)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian Hubungan Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di


(10)

Judul : Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan 2013

Peneliti : Mayudika Fredya Tambunan Nim : 121121069

Program : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2014

ABSTRAK

Penatalaksanaan tuberkulosis paru salah satunya pengobatan serta kombinasi obat yang digunakan, diduga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru. Efikasi diri merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Efikasi diri diperlukan bagi pasien tuberkulosis paru untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam mengelola penyakitnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling dengan jumlah subjek 44 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang mencakup data demografi dan pernyataan mengenai efikasi diri dan kualitas hidup. Hasil analisis menggunakan korelasi uji Chi square menunjukkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup (p value = 0,016 (p < 0,05), Odd Ratio (OR) = 5,850 (95% CI = 1,554-22,023). Individu yang memiliki efikasi diri baik memiliki peluang 5,850 kali menunjukkan kualitas hidup lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki efikasi diri tidak baik. Diharapkan perawat dapat meningkatkan efikasi diri dan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru dengan memberikan pendidikan kesehatan terstruktur, memfasilitasi pemberian dukungan sosial.


(11)

Title : The Relationship of Self-Efficacy and Quality of Life in Patient Pulmonary Tuberculosis at H.Adam Malik Hospital in Medan 2013

Student name : Mayudika Fredya Tambunan Student number : 121121069

Program : Bachelor of Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Management of pulmonary tuberculosis treatment is one of treatments using a combination of drugs, which is expected to affect the quality of life of patients of pulmonary tuberculosis. Self-efficacy is a form of belief that everyone has the capability to improve the performance of her/his life. Self efficacy is required for pulmonary tuberculosis patients to increase their independence in managing the disease so they can improve their quality of life . This study aims at determining the relationship of self-efficacy to quality of life of pulmonary tuberculosis patients in H. Adam Malik hospital in Medan. This study used a descriptive correlation research design. It used consecutive sampling techniques with the number of subjects 44. The research instrument is a questionnaire that includes demographic data and statements regarding self-efficacy and quality of life. The result of correlation analysis using Chi Square test showed there is a correlation between self-efficacy with quality of life ( p value = 0.016 ( p <0,05 ), Odd Ratio (OR) = 5,850 (95% CI = 1,554-22,023 ). Individuals who have good self-efficacy had a chance 5,850 times indicate better quality of life compared with individuals who have bad self-efficacy. It is expected that nurses can improve self-efficacy and quality of life of patients with pulmonary tuberculosis by giving structured health education, facilitating the provision of social support.


(12)

Judul : Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan 2013

Peneliti : Mayudika Fredya Tambunan Nim : 121121069

Program : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2014

ABSTRAK

Penatalaksanaan tuberkulosis paru salah satunya pengobatan serta kombinasi obat yang digunakan, diduga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru. Efikasi diri merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Efikasi diri diperlukan bagi pasien tuberkulosis paru untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam mengelola penyakitnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling dengan jumlah subjek 44 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang mencakup data demografi dan pernyataan mengenai efikasi diri dan kualitas hidup. Hasil analisis menggunakan korelasi uji Chi square menunjukkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup (p value = 0,016 (p < 0,05), Odd Ratio (OR) = 5,850 (95% CI = 1,554-22,023). Individu yang memiliki efikasi diri baik memiliki peluang 5,850 kali menunjukkan kualitas hidup lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki efikasi diri tidak baik. Diharapkan perawat dapat meningkatkan efikasi diri dan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru dengan memberikan pendidikan kesehatan terstruktur, memfasilitasi pemberian dukungan sosial.


(13)

Title : The Relationship of Self-Efficacy and Quality of Life in Patient Pulmonary Tuberculosis at H.Adam Malik Hospital in Medan 2013

Student name : Mayudika Fredya Tambunan Student number : 121121069

Program : Bachelor of Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Management of pulmonary tuberculosis treatment is one of treatments using a combination of drugs, which is expected to affect the quality of life of patients of pulmonary tuberculosis. Self-efficacy is a form of belief that everyone has the capability to improve the performance of her/his life. Self efficacy is required for pulmonary tuberculosis patients to increase their independence in managing the disease so they can improve their quality of life . This study aims at determining the relationship of self-efficacy to quality of life of pulmonary tuberculosis patients in H. Adam Malik hospital in Medan. This study used a descriptive correlation research design. It used consecutive sampling techniques with the number of subjects 44. The research instrument is a questionnaire that includes demographic data and statements regarding self-efficacy and quality of life. The result of correlation analysis using Chi Square test showed there is a correlation between self-efficacy with quality of life ( p value = 0.016 ( p <0,05 ), Odd Ratio (OR) = 5,850 (95% CI = 1,554-22,023 ). Individuals who have good self-efficacy had a chance 5,850 times indicate better quality of life compared with individuals who have bad self-efficacy. It is expected that nurses can improve self-efficacy and quality of life of patients with pulmonary tuberculosis by giving structured health education, facilitating the provision of social support.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui transmisi udara atau droplet dahak pasien tuberkulosis (Depkes, 2007). International Union

Against Tuberculosis and Lung Disease (2007) menyatakan bahwa pasien

ketika didiagnosis Tuberkulosis paru timbul ketakutan dalam dirinya, ketakutan itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan, kematian, efek samping obat, menularkan penyakit ke orang lain, kehilangan pekerjaan, ditolak, perasaan rendah diri, selalu mengisolasi diri karena malu dengan keadaan penyakitnya dan didiskriminasikan sehingga kualitas hidup pasien menurun.

Manajemen medis termasuk melakukan perawatan pada waktu sakit, pemberian farmakoterapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT), dukungan ventilasi, penggunaan oksigen dan intervensi gizi, sedangkan rehabilitasi paru diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional termasuk di dalamnya edukasi pasien (Mulenga et al, 2010). Kualitas hidup pasien seharusnya menjadi perhatian penting bagi para profesional kesehatan karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari suatu tindakan atau intervensi. Disamping itu, data tentang kualitas hidup juga dapat merupakan data awal untuk pertimbangan merumuskan intervensi yang tepat bagi pasien (Priambodo, 2007).


(15)

Global Report TB, World Health Organization (WHO) tahun 2011 menyatakan prevalensi Tuberkulosis paru diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, insidensi Tuberkulosis paru sebesar 189 per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk. Fakta ini didukung oleh kondisi lingkungan perumahan, sosial ekonomi masyarakat, serta kecenderungan peningkatan penderita HIV/AIDS.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam pengendalian Tuberkulosis paru, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update

tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai Negara dengan jumlah pasien Tuberkulosis paru terbanyak di dunia. Namun demikian tentunya permasalahan dalam pengendalian Tuberkulosis paru masih sangat besar, dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus Tuberkulosis paru yang ada di dunia. Dengan masih adanya sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189 per 100.000 penduduk serta angka kematian akibat Tuberkulosis paru sebesar 61.000 per tahun atau 27 per 100.000 penduduk, Tuberkulosis paru masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan survei awal peneliti pada bulan Mei 2013 angka kejadian penyakit Tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan daripada perolehan data rekam medis, pada tahun 2011 mencapai 847 pasien sedangkan tahun 2012 mencapai 936 pasien. Perolehan data dari ruangan


(16)

untuk periode Januari sampai Mei 2013 telah didapatkan 157 pasien Tuberkulosis paru yang dirawat inap. RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan yang mendukung pengembangan penelitian dan rumah sakit rujukan untuk wilayah provinsi Sumatera Utara maupun provinsi lainnya seperti Nangro Aceh Darussalam.

Salah satu fakt or yang mempengaruhi manajemen perawatan diri pasien adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan keyaki nan indivi du akan kemampuannya dalam mengatur dan melakukan suatu tugas tertentu demi tercapainya tujuan (Bandura, 1977). Salah satu proses pembentukan efikasi diri adalah motivasi. Seseorang dapat termotivasi oleh tujuan dan harapan yang diinginkannya, selain itu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi diri sendiri dengan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama motivasi (Bandura,1994). Penelitian Maroski (2005) terhadap remaja dengan Tuberkulosis paru menyatakan efikasi diri berhubungan dengan kepatuhan terhadap perawatan yang direkomendasikan. Remaja yang terinfeksi Tuberkulosis paru berpartisipasi dalam intervensi peningkatan efikasi diri yang tinggi dalam berobat dan kepatuhan berobat berhubungan dengan lengkapnya pengobatan.

Orang yang yaki n akan kemampuannya, mereka akan terlibat dalam kegiatan promosi kesehatannya. Peningkatan efikasi diri berhubungan dengan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan, perilaku promosi kesehatan dan menurunkan gejala fisik dan psikologis. Ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan penyaki tnya dapat


(17)

mengaki batkan hasil yang negatif seperti ketidakpatuhan dalam pengobatan dan penurunan kualitas hidup. Efikasi diri memiliki peran dalam inisiasi dan pemeliharaan perilaku kesehatan, sehingga diyaki ni bahwa peningkatan efikasi pada perilaku kesehatan akan mengaki batkan perbaikan kesehatan dan meningkatkan perilaku serta kualitas hidup (Kara & Alberto, 2006).

Sejumlah orang dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang di sangka menderita Tuberkulosis paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan, keluhan psikis ini akan mempengaruhi kualitas hidupnya (Ratnasari, 2012).

Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mendapatkan kepuasan atau menikmati dalam kehidupan sehari-hari. Kualitas hidup tersebut menyangkut kesehatan fisik dan mental, hubungan sosial serta hubungan individu dengan lingkungan maka orang tersebut akan mencapai suatu kepuasan dalam hidupnya. Kualitas hidup itu dapat dinilai dari dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi hubungan sosial dan dimensi


(18)

lingkungan. WHOQOL-BREF (1994 dalam Skevington, Lotfy dan O’Connell, 2004). Kualitas hidup pasien yang optimal menjadi isu penting yang harus diperhatikan dalam memberikan pelayanan keperawatan yang komprehensif. Hasil penelitian Ratnasari (2012) terhadap pengaruh dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita Tuberkulosis paru di BP4 Yogyakarta menunjukkan bahwa 68% pasien mempersepsikan kualitas hidupnya pada tingkat rendah dan 30% pada tingkat tinggi dan penelitian Prisilia (2012) pada pasien tuberkulosis paru di poli paru BLU RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado yang menyatakan 64 orang (66,0%) memiliki kualitas hidup baik dan 7 orang (7,2%) memiliki kualitas hidup buruk. Kualitas hidup penting diukur pada pasien Tuberkulosis paru agar dapat diupayakan tindakan peningkatan kualitas hidup. Hal ini dikarenakan kualitas hidup akan mempengaruhi kelangsungan hidup pasien itu sendiri terkait dengan harapan hidupnya. Jika memiliki kualitas hidup yang baik, maka akan memiliki harapan yang baik pula (Glasier dan Gebbie, 2006). Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui bahwa masih rendahnya kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru, dengan demikian perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut untuk mengetahui hubungan Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013.


(19)

2. Pertanyaan Penelitian

2.1 Bagaimanakah Efikasi diri pada pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan?

2.2 Bagaimanakah Kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan?

2.3 Adakah hubungan Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan?

3. Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha) yaitu adanya hubungan Efikasi diri dengan kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.

4. Tujuan Penelitian

4.1 Mengidentifikasi karakteristik pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan

4.2 Mengidentifikasi Efikasi diri pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan

4.3 Mengidentifikasi kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan

4.4 Mengidentifikasi ada tidaknya hubungan Efikasi diri dengan kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(20)

5. Manfaat Penelitian

5.1 Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan bagi pelayanan keperawatan khususnya dalam pengembangan asuhan keperawatan pasien dengan Tuberkulosis paru dalam pelayanan kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap ataupun dalam perawatan keluarga dan masyarakat, yang berfokus pada mengurangi gejala, mencegah kecacatan dan meningkatkan kualitas hidup.

5.2 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan keperawatan dalam mengembangkan intervensi keperawatan khususnya efikasi diri dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dengan Tuberkulosis paru. 5.3 Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan Pengaruh Edukasi dalam memprediksi Efikasi diri pasien tuberkulosis paru dan pengaruh efikasi diri terhadap perawatan diri pasien tuberkulosis paru dengan desain dan metodologi yang berbeda.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan pustaka dan teori yang mendasari penelitian ini. Pembahasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah pembahasan mengenai Tuberkulosis paru, efikasi diri, dan kualitas hidup.

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah salah satu penyakit yang tertua yang dikenal oleh manusia yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis

complex. Penyakit ini biasanya mengenai paru, meskipun juga pada sepertiga

kasus dapat mengenai organ lain. Penularannya biasanya melalui udara yaitu dari droplet yang dihasilkan penderita tuberkulosis paru aktif (Depkes, 2008).

2.1.1 Patofisiologi Tuberkulosis paru

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated

immune respons. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah

sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas selular (lambat).

Sumber infeksi dapat berupa dahak manusia, urin, dan cairan tubuh lain yang terinfeksi. Dahak manusia adalah sumber yang paling penting. Batuk, berbicara, dan meludah memproduksi percikan sangat kecil berisi tuberkulosis yang melayang-layang di udara. Kuman ini dapat terhirup napas dan meyebabkan penyakit. Pasien-pasien dengan dahak positif pada hapusan langsung jauh lebih


(22)

menular, karena mereka memproduksi lebih banyak tuberkulosis dibandingkan dengan mereka yang hanya positif pada pembiakan. Urin dan cairan tubuh lain yang terinfeksi secara teoritis mengandung resiko, tetapi jauh kurang penting, karena pada umumnya jumlah basil yang relatif kecil (Price & Wilson, 2003).

2.1.2 Cara Penularan dan Resiko Penularan

Tuberkulosis dapat ditularkan melalui udara dari penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin penderita tuberkulosis paru tersebut menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak maka makin menular pasien tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif atau tidak terlihat kuman maka pasien tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesa, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko penularan penyakit tuberkulosis paru adalah mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai tuberkulosis aktif, individu imunosupresif termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terinfeksi dengan HIV, penggunaan obat-obat IV dan alkoholik, individu yang memiliki gangguan medis


(23)

yang sudah ada sebelumnya, umur dan jenis kelamin, keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi yang akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk tuberkulosis paru, individu yang tinggal di institusi misalnya fasilitas perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara, mereka yang tinggal di perumahan yang padat, kumuh dan sanitasi yang buruk (Brunner dan Suddart, 2002).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala tuberkulosis paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih, bercampur darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan badan berkeringat walaupun tanpa kegiatan. Keluhan yang biasa ditemukan pada pasien dengan tuberkulosis paru adalah diantaranya demam,keringat pada malam hari, batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas, nyeri dada, malaise.

Demam pada pasien dengan tuberkulosis paru biasanya subfebris tetapi kadang dapat mencapai 40-410C. Demam ini biasanya hilang timbul sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan demam. Keadaan ini berhubungan dengan daya tahan tubuh pasien serta berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Gejala batuk pada pasien dengan tuberkulosis paru banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Keterlibatan bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah berminggu-minggu atau


(24)

berbulan-bulan peradangan dimulai. Sifat batuk dapat dimulai dari batuk kering dan setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif yang menghasilkan sputum. Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapatnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah kebanyakan timbul akibat kavitasi namun dapat pula terjadi pada ulkus dinding bronkus (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Sesak napas pada penyakit ringan belum akan dirasakan. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit paru yang sudah lanjut, yang infiltrasinya meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah mencapai pleura sehingga terjadi pleuritis. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering ditemukan yang dapat berupa anorexia, berat badan yang menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Price & Wilson, 2003).

2.1.4 Penatalaksanaan Tuberkulosis paru

Obat-obat anti tuberkulosis (OAT) standar memiliki keefektivitasan sekitar sembilan puluh lima persen jika diresepkan dan dipergunakan dengan tepat untuk beberapa bulan. Efek samping dari obat-obatan tersebut, bagaimanapun juga menyebabkan pasien tidak menyelesaikan pengobatan secara tuntas, pasien juga sering lupa untuk meminum Obat Anti Tuberkulosis atau menghentikan pengobatan secara sepihak jika sudah merasa lebih baik. Pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya ini dapat menjadi sumber penularan Tuberkulosis dan mengakibatkan berkembangnya strain yang menjadi resisten


(25)

terhadap satu atau lebih Obat Anti Tuberkulosis (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2006).

1. Pengobatan

Pengobatan Tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis paru dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut yaitu OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan, Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung, (DOT = Directly Observed

Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO), pengobatan

tuberkulosis paru diberikan dalam dua tahap yaitu tahap intensif, pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Kemudian Tahap lanjutan, pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama, Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.


(26)

Panduan pengobatan Anti tuberkulosis (OAT) yang direkomendasikan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung

Disease, 2007) ada 3 kategori antara lain:

1) Kategori 1 pada Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid dan Rifampisin, diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru tuberkulosis paru BTA positif, penderita tuberkulosis paru Ekstra paru berat.

2) Kategori 2 pada Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, etambutol dan suntikan streptomisin setiap hari dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid, Rifampisin, Pirasinamid, dan Etambutol setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal

(failure), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after

default).

3) Kategori 3 pada Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan tiga kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk


(27)

penderita baru BTA negatif dan rongent positif sakit ringan, Penderita ekstra paru ringan, yaitu Tuberkulosis kelenjar limfe

(limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, Tuberkulosis kulit,

Tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2. Perencanaan makan/Terapi Gizi medis

Suplai protein dan kalori serta konsumsi makanan mempengaruhi kepada morbiditas dan mortalitas Tuberkulosis paru. Adanya tambahan protein terutama protein hewani akan meningkatkan gizi pasien Tuberkulosis paru. Kebutuhan kalori protein perkilogram berat badan adalah 1,2-1,5 gr/kgbb atau 15 % energi total asupan harian atau 75-100 gr/hari. Kalori yang dibutuhkan penderita Tuberkulosis meningkat, kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35-40 kkal/kgbb ideal. Kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral juga sangat diperlukan seperti vitamin E yang kebutuhannya 140 mg dan selenium 200 ug yang fungsinya menekan oksidasi stress dan meningkatkan antioksidan pada pasien Tuberkulosis paru bersamaan dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis (IUATLD. Tuberculosis & Nutrition, 2007).

3. Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan.


(28)

Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian dari kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan (Depkes, 2002).

Penyuluhan Tuberkulosis paru perlu dilakukan karena masalah Tuberkulosis paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan Tuberkulosis paru. Dalam penanggulangan Tuberkulosis paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan Pengawas Minum Obat. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang Tuberkulosis paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita (Depkes, 2002).


(29)

4. Komunikasi terapiutik dan Edukasi serta Pengawasan pengobatan Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Potter & Pery, 2005). Agar penderita mau minum obat dengan teratur dan patuh perlu adanya komunikasi, informasi, edukasi yang berkesinambungan oleh petugas kesehatan, sehingga termotivasi minum obat secara teratur. Komunikasi yang cukup efektif dalam bentuk edukasi lisan pada pasien maupun Pengawas Minum Obat akan membuat pasien lebih mengerti, memahami dan menyadari tentang penyakitnya sehingga patuh mengikuti anjuran petugas kesehatan untuk berobat teratur sampai selesai. Edukasi dapat dilakukan oleh dokter ketika memeriksa pasien dilanjutkan oleh petugas kesehatan yang sekaligus memberikan obat sesuai dengan ketentuan serta edukasi efek samping obat. Komunikasi yang efektif antara petugas kesehatan dan pasien akan membentuk persepsi tentang penyakitnya sehingga timbul keyakinan dan harapan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Sikap petugas kesehatan mempengaruhi tingkat pengetahuan dari pasien, dapat dijelaskan bahwa sikap petugas kesehatan yang kurang baik akan berisiko enam kali terhadap rendahnya tingkat pengetahuan pasien.


(30)

Dalam pengawasan pengobatan, petugas kesehatan sebaiknya mengikut sertakan keluarga dalam pengawasan pengobatan agar pasien dapat berobat secara berkesinambungan. Tujuan diadakan pengawasan pengobatan adalah untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai dengan jadwal, menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya serta mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan resisten terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Iseman (2003).

2.1.5 Efek samping Obat Tuberkulosis Paru

Sebagian besar pasien Tuberkulosis paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat diteruskan. Efek-efek samping OAT tersebut diantaranya untuk Isoniazid efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot, efek samping berat yang ditimbulkan dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Pada golongan rifampisin efek samping ringan dapat berupa sindrom flu (demam, menggigil, nyeri tulang), sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah dan kadang-kadang diare, gatal-gatal kemerahan, rifampisin dapat juga menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur, warna merah tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan


(31)

tidak perlu khawatir. Sedangkan pirazinamid efek samping utama yang ditimbulkan adalah hepatitis imbas obat, nyeri sendi, demam, mual, kemerahan pada kulit. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa kurangnya ketajaman, buta warna merah dan hijau. Streptomisin dapat menimbulkan efek samping berupa kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan erat dengan keseimbangan dan pendengaran, gejala efek samping yang terlihat adalah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

2.1.6 Pencegahan

Sejauh ini cara pencegahan tuberkulosis paru yang terbaik adalah dengan melakukan deteksi sedini mungkin dan memberikan pengobatan yang sesuai sampai dinyatakan sembuh. Strategi lainnya adalah dengan penambahan vaksinasi

BCG (Bacille Calmette Guerin) dan pemberian obat profilaksis pada orang yang

beresiko tinggi terkena atau berkembang menjadi tuberkulosis aktif.

Tindakan pencegahan Tuberkulosis paru merupakan upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut yaitu pengobatan Tuberkulosis paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (Notoatmodjo, 2007). Menurut Depkes (2008) terdapat sepuluh indikator gaya hidup sehat yaitu membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat sinar matahari dan udara yang cukup, menjemur kasur, bantal, dan guling secara teratur sekali seminggu, kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian, menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah, lantai diplester atau dipasang keramik, bila batuk dan bersin mulut ditutup serta membuang tisu dengan tepat, mencuci tangan dengan baik, tidak meludah


(32)

disembarang tempat tapi menggunakan tempat khusus, istirahat cukup dan tidak tidur larut malam, makan makanan bergizi dan seimbang dan hindari polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok.

2.2 Efikasi Diri

2.2.1 Pengertian Efikasi Diri

Menurut Bandura (1994), Efikasi diri adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik. Efikasi diri merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Efikasi diri dapat berupa bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, motivasi diri, dan keinginan memiliki sesuatu.

Individu dengan efikasi diri tinggi akan berusaha lebih keras dan mempunyai daya yang kuat dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan dengan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah. Efikasi diri lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya. Efikasi diri akan berpengaruh pada usaha yang diperlukan dan akhirnya terlihat dari outcome kerja. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan lebih ulet dan tahan menghadapi situasi sekitarnya (Brannon & Jeist, 2007).

Bandura (1977) menyatakan bahwa individu dengan efikasi diri yang tinggi cenderung tidak memiliki rasa cemas dalam mengerjakan tugas. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai kontrol yang baik terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Adanya kontrol yang baik dalam diri mereka menyebabkan


(33)

mereka jarang membuat kesalahan dalam mengerjakan sesuatu (Brannon & Feist, 2007).

2.2.2 Sumber Efikasi Diri

a. Performance accomplishment (pencapaian prestasi)

Sumber yang paling penting dan efektif dari Efikasi diri adalah perjalanan keberhasilan dan kegagalan di masa lalu dalam mencapai hasil yang diinginkan. Bila seseorang dapat menguasai pengalaman pribadinya maka ia cenderung menciptakan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya kegagalan dalam menguasai pengalaman sebelumnya cenderung menghasilkan harapan-harapan yang rendah (Bandura, 1994).

b. Vicorius experience (pengalaman orang lain)

Efikasi diri dapat diperkuat melalui pengalaman orang lain atau biasa disebut model sosial. Melihat orang lain sukses melakukan suatu kegiatan dengan upaya yang terus menerus akan menimbulkan keyakinan bagi pengamat. Hal ini akan menanamkan keyakinan bahwa mereka juga mempunyai kemampuan yang sama untuk berhasil melakukan kegiatan tersebut. (Bandura, 1994).

c. Verbal persuasion (persuasi verbal)

Persuasi verbal adalah cara lain untuk memperkuat keyakinan seseorang tentang efikasi diri. Verbal persuasi termasuk kalimat verbal yang memotivasi seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Seseorang yang mendapatkan persuasi verbal berupa sugesti dari luar bahwa dirinya


(34)

memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan, maka mereka akan lebih mampu bertahan ketika berada dalam kesulitan (Bandura, 1994).

d. Emotional arousal ( Kondisi emosional)

Gejala somatik dan kondisi emosional berupa kecemasan, ketegangan, mood yang dapat mempengaruhi keyakinan efikasi seseorang. Mereka akan terlihat stress dan tegang sebagai tanda kerentanan terhadap ketidakmampuan melakukan suatu tindakan. Dalam sebuah kegiatan yang melibatkan kekuatan stamina orang akan mengalami kelelahan, sakit dan nyeri sebagai tanda-tanda kelemahan fisik. Mood juga akan mempengaruhi keberhasilan seseorang. Mood yang positif akan meningkatkan keberhasilan seseorang begitupun sebaliknya keputusasaan akan menyebabkan kegagalan (Bandura, 1994).

2.2.3 Proses Pembentukan Efikasi Diri a. Proses kognitif

Keyakinan efikasi diri terbentuk melalui proses kognitif, misalnya melalui perilaku manusia dan tujuan. Penentuan tujuan dipengaruhi oleh penilaian atas kemampuan diri sendiri, Semakin kuat efikasi diri seseorang maka semakin tinggi seseorang untuk berkomitmen untuk mencapai tujuan yang ditentukannya. (Bandura,1994).

b. Proses motivasional

Tingkat motivasi seseorang tercermin pada seberapa banyak upaya yang dilakukan dan seberapa lama bertahan dalam menghadapi hambatan. Semakin kuat keyakinan akan kemampuan seseorang maka akan lebih besar upaya yang dilakukannya. Keyakinan dalam proses berfikir


(35)

sangat penting bagi pembentukan motivasi, karena sebagian besar motivasi dihasilkan melaui proses berfikir. Keyakinan akan mempengaruhi atribut kausal seseorang, ketika menganggap dirinya mempunyai atribut kausal kegagalan maka ia akan mempunyai kemampuan yang rendah, dan begitupun sebaliknya, sedangkan motivasi diatur oleh harapan seseorang dan nilai dari tujuan yang ditentukan (Bandura, 1994).

c. Proses afektif

Keyakinan seseorang tentang seberapa kuat mengatasi stress dan depresi melalui berbagai pengalaman yang dialaminya akan sangat berpengaruh pada motivasi seseorang. Efikasi diri dapat mengendalikan depresi yaitu dengan mengontrol stress. Seseorang yang dapat mengontrol depresi maka pikirannya tidak akan terganggu, tetapi bagi orang-orang yang tidak bisa mengontrol berbagai ancaman maka akan mengalami kecemasan yang tinggi. Kecemasan tidak hanya dipengaruhi oleh mekanisme koping seseorang tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan pemikiran yang mengganggu (Bandura, 1994).

d. Proses seleksi

Tujuan akhir dari proses efikasi adalah untuk membentuk lingkungan yang menguntungkan dan dapat dipertahankannya. Sebagian besar orang adalah produk dari lingkungannya. Oleh karena itu keyakinan efikasi dipengaruhi dari tipe aktifitas dan lingkungan bila orang tersebut merasa tidak mampu untuk melakukannya. Tetapi mereka akan siap


(36)

dengan berbagai tantangan dan situasi yang dipilihnya bila mereka menilai dirinya mampu untuk melakukannya (Bandura, 1994).

2.2.4 Dimensi Efikasi Diri

a. Magnitude berfokus pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh

individu dapat diselesaikan.

b. Generality, Dimensi generalisasi berfokus pada harapan penguasaan

terhadap pengalaman dari usaha terkait yang telah dilakukan. Seseorang akan mengeneralisasi keyakinan akan keberhasilan yang diperolehnya tidak hanya pada hal tersebut tetapi akan digunakan pada usaha yang lainnya.

c. Strength, Dimensi generalisasi berfokus pada kekuatan atau keyakinan

dalam melakukan sebuah usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan oleh pengalaman yang buruk. Tetapi bila seseorang mempunyai harapan yang kuat mereka akan tetap berusaha walaupun mengalami sebuah kegagalan. Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya.

d. Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat

menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu melakukan tindakan tersebut. seseorang yang percaya bahwa dirinya mampu


(37)

melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih bekerja keras dan tekun melaksanakan tugasnya (Bandura, 1977).

2.2.5 Indikator Efikasi Diri

Indikator Efikasi diri menurut Bandura (1994) adalah: a. Orientasi pada tujuan

Perilaku seseorang dengan Efikasi diri tinggi adalah positif, mengarahkan pada keberhasilan dan berorientasi pada tujuan. Penetapan tujuan pribadi dipengaruhi oleh penilaian diri seseorang pada kemampuannya. Semakin kuat efikasi diri yang dirasakan, semakin tinggi tujuan yang ingin dicapai dan semakin mantap komitmen pada tujuan.

b. Orientasi Kendali Kontrol

Letak kembali individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Beberapa orang percaya bahwa mereka menguasai takdir mereka sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi atas apa yang terjadi pada mereka. Mereka membangun rasa keyakinan bahwa dirinya bisa berprestasi dalam suatu situasi.

c. Banyaknya usaha yang dikembangkan dalam situasi

Keyakinan seseorang terhadap kemampuannya menentukan tingkat motivasi seseorang dengan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya, menunjukkan usaha yang lebih besar untuk mmenghadapi tantangan. Keberhasilan biasanya memerlukan usaha yang terus menerus.


(38)

d. Lama seseorang akan bertahan dalam menghadapi hambatan

Semakin kuat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya, semakin besar dan tekun usaha mereka. Ketekunan yang kuat biasanya menghasilkan outcome yang diharapkan.

2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri a. Pengalaman Keberhasilan

Keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya. Sedangkan kegagalan menyebabkan seseorang cenderung untuk lebih berhati-hati. Bagaimanapun jika pengalaman seseorang merupakan keberhasilan yang dicapai dengan mudah, maka mereka cenderung mengharapkan hasil dengan cepat dan lebih mudah putus asa bila menemui kegagalan. Untuk mendapatkan efikasi diri seseorang harus mempunyai pengalaman mengatasi hambatan dengan usaha yang tekun. Beberapa pengalaman dan hambatan yang dialami seseorang bermanfaat mengajarkan bahwa kadang kesuksesan itu diikuti dengan adanya keinginan untuk berusaha.

b. Meniru

Sosok model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan kemampuan dengan meyakini pengamatan strategi yang efektif untuk mengatur situasi yang berbeda. Model juga menyebabkan kepercayaan akan efikasi diri yang diikuti dengan proses pembandingan sosial. Sebagian orang menilai kemampuan mereka dengan cara membandingkan dengan orang lain.


(39)

c. Social Persuasions

Sosial Persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi tentang

kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

2.2.7 Manfaat Dari Efikasi Diri

Bandura (1994) menyampaikan terdapat banyak bukti bahwa keberhasilan dan kesejahteraan manusia dapat dicapai dengan rasa optimis, ketika dalam realita sosial banyak sekali tantangan hidup seperti hambatan, kesengsaraan, kemunduran, frustasi dan ketidakadilan yang harus dihadapi. Seseorang harus mempunyai keyakinan keberhasilan yang kuat untuk dapat mempertahankan usahanya. Rasa efikasi diri yang tinggi akan menimbulkan daya tahan terhadap hambatan dan kemunduran dari setiap kesulitan yang ada. Orang yang mengalami kecemasan akan mudah terserang depresi. Sedangkan orang yang mempunyai rasa efikasi diri yang tinggi akan lebih mampu untuk melakukan berbagai usaha dan latihan serta mengotrol lingkungan sekitarnya.

Rasa efikasi diri yang tinggi yang dimiliki oleh sekelompok orang menurut Bandura (1994) akan dapat merubah situasi sosial. Banyaknya tantangan kehidupan yang harus dihadapi memerlukan upaya kolektif untuk menghasilkan perubahan yang signifikan. Rasa efikasi yang tinggi akan menjadi suatu upaya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui usaha yang terpadu. Dari usaha yang dilakukan inilah akan muncul suatu penemuan baru. Rasa keyakinan yang tinggi, seberapa banyak usaha yang mereka lakukan dan seberapa tahan mereka terhadap hambatan yang ditemui


(40)

akan berpengaruh terhadap keberhasilan kolektif dari usaha yang mereka lakukan (Bandura, 1994).

2.2.8 Pengaruh Efikasi Diri pada Pasien Tuberkulosis paru

Pada penderita Tuberkulosis paru selain faktor fisik, penting juga diperhatikan faktor psikologis antara lain pemahaman individu yang dapat mempengaruhi persepsi terhadap penyakit. Tuberkulosis paru merupakan contoh klasik penyakit yang tidak hanya menimbulkan dampak terhadap perubahan fisik, tetapi mental dan juga sosial. Bagi penderita Tuberkulosis paru dampak secara umum, batuk yang terus menerus, sesak nafas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang demam yang tinggi. Tidak sedikit pasien yang ketika didiagnosis Tuberkulosis paru timbul ketakutan dalam dirinya, ketakutan itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan, kematian, efek samping obat, menularkan penyakit ke orang lain, kehilangan pekerjaan, ditolak, dan didiskriminasikan (International Union Againts

Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Ketidakpatuhan untuk berobat secara

teratur bagi penderita Tuberkulosis paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat, besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita Tuberkulosis paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit Tuberkulosis paru di Indonesia (Simamora, 2004).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Garrod (2008) efikasi diri terbukti mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan tindakan perawatan


(41)

diri. Dikemukakan bahwa efikasi diri bertindak sebagai mediator antara perubahan dalam kualitas hidup, gejala dan fungsi fisiologis pada kepatuhan berobat dan rehabilitasi paru. Pengukuran efikasi diri dirancang untuk menguji keyakinan individu untuk melakukan kegiatan yang dipilih sebagai usaha yang diinginkan Garrod (2008). Efikasi diri dapat memberikan prediksi terhadap kepatuhan seseorang dalam melakukan perawatan dirinya sendiri.

2.3 Kualitas Hidup

2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup

World Health Organization (1997) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi kehidupan individu dalam konteks sistem budaya dan nilai dimana mereka hidup berhubungan dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran yang dihadapinya. Kualitas hidup menyangkut dimensi yang lebih luas termasuk kesehatan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan tentang penyakit yang diderita dan lingkungan.

Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati kepuasan dalam hidupnya. Untuk mencapai kualitas hidup maka seseorang harus dapat menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa. Sehingga seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan (Ventegodt, 2003).

Sedangkan menurut Herman (1993 dalam Silitonga, 2007) defenisi kualitas hidup dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antar harapan dan kenyataan yang ada, adanya


(42)

kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.

Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standart yang ditetapkan dan perhatian seseorang mencakup dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.

2.3.2 Dimensi Kualitas Hidup

Dimensi-dimensi dari kualitas hidup yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada dimensi-dimensi kualitas hidup yang terdapat dalam WHOQOL-BREF (1994). Menurut WHOQOL Group dalam ( Power, Lopez dan Synder, 2004) kualitas hidup memiliki 6 dimensi yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan dan keadaan spiritual. WHOQOL ini kemudian dibuat lagi menjadi instrumen WHOQOL-BREF dimana enam dimensi tersebut kemudian dipersempit lagi menjadi empat dimensi yaitu dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Power (dalam Lopez & Synder, 2004).

Berikut pemaparan mengenai keempat dimensi tersebut, yaitu: a. Dimensi Fisik

Berdasarkan konsep WHOQOL – BREF yang dikembangkan WHO (1994 dalam Sekarwiri, 2008) mengatakan bahwa dimensi fisik terdiri dari tujuh item. Item pertama yaitu aktivitas sehari-hari, merupakan item yang menggambarkan kesulitan dan kemudahan yang dirasakan individu pada saat melakukan kegiatan sehari-hari. Item kedua sakit dan


(43)

ketidaknyamanan, merupakan item yang menggambarkan sejauh mana perasaan keresahan yang dirasakan individu terhadap hal-hal yang menyebabkan individu merasa sakit. Tekanan psikologis seperti kecemasan dan depresi yang memberikan kontribusi besar pada kualitas hidup. Kondisi cemas lebih banyak disebabkan oleh karena gangguan fungsi fisik seperti dispnue, vitalitas tubuh untuk beraktifitas yang terus menurun dan kesehatan secara umum yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang dialami oleh pasien Tuberkulosis paru (Aditama, 2000).

Item ketiga tidur dan istirahat, merupakan item yang menggambarkan kualitas tidur dan istirahat yang dimiliki oleh individu. Istirahat dan tidur merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Item keempat mobilitas, merupakan item yang menggambarkan tingkat perpindahan yang mampu dilakukan oleh individu dengan mudah dan cepat. Item kelima energi dan kelelahan, merupakan item yang mengeksplor tenaga, dan keinginan individu untuk dapat melakukan aktivitas. Kelelahan dapat membuat individu tidak mampu mencapai kekuatan yang cukup untuk merasakan hidup yang sebenarnya dan dapat mempengaruhi kehidupan individu (Potter dan Perry, 2005).

Item keenam ketergantungan pada obat-obatan dan bantuan medis, merupakan item yang menggambarkan seberapa besar kecenderungan individu dalam menggunakan obat-obatan atau bantuan medis lainnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sedangkan item ketujuh yaitu


(44)

kapasitas kerja, merupakan item yang menggambarkan kemampuan yang dimiliki oleh individu (WHOQOL – BREF dalam Sekarwiri, 2008).

b. Dimensi Psikologis

Psikologis merupakan dimensi yang menilai terhadap dirinya secara psikologis. Dimensi psikologis terdiri dari enam item. Item pertama

Body image dan apprearance adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya

secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan seseorang tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan tubuh saat ini dan masa lalu.

Item kedua self-estem, merupakan item yang menggambarkan bagaimana individu menilai atau menggambarkan dirinya sendiri. Self-

estem ini menilai apa yang individu rasakan tentang dirinya. Hal ini

dapat memiliki jarak dari perasaan positif hingga perasaan yang negatif tentang diri mereka sendiri.

Item ketiga perasaan positif, merupakan item yang mengacu kepada seberapa banyak pengalaman perasaan positif individu dari kesukaan, keseimbangan, kedamaian, kegembiraan, harapan, kesenangan dan kenikmatan dari hal-hal baik dalam hidup. Pandangan individu dan perasaan pada masa depan merupakan bagian penting dari segi ini. Dimensi psikologis keempat adalah perasaan negatif, merupakan dimensi yang berfokus pada seberapa banyak pengalaman perasaan negatif individu, termasuk patah semangat, perasaan berdosa, kesedihan, keputusasaan, kegelisahan, kecemasan, dan kurang bahagia


(45)

dalam hidup. Segi ini termasuk pertimbangan dari seberapa menyedihkah perasaan negatif dan akibatnya pada fungsi keseharian individu.

Item kelima hidup berarti, merupakan item yang menggambarkan sejauh mana individu merasakan kehidupannya atau sejauh mana individu merasakan hidupnya berarti. Sedangkan item keenam yaitu berfikir, belajar, memori, dan konsentrasi, merupakan pandangan individu terhadap pemikiran, pembelajaran, ingatan, konsentrasi, dan kemampuannya dalam membuat keputusan. Hal ini juga termasuk kecepatan dan kejelasan individu memberikan gagasan (WHOQOL – BREF dalam Sekarwiri, 2008).

c. Dimensi Hubungan Sosial

Dimensi hubungan sosial merupakan penilaian individu terhadap hubungannya dengan orang lain (WHOQOL – BREF dalam Sekarwiri, 2008). Menurut Potter & Pery (2005), hubungan sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu satu dengan individu lainnya yang saling mempengaruhi dan berdasarkan kesadaran untuk saling menolong. Berdasarkan konsep WHOQOL – BREF (dalam Sekarwiri, 2008) menyatakan bahwa dimensi hubungan sosial terdiri dari tiga item. Item pertama dukungan sosial, merupakan item yang mengacu pada apa yang dirasakan individu pada tanggung jawab, dukungan, dan tersedianya bantuan dari keluarga dan teman. Hal ini berfokus kepada apa yang dirasakan individu pada dukungan keluarga dan teman, faktanya pada tingkatan mana individu tergantung pada dukungan di


(46)

saat sulit. Kartika (2011) mengatakan bahwa dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang- orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari- hari dalam kehidupan. Item kedua aktivitas seksual, merupakan item yang mengacu kepada tingkatan perasaan individu pada persahabatan, cinta, dan dukungan dari hubungan yang dekat dalam kehidupannya. Tingkat dimana individu merasa mereka bisa berbagi pengalaman baik senang maupun sedih dengan orang yang dicintai (WHOQOL – BREF dalam Sekarwiri, 2008). Sedangkan item ketiga yaitu relasi sosial, merupakan item yang menggambarkan hubungan individu dengan orang lain.

d. Dimensi Lingkungan

Dimensi lingkungan merupakan dimensi yang menilai hubungan individu deengan lingkungan tempat tinggal, sarana, dan prasarana yang dimiliki (WHOQOL – BREF dalam Sekarwiri, 2008). Lingkungan adalah tempat pemukiman dengan segala sesuatunya dimana individu hidup beserta segala keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak dapat diduga ikut mempengaruhi tingkat kehidupan maupun kesehatan dari individu itu (Potter dan Perry, 2005). Berdasarkan konsep WHOQOL – BREF (dalam Sekarwiri, 2008), dimensi lingkungan terdiri dari delapan item.

Item pertama sumber finansial, merupakan item yang mengeksplor pandangan individu pada sumber penghasilan. Fokusnya item ini adalah apakah individu dapat menghasilkan atau tidak yang berakibat pada


(47)

kualitas hidup individu. Item kedua Freedom, physical safety dan

security, merupakan item yang menggambarkan tingkat keamanan

individu yang dapat mempengaruhi kebebasan dirinya.

Item ketiga perawatan dan perhatian sosial, merupakan dimensi yang menguji pandangan individu pada kesehatan dan perhatian sosial di kedekatan sekitar. Maksud dekat berarti berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan. Item keempat lingkungan rumah, merupakan item yang menguji tempat yang terpenting dimana individu tinggal (tempat perlindungan dan menjaga barang-barang). Kualitas sebuah rumah dapat dinilai dari kenyamanan, tempat teraman individu untuk tinggal.

Item kelima kesempatan untuk mendapatkan barbagai informasi baru dan keterampilan, merupakan item yang menguji kesempatan individu dan keinginan untuk mempelajari keterampilan baru, mendapatkan pengetahuan baru, dan peka terhadap apa yang terjadi. Dalam hal ini termasuk program pendidikan formal, atau pembelajaran orang dewasa atau aktivitas pada waktu luang baik dalam kelompok maupun sendiri. Item keenam partisipasi dan kesempatan untuk melakukan rekreasi, merupakan item yang mengeksplor kemampuan individu, kesempatan, dan keinginan untuk berpartisipasi dalam waktu luang, hiburan, dan relaksasi. Item ketujuh lingkungan fisik, merupakan item yang menguji pandangan individu pada lingkungannya. Hal ini mencakup kebisingan, polusi, iklim, dan estetika lingkungan dimana pelayanan ini dapat meningkatkan atau memperburuk kualitas hidup. Sedangkan item


(48)

kedelapan transpotasi, merupakan item yang menguji pandangan individu pada seberapa mudah untuk menemukan dan menggunakan pelayanan transportasi.

2.3.3 Alat Ukur Kualitas Hidup

Skevington, Lotfy, dan O’Connel (2004) mengatakan bahwa pengukuran mengenai kualitas hidup dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengukuran kualitas hidup secara menyeluruh (kualitas hidup dipandang sebagai evaluasi individu terhadap dirinya secara menyeluruh) atau hanya mengukur domain tertentu saja (kualitas hidup diukur hanya melalui bagian tertentu saja dari diri seorang induvidu).

Skevington, Lotfy, dan O’Connel (2004) mengatakan bahwa alat ukur WHOQOL – BREF merupakan hasil pengembangan dari alat ukur WHOQOL. Alat ukur ini memiliki item pertanyaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan alat ukur WHOQOL. Alat ukur WHOQOL memiliki 100 item, dan terdiri dari enam dimensi yaitu dimensi fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan dengan lingkungan sosial, kondisi lingkungan, dan keadaan spiritual. Sedangkan WHOQOL – BREF memiliki 26 item yang terdiri dari empat dimensi yaitu dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.

Skevington, Lotfy, dan O’Connel (2004) menambahkan bahwa alat ukur WHOQOL – BREF dikembangkan oleh WHO sebagai bentuk pendek dari alat ukur WHOQOL – 100 dan peneliti dapat melakukan modifikasi ataupun perubahan skala dan cara pengukurannya. Alat ukur ini digunakan pada situasi penelitian dimana waktu yang digunakan dalam penelitian sangat terbatas. Skevington, Lotfy, dan O’Connel (2004) juga menambahkan bahwa WHOQOL –


(49)

BREF merupakan alat ukur yang paling mampu dalam mewakili dimensi, berkaitan erat dengan model WHOQOL secara umum, dan memiliki validitas diskriminan.

Berdasarkan hasil penelitian O’Connel, Smith, Couston, Cossar, dan Hayes (2000 dalam Sekarwiri 2008), menunjukkan bahwa alat ukur WHOQOL – BREF merupakan alternatif alat ukur yang tepat dari WHOQOL – 100 dalam dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Dengan demikian alat ukur yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah alat ukur kualitas hidup yang dikembangkan oleh WHO, yaitu WHOQOL – BREF yang mencakup dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup pasien tuberkulosis paru

a. Umur

Zahran (2005 dalam Rini, 2011) menyatakan sebuah survei tentang kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan di Amerika menyebutkan seiring dengan bertambahnya usia, jumlah hari yang sakit dan keterbatasan aktifitas semakin meningkat serta kualitas hidup semakin menurun. Reported Tuberculosis in the

United States (2008) mengatakan Insiden tertinggi tuberkulosis

paru biasanya mengenai usia dewasa. Penyakit tuberkulosis paru sebagian besar terjadi pada orang dewasa yang telah mendapatkan infeksi primer pada waktu kecil dan tidak ditangani dengan baik. Usia dewasa dan diikuti usia tua merupakan kelompok yang paling sering terkena tuberkulosis paru di Amerika Serikat pada


(50)

tahun 2008. Jumlah kasus tuberkulosis paru paling tertinggi mengenai usia 25 sampai dengan 44 tahun (33% dari semua kasus). Keadaan ini diduga ada hubungannya dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan sebagai tenaga kerja produktif yang memungkinkan untuk mudah tertular dengan kuman tuberkulosis paru setiap saat dari penderita, khususnya dengan BTA positif. Mobilitas dan interaksi sosial yang lebih tinggi pada orang usia 15-50 tahun, yang harus bekerja untuk memperoleh pemasukan guna memenuhi kebutuhan keluarga, memungkinkan mereka untuk terinfeksi dari orang lain menjadi lebih tinggi. Penurunan fungsi paru akan memperburuk barbagai perubahan fisiologis yang berkaitan dengan penuaan (Smeltzer & Bare, 2008). Pasien tuberkulosis paru dengan usia yang semakin bertambah menunjukkan kualitas hidup yang semakin buruk. Hal ini disebabkan karena banyak individu yang lebih tua menderita penyakit kronis karena terjadinya penurunan fungsi tubuh yang disebabkan kondisi degeneratif. Zahran (2005) dalam Rini (2011) b. Jenis Kelamin

Kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada pasien tuberkulosis paru laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih buruk dari pada perempuan. Hal ini dikarenakan kebiasaan merokok pada laki-laki. Perbedaan kebiasaan dalam mencari pertolongan medis yang menyebabkan deteksi yang buruk terhadap kejadian penyakit


(51)

dikalangan wanita, stigma buruk yang ditempelkan terhadap wanita yang terdiagnosis positif tuberkulosis paru menyebabkan banyak wanita yang akhirnya enggan mencari pengobatan, jadi mereka tidak mencari pertolongan medis sampai penyakitnya menjadi berat (Waisbord, 2006).

c. Pendidikan

Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis. Rendahnya tingkat pendidikan ini, akan berpengaruh pada pemahaman tentang penyakit tuberkulosis. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi, tujuh kali lebih waspada terhadap tuberkulosis paru (gejala, cara penularan, pengobatan) bila dibandingkan dengan masyarakat yang hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah. Tingkat pendidikan yang rendah dihubungkan dengan rendahnya tingkat kewaspadaan terhadap penularan tuberkulosis paru (Waisbord, 2006). Menurut Zahran (2005) dalam Rini (2011) menyatakan tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah dan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya, perilaku kesehatan yang mendukung kualitas hidup sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Individu dengan pendidikan sekolah


(52)

menengah kebawah mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk bila dibandingkan dengan individu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dan berpengetahuan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dona (2006) dalam Rini (2011) menyebutkan seseorang akan memiliki tingkat keyakinan diri lebih tinggi dalam berperilaku yang lebih baik bila mempunyai system pendukung pendidikan.

d. Pekerjaan

Orang yang sudah pensiun, menganggur kurang atau lebih dari 1 tahun, serta orang yang tidak mampu bekerja mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai pekerjaan. Orang-orang yang tidak bekerja melaporkan mempunyai hari yang secara fisik tidak sehat lebih banyak daripada yang bekerja. Zahran (2005) dalam Rini (2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth, et al (2005) dalam Rini (2011) menyatakan bahwa status pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien, pekerjaan berhubungan dengan aktualisasi diri seseorang dan mendorong seseorang lebih bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas. Namun responden yang bekerja kemungkinan besar mempunyai kegiatan yang lebih padat dan mengalami stres yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya, sehingga dapat mempengaruhi efikasi diri seseorang.


(53)

e. Kondisi sosial ekonomi

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2011) menyebutkan bahwa penderita tuberkulosis paru pada umumnya adalah masyarakat yang tergolong miskin. Peneliti mengemukakan kemiskinan secara langsung menjadi faktor risiko menderita tuberkulosis paru dan cenderung akan menurunkan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru, karena hal ini dapat memperberat kondisi pasien. Penyakit tuberkulosis paru sudah lama dihubungkan dengan kemiskinan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang sering terjadi pada masyarakat miskin. Orang yang tidak bekerja mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah serta mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai pekerjaan.

f. Status pernikahan

Menurut Delamater (2000) Orang yang menikah atau tinggal bersama pasangannya akan mempunyai kualitas hidup yang baik. Responden yang menikah dan tinggal bersama keluarga mempunyai keteraturan dalam menjalani pengobatannya. Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam memperhatikan pengobatan anggota keluarganya. Sehingga keluarga harus memberi dukungan agar penderita dapat menyelesaikan pengobatannya sampai sembuh. Peran keluarga yang baik merupakan motivasi atau dukungan yang ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjuran.


(54)

g. Status merokok

Merokok merupakan salah satu penyebab terjadinya tuberkulosis paru, dalam berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh terhadap risiko infeksi tuberkulosis paru sedangkan pada perokok pasif berhubungan dengan peningkatan kejadian tuberkulosis paru pada anak dan usia muda. Perokok mempunyai prevalensi yang lebih tinggi terjadinya kelainan fungsi paru. Asap rokok yang dihirup akan mengganggu fungsi endotel dan menyebabkan aliran udara menjadi terhambat, hal ini terjadi secara progresid dan irreversible. Asap rokok juga memiliki efek pro inflamasi dan imunosupresi pada system imun saluran pernapasan. Berhenti merokok telah dibuktikan untuk mengurangi gejala tuberkulosis paru seperti dispnue, batuk dan mengurangi kejadian tuberkulosis paru (Wijaya, 2012).

Berhenti merokok akan memperbaiki fungsi endotel dan meningkatkan secara substansial fungsi kardiovaskuler, mengurangi gejala tuberkulosis paru seperti dispnue ataupun batuk. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bentsen, et al (2010) menyatakan bahwa merokok secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien, bila pasien dapat mengelola penyakitnya dengan baik dan melakukan perawatan diri dengan benar maka hal ini akan meningkatkan kualitas hidup pasien.


(55)

Efikasi Diri • Baik • Tidak

baik

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antarvariabel (Notoatmodjo, 2010).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara efikasi diri dan kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kualitas hidup, sedangkan variabel independennya adalah efikasi diri.

Berdasarkan pemaparan konsep di atas, maka dapat dibuat kerangka penelitian sebagai berikut:

Gambar 3.1

Skema Kerangka Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

Kualitas Hidup • Baik

• Buruk


(56)

3.2 Definisi operasional

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai definisi operasional masing-masing variabel penelitian. Berikut ini adalah definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian.

Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Variabel Penelitian Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Independen:

Efikasi Diri

Keyakinan diri pasien TB paru akan kemampuannya melakukan perawatan diri meliputi personal higine, perilaku sehat, diet/makanan, pengobatan, kemampuan pasien untuk mengetahui informasi, edukasi

Kuesioner Total Skor efikasi diri 48.

Dikelompokkan menjadi 2 yaitu :. 1. Baik ≥ 80% skor total (≥ 38 ) 0. Tidak baik <80% skor total (<38)

Berdasarkan rumus pengkategorian data dikotom untuk mengkaji sikap. (Arikunto, 2010)


(57)

Dependen Kualitas hidup

Kategori skor keseluruhan komponen kualitas hidup menurut WHO tahun 1994.

Kuesioner Skor total 130 dan dibagi atas 2 kategori kelas yaitu:

1. 66-130 = Baik 0. 0-65 = Buruk Berdasarkan rumus statistika P = rentang kelas dibagi dengan banyak kelas, diperoleh P = 65 (Sudjana, 2004)


(58)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik.

4.2 Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempengaruhi kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Arikunto, 2010). Berdasarkan data medical record, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Tuberkulosis paru yang dirawat inap di ruang RA3 RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 periode Maret sampai April sebanyak 80 pasien.

Sampel merupakan sebagian dari jumlah atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2010). Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Consecutive Sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang diambil dari semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah subyek terpenuhi (Saryono, 2011). Adapun kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien yang didiagnosa Tuberkulosis paru rawat inap dan bersedia menjadi responden. Besarnya sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus yang ditetapkan oleh Notoatmodjo (2010), yang menyatakan bahwa dalam


(59)

menentukan besarnya sampel jika populasi kecil dari 1.000 dapat menggunakan rumus:

n =

) ( 1 n d2

N +

�= 80

1 + 80 (0,1)2 n = 44

Keterangan : N : Besar populasi n : Besar sampel

d : Tingkat kepercayaan atau ketetapan yang diinginkan 0,1 (10%)

Hasil perhitungan berdasarkan rumus di atas maka dapat diperoleh jumlah sampel sebanyak 44 orang.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang rawat inap RA3 RSUP Haji Adam Malik Medan. Pemilihan tempat ini karena RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan salah satu rumah sakit pendidikan yang mendukung pengembangan dalam bidang penelitian sehingga sangat mungkin untuk melakukan penelitian di rumah sakit ini. Pengumpulan data dimulai dari bulan September sampai November 2013.

4.4 Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara kemudian menyerahkan surat pengantar kepada Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini


(60)

dilakukan berdasarkan pertimbangan etik yakni: 1. Beneficience (menguntungkan responden) yaitu tidak mencelakakan atau menyakiti responden (freedom from

harm) dengan tidak memaksa responden untuk ikut dalam penelitian. 2. Respect

from human dignity (menghargai martabat manusia) yaitu hak untuk bebas

menentukan apakah calon responden tidak merasa terpaksa untuk dijadikan responden. Peneliti akan menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat penelitian kepada responden. 3. Justice (keadilan) yaitu hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil (the right to fair treatment) dengan memberikan kesempatan kepada semua pasien untuk menjadi responden yang sesuai dengan kriteria penelitian dan menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan responden (the right to privacy) Kerahasiaan tersebut berupa pemberian kode responden pada kuesioner tanpa mencantumkan nama responden (Polit & Hungler, 1999).

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data demografi, kuesioner efikasi diri dan kuesioner Kualitas hidup.

4.5.1 Kuesioner karakteristik demografi pasien

Kuesioner karakteristik demografi responden terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, status merokok, status menikah. Data demografi responden masuk ke dalam lembar kuesioner A, yang terdiri dari 7 pertanyaan dan diisi dengan cara menuliskan isian singkat dan chek list (√) pada jawaban yang dipilih oleh responden.


(61)

4.5.2 Kuesioner efikasi diri khusus pasien Tuberkulosis paru

Kuesioner efikasi diri disusun oleh peneliti yang berpedoman pada isi materi. Kuesioner efikasi diri diukur dengan memberikan kuesioner pada responden yang berisi 16 pernyataan. Yaitu personal higine ada 2 pernyataan yang terdiri dari urutan ke 1,2, perilaku sehat ada 5 pernyataan yang terdiri dari urutan ke 3,4,5,6,7 (Depkes, 2008). Diet/makanan ada 1 pernyataan yaitu urutan ke 8, (IUATLD. Tuberculosis & Nutrition, 2007). Pengobatan ada 5 pernyataan yang terdiri dari urutan ke 9,10,11,12,13

(International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease, 2007 &

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Serta kemampuan pasien mengetahui informasi, Edukasi tentang Tuberkulosis paru ada 3 pernyataan yaitu urutan ke 14,15,16 (Iseman, 2003). Semua pernyataan dengan menggunakan Skala Likert. Pernyataan ini terdiri dari pernyataan Sangat Yakin = 3, Yakin = 2, dan Tidak Yakin = 1 dengan skor total 48. Semakin tinggi nilai total maka semakin baik efikasi diri pasien. Untuk selanjutnya efikasi diri dikategorikan menjadi 2 yaitu baik jika skor jawaban ≥ 80% skor total ( ≥ 38 ), efikasi diri kurang baik jika skor jawaban < 80% skor total (< 38 ). Arikunto (2010) menyatakan bahwa untuk penelitian sikap dan perilaku dapat digunakan batasan nilai ≥ 75% -80%.

4.5.3 Pengukuran kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru

Alat ukur variabel kualitas hidup menggunakan alat ukur WHOQOL – BREF ( World Health Organization Quality of Life – Bref ) yang merupakan pengembangan dari alat ukur WHOQOL – 100. Kedua alat


(62)

ukur ini dibuat oleh tim dari Worl Health Organization (WHO). Alat ukur ini telah diadaptasi ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia oleh Dr. Ratna Mardiati dan Dr. Riza Sarasvita yang berjumlah 26 pertanyaan. 2 pertanyaan berasal dari kualitas hidup secara umum, yaitu pertanyaan berdasarkan kualitas hidup secara menyeluruh dan pertanyaan berdasarkan kesehatan secara umum. Sedangkan 24 pertanyaan lainnya berasal dari empat dimensi berdasarkan konsep WHOQOL – BREF, yaitu dimensi fisik ada 7 pertanyaan, dimensi psikologis ada 6 pertanyaan, dimensi hubungan sosial ada 3 pertanyaan, dan dimensi lingkungan ada 8 pertanyaan. Pertanyaan tentang kualitas hidup secara menyeluruh dan kesehatan secara umum terdiri dari pertanyaan urutan ke 1, dan 2. Dimensi fisik terdiri dari pertanyaan urutan ke 3, 4, 10, 15, 16, 17, dan 18. Dimensi psikologis terdiri dari pertanyaan urutan ke 5, 6, 7, 11, 19, dan 26. Dimensi hubungan sosial terdiri dari pertanyaan urutan ke 20, 21, dan 22. Dimensi lingkungan terdiri dari pertanyaan urutan ke 8, 9, 12, 13, 14, 23, 24, dan 25.

Semua pertanyaan menggunakan skala likert berdasarkan lima kategori dengan poin 1 – 5, dengan empat bentuk pilihan jawaban. Bentuk pilihan jawaban pertama adalah sangat buruk (1), buruk (2), biasa saja (3), baik (4), dan sangat baik (5). Bentuk pilihan jawaban ke dua adalah sangat tidak memuaskan (1), tidak memuaskan (2), biasa saja (3), memuaskan (4) dan sangat memuaskan (5). Bentuk pilihan jawaban ke tiga adalah sangat tidak sering (1), tidak sering (2), cukup sering (3), sering (4), dan sangat sering (5). Sedangkan bentuk pilihan jawaban ke empat adalah tidak sama


(63)

sekali (1), sedikit (2), dalam jumlah sedang (3), sering kali (4), dan sepenuhnya dialami (5).

Kualitas hidup akan dikategorikan tinggi dan rendah. Alasannya karena peneliti tidak menemukan cara perhitungan atau kategori kualitas hidup dari WHOQOL – BREF yang asli. Pertimbangan lain adalah sesuai dengan pernyataan Skevington, Lotfy, dan O’Connel (2004) menyatakan bahwa peneliti dapat melakukan modifikasi ataupun perubahan skala dan cara perhitungan ataupun kategori kualitas hidup.

Untuk mendapatkan kategori kualitas hidup, maka dilakukan perhitungan dengan rumus statistika P = rentang dibagi dengan banyak kelas (menurut Sudjana, 2004) dimana P merupakan panjang kelas dengan rentang (nilai tertinggi dikurang nilai terendah) total skor sebesar 130 akan dibagi atas 2 kategori kelas yaitu baik dan buruk. Maka diperoleh panjang kelas sebesar 65. Dengan P = 65 dan nilai terendah adalah 0. Sebagai batas bawah kelas pertama maka 0-65 = buruk dan 66-130 = baik.

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas 4.6.1 Uji Validitas

Uji Validitas adalah suatu ukuran yang mampu mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2010). Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Uji Validitas pada instrumen efikasi diri pasien Tuberkulosis paru menggunakan validitas isi yang berpedoman pada isi yang dikehendaki (Setiadi, 2007). Uji Validitas ini dilakukan oleh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas


(64)

Sumatera Utara yaitu Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, SKp, MNS dan Ibu Nunung Febriani, S.Kep, Ns, MNS. Uji validitas dan uji reliabilitas instrumen WHOQOL - BREF telah dilakukan oleh para ahli. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan oleh para ahli tersebut menyatakan bahwa instrumen WHOQOL – BREF ini merupakan instrumen yang valid dan reliabilitas dalam mengukur kualitas hidup. Salah satu ahli yang telah melakukan uji validitas dan uji reliabilitas instrumen ini adalah Sekarwiri pada tahun 2008. Uji validitas yang dilakukan oleh Sekarwiri (2008) adalah uji validitas item dengan cara menghitung korelasi skor masing-masing item dengan skor dari tiap dimensi yang bersangkutan. Perhitungannya dilakukan dengan bantuan komputerisasi. Hasil yang didapat adalah ada hubungan yang signifikan antar skor item dengan tiap skor dimensi yang memuat item tersebut, yaitu Coefficient Alpha Cronbach 0,889. Dengan demikian membuktikan mengenai konsistensi instrumen ini dan dapat dikatakan bahwa kuesioner WHOQOL – BREF ini merupakan instrumen yang valid untuk mengukur kualitas hidup.

4.6.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Uji reliabilitas instrumen Efikasi diri pasien Tuberkulosis paru menggunakan teknik Cronbach Alpha. Rumus ini digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0, misalnya angket atau uraian yang berbentuk skala interval dan skala ordinal


(65)

seperti skala Likert (Arikunto, 2002). Untuk instrumen yang baru harus memiliki reliabilitas lebih dari 0,70 (Polit & Hungler) maka butir-butir pernyataan dikatakan reliabel. Berdasarkan uji reliabilitas yang telah dilakukan peneliti diperoleh hasilnya 0,902 untuk kuesioner Efikasi diri maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel dan layak dipakai untuk mengukur efikasi diri pasien tuberkulosis paru. Uji reliabilitas dilakukan pada 20 orang dengan kriteria yang sama dan sampel penelitian di RSUD DR Pirngadi Medan. Untuk pengujian reliabilitas pada kuesioner kualitas hidup oleh Sekarwiri (2008) dilakukan melalui perhitungan koefisien reliabilitas dengan menggunakan Coefficient Alpha

Cronbach dan bantuan komputerisasi. Dan uji reliabilitasnya menghasilkan

Coefficient Alpha Cronbach 0,902. Pada penelitian ini instrumen

WHOQOL-BREF hanya akan dilakukan uji reliabilitas, yaitu untuk memastikan adanya konsistensi alat ukur dalam penggunaannya apabila digunakan berkali-kali pada waktu dan tempat yang berbeda. Berdasarkan uji reliabilitas yang telah dilakukan peneliti diperoleh hasilnya 0,894 maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel dan dinyatakan layak dipakai untuk mengukur kualitas hidup pasien tuberkulosis paru.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Ketua Program Keperawatan Fakultas Keperawatan USU. Peneliti selanjutnya membawa surat permohonan penelitian kepada Direktur SDM & Pendidikan RSUP Haji Adam Malik Medan. Setelah mendapat izin dari Direktur SDM & Pendidikan, peneliti menandatangani surat izin penelitian yang akan dimulai pada bulan September sampai November 2013.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Mayudika Fredya Tambunan

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 30 Mei 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jln. Jamin Ginting gg sempit no.5 Padang Medan.

Nama Ayah : Tumpak Maruli Tambunan

Nama Ibu : Mindo Valensi Sibarani

Riwayat Pendidikan

1. 1997 - 2003 : SD Negeri Lurah Laguboti Kab. Tapanuli Utara 2. 2003 - 2006 : SMP Negeri 1 Laguboti

3. 2006 - 2009 : SMA Negeri 1 Laguboti

4. 2009 - 2012 : D-III Fakultas Keperawatan USU

5. 2012 - Sekarang : Program ekstensi S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara