1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan kerangka alternatif kelembagaan kemitraan yang tepat guna dalam pemberdayaan nelayan
perikanan tangkap di Kota Ambon. Secara khusus tujuan yang ingin diteliti meliputi :
1. Menganalisis konsep dan mekanisme pelaksanaan kelembagaan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap.
2. Mengidentifikasi bentuk dan strategi kelembagaan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap.
3. Mengukur kinerja kelembagaan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap.
4. Merumuskan pengembangan kapasitas kelembagaan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta upaya
mencari kebenaran ilmiah yang berkaitan dengan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dan instansi terkait dalam merumuskan konsep dan strategi
kemitraan yang mampu mendorong upaya pemberdayaan nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelembagaan
Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan liberty dan meminimalkan
hambatan constraints bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi
kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil
serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang Wiratno dan Tarigan, 2002. Kelembagaan merupakan phenomena sosial ekonomi berkaitan dengan
hubungan antara dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku
interaksi, disertai dengan analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi Hendayana dan Wally, 2003.
Menurut bapak ekonomi kelembagaan the patron saint Thorstein Veblen, kelembagaan adalah settled habits ot thought common to the generality of men.
Kelembagaan dianggap sebagi suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi dalam
hubungan antar manusia. Walaupun kelembagaan sosial sangat peduli pada pemecahan masalah-masalah koordinasi sosial, kelembagaan tidak mesti
mengawasi dirinya sendiri. Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal, seperti negara, untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena
seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencari hak-hak orang lain. Wiratno dan Tarigan 2002 mendefinisikan kelembagaan adalah collective
action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk
berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap perilaku ekonomis juga sering disebut kelembagaan, sehingga
setiap yang dinamis atau tidak statis, yang terproses atau tidak semata komoditas, yang beraktivitas atau tidak semata perasaan dan kepekaan, yang
berupa manajemen atau tidak sekedar keseimbangan, semuanya tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan demikian kelembagan itu dianggap
sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekelompok a set of working rules of going concerns. Jadi kelembagaan itu adalah kegiatan
kolektif dalam suatu kontrol atau yuridiksi, pembebasan atau liberasi dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu, seperti disebutkan di atas.
Uraian defenisi dari kelembagaan di atas, dimaksudkan bahwa kelembagaan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus
dan tidak harus mengerjakan sesuatu kewajiban lain kebolehan atau liberty bagaimana mereka mampu mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan
kolektif, dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas nama ketidakmampuan atau exposure.
Wiratno dan Tarigan 2002 secara tegas mengatakan kelembagaan itu adalah serangkaian hubungan keteraturan order relationship antara beberapa
orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai orang lain, privilis dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau
kelembagaan tersebut. Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal yaitu :
1 Property Right : Mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang
didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi serta konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya
terhadap sumberdaya. Dalam bentuk formal property right merupakan produk dari sistem hukum formal. Dalam bentuk lainnya merupakan produk dari
tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat mengatakan hak milik tanpa pengesahan dari
masyarakat di mana ia berada. Implikasi dari hal ini adalah : 1. hak seseorang adalah kewajiban orang lain, 2 hak seperti dicerminkan oleh
kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap hak miliknya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti
memberi, pembelian atau hadiah dan melalui pengaturan administrasi, misalnya pemerintah memberikan subsidi kepada sekelompok masyarakat.
Memilki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos
bagi orang lain apabila menginginkan sumberdaya yang dimiliki tersebut.
2 Batas Yuridiksi. Menetukan sikap dan apa yang tercakup dalam
kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan.
Sehingga terkandung makna batas yuridiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfoma apabila
terjadi perubahan atas yuridiksi antara lain :
♦ Perasaan sebagai suatu masyarakat. Menentukan siapa yang termasuk kita dan siapa yang termasuk mereka. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak
sosial yang akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
♦ Eksternalitas. Suatu analisis dalam mempelajari kelembagaan adalah transaksi yang mencakup transaksi melalui mekanisme pasar, administrasi
atau hibah. Dalam setiap transaksi selalu terjadi transfer sesuatu yang dapat berupa manfaat, ongkos, informasi, hak-hak istimewa, kewajiban dan lain-
lain. Sesuatu yang ditransaksikan apakah bersifat internal atau eksternal ditentukan oleh batas yuridiksi. Perubahan batas yuridiksi akan mengubah
srtuktur eksternalitas yang akhirnya mengubah siapa mengganggu apa. ♦ Homogenitas. Homogenitas preferensi dan kepekaaan politik ekonomi
terhadap perubahan preferensi merupakan hal yang penting dalam menentukan batas yuridiksi, terutama dalam hal merefleksikan permintaan
terhadao barang jasa harus dikonsumsi secara kolektif, maka isu batas yuridiksi menjadi penting dalam merefleksi preferensi konsumen dalam
aturan pengambilan keputusan. Homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda dalam
mempengaruhi jawaban atas pertanyaan siapa yang memutuskan. ♦ Skala ekonomi. Konsep ini memegang peranan yang sangat penting dalam
menelaah permasalahan batas yuridiksi. Dalam pengertian ekonomi, skala ekonomi menunjukan situasi di mana ongkos persatuan terus menurun
apabila output ditingkatkan. Batas yuridiksi yang sesuai sudah tentu menghasilkan ongkos persatuan lebih rendah dibandingkan alternatif batas
yuridiksi yang lainnya.
3 Aturan Representasi. Mengatur permasalahan siapa yang berhak
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusan apa yang akan diambil
dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan
representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu berperan penting dalam menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang
langka. Hal ini memberi pemahaman bahwa aturan representasi merupakan subjek analisis ekonomi.
Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat
atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro 1999 yang mengatakan bahwa lembaga
adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal.
Dahuri et al. 2001 mengatakan kelembagaan sebagai institusi, terdiri dari tiga aspek yaitu : 1 aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, 2 fasilitas
ruang, peralatan dan bahan, serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga, dan 3 dana operasional untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut.
Sedangkan pelembagaan nilai-nilai adalah memasyarakatkan hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut kepada masyarakat atau pengguna jasa
lembaga tersebut. NIlai-nilai yang dilembagakan dapat berupa peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, tataruang wilayah pesisir dan lautan,
pedoman perencanaan dan bentuk-bentuk lainnya. Pengelompokkan kelembagaan di dunia sosial berdasarkan pada
kesatuan aktivitas-aktivitas karena pada dasarnya pembentukan kelembagaan memiliki tujuan khusus yang dilaksanakan oleh orang-orang tertentu yang perlu
didukung dengan norma dan struktur yang khusus pula Syahyuti, 2003. Berdasarkan tugas tanggung jawab pengelolaan, maka lembaga pemerintah
yang memiliki wewenang dapat dibedakan dalam kategori lembaga fungsional sektoral dan lembaga koordinasi. Lembaga fungsional sektoral adalah
lembaga yang memiliki peran mengelola, mengembangkan dan mengatur secara teknis kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi tanggung
jawabnya. Sedangkan lembaga koordinasi memiliki peranan dalam mengkoordinasikan segenap kegiatan pengelolaan pembangunan sesuai dengan
fungsi dan manajeman yang menjadi tanggung jawabnya. Di samping lembaga pemerintah maka dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya beberapa
kelembagaan secara formal maupun informal berperan penting dalam pemanfaatan dan pengelolaan antara lain : lembaga adat, keagamaan, LSM dan
organisasi lainnya. Pranadji 2003 mengatakan bahwa dalam kenyataan penganalisaan
kelembagaan belum banyak menyentuh subtansi yang berimplikasi besar terhadap kemajuan masyarakat di pedesaan. Aspek kelembagaan, misalnya
menyangkut pengembangan tata nilai, kepemimpinan dan perubahan struktur
sosial masih jarang diteliti secara mendalam. Akibatnya implikasi penelitian kelembagaan yang selama ini diusulkan tidak lebih dari sekedar sebagai embel-
embel atau pemanis untuk pembelaan diri terhadap kegagalan penyelenggaraan pembangunan pedesaan. Selanjutnya dikatakan bahwa penelitian kelembagaan
dengan basis pengetahuan sosiologi, hendaknya mulai dikembangkan lebih serius. Pilihan strategi yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri sarat
dengan aspek kelembagaan, misalnya dalam kaitan dengan aspek tata nilai, kepemimpinan, manajemen sosial dan interdepedensi antara pelaku
pembangunan pedesaan. Kelembagaan merupakan proses melembaganya nilai-nilai kemanusiaan
humanity, kebenaran righteousness, kesopanan civility, kearifan wisdom, kepercayaan trust, dan perdamaian peace. Kelembagaan diadakan untuk
menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan mengubah kehidupan yang senantiasa lebih baik dari hari ke hari Purwaka, 2006. Selanjutnya dikatakan
bahwa kelembagaan menghasilkan learning civilzation : bangsa yg senangtiasa belajar, membuka diri, mau mengubah diri, berkomunikasi, berdialogmengakui
keberadaan pihak lain. Pengurus kelembagaan mengutamakan keutaman hidup dalam kesederhanaan, bukan mengutamakan hidup pribadi yang sekarang
banyak dikerjasamakan. Akselerasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya pemanfaatan
dalam bidang perikanan tangkap membutuhkan tata kelembagaan yang “kuat” sebagai jawaban atas pola manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan
tersebut. Karena penataan pola manajemen itu sendiri diarahkan bukan kepada sumberdaya ikan sebagai tujuan pemanfaatan tetapi kepada pelaku
pemanfaatan itu sendiri, yaitu sumberdaya manusia, sehingga dibutuhkan berbagai aturan main yang konprehensif tentang apa itu manajemen
pemanfaatan sumberdaya ikan. Jawaban yang paling tepat adalah tata kelembangaan yang didalamnya sudah termasuk perangkat hukum, ekonomi,
hubungan antara pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, sehingga akselerasi yang dimaksudkan dapat menguntungkan semua
pihak terhasuk sumberdaya perikanan yang harus dalam tatanan pemanfaatan yang berkelanjutan Purwaka, 2006.
Teori principal-agent berusaha untuk mengetahui masalah-masalah yang
muncul dalam keterhubungan interrelationship antara dua atau lebih individu atau kelompok, dan membantu menerangkan bagaimana keterikatan pihak yang
berhubungan dapat dilaksanakan secara kompatibel dengan upaya meminimalisasi biaya transaksi. Dalam bentuk paling sederhana, teori “principal-
agent” menyangkut hubungan antara dua orang, yang satu dinamakan prinsipal dan lainnya dinamakan agen.
Anwar 1995 menyatakan bahwa teori principal-agent menekankan perhatiannya terhadap suatu rancangan struktur insentif untuk suatu tujuan
efisiensi pada keadaan yang asimetrik asimetrik information. Tatanan kontraktual contractual arrangement merupakan solusi dari hubungan ini yang
membawa agen kedalam suatu bentuk kerjasama dengan prinsipal. Prinsipal setuju memberikan suatu insentif tertentu kepada agen, di lain pihak agen setuju
melakukan tindakan atas nama dan yang menjadi kepentingan prinsipal. Teori ini membantu dalam mendekati masalah yang dihadapi oleh petaninelayan dalam
hubungannya dengan kelembagaan yang dipilihnya. Yang menjadi permasalahan utama dalam teori “principal-agent” ini adalah bagaimana prinsipal
dapat meyakinkan agen untuk menerima rencanaprogram yang akan dilaksanakan dan bertanggung jawab secara penuh terhadap kesepakatan yang
telah disetujui bersama. Perlunya suatu persetujuan di antara kedua belah pihak dalam suatu
hubungan principal-agent ini didasarkan atas fakta bahwa prinsipal dan agen sebenarnya memiliki kepentingan yang berbeda. Keadaan demikian selanjutnya
akan mengakibatkan suatu konflik oleh karena setiap individu akan memaksimumkan kepuasannya, yang selanjutnya agen akan cenderung
bertindak menurut kepentingannya daripada mempertimbangkan kepentingan prinsipalnya. Sejalan dengan pendapat ini, Williamson 1985 menyatakan bahwa
perilaku individu pada dasarnya bersifat opportunis dan cenderung dengan berbagai tipu muslihat mengejar kepentingannya sendiri. Dalam hal demikian,
tidak adanya aturan main yang bisa membatasi, misalnya melalui kontrak yang dinyatakan secara eksplisit, maka agen akan cenderung mengejar keuntungan
secara individu dan tidak akan mempertimbangkan kepentingan prinsipalnya dan demikian juga berlaku sebaliknya. Bentuk kelembagaan hubungan “principal
agent” muncul sebagai respon terhadap keadaan informasi yang asimetri, sehingga dalam hal ini bisa timbul masalah agensi agency problem yang
selanjutnya menimbulkan biaya agensi agency cost.
2.2 Kapasitas Kelembagaan